TENTANG KUALITAS OTORITAS PENULIS.

(Terjemahan Bebas David Tobing Atas Naskah ON LITERATURE-ARTHUR SCHOPENHAUER)


Pada dasarnya, ada dua macam penulis: mereka yang menulis demi kebahagiaan subjek personal sendiri, dan mereka yang menulis demi kenikmatan menulis sendiri. Mereka yang menulis demi kebahagiaan subjek personal punya pemikiran atau pengalaman yang menurut mereka sangat berharga dan patut dikomunikasikan dengan sesama; sedangkan jenis penulis kedua lebih mengutamakan uang, karena uanglah mereka menulis, demi uang(!). Pola pikir mereka yang menulis demi kenikmatan menulis sendiri adalah pola pikir yang berorientasi pada bisnis penulisan. Mereka yang tergolong jenis yang ‘menulis demi kenikmatan menulis sendiri’ memang punya kemungkinan tenar; dan ketenaran mereka bergantung pada bagaimana cara mereka mengolah pemikiran mereka menjadi bentuk pemikiran terbaik hingga punya batas kadaluarsa yang agak lebih lama; selanjutnya, cara lain yang mereka tempuh bisa pula melalui pandangan mereka yang alamiah, ‘pandangan yang alamiah’ di dalam kepala mereka sesungguhnya merupakan pandangan yang setengah-benar, pandangan yang jahat, pandangan yang menakutkan, pandangan yang penuh kebimbangan; atau cara lain lagi melalui pemutar-balikan pandangan atas segala sesuatu yang sudah jelas, yang mengakibatkan penampilan mereka berbeda dengan mereka yang sesungguhnya. Maka apa yang mereka tulis tidak lagi jelas, melainkan samar dan penuh kabut tak bermakna dan juga tidak punya dasar yang kuat, tak punya defenisi yang jernih; dan tulisan yang punya dasar yang kuat tak bakal hidup lama sebelum mereka mengakui bahwa apa yang sebenarnya menjadi objek dari kerja menulis mereka, pada dasarnya, hanyalah suatu upaya untuk memproduksi buku belaka alias uang. Peristiwa seperti itu pun kadang terjadi pada penulis-penulis hebat; sekarang dan di kemudian hari, contoh, Lessing di dalam buku Dramaturgie-nya, dan bahkan di banyak cerita romantis karangan Jean Paul. Segera setelah pembaca menyadari hal ini, biarkanlah pembaca bersangkutan mencampakkan buku karangan penulis-penyesat; dikarenakan waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Yang menjadi kebenaran dalam perkara ini adalah, ketika penulis mulai menulis cuma untuk kenikmatan buku belaka alias uang, penulis itu sudah membohongi pembaca; karena dia menulis di bawah bayang-bayang dalih, karena dia menulis untuk menutupi apa yang seharusnya dia katakan.

Menulis demi uang dan demi mendapatkan hak cipta belaka adalah tujuan kerja menulis yang paling dangkal, akar penghancur budaya literatur. Bila penulis hanya tulisan memandang sebagai tulisan belaka, maka penulis begitu hanya menyuguhkan tulisan yang sia-sia, tak berguna. Tulisan menjadi berharga apabila seorang menulis demi kebahagiaan personal dirinya. Sungguh tak dapat dibayangkan betapa mahalnya tulisan yang begitu, apabila tulisan yang begitu memang ada; sekalipun di dalam setiap cabang literatur hanya ada sedikit sekali buku seperti itu; meskipun sedikit, buku begitu masuk kategori buku yang unggul! Hal seperti itu tidak bakal terjadi selama penulis berpikir untuk menghasilkan uang dari kerja menulis. Itulah kutukan uang; bagi setiap penulis pola pikir mencari uang bakal mendorong penulis mulai mengambil pena lalu menulis di atas kertas cuma untuk kenikmatan menulis saja. Karya-karya tulisan kategori unggul yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang tergolong unggul pula muncul dari saat ketika mereka memutuskan menulis tidak untuk apa pun atau, dan kalau pun mereka berharap, harapan mereka ada dalam kadar yang sangat-sangat minimal. Ada pepatah Spanyol yang menyimpan kebajikan seperti yang saya maksudkan, pepatah yang mendeklarasikan bahwasanya kehormatan dan uang tidak bisa ditemukan dalam dompet yang sama—‘honora y provecho no caben en un saco’. Alasan mengapa Literatur dalam kondisi yang demikian terpuruk sekarang ini adalah sangat sederhana, dan itu semata-mata disebabkan orang-orang yang menulis buku untuk mendapatkan uang. Cuma karena ada orang yang ingin duduk dan menulis buku demi uang belaka, serta publik tolol yang datang sebagai pembeli buku. Dampak kedua dari perilaku begitu adalah kehancuran bahasa!

Penulis-penulis buruk seperti yang saya ungkapkan di atas, penulis buruk yang membangun kehidupan mereka dengan cara membodohi publik, membodohi publik dengan mendesak publik untuk membaca sesuatu yang tak ada makna, membaca sesuatu yang baru saja dicetak,—mereka itu adalah para jurnalis! Saya serius akan hal ini. Mereka yang masuk kategori demikian adalah jur-na-lis! Sungguh, itulah ungkapan yang lebih tepat dan lebih sopan. Dalam bahasa pasaran, buruh, kuli!

Selanjutnya dapat pula disebutkan masih ada tiga macam penulis lainnya. Pertama, mereka yang menulis tanpa berpikir. Mereka yang masuk golongan pertama ini menulis dari posisi yang penuh memori, dari ingatan; bahkan mungkin pula apa yang mereka ungkapkan berasal dari buku orang lain. Jumlah penulis tipe begini sangatlah banyak. Tapi, dari perilaku begitu muncullah penulis yang masuk golongan kedua, yakni penulis yang berpikir hanya ketika dia sedang menulis. Penulis golongan kedua berpikir dengan tujuan agar bisa menulis; dan tak sedikit pula orang yang model begini. Tahapan terakhir dari kronologis seperti ini adalah penulis golongan ketiga, yakni penulis yang berpikir sebelum mereka mulai menulis. Jumlah penulis golongan ketika bisa dibilang jarang.

Penulis golongan kedua atau penulis yang berpikir hanya ketika dia sedang menulis adalah penulis yang melepaskan pemikiran mereka ketika mereka tidak menulis; perilaku mereka ibarat olahragawan yang berlatih serampangan, hasilnya tentu saja olahragawan yang demikian tak bakal pulang dengan membawa piala. Di sisi lain, ketika penulis yang masuk kategori ‘berpikir sebelum menulis’ atau ‘penulis yang jarang ditemui’, mereka itu ibarat petarung badai. Penulis kategori ‘berpikir sebelum menulis’ hadir sebagai olahragawan unggul—sebelum pertandingan dimulai, sudah diketahui bahwa dialah yang bakal jadi juara. Ada pula pemahaman lain atas ilustrasi itu. Penulis kategori ‘berpikir sebelum menulis’ merupakan peserta dalam suatu pertandingan, dan selama pertandingan berlangsung dia lebih banyak mendiamkan diri di suatu ruang yang terpencil; hingga suatu saat—di saat pertandingan masih terus berlangsung—ia keluar dari sana menuju ruang yang lain, alias menjadi pemenang. Suatu pertandingan tidak menyimpan kemungkinan untuk melepaskan olahragawan yang ikut serta; olahragawan itu hanya punya pilihan membidik dan menembak—dengan kata lain, menuliskan apa pemikirannya. Menulis ibarat pertandingan olahraga dan hanya melalui keikutsertaan sebagai peserta pertandinganlah seorang bakal punya sesuatu yang berharga, piala.

Tetapi, sekalipun jumlah orang yang berpikir serius sebelum menulis sedikit, sesungguhnya hanya ada beberapa saja di antara mereka yang sedikit itu yang benar-benar memikirkan ‘subjek utama dari apa yang bakal dituliskan’; lainnya hanya bermodalkan pemikiran yang sudah ada dan usang dari buku-buku yang menceritakan ‘subjek utama dari apa yang bakal dia dituliskan’, dengan kata lain menulis apa yang sudah diungkapkan orang lain. Bila punya tujuan untuk memikirkan subjek tulisan seutuhnya, ada juga penulis yang membutuhkan arahan dan rangsangan yang kuat dari pemikiran-pemikiran orang lain yang ada dalam sejarah sebelum si penulis bersangkutan hadir di dunia. Apa yang dipelajari penulis bersangkutan menjadi tema keberlanjutan saja; dan apabila penulis bersangkutan masih tetap berada dalam tema keberlanjutan, maka si penulis bakal berada dibawah pengaruh pemikiran-pemikiran yang sudah dia baca, dan penulis bersangkutan tidak akan pernah, bahkan dalam artian sebenarnya menjelma menjadi sesuatu yang otentik, asli(!). Jadi, apa yang utama adalah, pertama-pertama ‘subjek utama dari apa yang bakal dituliskan’ itulah yang seharusnya terbit di dalam pemikiran penulis bersangkutan secara langsung, bukan melalui penelaahan buku-buku lapuk yang berisi pemikiran-pemikiran orang di masa lalu. Hanya dengan cara begini sajalah penulis-penulis bermutu, penulis berkualitas unggul, hadir.

Apa yang saya ungkapkan, apa yang menjadi konteks pembicaraan saya adalah para penulis penyuguh subjek yang agung; bukan kategori penulis cara-cara praktis menjadi kaya-raya, atau penulis buku resep meracik alkhohol menjadi racun mematikan yang nikmat.

Selama si penulis mengambil materi-materi tulisan yang bakal dia tuliskan bukan berasal dari dalam benaknya sendiri, dengan kata lain bukan berasal dari observasi penulis sendiri, maka penulis bersangkutan masihlah dalam kategori ‘membaca buku’ alias membuat resensi belaka. Percetakan-percetakan, para editor, penulis sejarah, dan masih banyak penulis semacam itu lainnya mendapatkan materi-materi tulisan secara langsung dari buku-buku yang sudah ada; dan materi-materi itulah yang meluncur ke jari-jemari mereka—materi mentah yang tidak menjalani proses filterisasi di dalam benak mereka, dengan kata lain penulis bersangkutan tak pernah melakukan elaborasi atau revisi. Maka lihat, pasti penulis perdana yang bakal girang sebab dia melihat buku-buku yang terbit setelah bukunya hanya memuat segala apa yang sudah telanjang di dalam bukunya! Sebagai konsekuensinya, si penulis-lanjutan itu cuma berkoar-koar tentang sesuatu yang tidak dia kuasai dan tidak dia pahami, dan pembaca malah kesusahan memahami rangkaian puzzle di dalam tulisannya—padahal, bila ditelusuri lebih jauh, kegiatan memahami rangkaian puzzle yang dilakukan si pembaca pasti bakal berujung pada kesia-siaan; disebabkan apa dituliskan dan dipikirkan si penulis memang benar-benar tidak jelas. Penulis demikian adalah penulis yang tolol, tidak berpikir apa pun. Maka selalu muncul kemungkinan bahwa buku yang dia tulis benar-benar merupakan ciplakan utuh dari buku yang dia baca; jadi cara menulis demikian serupa tempelan-tempelan belaka; dan di pengakhiran, hanya kekosonganlah yang mencuat ke permukaan, dan karena itu pula penulis bersangkutan pastilah lenyap ditelan zaman! Biarlah buku-buku kompilasi dibaca sejarang mungkin. Dan memang susah pula bila ingin mengacuhkan buku-buku kompilasi; semenjak buku-buku kompilasi dan buku-buku tekstual, meski dalam porsi yang sangat minim, mengandung sejarah perkembangan pengetahuan dari masa ke masa.

Tidak ada kesalahan yang sangat fatal selain pengandaian yang menyatakan bahwa karya terakhirlah yang lebih tepat, lebih benar; dan apa tertulis di dalam buku setelah adalah pengembangan dari apa tertulis di dalam buku sebelum; dan perubahan yang ada bermakna perkembangan dari buku sebelum menuju buku setelah. Pemikir sejati, hakim kebenaran, orang yang lahir-bersama-dan-melahirkan ‘subjek tulisan’ merupakan kekecualian dari kondisi yang sudah saya jabarkan di atas. Para gembel pasti ada di bagian mana pun di dunia ini: itulah yang menjadi sinyal petanda, pengambil opini matang dari pemikir-pemikir sejati, dan ironisnya kalangan industri lebih berniat mengembangkan orang-orang yang demikian (catat bagian ini!) dengan cara-cara yang amat ganjil.

Jika seorang pembaca berniat meneliti suatu objek pengetahuan, biarkanlah ia mengacuhkan buku-buku terbaru yang berbicara dengan objek tersebut. Adalah lebih baik bagi ia bila ia hanya memfokuskan kajiannya pada objek itu saja, di bawah terang pemahaman bahwa pengetahuan yang bakal dia peroleh pastilah berfaedah—dan buku-buku yang tergolong lampau sesungguhnya sudah mengungkapkan apa yang tertulis di dalam buku-buku terbaru yang bersoal tentang objek pengetahuan tersebut. Mereka, buku-buku lampau itu, sudah menuliskan hal tersebut, merupakan sebuah kebenaran; tetapi lewat cara yang bagaimanakah kebenaran itu muncul? Para penulis buku baru seringkali tidak paham isi dari buku-buku lama, dan si penulis itu pun punya rasa enggan untuk menerima kata-kata dari penulis lampau; jadi penulis baru itu mengacuhkan penulis lampau, dan si penulis baru itu malah mengungkapkan dengan cara yang sangat-sangat buruk apa yang telah diungkapkan oleh penulis lampau, yang pada dasarnya lebih jernih dan bernas, karena penulis masa lampau itu menulis berdasarkan pengetahuan akan objek tersebut di dalam diri dan pengalaman mereka sendiri. Para penulis baru kerap kali mengabaikan hal-hal terbaik yang sudah diungkapkan oleh penulis lampau. Tak hanya itu pula, para penulis baru yang belagu ini pun mengabaikan ilustrasi terbaik para penulis lampau, serta segala kecemerlangan penulis lampau; semua itu disebabkan ketidakmampuan dari penulis baru melihat nilai yang terkandung dalam tulisan para penulis lampau, atau penulis baru itu tidak sadar diri bahwa diri mereka sesungguhnya masih kategori piyik. Dan apa yang memancarkan dari tulisan para penulis baru yang belagu itu hanyalah kesamaran dan ketololan.

Zaman memberikan bukti, buku tua dan unggul sering sekali menjadi pencilan dikarenakan kehadiran buku-buku baru dan buku-buku buruk, buku-buku yang ditulis cuma untuk mendapatkan uang. Dan ironisnya, buku baru dan buruk paling-paling cuma menawarkan atmosfir kehampaan dan cuma punya dampak bagi segelintir orang saja, orang yang menjadi sahabat-sahabat si penulis rendah itu saja. Di dalam sains, orang berupaya meraih pretise dengan cara mengungkapkan sesuatu yang segar. Sayangnya, upaya demikian menjadi tidak berarti dikarenakan dia hanya menyerang suatu teori yang sudah terbukti, suatu teori yang benar-benar tepat dan memadai menjelaskan suatu permasalahan. Upaya penyerangan yang mereka lakukan tak lebih dari upaya untuk menciptakan ruang agar pemahaman mereka yang salah itu bisa eksis. Kadang kala upaya yang begitu berhasil sekejap waktu saja; tetapi selanjutnya semua orang bakal berpaling kepada yang lama, teori yang benar-benar terbukti valid! Inovator model begituan hanya mengungkapkan bualan semata. Mereka tak mengungkapkan apa pun kecuali gagah-gagahan belaka: inilah yang sebenarnya hendak mereka ajukan, dan jalan pintas terbaik untuk mencapai posisi seperti itu, sebagaimana yang mereka pikirkan, memulai dengan paradoks. Benak mereka yang mandul mengambil jalan alamiah, jalur negasi; dengan begitu mereka pun mulai mengingkari kebenaran yang telah lama mereka terima—kekuatan vital, sebagai contoh, sistem saraf simpatetik, ‘generatio equivoca’, pembedaan Bichat tentang mekanisme hasrat dan mekanisme intelektual; atau para penulis belagu itu hanya ingin membawa kita pada ketololan belaka dikarenakan pemutar-balikan fakta, dan model begitu pula yang memang disukai para penulis rendahan. Maka, sepanjang zaman kerap hadir ungkapan ‘wacana sains selalu mundur atau retrogresif’.

Bagi penulis model begituan hadirlah pula para penerjemah yang bekerja tak hanya untuk menerjemahkan tulisan mereka, tetapi juga membenarkan dan merevisi tulisan mereka; dan hasil terjemahannya, bagi saya, sama saja: Nol Besar! Kepada beberapa penulis saya sarankan: Tulislah buku melalui dan untuk dirimu sendiri sebuah buku yang beanr-benar berfaedah bila diterjemahkan, dan biarkanlah tulisan-tulisan orang lain tetap sebagaimana adanya!

Para pembaca seharusnya meneliti, jika dia sanggup, penulis asli, orang yang membangun suatu teori dan menemukan suatu hal baru; atau, dalam tingkat apa pun juga, mereka yang sudah dikenal sebagai guru unggul di setiap cabang pengetahuan. Lebih baik lagi bagi mereka untuk membeli buku-buku bekas yang berisi tulisan penulis asli daripada mereka membaca buku tersebut dalam bentuk yang baru, bentuk yang tidak asli lagi. Sekadar meyakinkan, inilah cara yang paling gampang untuk belajar memahami suatu pandangan dan menemukan pandangan atau hal baru—‘inventis aliquid addere facile est’: dan, sebagai akibat, para pelajar yang sudah paham betul seluk-beluk hingga akar dari suatu pengetahuan bakal punya potensi yang cukup memadai untuk menambahkan sesuatu yang baru ke dalam pengetahuan tersebut. Dan, secara jeneral, saya menyematkan prinsip yang berlaku di mana saja tentang apa itu ‘baru’: jika ada sesuatu yang baru, jarang ada yang bagus; jika ada sesuatu yang bagus, maka itu cumalah kebaruan yang bersifat sementara saja.

Alamat penujuan berkenaan dengan surat, judul seharusnya berkenaan dengan buku; dengan kata lain, judul merupakan objek utama yang menjadi jembatan antara buku dengan publik, sebab judul bisa memikat public untuk mengetahui apa yang terkandung di dalam buku. Karena itu, judul haruslah ekspresif; dan apa yang menjadi kealamiahan dari judul adalah ke-singkat-an, judul sebaiknya ringkas, pendek, matang, dan bila dimungkinkan, judul memberikan gambaran utuh tentang isi buku dalam satu kata. Judul yang bertele-tele merupakan judul yang buruk (!); dan yang judul begituan tak menyiratkan apa pun kecuali kehampaan, atau kabur dan ambigu, atau malah bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan; tampilan judul yang demikian bisa disetarakan dengan kesalahan menulis alamat penujuan surat. Judul yang paling buruk diantara segala judul adalah judul yang lahir dari proses pencurian, maksud saya, judul yang berasal dari judul buku yang sudah pernah ada; bagi mereka yang berbuat begitu, pertama bisa dicap sebagai penjiplak, kedua bisa dianggap sebagai bukti ketiadaan orisinalitas penulis. Orang yang tak punya orisinalitas menemukan judul baru bagi bukunya bakal tak mampu pula memberikan sesuatu yang baru di dalam isi bukunya. Yang setara dengan pencurian judul adalah meniru-niru judul, yang berarti mencuri sekaligus menambahkan atau menghilangkan satu atau beberapa kata dari judul yang diadaptasi; contohnya, lama setelah saya menghasilkan risalah ‘On Will in Nature’, Oersted menulis buku berjudul ‘On Mind in Nature’.

Buku tak bisa melebihi apapun selain impresi dari pemikiran penulis; dan nilai dari impresi tersebut bakalan hadir di dalam ‘persoalan yang dia pikirkan’, atau di dalam ‘konfigurasi’ dari pemikiran si penulis itu sendiri, dengan kata lain, ‘apa sebenarnya objek yang tengah dia pikirkan’.

Persoalan yang diungkapkan dalam tiap-tiap buku sangat beragam; dan keberagaman itulah yang mengikat buku-buku yang ada untuk menentukan derajat keunggulan di antara buku-buku yang ada saat mendedahkan pelik-rumit persoalan yang hendak diterangkan. Apa yang saya sebut dengan persoalan adalah segala apa pun yang berasal dari domain pengalaman aktual, yakni fakta sejarah dan fakta alamiah yang diangkat dan ditelaah di dalam ‘dirinya sendiri’ atau ‘objek yang telah menjadi subjek’, selanjutnya dijabarkan melalui pengertian yang seluas-luasnya. Di sini ‘sesuatu’ dibicarakan, dan pembicaraan atas ‘sesuatu’ itulah yang memberikan karakter yang khas pada suatu buku; dan apa yang menjadikan suatu buku penting adalah keluasan dan kedalaman penjelasan yang ada di dalam buku tersebut, tak peduli siapa pun yang menuliskannya.

Tetapi, berkenaan dengan ‘konfigurasi’, karakter yang khas pada suatu buku bergantung pada ‘orang’ yang menulis buku. Karakter khas berkenaan pada cara menyajikan suatu persoalan hingga bisa diakses dan dipahami oleh siapa pun juga; penulis harus mampu menyajikan seluk-beluk persoalan yang utuh, apa sebenarnya objek yang tengah dia pikirkan, dan pekerjaan yang demikianlah yang menjadikan buku tersebut bernilai; dan semua itu berasal dari si penulis. Apabila di kemudian hari, melalui prosedur kerja penulisan tadi, buku yang dihasilkan menjadi buku yang unggul, maka si penulis pun tergolong penulis unggul. Sebagai tambahan, bila si penulis merupakan orang yang gemar membaca, maka keberhasilan yang dia raih justru merupakan hasil akhir dari kerja keras si penulis yang terus-menerus berupaya mengikis ketidakpahamannya akan sesuatu persoalan; karena itu, pemahaman yang mendalam dan menyeluruh mulai dari yang terbaru hingga yang terdahulu menjadi penentu kehebatan si penulis. Sebagai contoh, tiga penulis tragedi yang hebat dari Yunani berangkat dari kerja memahami subjek-persoalan yang sama.

Jadi ketika sebuah buku tenar, perlu pulalah dicatat apa yang menjadi dasar ketenaran buku bersangkutan, apakah menyangkut persoalan buku atau konfigurasi buku; dan pembedaan itu mestilah dibuat setepat-tepatnya.

Buku-buku unggul yang bercerita tentang suatu persoalan bisa dihasilkan oleh orang-orang yang biasa dan awam, melalui fakta bahwa mereka sendiri punya akses ke persoalan tersebut; misalnya buku yang memaparkan petualangan di suatu daerah, kejanggalan fenomena alam, atau pengalaman; atau peristiwa sejarah yang di dalamnya penulis menjadi saksi mata, atau di dalam hubungan kerja keras si penulis dan keikhlaskannya meluangkan waktu untuk menyelesaikan segala kendala yang muncul ketika meneliti sesuatu, dan bisa pula menyangkut studi dokumen-dokumen asli.

Di sisi sebaliknya, ketika persoalan itu sudah bisa diakses semua orang atau sudah jamak dipahami semua orang, maka keunggulan buku bakal bergantung pada konfigurasi; dan konfigurasi yang berkenaan dengan apa yang tengah dipikirkan penulis atas persoalan yang hendak dia jelaskan bakal menjadi penentu keberadaan nilai lebih di dalam buku tersebut. Di sini, hanya orang-orang yang punya kemampuan pembeda yang tinggi saja yang mampu menghasilkan suatu nilai dari bahan bacaan yang dia baca; yang bagi orang lain adalah kehampaan, padahal yang dianggap kehampaan itu sesungguhnya bisa dipikirkan oleh siapa pun juga. Mereka yang punya kemampuan pembeda yang tinggi akan menghasilkan impresi dari pikiran mereka sendiri; tetapi patut diingat, inilah yang menjadi jejak pencapaian bagi siapa pun juga hendak mendapat predikat: orisinil.

Yang patut diperhitungkan, mereka yang tergolong kategori publik selalu punya kecenderungan yang lebih pada apa yang disebut persoalan ketimbang konfigurasi; dan inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa selalu ada kekurangan di setiap kebudayaan yang sudah mencapai derajat yang unggul. Publik sendiri membuktikan kesimpulan saya ini melalui cara mereka menghargai sajak. Publik menghargai sajak dengan menertawakan sajak, yang bagi saya inilah bentuk ketololan mereka ketika berhadapan dengan sajak; dan ketika sikap menertawakan itu muncul maka kekaburan pun hadir. Kekaburan itu sendiri muncul ketika mereka membaca sajak dengan cara melacak peristiwa aktual atau kondisi personal dari kehidupan si penyair itu sendiri, yang mereka duga merupakan muasal dari beragam corak sajak-sajak si penyair; dan itulah yang salah(!), segala peristiwa dan kondisi personal dari kehidupan si penyair seharusnya hadir sebagai kesimpulan akhir, akhir dari segenap proses pembacaan yang utuh hingga menghasilkan sesuatu yang sungguh penting dan unggul bila dibandingkan dengan sajak-sajak itu sendiri; bila dianjurkan untuk membaca Goethe, orang yang masuk kategori publik malah memilih membaca apa-apa saja yang telah ditulis tentang Goethe, dan publik begitu lebih suka bersusah-payah meneliti legenda Faust daripada menelaah drama yang terkandung di dalam nama Faust itu sendiri. Dan ketika Buerger mendeklarasikan “orang bakal menulis esai panjang yang menjelaskan pertanyaan, Siapakah sebenarnya Leonora,” dan hal yang sewujud dengan itu pun kita temukan dalam segala macam perkara sastra yang memperbincangkan Goethe; dan sekarang kita sudah memiliki esai panjang yang unggul yang berbicara tentang Faust dan legenda yang juga bersangkutan dengan nama itu. Penelitian yang model begini, dan yang bakal datang, merupakan buah dari penelaahan atas materi dari drama itu sendiri. Perilaku memberikan perhatian yang lebih pada persoalan dan mengenyahkan konfigurasi, sama seperti orang yang mengambil jambangan bunga Etruscan, dan sialnya tindakan mengambil jambangan bunga Etruscan itu ditujukan bukan untuk mengamati wujud jambangan bunga Etruscan atau warna jambangan bunga Etruscan, melainkan untuk mengetahui analisis kimiawi pencampuran antara tanah liat dengan cat yang membentuk jambangan tersebut.

Upaya mencari dampak dengan menganalisa materi-yang-sudah-menjadi-persoalan yang diolah—upaya yang merupakan representasi dari kecenderungan kebanalan publik—itulah yang seharusnya paling dihina di dalam setiap cabang sastra, sebab penghargaan atas sastra merupakan ekspresi yang timbul dari konfigurasi yang diajukan para sastrawan ke hadapan sidang pembaca; apa yang saya maksudkan dengan sastra itu tak lain adalah kerja puitikalisasi. Karena itu semua, tak sulitlah untuk menemukan dramawan yang buruk, dramawan yang mencoba menggubah naskah hanya dengan mengambil materi-yang-sudah-menjadi-persoalan belaka lalu merangkaikan materi tersebut menjadi apa yang disebut naskah. Sebagai contoh, penulis macam begini tak bakal malu-malu memilih orang yang sudah tenar sebagai pemeran utama naskahnya di atas panggung, tak masalah pula bagi si penulis macam begini apabila si orang tersebut sama-sekali tak pernah mengalami peristiwa dramatik di dalam naskah tersebut; bahkan, kadang kala pula mereka-mereka yang begitu tak sabaran menunggu untuk menuliskan naskah dramanya dan mementaskan naskah tersebut hingga orang yang benar-benar menghasilkan materi-yang-sudah-menjadi-persoalan, penulis aslinya meninggal dunia.

Perbedaan antara persoalan dan konfigurasi yang sudah saya singgung pun sebenarnya mengandung pembicaraan menarik tersendiri. Kualitas utama yang memampukan manusia menerjemahkan segala hal dengan sebaik mungkin adalah daya intelektual, daya ketajaman, daya kejenakaan (baca: kecendekiawanan) serta semangat penuh kegembiraan: inilah yang menjadi bahan bakar utama bagi berbagai macam bentuk perbincangan. Tapi hal seperti itu tidak bakal terjadi selama tidak muncul perhatian—dan perhatian itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang berharga—pada persoalan yang dia percakapkan; dengan kata lain, dan subjek yang memampukan seseorang bercakap-cakap dengan suatu persoalan tak lain merupakan pengetahuan dari orang itu sendiri! Jika pengetahuan orang itu berkadar rendah, percakapan itu tak bakal berharga, sampai dia sendiri harus memiliki perangkat kualitas formal—daya intelektual, daya ketajaman, daya kejenakaan (baca: kecendekiawanan) serta semangat penuh kegembiraan—dalam derajat tertentu; dan bila dia masih saja tak memiliki kualitas formal tersebut, maka dia tidak punya kemampuan bicara atas suatu topik kecuali topik-topik yang menyangkut fakta kehidupan dan alam, fakta-fakta yang sudah diketahui setiap orang. Tapi lain halnya bila orang tersebut, orang yang nyata-nyata punya kekurangan kualitas formal namun memiliki segudang pengetahuan; pengetahuan itulah yang memberikan nilai pada setiap kata yang meluncur dari mulut dia. Nilai dari apa yang dia ucapkan sepenuhnya bergantung pada materi-yang-sudah-menjadi-persoalan dari perbincangan yang terjadi; sebagaimana yang diungkapkan pepatah Spanyol ‘mas sabe el necio en su casa, que el sabio en la agena’, si tolol pasti banyak omong, sedang orang bijak paham apa yang menjadi persoalan orang lain.


Catatan:

Apa yang disebut dengan ‘persoalan’ dalam risalah ini, berasal dari bahasa Inggris ‘matter’ di dalam risalah Arthur Schopenhauer ON AUTHORSIP versi www.guttenberg.org yang dipublikasikan pertama kali pada 14 Januari 2004, label: EBook #10714. Pada pola pemikiran Aristotelian, menurut saya, apa yang dimaksud Schopenhauer dengan ‘matter’ adalah kerangka.

Selanjutnya, apa yang disebut dengan ‘konfigurasi’ dalam risalah ini, berasal dari bahasa Inggris ‘form’ di dalam risalah Arhur Schopenhauer ON AUTHORSHIP versi www.guttenberg.org yang dipublikasikan pertama kali pada 14 Januari 2004, label: EBook #10714. Pada pola pemikiran Aristotelian, menurut saya, apa yang dimaksud Schopenhauer dengan ‘form’ adalah subtansi.

Cinta: Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang


We know the truth, not only by the reason, but also by the heart

Blaise Pascal (1623 – 1662)


Apa sebenarnya Cinta? Apakah cinta merupakan objek yang bisa disetarakan dengan benda? ataukah cinta menyangkut suatu perbuatan yang dilakukan satu subjek terhadap objek atau subjek yang lainnya? Apakah manusia purba, semisal Pithecantropus erectus, sudah mengalami cinta dan melakukan cinta? Atau yang lebih radikal lagi, apakah cinta hanya milik manusia? Apakah Tuhan memiliki cinta?

Suatu ketika, seorang teman bercerita kepada saya sambil menenggak alkohol. Dia baru saja patah hati. Relasi hati yang dia bangun terhadap perempuan yang dia sayangi ambruk. Teman saya menderita kesedihan, kesedihan yang merupakan representasi dari kesendirian, kehilangan yang dia alami akibat patah hati.

Di saat yang berbeda, teman saya berkata bahwa dia akan menikah. Ritual pernikahan yang mereka rencanakan mengalami percepatan waktu akibat campur tangan pihak keluarga. Rencananya, teman saya dan pasangannya akan menikah pada 2009. Campur tangan pihak keluarga mengubah komposisi rencana mereka menjadi 2008. Dan teman saya tidak keberatan usul dari pihak keluarga dia dan calon istrinya atas perubahan rencana tersebut. Lebih ekstrem lagi, teman saya tidak merasa dirugikan dengan adanya perubahan waktu pernikahan yang berakar pada soal kehadiran intervensi subjek lain pada dirinya dan pasangannya untuk mengambil keputusan percepatan waktu menikah.

Pertanyaan sederhana pun muncul di dalam benak saya. Dari dua peristiwa tersebut, manakah yang mengandung cinta? Apakah peristiwa pertama yang lebih bersifat destruktif atau malah peristiwa kedua yang bersifat konstruktif?


Cinta dan Manusia

Saya memahami dua peristiwa yang dialami teman saya sebagai representasi cinta. Persoalannya, ternyata cinta memiliki sifat destruktif dan konstruktif. Unsur pembeda dari dua sifat cinta adalah ruang dan waktu. Cinta yang bersifat destruktif—dalam perspektif: subjek mengalami kesendirian dan kehilangan—muncul ketika cinta tidak mencapai pelaminan. Sedang cinta yang bersifat konstruktif tercapai ketika cinta mewujudkan diri di dalam pelaminan. Karena ada perbedaan sifat itulah saya mengajukan proposal pembeda verbal-visual dengan menyebut cinta yang bersifat destruktif sebagai ‘cinta’, sedangkan cinta yang bersifat konstruktif sebagai ‘Cinta’.

Pengalaman yang hadir sebagai kenyataan di hadapan saya menguatkan saya untuk berpendapat bahwa C(/c)inta itu ada. Dua teman saya dengan dua cerita yang berbeda mengajarkan saya bahwa C(/c)inta itu ada dan tidak dapat dibantah. C(/c)inta merupakan kebutuhan manusia. Persoalannya, apakah kebutuhan itu merupakan sesuatu yang sudah ada di dalam diri manusia, atau memang sesuatu yang bersifat kebetulan saja? Bila C(/c)inta merupakan representasi dari kebutuhan yang bersifat kebetulan, mungkinkah C(/c)inta bisa disetarakan dengan kebutuhan manusia akan benda-benda teknologi, semisal kebutuhan manusia akan mobil Jaguar atau televisi layar datar 28 inci? Dalam aksentuasi yang lebih tajam, apakah C(/c)inta merupakan sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau ditransaksikan sebagaimana kebutuhan dalam konteks ekonomi, yakni kebutuhan primer, sekunder, pun tertier?

Menyadari kalimat ‘C(/c)inta merupakan kebutuhan manusia’, saya pun sadar bahwa mengungkai persoalan cinta tidak bisa berangkat dari kata ‘kebutuhan’ yang termasuk kelas kata benda. Bila saya tetap bertahan mengurai persoalan C(/c)inta melalui ‘kebutuhan’ maka saya secara tidak langsung menyamakan C(/c)inta dengan benda atau objek; padahal bagaimana benda dan objek cinta itu sesungguhnya belum saya pahami. Menurut saya, pendekatan demikian bakal berujung pada konsep C(/c)inta sebagai transaksi benda dalam konteks perekonomian. Karena argumentasi beginilah, saya memutuskan untuk menggeser pusat kajian bukan lagi pada kata ‘kebutuhan’, melainkan pada kata ‘manusia’. Bahasan C(/c)inta tidak mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu memperbincangkan manusia. Begitu pula dengan upaya membahas ‘kebutuhan’ tak bisa dilepaskan dari keterikatan kebutuhan itu sendiri dengan manusia. Maka, adalah lebih baik bila saya menyatakan bahwa C(/c)inta merupakan sesuatu yang ada di dalam manusia.

Mengapa manusia bisa memiliki C(/c)inta? Dari peristiwa yang dialami dua teman saya, saya menyimpulkan C(/c)inta hadir sebagai relasi intim antar dua manusia, dalam konteks yang ideal berupa relasi antara perempuan dengan laki-laki. Dua manusia atau dua individu bisa pula saya sebut sebagai dua subjek. Dalam konteks ‘dua individu sebagai dua subjek’, tampaknya pendekatan filsafat Idealisme Jerman yang digagas Hegel cukup mumpuni menjelaskan relasi intim yang terjadi. Relasi C(/c)inta mengubah persoalan relasi subjek-objek menjadi subjek-subjek. Dalam skema pemikiran Hegelian, Yang Absolut mewujud dalam bentuk relasi subjek-subjek yang diperantarai oleh kategori hak milik. Berangkat posisi argumentasi yang demikian, saya melihat kata kunci yang baru untuk memahami C(/c)inta, yakni relasi antara subjek dengan subjek yang lain.

Lalu, apa yang memungkinkan relasi subjek dengan subjek lain terwujud? Menurut saya, pertanyaan tersebut mengacu pada hakikat yang tersembunyi dari manusia sendiri. Sepanjang pembacaan saya atas literatur filsafat, ada beragam model hakikat manusia, antara lain keberadaan potensi rasionalitas atau kemampuan berpikir di dalam diri manusia, jalinan antara pribadi dengan sosial yang mengutuh, kesatuan antara jasmani dan rohani. Pada posisi ini, saya memahami C(/c)inta yang ada dan tidak bisa dibantah di dalam diri manusia berakar pada hakikat manusia sebagai mahluk yang harus menjalin relasi. Karena itu, definisi awal C(/c)inta sebagai relasi subjek dengan subjek lain ada baiknya direvisi dengan definisi baru, yakni C(/c)inta merupakan representasi dari hakikat manusia.

Relasi yang dibangun manusia tidak hanya menyentuh pada segala apa yang ada di luar dirinya, melainkan relasi dengan segala apa yang ada di dalam dirinya. Relasi manusia dengan alam dan manusia lainnya merupakan representasi dari relasi antara manusia dengan segala apa yang ada di luar dirinya. Sedangkan relasi manusia dengan tubuhnya, pikirannya, perasaannya, jiwanya, imannya, merupakan relasi antara manusia dengan segala apa yang ada di dalam dirinya. Dalam situasi ‘menjalin relasi’, konteks C(/c)inta beroleh aksentuasi baru sebagai representasi relasi antara manusia dengan alam dan manusia lainnya sekaligus representasi relasi antara manusia dengan dirinya sendiri. Apa terjadi lewat penjelajahan yang saya lakukan dalam konteks relasi C(/c)inta menegaskan afirmasi relasi subjek-subjek sebagai representasi dari Yang Absolut dalam skema pemikiran Hegelian.

Lalu, apa pula yang memungkinkan terjadinya ‘relasi’? Dalam penjabaran di atas, secara implisit tersimpan jawaban dari pertanyaan tersebut. Kemungkinan adanya ‘relasi’ disebabkan kodrat manusia sebagai sesuatu yang berada di dalam ruang dan waktu. Karena itu, manusia sebagai mahluk yang berada di dalam ruang dan waktu memungkinkan manusia untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri melalui tindakan menjalin relasi. Konsekuensi dari pemahaman demikian tentu saja menyiratkan pengandaian bahwasanya pada suatu masa, ketika manusia tidak lagi berada di dalam ruang dan waktu, manusia tidak lagi memiliki hakikat untuk menjalin relasi. Dalam pemahaman yang demikian, saya bisa mengerti maksud Heidegger ketika menyatakan manusia sebagai Ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Melalui rajutan awal peziarahan akal budi, saya pun bisa memahami dua peristiwa berbeda yang dialami dua teman saya.

Peristiwa teman saya yang patah hati tak lain merupakan representasi dari kehancuran ruang dan waktu di dalam diri teman saya. Kesendirian menjadikan ruang dan waktu teman saya tidak hadir sebagai sesuatu yang universal, melainkan partikular. Ruang dan waktu tidak lagi hadir sebagai wahana untuk menjalin relasi antara dia dengan yang dengan alam dan manusia lainnya serta relasi dia dengan dirinya sendiri, melainkan ruang dan waktu yang hanya menyediakan relasi antara dia dengan dirinya sendiri.

Situasi demikian berbeda dengan situasi yang dialami teman saya yang hendak mempercepat jadwal ritual pernikahan. Di dalam diri teman saya, ruang dan waktu hadir sebagai sesuatu yang universal. Ruang dan waktu yang dialami teman saya yang hendak menikah merupakan representasi dari keberlanjutan ruang dan waktu yang memampukan teman saya untuk mewujudkan relasi antara dia dengan alam dan manusia lainnya sekaligus mewujudkan relasi antara dia dengan dirinya sendiri. Melalui pemahaman demikian, saya melihat adanya keperluan untuk melakukan dilakukan revisi atas definisi ‘C(/c)inta merupakan representasi dari hakikat manusia’ menjadi C(/c)inta merupakan representasi dari kodrat manusia.

Melalui penjabaran demikian, maka teranglah mengapa C(/c)inta bisa bersifat destruktif sekaligus konstruktif. Jawaban atas pilihan destruktif atau konstruktif berkaitan dengan kontinuitas ruang dan waktu saat subjek merepresentasikan C(/c)inta. C(/c)inta yang berada di dalam kontinuitas ruang dan waktu merupakan C(/c)inta yang bersifat konstruktif, sedangkan C(/c)inta yang berada dalam diskontinuitas ruang dan waktu merupakan C(/c)inta yang bersifat destruktif. Namun, posisi pengertian yang demikian bisa menyebabkan saya tergelincir pada sifat mendua C(/c)inta. Bila C(/c)inta hanya dipahami dalam status yang terbelah, maka C(/c)inta selalu punya potensi destruktif. Persoalannya, apakah yang menyebabkan sifat destruktif C(/c)inta bisa muncul? Lalu, mengapa pula potensi C(/c)inta yang konstruktif bisa muncul?

Pembahasan ini saya mulai dari satu kepastian yang berasal dari konsekuensi argumentatif, yakni kemungkinan potensi sifat destruktif atau konstruktif C(/c)inta hanya bisa muncul di dalam ruang dan waktu. Dikarenakan C(/c)inta merupakan representasi dari kodrat manusia, maka subjek pun merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan pemunculan sifat destruktif atau konstruktif C(/c)inta. Mengapa bisa demikian? Potensi C(/c)inta yang bersifat destruktif atau desktruktif di dalam ruang dan waktu, sesungguhnya merujuk pada pengertian ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ yang ada di dalam subjek. Ketika ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ di dalam subjek hadir dalam kondisi ruang dan waktu ‘kini-dan di sini’ di dalam subjek, maka C(/c)inta pun menghadirkan potensi yang dimilikinya, yakni sifat destruktif atau konstruktif. Ketika subjek memutuskan untuk tidak menjalin relasi, maka C(/c)inta pun menghadirkan sifat destruktif. Diskontinuitas ruang dan waktu pun menjadi terpecah. Selain menerima sifat destruktif dari C(/c)inta, subjek pun mengalami keterlemparan dari hakikat subjek sebagai manusia. Subjek tidak lagi menjalani hakikat sebagai manusia yang harus menjalankan relasi antara diri dengan alam dan manusia lainnya sekaligus relasi antara diri dengan diri sendiri. Situasi keterlemparan dari hakikat pun mengakibatkan subjek berada kondisi keterasingan. Dalam kondisi keterasingan, subjek melakukan perenungan untuk melepaskan diri dari kondisi keterasingan. Caranya, tentu saja dengan mengutuhkan kembali relasi yang terpecah. Pengutuhan relasi dilakukan dengan cara menyatukan relasi antara subjek dengan dirinya sendiri serta relasi antara subjek dengan manusia lainnya.

Pada sisi lain, ketika subjek memutuskan untuk tetap menjalin relasi, maka C(/c)inta pun menghadirkan sifat konstruktif. Di dalam ruang dan waktu ‘kini-dan di sini, ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ hadir sebagai ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’. Dalam situasi demikian, kontinuitas ruang dan waktu ‘yang-akan-datang’ tidak mengalami keterpecahan di dalam ruang dan waktu ‘kini dan di sini’.

Penelaahaan fenomena sifat destruktif dan konstruktif dari C(/c)inta pada dasarnya mengarah pada apa sebenarnya yang menjadi kodrat dari C(/c)inta. Sifat destruktif dari C(/c)inta yang menyebabkan subjek kehilangan kodrat sebagai manusia tentulah bukan C(/c)inta. Sedangkan sifat konstruktif dari C(/c)inta menyebabkan subjek berada mengalami keutuhan kodrat sebagai manusia. Pada posisi ini, saya memahami kodrat C(/c)inta sebagai C(/c)inta. C(/c)inta merupakan realitas Yang Absolut. C(/c)inta memampukan subjek mewujudkan hakikatnya yang utuh di dalam kontinuitas ruang dan waktu, yakni keharusan menjalin relasi antara dirinya dengan alam dan manusia lainnya sekaligus keharusan menjalin relasi antara dirinya dengan dirinya sendiri.


C(/c)inta: Realitas Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang

Apa yang memungkinkan C(/c)inta hadir di dalam kehidupan manusia adalah hakikat manusia untuk menjalin relasi. Di dalam C(/c)inta, relasi yang terjalin pada dasarnya mengacu pada relasi di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang. Pada posisi demikian, C(/c)inta sesungguhnya merepresentasikan diri bukan sebagai objek dalam pengertian benda, melainkan sebagai ruang dan waktu. Ruang dan waktu C(/c)inta bukanlah ruang dan waktu yang-kini atau yang-lampau di dalam subjek, melainkan ruang dan waktu yang-akan-datang. Di dalam C(/c)inta, subjek tidak lagi berada dalam kondisi kini-dan disini, melainkan sudah berpindah pada kondisi ruang dan waktu yang-akan-datang. Kalau begitu, apa yang memungkinkan C(/c)inta berada pada kondisi ruang dan waktu yang-akan-datang?

Situasi yang memungkinkan C(/c)inta ada di dalam ruang dan waktu yan-akan-datang berangkat dari keberadaan subjek di dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu, subjek menjalin relasi dengan alam dan manusia lain dalam konteks memahami apa yang ada di luar dirinya. Relasi antara subjek dengan alam dan manusia lain mewujud dalam hubungan Subjek-objek. Di samping menjalin relasi dengan alam dan manusia lain, subjek pun menjalin relasi dengan dirinya sendiri. Relasi antara subjek dengan dirinya mewujud dalam hubungan Subjek-Objek. Dalam perspektif Descartes, hubungan Subjek-Objek inilah yang menghasilkan kesimpulan cogito ergo sum. Hubungan Subjek-Objek menghadirkan situasi penemuan kebenaran yang tidak terbantahkan. Subjek yang berpikir menjadi penentu kebenaran atas eksistensi eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu. Selanjutnya, masih dalam perspektif Descartes, hubungan antara Subjek-objek menjadi wahana penerapan hubungan Subjek-Objek. Hubungan Subjek-Objek menjadi payung utama bagi perwujudan hubungan Subjek-objek. Dalam bentuk pengucapan lain, hubungan Subjek-objek menjadi hubungan (Subjek-Objek)-objek.

Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan representasi dari relasi antara subjek dengan alam dan manusia lain sekaligus relasi antara subjek dengan dirinya sendiri. Melalui hubungan (Subjek-Objek)-objek, sesungguhnya C(/c)inta sudah hadir di dalam diri subjek.

Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan hubungan dari dua entitas yang berbeda dalam dua ruang dan waktu eksistensial yang berbeda pula. Mengapa demikian? Hubungan Subjek-Objek menghasilkan situasi kebenaran eksistensial bagi subjek sendiri. Kebenaran eksistensial dari subjek mengacu pada keberadaan subjek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini. Bila hubungan Subjek-Objek disatukan dengan objek, maka kepastian di dalam objek hanyalah satu saja, yakni keberadaan objek di dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, perwujudan hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan perwujudan hubungan dari dua entitas yang berbeda yang masing-masing berada di dalam ruang dan waktu yang berbeda. (Subjek-Objek) berada di dalam ruang dan waktu eksistensial spesifik, yakni ruang dan waktu kini-di sini; sedangkan objek berada di dalam ruang dan waktu eksistensial umum. Hubungan (Subjek-Objek)-objek merupakan hubungan yang bersifat mengkooptasi objek melalui klaim kepemilikan, dikarenakan (Subjek-Objek) memaksakan objek yang berada di dalam ruang dan waktu umum untuk masuk ke dalam ruang dan waktu kini-di sini. Dominasi (Subjek-Objek) atas objek menjadi dasar bagi terwujudnya hubungan (Subjek-Objek)-objek.

Dalam konteks hubungan (Subjek-Objek)-objek, kehadiran objek bersifat pasif. Sifat pasif di dalam objek sesungguhnya bukanlah sifat yang benar-benar pasif yang menerima segala perlakuan (Subjek-Objek). Sifat pasif objek lebih mengacu pada pemaknaan sifat tanpa penolakan aktif. Jadi, sifat pasif objek pada dasarnya berpijak pada sifat penolakan yang dilakukan secara pasif. Kepasifan objek di hadapan (Subjek-Objek) sesungguhnya berakar dari ketercerabutan objek dari keberadaan objek pada ruang dan waktu eksistensial umum. Kondisi ketercerabutan objek dari ruang dan waktu eksistensial umum memampukan (Subjek-Objek) memasukkan objek ke dalam ruang dan waktu eksistensial spesifik dari (Subjek-Objek). Karena ruang dan waktu eksistensial objek merupakan sesuatu yang melekat pada objek, maka pada suatu saat keberadaan ruang dan waktu eksistensial objek bakal muncul di hadapan (Subjek-Objek). Kemunculan ruang dan waktu eksistensial objek di hadapan (Subjek-Objek) merupakan perwujudan dari tanpa penolakan aktif (baca: perlawanan pasif) objek atas dominasi (Subjek-Objek). Di hadapan (Subjek-Objek), perlawanan pasif selalu dihadirkan objek. Namun, (Subjek-Objek) berhasil meredam perlawanan pasif objek dengan menggunakan kekuatan dominasi yang dimiliki.

Perlawanan pasif objek ibarat setetes air yang terus-menerus jatuh pada sebuah batu. Akibat tetesan air yang terus-menerus, permukaan batu yang diteteskan pun bakal mengalami perubahan bentuk. Kiranya, perlawanan pasif dari objek terhadap dominasi (Subjek-Objek) ibarat tetesan air yang menghantam permukaan batu secara terus-menerus. Akibat perlawanan pasif objek, (Subjek-Objek) mengalami perubahan bentuk yang berujung pada kehancuran dari klaim kepemilikan (Subjek-Objek) atas objek. Runtuhnya klaim kepemilikan (Subjek-Objek) atas objek menyebabkan perubahan hubungan dari hubungan (Subjek-Objek)-objek menjadi hubungan (Subjek-Objek)-objek. Dalam konteks C(/c)inta, perubahan demikian berdampak pada perubahan C(/c)inta menjadi C(/c)inta. Perubahan hubungan (Subjek-Objek)-objek menjadi hubungan hubungan (Subjek-Objek)-objek mengakibat relasi subjek tidak lagi utuh. Meski begitu, kondisi demikian tidak mengakibat eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu tidak hilang atau hancur lebur. Eksistensi subjek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini masih mewujud dalam relasi subjek dengan dirinya sendiri, dalam hubungan Subjek-Objek. Saya pikir, teman saya yang patah hati mengalami hubungan (Subjek-Objek)-objek. Situasi kesendirian dan kehilangan yang dialami teman saya yang patah hati dikarenakan keterpisahan dia dengan keharusan menjalin relasi dengan alam dan manusia lain dan kehilangan dia atas klaim kepemilikan atas objek.

Kemungkinan C(/c)inta hadir di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang dikarenakan hubungan dari relasi subjek. Subjek memiliki potensi menjalin hubungan Subjek-Objek, (Subjek-Objek)-objek/objek, atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). C(/c)inta hadir ketika subjek mengaktualisasikan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek), atau dengan kata lain: objek mengaktualisasikan kualitas (Subjek-Objek) di dalam dirinya. Kehadiran objek dalam kualitas Subjek-Objek berangkat dari kemampuan objek sendiri untuk meningkatkan kualitas dari ruang dan waktu eksistensial umum menjadi ruang dan waktu eksistensial spesifik. Atau, kualitas Subjek-Objek dari objek dimunculkan melalui tindakan subjek yang memandang objek tidak semata-mata sebagai objek yang tak memiliki ruang dan waktu eksistensial, melainkan dengan cara memandang objek sebagai sesuatu yang memiliki potensi aktualitas ruang dan waktu eksistensial spesifik. Perubahan objek menjadi kualitas Subjek-Objek, melalui kemampuan objek sendiri atau tindakan subjek, tentu berdampak pada perubahan ruang dan waktu di dalam subjek dan objek. Seturut dengan perubahan objek menjadi kualitas Subjek-Objek, maka hubungan Subjek-Objek di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini juga mengalami perubahan kualitas menjadi ruang dan waktu yang-akan-datang. Ruang dan waktu kini-dan di sini mengalami proses dialektika menjadi ruang dan waktu yang-akan-datang.

Dalam situasi ruang dan waktu yang-akan-datang, keterasingan potensial subjek yang timbul dari hubungan (Subjek-Objek)-objek hilang dengan sendirinya. Subjek, dalam pengertian individu, memperoleh kebebasan aktual merealisasikan segala kodrat yang ada di dalam, yakni menjalin relasi antara dirinya dengan dengan alam dan manusia lain sekaligus menjalin relasi antara dirinya dengan dirinya sendiri. Perwujudan dari hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) merupakan repersentasi dari subjek/objek menuju dan masuk ke dalam ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka, C(/c)inta pun hadir ketika hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) mewujud. Di dalam ruang dan waktu yang-akan-datang, setiap subjek/objek mengaksentuasikan hakikat di dalam dirinya masing-masing. Relasi yang bersifat partikular dan kebetulan antara subjek dengan objek mengalami perubahan menjadi relasi universal antara subjek/objek dengan subjek/objek. Di dalam C(/c)inta yang merupakan realitas ruang dan waktu yang-akan-datang, hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) merupakan hubungan dari dua entitas yang berbeda dengan dalam ruang dan waktu yang sama. Dengan demikian teranglah bahwasanya C(/c)inta tidak lagi merujuk pada situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan disini, melainkan situasional eksitensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Bagi subjek/objek, C(/c)inta merupakan orientasi subjek/objek untuk melampaui situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Bila subjek sudah mewujudkan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek), maka C(/c)inta berada dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang, bisa mewujud utuh di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini. Karena itu, kehadiran C(/c)inta di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi C(/c)inta sangat bergantung kepada modus subjek mewujudkan hubungan, apakah berbentuk (Subjek-Objek)-objek/objek atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek).


Cinta, Realisasi Pengalaman Eksistensial Subjek

C(/c)inta merupakan realitas pengalaman eksistensial subjek yang mengacu pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Apa yang menjadi esensi dari pengalaman eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang adalah hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). Selanjutnya, pengalaman eksistensial yang beresensikan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) diwujudkan subjek melalui pengalaman eksistensial subjek yang berada di dalam ruang dan waktu kini-dan di sini. Pada saat perwujudan itulah, C(/c)inta hadir menjadi sebentuk proyeksi dari hakikat manusia yang harus menjalin relasi.

‘Penyatuan’ relasi keterpecahan antara manusia dengan alam dan manusia lainnya, serta relasi keterpecahan antara manusia dengan dirinya sendiri menjadi relasi utuh antara manusia dengan alam dan manusia lain sekaligus antara manusia dengan dirinya sendiri hanya dimungkinkan ketika manusia mengutuhkan pemahaman dirinya atas relasi dia dengan dunia di luar dia sekaligus dunia di dalam dia dalam Akal Budi yang Berdialektika. Hegel mendeklarasi pola pendekatan demikian sebagai apa yang rasional adalah riil, dan apa yang riil adalah rasional.

Subjek yang mempergunakan Akal Budi yang Berdialektika mampu menembus situasional keterpecahan relasi dengan cara mengutuhkan relasi antara subjek dengan dunia di luar subjek sekaligus relasi antara subjek dengan dunia di dalam subjek. Ada hal yang menarik untuk dicermati, bila kemungkinan perwujudan ‘relasi’ berakar pada keberadaan atau eksistensi manusia pada ruang dan waktu, lalu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara ruang dan waktu keberadaan manusia dengan ruang dan waktu C(/c)inta?

Sesungguhnya, ruang dan waktu yang-akan-datang ada di dalam ruang dan waktu keberadaan atau eksistensial manusia. Karena itu, perlu dilakukan revisi penyebutan verbal-visual atas ruang dan waktu keberadaan atau eksistensial manusia menjadi Ruang dan Waktu. Di dalam Ruang dan Waktu, subjek menghidupkan pengalaman eksistensial subjek personal yang mengacu pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Ruang dan Waktu menjadi wahana bagi subjek untuk mewujudkan potensialitas yang terkandung di dalam ruang dan waktu eksistensial yang bisa bersifat yang-lampau dan di sana, yang kini-dan di sini, serta yang-akan-datang. Dalam konteks yang begini, relasi subjek dengan C(/c)inta merupakan situasi keterarahan eksistensial subjek pada yang-akan-datang. Pada posisi ini, subjek sesungguhnya sudah melampaui dirinya sendiri. Kematian yang bakal dialami manusia bukan lagi dianggap sebagai keterbatasan subjek yang berada di dalam Ruang dan Waktu.

Ruang dan Waktu memang menyediakan potensi aktualitas kematian bagi subjek yang hidup di dalamnya. Namun, subjek yang sudah mentransendensikan diri tidak lagi mengacu pada realitas eksistensial kematian yang bersifat kini-dan di sini. Kehendak Sokrates untuk tetap meminum racun merupakan representasi dari pengabaian-sadar Sokrates pada realitas eksistensial kematian yang bersifat kini-dan di sini. Sokrates, menurut saya, tidak meragukan adanya kematian yang bersifat kini-dan di sini. Meski begitu, Sokrates lebih memilih untuk tetap mengarahkan orientasi eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Atau dengan kata lain, Sokrates memandang realitas eksistensial kini-dan di sini merupakan penghambat bagi perwujudan situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Pengabaian-sadar Sokrates untuk tetap meminum racun merupakan representasi keterikatan eksistensial Sokrates pada ruang dan waktu yang-akan-datang.

Di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang, subjek personal melepaskan situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini. Pada posisi demikian, keterikatan eksistensial subjek pada ruang dan waktu kini-dan di sini serta keterikatan eksistensial subjek pada ruang dan waktu yang-akan-datang merupakan keterikatan yang partikular. Mengapa bisa demikian? Situasional keterikatan eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, juga situasional keterikatan eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang berada dibawah naungan Ruang dan Waktu. Realitas dari situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, juga realitas dari situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang, merupakan representasi dari realitas relasi subjek dengan Ruang dan Waktu. Pencapaian universalitas dari keterikatan eksistensial ruang dan waktu subjek personal terjadi ketika situasional eksistensial subjek personal berubah menjadi situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang merupakan perwujudan dari relasi subjek pada Ruang dan Waktu yang utuh, yang berasal dari modus keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu lampau-dan di sana, keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu kini-dan di sini, serta keterikatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka, Ruang dan Waktu sebagai dasar keberadaan manusia juga berperan sebagai wahana bagi subjek personal untuk mengalami keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang.

Di dalam konteks agama, Yang-Akan-Datang merupakan wahana bagi manusia bertemu dengan Sang Khalik, Pencipta Segala Ada di Dunia. Subjek personal mengalami pertemuan dengan dengan Tuhan di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu Yang-Akan-Datang, C(/c)inta tidak lagi hadir sebagai C(/c)inta, melainkan sudah menjadi Cinta. Melalui penjelasan demikianlah, saya memahami Manusia sebagai mahluk hidup yang sadar bahwa ia harus berhadapan dengan satu pilihan, yakni Cinta-dan Kejeniusan!


Cinta, Realitas Perjumpaan Metafisis

Pada awalnya, Cinta hadir di dalam diri subjek personal di dalam batin, perasaan, hati. Keberlanjutan upaya di dalam diri subjek personal yang mengalami keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu kini-dan di sini untuk mewujudkan keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang berlangsung memulai langkah dari dalam hati subjek personal.

Karena itu, ungkapan ‘I love you’ atau ‘Aku cinta kamu’ yang diucapkan satu subjek personal kepada subjek personal lain merupakan proyeksi subjek personal untuk mengubah keterikatan situasional eksistensial ruang dan waktu kini-dan di sini menjadi keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang. Maka teranglah bahwasanya perbuatan mencinta atau mencintai bukanlah perbuatan subjek personal untuk menguasai subjek personal lain, melainkan pengajuan tawaran subjek personal yang-satu kepada subjek personal yang-lain untuk memasuki situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang sekaligus melepas keterikatan situasional eksistensial pada ruang dan waktu kini-dan di sini di dalam diri masing-masing subjek personal. Di dalam C(/c)inta, dua subjek personal yang merupakan dua entitas yang berbeda hidup dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang sama, yakni yang-akan-datang.

Meski C(/c)inta merupakan konsensus metafisis antara dua subjek personal, C(/c)inta bukanlah sesuatu yang ekslusif bagi subjek personal yang-lain-lagi. Karena C(/c)inta merupakan realitas dari ruang dan waktu yang-akan-datang, maka sesungguhnya subjek personal yang-lain-lagi bisa masuk ke dalam ruang dan waktu yang-akan-datang asalkan subjek personal yang-lain-lagi sudah mewujudkan hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek) di dalam dirinya. Dalam konteks yang seperti inilah, saya memahami mengapa teman saya tidak merasa campur tangan para kerabatnya untuk mempercepat jadwal pernikahan sebagai representasi dominasi para kerabat atas dirinya. Dalam konteks ini, C(/c)inta merupakan wahana pertemuan metafisis bagi subjek apa pun membangun sesuatu ke arah yang lebih baik. Bila teman saya menikah dan memiliki anak, maka C(/c)inta semakin mengukuhkan diri sebagai wahana yang memungkin siapa saja hidup dan berkembang di dalamnya.

Selanjutnya, dalam konteks C(/c)inta sebagai realitas ruang dan waktu yang-akan-datang juga menyimpan potensi aktualitas ruang dan waktu Yang-Akan-Datang. Ketika dua subjek personal berada di dalam C(/c)inta, maka sesungguhnya Sang Khalik pun hadir bersama-sama dengan mereka di dalam situasional eksistensial ruang dan waktu yang-akan-datang. Tiap-tiap subjek personal di dalam C(/c)inta bisa mengetahui dan menyadari keberadaan Sang Khalik ketika tiap-tiap subjek personal terus-menerus berupaya menghilangkan variabel (/c) yang melekat pada C(/c)inta hingga menghasilkan Cinta. Penghilangan variabel (/c) yang melekat pada C(/c)inta dilakukan dengan mentransendensikan keterlibatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu yang-akan-datang menjadi keterlibatan situasional eksistensial subjek personal pada ruang dan waktu Yang-Akan-Datang.

Di dalam ruang dan waktu Yang-Akan-Datang, di dalam Cinta, manusia mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Mengapa hanya terjadi perjumpaan metafisik antara subjek personal dengan Sang Khalik, tidak sampai pada perjumpaan fisik? Jawaban ini sesungguhnya berasal pada realitas hubungan Sang Khalik dengan manusia. Dalam modus yang bagaimanakah Sang Khalik mewujudkan hubungan-Nya dengan manusia? Apakah dalam hubungan (Subjek-Objek)-objek/objek atau (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek)? Pada posisi ini, saya hanya bisa memahami C(/c)inta merupakan wahana bagi Sang Khalik hadir di dalam diri manusia ketika manusia sudah mengutuhkan hakikat kemanusiaan dengan membangun hubungan (Subjek-Objek)-(Subjek-Objek). Selanjutnya, keterikatan pada situasional eksistensial pada ruang dan waktu yang-akan-datang, pada C(/c)inta, seharusnya menjadi subjek personal untuk terus-menerus berupaya, meski tidak membuahkan hasil permanen, untuk menghadirkan situasional eksistensial Yang-Akan-Datang, Cinta, agar mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Perjumpaan metafisis bersifat seketika. Di dalam momen keseketikaan itulah subjek personal mengalami perjumpaan metafisis dengan Sang Khalik. Dalam salah satu sajaknya yang berjudul ‘Padamu Jua’, Amir Hamzah membunyikan pengertian demikian dalam larik sajak: mangsa aku dalam cakarmu / bertukar tangkap dengan lepas. Dalam tingkatan yang paling sederhana, Sang Khalik menyatakan Diri di dalam hati manusia melalui suara, panggilan untuk berjumpa; dan panggilan untuk berjumpa adalah representasi dari perjumpaan metafisis.

Terakhir, sebagai penutup risalah Cinta: Ruang dan Waktu Yang-Akan-Datang, saya tuliskan kembali petuah filosof religius Perancis Blaise Pascal, “We know the truth, not only by the reason, but also by the heart.

April 2008

SPEKULASI PEMBACAAN EKPLORATIF ATAS TUBUH TEKSTUAL KATRIN


1.
Apakah, pada dasarnya, manusia membutuhkan metafora? Melirik pada kredo Sutardji Calzoum Bahri, kebutuhan manusia akan metafora adalah mutlak. Semacam fitrah malah. Sebab: Pada mulanya adalah Kata. Dan dalam mengolah puisi hingga menjadi sajak, Sutardji menjadikan dirinya umpan bagi ikan kata-kata. Apa yang terbaca adalah eksplorasi ketelanjangan personal, hasrat menjadi umpan.
Meski metafora adalah kebutuhan mutlak manusia dari spekulasi pemikiran Sutardji Calzoum Bahri, saya melihat ada sebentuk kronologis yang berperan membiaskan kategori kemutlakan tersebut. Pembiasan atas konsep Sutardji dilakukan dengan cara pengosongan makna. Metafora mengalami pengosongan makna hingga menjadi hiperbola kosong yang bersifat sensual belaka, sekadar dilihat dan langsung dilupakan. Kondisi demikian memang lumrah, sebab pengosongan makna hanya bisa dicapai dengan cara menghapus ingatan, pelupaan atau melupakan.
Persoalannya, sebagai apakah metafora itu dipahami? Apakah metafora hanya klaim ranah sastra? Atau, metafora juga hadir dalam cakrawala ilmu pengetahuan, juga filsafat? Lebih tajam lagi, apakah buku-buku tekstual, buku-buku kategori sastra, menara-menara pencakar langit, busana, televisi, telepon genggam, tanda baca, hingga nasi gulai, tempe, ikan asin, rasa lapar merupakan perwujudan dari metafora? Bila metafora adalah kebutuhan mutlak manusia, maka segala apa-yang-terwujud sepanjang apa-yang-terwujud merupakan kebutuhan mutlak subjek-manusia-personal, itu adalah metafora.
Selanjutnya, persoalan semakin pelik ketika bias berupa pengosongan makna terjadi. Individu mengintervensi metafora dengan suatu cara hingga terjadi pengosongan makna, individu menghadirkan situasi pelupaan atas metafora. Dalam bahasa yang santun serta bersahabat, pelupaan menjadi upaya pemisahan antara ilusi dan realitas di dalam suatu objek (thing). Subjek mengintervensi objek, baik melalui subjektifitas atau objektifitas, untuk selanjutnya menentukan mana yang ilusi dan mana yang realitas di dalam objek. Apa yang bagi subjek merupakan realitas itulah yang dibahas, sedang apa yang merupakan ilusi disingkirkan. Inilah yang saya sebut situasi pelupaan, situasi yang masih menyimpan dilema di dalam dirinya sendiri dikarenakan kehadiran potensialitas kekeliruan dari finalitas justifikasi yang-ini-di dalam-objek adalah ilusi dan yang-itu-di dalam-objek adalah realitas. Tetapi, sekalipun subjek mengimplan situasi pelupaan atas metafora yang berujung pada pengosongan makna, perbuatan subjek sepenuhnya diarahkan pada hasrat untuk memahami objek, atau dalam ungkapan filosofis: Mencari dan Menemukan Kebenaran.

2.
Dari pemahaman yang demikian, saya membahas tubuh tekstual Katrin. Karena itu ‘tubuh tekstual Katrin’ adalah metafora di hadapan saya. Dan, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari keharusan menghadirkan situasi pelupaan atas metafora ‘tubuh tekstual Katrin’ dengan selalu tetap menyimpan kesadaran di dalam batin bahwasanya apa yang tengah dihadirkan ‘tubuh tekstual Katrin’ adalah representasi dari hasrat Katrin memahami objek.
Apa yang saya nyatakan sebagai ‘tubuh tekstual Katrin’ berasal dari dua tulisan Katrin Bandel, 1) Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, yang hadir di dalam buku Sastra, Seks, Perempuan terbitan Jalasutra, 2006, dan 2) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK.
Sepanjang pembacaan saya atas tubuh tekstual Katrin yang mengejawantahkan diri pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, saya melihat aspek penganalisaan produk sastra diverbalkan dalam bahasa ‘pencarian ambivalensi’. ‘Pencarian ambivalensi’ menjadi semacam asumsi tubuh tekstual Katrin Bandel pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami. Menghadapi asumsi demikian, saya mencurigai ada motif-motif ilmiah terselubung dari Katrin seturut dengan kajian kritik sastra yang hendak dia ajukan sebagai premis tunggal-partikular yang-lain atas pembacaan novel Saman/Larung.
Dalam khasanah kritik sastra, pengetahuan elementer kritik sastra mendasarkan diri pada empat pendekatan, yakni 1) biografis, 2) struktural, 3) mimesis, dan 4) ekspresionisme pembaca yang tenar karena slogan Roland Barthes: Pengarang sudah mati. Dari pola baku demikian, saya melihat kepiawaian Katrin mengelaborasi konsep kritik empat-pilar demikian menjadi satu keutuhan tak terbantahkan dengan kecenderungan kritik yang bertendensi pada kajian strukturalis. Namun kajian kritik strukturalis Katrin dibarengi dengan pendekatan poststrukturalis. Inilah yang menyebabkan ‘pencarian ambivalensi’ menjadi masuk akal di dalam benak saya.
Di dalam novel Saman/Larung, Katrin memainkan situasi pelupaan agar kehendak dia untuk menemukan kebenaran dalam pengertian ‘ambivalensi’ mendapatkan hasil. Ternyata, situasi pelupaan demikian memang membuahkan hasil seturut dengan argumentasi yang koheren serta konsisten di dalam Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami. Uniknya, pelacakan ambivalensi itu digapai dengan pengandaian realitas lain di luar-konteks-novel Saman/Larung. Atau dengan kata lain, struktur novel Saman/Larung diperhadapkan Katrin dengan kenyataan (dan dalam kajian kritik, mendekati produk sastra dengan menggunakan struktur kenyataan disebut sebagai mimesis). Strategi pengelolaan situasi pelupaan yang begitu memampukan Katrin untuk menemukan ambivalensi yang berasal dari kerja menghadirkan pengandaian di luar konteks-novel Saman/Larung. Heteronormatifitas dan falosentrisme pun muncul sebagai dampak pembacaan Katrin yang mengadopsi pendekatan poststrukturalis.
Di saat novel Saman/Larung hendak menegaskan penyimpangan ekspresi seksual dari heteroseksual menjadi homoseksual karena suatu sebab, Katrin meradikalkan upaya ‘menegaskan penyimpangan ekspresi seksual’ menjadi afirmasi kiblat afirmasi posisi ideologis novel Saman/Larung, bahkan hingga merasuk pada posisi ideologis feminisme (?) Ayu Utami. Dengan kata lain, Katrin membaca novel Saman/Larung sebagai afirmasi feminisme yang berpijak pada homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme. Dan pada titik inilah situasi pelupaan muncul disebabkan produk sastra dihadapi dengan prasangka, yang selanjutnya saya sebut sebagai: sebentuk a priori.
Apa terjadi sesungguhnya atas tubuh tekstual Katrin pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami adalah pencangkokan kehendak ideologis homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme dari Katrin atas novel Saman/Larung. Saya membayangkan, ketika ‘tendensi’ ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme novel Saman/Larung menjadi sebentuk a priori di dalam benak Katrin, kemudian Katrin membaca novel Saman/Larung dan menemukan ambivalensi dikarenakan benturan antara sebentuk a priori dengan sebentuk aposteriori. Menariknya, dari mana Katrin memperoleh sebentuk a priori yang berupa ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme? Saya pikir, sebentuk a priori itu hadir di dalam benak Katrin karena reproduksi represifitas kajian kritik yang menempatkan novel Saman/Larung dalam kotak afirmasi paradigma feminisme. Lalu mengapa saya berani menyimpulkan demikian. Ada secuil fakta yang memberanikan saya mengambil kesimpulan demikian, fakta yang berasal dari pengakuan sadar di dalam tubuh tekstual Katrin, yakni Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’. Di dalam tubuh tekstual Katrin Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, saya menemukan fakta bahwa Katrin Bandel memiliki novel Saman edisi ke-15, Agustus 2000. Menilik rangkaian kronologis, novel Saman merupakan pemenang pertama sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998. Rentang waktu dua tahun, ditambah ‘edisi ke-15’ bisa menyampaikan pesan implisit bahwasanya novel tersebut sudah melahirkan banyak kajian kritik atas dirinya sendiri hingga menegaskan kehadiran afirmasi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme sebagai makna di dalam novel Saman. Kronologis demikian bersama dengan afirmasi ideologi yang terkandung di dalam novel Saman bermetamorfosis menjadi sebentuk a priori di dalam benak Katrin Bandel. Dan, Katrin mendobrak tatanan a priori afirmasi ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme yang bersifat represif itu dengan menganalisa habis-habisan novel Saman/Larung dengan sebentuk aposteriori hingga menghasilkan strategi pembacaan ‘pencarian ambivalensi’. Ekspresi aposteriori mengalahkan dominasi represi a priori. Di dalam tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, Katrin menemukan bahwa sebentuk a priori afirmasi ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme adalah ilusi atas novel Saman/Larung. Sebabnya, tentu saja dikarenakan Katrin Bandel menemukan novel Saman/Larung sesungguhnya mengandung penegasan atas ideologi heteroseksualitas dan falosentrisme. Dengan kata lain, novel Saman/Larung bukanlah novel yang punya paradigma feminisme, lebih tajam lagi: Ayu Utami bukanlah pengarang yang punya paradigma feminisme.
Di dalam pemahaman demikian, tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami merupakan gugatan atas tatanan mapan pembacaan novel Saman/Larung yang kadung dihadapi sebagai novel yang mengandung paradigma feminisme. Tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, menurut saya, menghadirkan spektrum kajian kritik yang-lain atas novel Saman/Larung. Upaya Katrin Bandel yang begitu cukup cantik untuk menyingkap tirai dominasi kajian kritik yang lebih cenderung memapankan afirmasi bahwasanya novel Saman/Larung punya kandungan paradigma feminisme. Selain itu, saya mendeteksi ada juga secuil niatan Katrin Bandel untuk mengambil peran sebagai penjaga nilai-nilai feminisme sebagaimana yang diwujudkan Katrin Bandel dalam serangkaian kalimat di paragrap 17 Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami: ‘Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya, saya mengharapkan mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme’. Saya mengalih-bahasakan pernyataan demikian dengan bahasa yang lebih lugas: Seks tanpa kenikmatan! Saya menduga, representasi fisikal ideologi feminisme di dalam produk sastra yang mengandung paradigma feminis yang ada di dalam benak Katrin Bandel adalah kehadiran seks tanpa kenikmatan. Di dalam novel Saman/Larung, Katrin menemukan seks menghasilkan kenikmatan, dan yang begitu itu masih di dalam paradigma falosentrisme dengan varian baru berupa heteronormatifitas. Dengan demikian, setidaknya tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami membuka cakrawala baru bagi pengarang, khususnya “pengarang perempuan” (“pengarang perempuan” merupakan reproduksi frasa-teksual yang saya lakukan, yang berasal dari paragrap 1 Pengantar Penulis pada buku Sastra, Perempuan, Seks terbitan Jalasutra, 2006), untuk menetaskan naskah yang memuat situasi ‘seks tanpa kenikmatan’.

3.
Selanjutnya, menyikapi tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK, lagi-lagi saya menemukan situasi pelupaan yang-lain. Persoalan, tepatnya kajian kritik, tentang novel Saman/Larung berpindah lokus. Persoalannya bukan lagi merujuk pada reproduksi kandungan novel Saman, melainkan berpindah pada lokus reproduksi fisikal objektif novel Saman dengan beragam panorama yang ada di balik proses itu Pusat perhatian bukanlah pada produk sastra, melainkan pada reproduksi produk sastra yang didominasi oleh politik. Realitas sastra direduksi menjadi masalah politik sastra, lebih tajam lagi: realitas sastra direduksi menjadi realitas reproduksi produk sastra. Beginilah situasi pelupaan yang terjadi.
Bermain dalam ranah politik, kehendak kuasa bakal mendominasi setiap personal yang berkubang dalam arena pertarungan politik. Maka, Katrin Bandel sebagai personal yang melibatkan diri dalam arena pertarungan politik pun harus mengikuti kodrat politik, sebentuk kodrat yang mewajibkan setiap personal mengadopsi karakter heroik. Dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK berceceran informasi-informasi yang disusun menjadi serangkaian argumentasi yang nyaris-koheren serta nyaris-konsisten di dalam selimut perlindungan cara berpikir rasional-spekulatif.
Karakter heroik yang demikian pastilah karakter heroik yang membutuhkan eksistensi ‘mereka yang lemah dan teraniaya’. Dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK, ‘mereka yang lemah dan teraniaya’ hadir sebagai ‘Indonesia’ dan ‘…—bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian?’ (kutipan dari kalimat terakhir paragrap 21 Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’). Situasi pelupaan realitas sastra menjadikan Katrin seperti sosok pahlawan dalam komik kanak-kanak. Mengapa saya berpendapat demikian? Menurut saya, produk sastra itu ibarat intan. Karena itu, reproduksi produk sastra bergantung pada keintanan dari produk sastra itu sendiri. Reproduksi produk sastra yang ditujukan untuk menambah kadar keintanan di dalam produk sastra, menurut saya, tak ubahnya dengan upaya menegakkan benang basah. Maka, kerja membahas politik sastra adalah kerja yang menghadirkan ilusi atas realitas sastra. Saya tidak tahu entah dari mana kerja sia-sia begini bisa masuk dan merambah dunia sastra. Adalah lebih baik, menurut saya, apabila kerja menentukan kadar keintanan produk sastra atau suatu produk sastra lebih dikedepankan daripada menghabiskan uang untuk memperdalam persoalan politik sastra.
Tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK berkutat pada masalah pencapaian prestise internasional Ayu Utami yang dipenuhi aspek-aspek ilutif. Uniknya, pembahasan pencapaian itu dilakukan dengan mengedepankan informasi yang diperoleh. Informasi yang diperoleh, secara radikal diubah menjadi fakta yang bersifat taken for granted oleh Katrin Bandel. Saya merasa ada semacam perjudian personal dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK yang harus mendapat pengujian, seturut dengan ekspresi tekstual Katrin, dari ‘sejarah’.
Dalam perjudian yang penuh aura sensitifitas begini, saya menyatakan bahwa saya tidak berpihak pada kubu KUK atau pada kutub-kutub sastra yang ada di Indonesia, atau malah di dunia. Informasi yang sudah sampai pada tingkat kesimpulan dalam tubuh tekstual Katrin Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’ perlu diragukan. Apakah benar pidato yang diucapkan Ayu Utami saat menerima penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000 ditulis oleh Goenawan Mohamad? Setahu saya, di Amerika Serikat sudah ditemukan program komputer yang ditujukan untuk melacak siapa penulis suatu teks. Yang saya tidak tahu, apakah program komputer yang demikian mampu melacak penulis suatu teks hanya bermodalkan 71 kata, sebagaimana kutipan atas tekstual pidato yang direproduksi Katrin Bandel dalam Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’. Sebagai informasi, Donald Foster, pengajar di Vassar College di Poughkeepsie, New York, Amerika Serikat, berhasil menentukan siapa penulis anonim novel Primary Colors yang terbit pada tahun 1996 dengan bantuan program komputer. Berdasarkan program komputer tersebut, Foster menyimpulkan bahwa Joe Klein sebagai penulis novel Primary Colors; dan Joe Klein pun mengakui bahwa dirinya adalah penulis novel Primary Colors.* Mungkin, produk program komputer Donald Foster bisa dipergunakan untuk melacak siapakah sebenarnya penulis pidato yang dibacakan Ayu Utami pada saat menerima penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000? Benarkah pidato itu ditulis oleh Goenawan Mohamad atau Ayu Utami atau malah orang lain?
Di sisi lain, saya pun hendak mengajukan gugatan atas ‘ambivalensi’ Katrin Bandel dengan mengungkap informasi Ayu Utami meraih penghargaan Prince Claus Award pada 2000 pada Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’ dengan informasi ‘…KUK menjadi Network Media Partner Prince Claus Fund dari tahun 2004 sampai 2007, dan menerima dana sebesar 163.746 Euro selama 3 tahun tersebut.’ pada Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK. Saya melihat dua informasi melahirkan dua konteks yang berbeda yang saling lepas. Karena itu, tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK menjadi rapuh, untuk tidak mengatakan lentur-berantakan bila dibandingkan dengan tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami

4.
Dalam setiap pembacaan dan penulisan, menurut saya, situasi pelupaan merupakan situasi yang melekat di dalam subjek. Hasrat mengelupas ilusi dari realitas menjadi ambisi utama dari setiap kerja membaca dan menulis. Pengosongan makna untuk memperoleh keutuhan makna (baca: Kebenaran) menjadi hal yang sulit dielakkan. Ada tepatnya juga bila Sutardji Calzoum Bahri mengafirmasi strategi menghasilkan teks dengan cara menjadikan dirinya sendiri sebagai umpan bagi kata-kata. Umpan yang saya maknai sebagai ketelanjangan, dan apa yang saya maksud dengan ketelanjangan bisa dimaknai beragam oleh siapa pun yang ingin memaknai ketelanjangan tersebut. Tentunya dengan tidak melupakan ketelanjangan sebagai hasrat eksplorasi, hasrat untuk menemukan!

April 2008


*: adaptasi dari artikel ‘Marrying Hihg-Tech and The Humanities’ yang ditulis Michael Dirda, peraih Pulitzer Prize pada 1993 untuk kategori kritik dan merupakan penulis sekaligus editor Washington Post Book World.
POSTULAT ILUSI: MIMPI YANG MEMBUNGKUS REALITAS


Kecatatan adalah afirmasi. Deklarasi. Proklamasi atas realitas alias kenyataan. Dalam pengucapan yang lebih keren dan beraroma filosofis bisalah dikata: Justifikasi subjek atas objek. Dan yang menjadi objek dalam konteks begini adalah realitas internal subjek plus realitas eksternal subjek. Maka, kehadiran afirmasi kecatatan merupakan representasi fisikal kesadaran. Tradisi psikoanalisa Freudian meradikal ‘kesadaran’ menjadi variabel alam-sadar pikiran manusia.

Problem kecacatan bakal beroleh aksentuasi berbeda bila kecacatan bukan lagi afirmasi, melainkan keinginan subjek. Kesadaran ‘justifikasi subjek atas objek’ berubah menjadi keinginan subjek. Maka, manusia-super ala Sabda Zarathustra hanya bualan kosong dari seorang filosof bernama: Nietzche. Dampak paling parah, trauma tidak lagi menakutkan dan patut dihindari atau diselesaikan, melainkan hadir sebagai candu. Lagi-lagi, mengacu tradisi psikoanalisa Freudian, alam-bawah-sadar pikiran harus mendapat porsi ekspresi mutlak dalam keseharian. Maka, keinginan untuk cacat pun hadir sebagai reprentasi pragmatik Prinsip Kesenangan id pada semesta manusia dewasa. Alhasil, keinginan untuk cacat merupakan standar etik paling ultima dalam eksistensi manusia.

Proposal postulasi demikian kelihatannya bisa menjadi sarana alternatif memahami gejolak jaman di saat sekarang. Hasrat euforia global-hedonis telah menggejala di mana-mana. Global yang abstrak sudah berhasil mewujud dalam lingkup kelokalan menjadi yang spesifik dan nyata. Andy Warhol meneriakkan slogan: Seperapat jam buat tenar! Dan informasi adalah kanal bagi cita-cita demikian. Informasi yang harus dimaknai sebagai kehadiran media massa dalam peradaban kontemporer.


Dreams Absolutely Truth menjadi Dreams (Will) Come True
Semenjak citra menguasai realitas, ilusi menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai yang tak terbantahkan. Mengingkari ilusi berarti tidak menghargai mimpi. Padahal, di jaman kontemporer, mimpi merupakan patokan norma agar subjek bisa meraih kebahagiaan. Dreams come true. Realitas dan ilusi sudah menyatu. Karena itu, apa yang disebut realitas adalah ilusi, dan apa yang disebut ilusi adalah realitas. Apabila gagasan demikian diradikalkan lagi, muncul premis: Segala adalah ilusi. Merujuk pada tradisi psikoanalisa Freudian, bisa diajukan tafsir baru atas ilusi, yakni: realitas dalam konteks mimpi. Dan yang menjadi locus de-licti mimpi adalah kondisi ketiduran.

Di dalam semesta mimpi, tentu tidak ada kematian mutlak. Perasaan takut subjek di dalam mimpi, hingga kematian subjek di dalam mimpi, merupakan sebentuk kepahlawan personal yang tak bakal padam. Di dalam semesta mimpi, prinsip kesenangan alam-bawah-sadar yang didominasi id pun mendapat batu pijakan yang kokoh: Dreams Absolutely Truth(!). Maka, ketika subjek bangun atau terbangun dari tidur, Dreams Absolutely Truth menjadi semacam ekspektasi subjek yang diverbalkan di dalam ungkapan Dreams (Will) Come True. Dan di jaman kontemporer, will (baca: keinginan) menjadi spirit utama manusia kekinian menghadapi kenyataan eksternal-personal yang problematik. Pada tingkat elementer, perwujudan keinginan dilakukan subjek dengan melekatkan ilusi pada realitas. Perbuatan subjek melekatkan ilusi pada realitas tidak bisa digugat realitas secara fisikal. Realitas hanya bisa pasrah, mungkin sembari menyimpan dendam, ketika realitas berbagi tempat dengan ilusi yang dilekatkan subjek.

Bagi subjek yang sudah melekatkan ilusi pada realitas, maka realitas hadir bukan lagi sebagai kegawatan, ketakutan, atau misteri. Realitas hadir sebagai wahana perwujudan ilusi, dan yang menjadi persoalan utama subjek adalah bagaimana mewujudkan ilusi itu di dalam realitas. Serangkaian teknik rekayasa pun digagas subjek agar bisa mewujudkan mimpi. Karena begitu, adalah wajar apabila standar kebenaran subjek semata-mata bergantung pada tujuan. Ilusi terwujud, itulah kebenaran alias true alias truth. Etika subjek yang demikian adalah etika ilutif, etika yang berpatokan pada kondisi ideal-ilusi, etika yang tidak memperhitungkan keberetikaan dari aspek teknis mewujudkan ilusi. Dengan kata lain, dalam konteks tradisi psikoanalisa Freudian, id-lah yang memegang kendali penuh atas ego di dalam pikiran manusia di jaman kontemporer. Pikiran alam-sadar bekerja melayani pikiran alam-bawah-sadar.


Jaman Kegagapan Modernitas

Kembali pada soal kecacatan. Dalam kerangka kronologis, difabel atau kecacatan pada mulanya merupakan justifikasi subjek atas objek. Sebagaimana yang sudah diutarakan sebelum, objek sebaiknya dipahami dalam konteks internal subjek sekaligus eksternal subjek. Karena itu, perbuatan justifikasi pun menghadirkan dua bentuk yang berbeda, namun memiliki isi yang sama, yakni afirmasi. Pertama, afirmasi personal atas diri sendiri, dan yang kedua—menggunakan pendekatan Lacanism—afirmasi yang-lain atas personal. Dalam situasi yang bersifat monolog sekaligus dialog begitu, situasi yang bersifat intrasubjektifitas, realitas hadir dalam kelengkapan yang mengutuh. Maka, subjek yang cacat memaknai kecacatan personal sebagai kondisi yang tak terbantahkan sekaligus tak terelakkan, tanpa memperhitungkan faktor apakah subjek menginginkan atau tidak menginginkan kondisi tersebut. Sebagaimana realitas, kecacatan pun hadir sebagai sesuatu yang ‘taken for granted’.

Di jaman kontemporer, kerangka kronologis demikian mengalami perubahan yang tak bisa dimaknai sebatas perubahan yang bersifat deformasi atau reformasi atau transformasi. Sebabnya, pada aras yang substantif, deformasi dan reformasi dan transformasi lebih mengacu pada persoalan bentuk. Terkait isi yang ada di dalam bentuk, tiga pola itu masih saja menawarkan isi yang sama. Persoalannya, di jaman kontemporer, kerangka kronologis demikian tidak hanya mengacu pada masalah perubahan bentuk, melainkan sudah menembus ke tingkatan isi. Mungkin, sebutan yang tepat adalah rekreasi yang merujuk pada re-kreasi. Kerangka kronologis kecacatan mengalami rekreasi, perubahan yang tak hanya merujuk pada bentuk belaka, tetapi sudah merasuk ke dalam inti isi.

Pada tingkatan isi, perubahan kerangka kronologis ada di ‘taken for granted’. Jaman kontemporer mengenal yang ‘taken for granted’ bukan lagi sebagai realitas, melainkan ilusi. Ilusi itulah yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang ‘taken for granted’. Akibatnya, faktor keinginan subjek pun menjadi varibel yang harus ada ketika hendak mengafirmasi kecacatan. Ketika sampai pada titik ini, dunia tidak lagi hadir seperti sebagaimana yang dilihat subjek, melainkan: dunialah yang harus melihat subjek. Subjeklah yang harus menjadi kiblat bagi dunia, dunia dalam pengertian subjek yang-lain. Monolog mengalahkan dialog. Ruang dan waktu dialog menjadi nihil. Monolog-subjek mengalami percepatan akselerasi hingga menjadi penguasa tunggal bagi subjek yang-lain di jaman kontemporer. Maka, subjek yang memproklamirkan ilusi sebagai sesuatu yang ‘taken for granted’ dipandang subjek-lain sebagai realitas yang tak terbantahkan. Tanpa disadari, hal demikian berdampak re-kreasi kesadaran subjek-lain. Kesadaran subjek-lain yang idealnya berisi realitas yang ‘taken for granted’ berubah menjadi realitas dari ilusi yang ‘taken for granted’.

Dalam situasi demikian, realitas yang ‘taken for granted’ hanya bisa pasrah sebab subjek di jaman kontemporer tak lagi memandang realitas yang ‘taken for granted’ sebagai sesuatu yang enigmatik, melainkan sudah dalam bentuk dan isi yang paling radikal, yakni realitas yang ‘taken for granted’ adalah kompetisi. Akselerasi monolog-subjek cuma ditujukan untuk memangkan kompetisi. Dan subjek pemenang kompetisi bakal disematkan predikat pahlawan—yang sesungguhnya merupakan hiperbola kosong dan hampa—oleh subjek yang-lain. Pahlawan sebagai hiperbola kosong dan hampa mengaksentuasikan diri di dalam subjek yang-lain, juga di dalam diri subjek pemenang dalam wujud kelupaan dan penyesalan. Afirmasi kecacatan hadir dalam bentuk yang paling absurd: dilupakan dan disesalkan, bagi subjek pemenang. Sayangnya, tragedi demikian masih melanjut pada subjek yang-lain, subjek yang belum mengecap kemenangan dan masih suka bermain dalam ruang kompetisi realitas yang dipenuhi mimpi.

Apabila ‘subjek’ dimaknai sebagai penanda dalam konteks Sausserianism, maka yang menjadi petanda bisa 1.001 macam. Saya mengusulkan cuma dua saja, 1) manusia, dan 2) institusi, tentunya dengan mengingat keberadaan konteks yang menjadi dasar proposal postulasi ini: ilusi adalah sesuatu yang ‘taken for granted’. Dari postulasi demikian hadir subjek-yang-ketiduran penghasil jaman kegagapan modernitas. Ya, itu terjadi di jaman sekarang ini, jaman yang melahirkan paradigma baru: anomali adalah kewajaran. Cara pandang demikian dilegalkan dengan memajukan argumentasi: Di dalam realitas, tidak ada yang sempurna. Padahal, bila diteliti kembali, penyebab utamanya adalah kehendak subjek untuk cacat, membungkus realitas dengan mimpi!

April 2008