FRAGMEN FILSAFAT

Filsafat adalah pembicaraan tentang hal-hal yang tidak penting namun sulit untuk dihentikan dan sialnya--mereka yang berlibat dalam pembicaraan malah mendapatkan pelajaran berharga dari pembicaraan tentang hal-hal yang tidak penting itu.

Orang Lain

Enrique Dussel membuka bukunya yang berjudul Philosophy of Liberation lewat kutipan personal yang menggetarkan. Demikian ia tulis: there is no peace; they even tear up the flowers. Dussel menebar ironi kehidupan ke dalam pilihan dilematis: melepas mekar bunga demi hening damai atau melupakan hening damai demi mekar bebungaan. Mendadak saya ingat ucap seorang sahabat: “Agar kita sampai pada pilihan terburuk yang tak terelakkan, biarkanlah itu menjadi tugas takdir.”

Saya pikir—barangkali saya keliru—Dussel melihat kekerasan adalah situasi yang niscaya ada dan terjadi di dalam kehidupan. Manusia—seberapa pun kuat dan tangguh—tetap saja gagal mencegah kekerasan tampil dalam kehidupan. Kekerasan ibarat musim kemarau yang niscaya datang, segera atau tunda.

Barangkali—manusia memang mahluk paling sial di dunia. Ia hidup dalam keniscayaan sekaligus yakin akan ilusi realitas. Ia maklum bahwa kekerasan tidak dapat dielakkan sekaligus mendamba bahwa kedamaian bukan sekadar mimpi. Diam-diam—keyakinan akan kekerasan yang mutlak dan niscaya disusupi oleh kehendak untuk mencipta damai yang belum tentu pasti. Kalau memang demikian, saya mahfum bahwa apa yang disebut dengan “perang suci” adalah persetubuhan intim antara keniscayaan kekerasan dan mimpi akan kedamaian. “Perang suci” tampil dalam banyak peristiwa, mulai dari pertempuran Katolik dan Islam pada abad 11 hingga 13 Masehi dalam penentuan otoritas atas kota suci Yerusalem, konflik Bosnia di era 90-an yang menyeret Radovan Karadzic ke Mahkamah Kejahatan Internasional atas sangkaan genosida hingga kejahatan kemanusiaan, aksi-aksi terorisme di New York pada 2001, di Bali pada 2002, juga Mumbai pada 2008, dan tentu masih ada dan banyak yang belum disebut bahkan dicatat.

“Perang suci” adalah ironi. Ibarat pohon, perakaran “perang suci” adalah ambisi menghadirkan buah perdamaian—namun sialnya “perang suci” tumbuh pada humus tanah kekerasan. Mulai dari ideologi politik hingga doktrin agama dapat menjadi sumber inspirasi sekaligus dasar legitimasi kudus sebuah perang yang absurd. Pada “perang suci” tidak ada korban, yang ada hanya kurban. Kematian adalah pengurbanan—jalan tiba pada cita-cita. “Perang suci” adalah rute wajib penubuhan mimpi, baik bagi mereka yang tersisa atau yang sudah berkalang tanah. Dan kekalahan adalah dosa!—pengkhianatan atas cita-cita.

Pada “perang suci” pembunuhan dikenali sebagai suatu kewajaran. Di padang pertempuran, seorang pribadi mengenal pribadi lainnya melalui kacamata cita-cita: kawan atau lawan—siapa pun yang berada pada kutub lawan harus ditumpas mampus. Hanya ada satu diktum di medan perang: Setiap mereka yang lain dari saya harus tiada! Pada alam cita-cita, menggema maksim: Orang lain tak punya tempat di sini! Maka, mimpi akan damai sebetulnya mereguk ilham dari bisikan: “Tolaklah orang lain.”

Barangkali Dussel keliru—dan kita dapat berkata: the Other is peace, their face are flowers. Tentunya pernyataan begitu terucap bila orang lain mendapat tempat—baik pada tatapan kasatmata dan di citacita yang kasatatma. Dan lebih dari 2.000 tahun lalu, Sokrates bicara tentang “kenalilah dirimu sendiri”. Apa yang diucapkan Sokrates adalah petikan dari kalimat yang tertera di kuil pemujaan Apollo, di Delphi, yang berbunyi: Kenalilah dirimu sendiri, engkau berada di antara binatang dan dewa. Tanpa berniat menyatakan ada yang kurang atau keliru dalam hikmat demikian, ada baiknya kita juga membacanya sebagai: Kenalilah orang lain, ia berada di antara binatang dan dewa.