RISALAH INI SAYA NIATKAN SEBAGAI SAJAK MENGENANG KEMATIAN, ENTAH ITU SATU MINGGU, TIGA PEKAN, EMPAT PULUH HARI, ENAM TAHUN, 387 TAHUN ATAU SEABAD ATAU MALAH MELEBIHI UMUR MATAHARI—SEBAB, BAGI HOMO SAPIENS, TERLAMPAU BANYAK PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DARI KISAH KESUKSESAN; SEDANG NARASI KEMATIAN HANYA MENGHIDANGKAN KESIA-SIAAN

Saya bukan orang amerika, sedang ke-indonesia-an saya sendiri masih saya ragukan apalagi bila sepasang kaki saya masih menjejak dalam ruang teritori geografis tanah indonesia. Dan bila ditanya apa itu amerika, saya hanya bisa menjawab: bukan saya; sedang bila ditanya apa itu indonesia, saya bakal bertanya kembali: indonesia itu apa? Bila hanya sebatas kedaulatan fisik menyangkut ruang geografis, saya pikir situs-situs internet anomin bisa menjawab lebih spesifik, tepat, memadai, dan elegan pula.

Tahun 2006, kalau saya tidak salah disebabkan ingatan saya yang tak terlampau paten, kampus Virginia Tech menjadi lokus baru peradaban amerika yang sudah kadung menenarkan diri sebagai kiblat humanitas dan demokrasi. Dan di 2008, peristiwa serupa kembali terjadi. Ada mahasiswa yang menembak mati dua orang, dan kemudian: bunuh diri.

Entah di tahun berapa, saya pernah melihat berita di televisi, anak sekolahan menengah pertama, kalau saya tidak salah, di provinsi jawa barat, masih kalau saya tidak salah, mencoba bunuh diri. Caranya dengan menggantung diri menggunakan sarung, kalau saya tidak salah. Entah siapa nama anak itu, saya lupa! Tindakan nekat bunuh diri dia ambil sebagai solusi ekspresionisme-individual-kontemporer-indonesia dikarenakan dia (baca: atau tepatnya ayah dan ibunya) tidak bisa membayar, kalau saya tak salah, uang ekstra-kurikuler. Saya bukanlah peneliti yang mencoba menghubung-hubungkan bunuh diri dengan ekstra-kurikuler dalam prinsip kausalitas. Yang pasti, di indonesia, nyawa bisa melayang karena uang.

Entah di tahun berapa, yang jelas di masa orde baru, sahabat saya berkisah. Ada temannya yang bunuh diri dengan menggunakan pistol bapaknya. Peluru menembus kepalanya. Kisah tragis-realis yang nyaris menjadi bahasa komikal-verbal-dan menakutkan dalam kepala saya.

Baru-baru ini, ada pentas musik, yang diberitakan massal beraliran underground, di bandung. Disebut pula sebagai konser maut. Alasannya, ada nyawa yang melayang—entahlah, saya tak berani menduga karena uang.

Kematian adalah kepastian. Bila apa yang disebut ‘kepastian’ dibantah, bukan persoalan bagi saya. Dan, untuk mengurangi kadar perdebatan yang besar karena kata ‘kepastian’, saya menurunkan derajat ‘kematian adalah kepastian’ ke tingkat paria. Kematian adalah pilihan. Kematian sebagai pilihan sadar, atau kematian sebagai pilihan tak-sadar. Entah itu kematian sebagai pilihan sadar dan kematian sebagai pilihan tak-sadar, bagi saya: keduanya persoalan gawat!

Bicara soal kematian sebagai pilihan, berarti menyinggung soal ekspresi personal. Mudah-mudahan tidak menjadi ekspresi-komunal sebagaimana yang ditawarkan David Koresh di abad 20 yang telah lampau. Merenungkan ekspresi punya dampak keharusan mengangkat represi. Bicaranya pun jadi lain lagi: kultur.

Dari telaah psikoanalisa mekanis-struktural ala Freudian, instrumen mendasar manusia adalah libido yang mengejawantahkan diri sebagai id di dalam pikiran manusia. Sedang di dalam pikiran manusia itu sendiri, ada pula perangkat lain: ego dan super-ego. Ada bawah-sadar dan sadar bagi ego dan super-ego di dalam pikiran manusia, sedang id murni bawah-sadar pikiran manusia. Di dalam pikiran manusia, ego menjadi wadah pertempuran antara represi id dengan represi super-ego yang mewajibkan ego menyalurkan represi pada tingkatan ekspresi tanda-verbal-leksikal. Persoalannya, mati menjadi saluran ekspresi tanda-verbal-leksikal.

Apakah sastra harus mengambil peran sebagai ‘yang bertanggung-jawab’, ‘yang menerangi jiwa-jiwa’, serta segala macam ‘yang’ utopia lainnya. Utopia yang berasal dari ekspresi personal, yang berakar pada ekspresi tanda-verbal-leksikal, bahkan mencoba meresap ke dalam benak pembaca sastra amatir, misal saya. Apakah Tuhan memang kesepian? dan butuh boneka-boneka robotik untuk menemani kesendirian-Nya? Meski saya punya jawaban sendiri, sebagai bentuk penghormatan saya pada fisikawan mutakhir millenium dua Albert Einstein, saya putuskan ambil jawaban: Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan dunia.

Dazed and Confused. Led Zeppelin. Apakah haram menggunakan penggesek biola saat bermain gitar elektrik sebagaimana yang dilakoni Jimmy Page?

Lima bait pertama mengisahkan bunuh diri, kisah kematian adalah pilihan, kisah kematian adalah pilihan sadar dan pilihan tak-sadar. Apa pun bentuknya, sadar atau tak-sadar, setiap pilihan adalah ekspresi personal, eskpresi tanda-verbal-leksikal. Ironisnya, di amerika, bunuh diri sudah melengkapkan diri dengan membunuh. Di indonesia, bunuh diri masih berupaya mengutuhkan dirinya. Untuk kasus konser maut di bandung, saya mohon ampun dahulu sebelum melangkah lebih jauh, ada kekhasan tersendiri (saya bakal membahasnya dalam sub topik yang terpisah dan sebisa mungkin saya usahakan jernih hingga tak sampai mengungkit luka lama; sebab, menurut saya, setiap kematian seharusnya punya hikmah).

Sedikit menyinggung Aristotelian dalam tafsir yang disesuaikan dengan semangat zaman. Politik adalah ‘ayah’. Apakah ‘ayah’ yang melahirkan represi? Saya mohon maaf pada Aristoteles. Dalam kerangka pemikiran idealistik, saya sependapat dengan ‘Politik adalah ‘ayah’’. Namun, kendala deviasi yang muncul dikarenakan saya berhadapan dengan realitas, membangun kerangka materi baru dalam kepala saya. Forma dan substansi yang lahir di zaman dahulu kala sudah tak lagi memadai di masa kontemporer. Politik adalah kendala, bagi saya. Politik adalah kendala merupakan realitas deviasi yang lahir dari realitas idealitistik, politik adalah ‘ayah’. Beralihnya realitas deviasi dari realitas idealistik menghasilkan represi. Setidaknya, saya melihat politik adalah kendala dan politik adalah ‘ayah’ membina karakter represif dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara kontemporer, lebih-lebih yang tengah saya jalani sekarang ini ketika saya menulis risalah ini.

Sedang hubungan sosial, tak lebih dari akumulasi para ‘ayah’. Ibu, sosok yang selalu terlupa dalam sejarah peradaban manusia. Nature melahirkan culture. Kealamiahan ‘digugat’ konvensi. Para ‘ayah’ turun tangan memegang kendali kekang. Komunitas dibangun atas dasar ‘gugatan’ pada kealamiahan.

Dalam konteks yang lebih mini, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala hidup di ruang keluarga. negara (saya memang sengaja menggunakan huruf kecil ‘n’ di awal penulisan kalimat) adalah keluarga besar, payung bagi anak-anak pemberontak. Kadang kala, ekspresi perundang-undangan memang kalah ampuh dibandingkan rock ‘n roll. Kesepakatan yang dilahirkan dari senayan (lagi-lagi, saya memang sengaja menggunakan huruf ‘s’ kecil), bukanlah kebudayaan pop. Regenerasi peraturan selalu bersifat bangsawan dengan segenap tata aturan yang mengasumsikan: anak-anak pemberontak = bodoh. Maka, peraturan adalah pengawal kebodohan agar tidak semakin bodoh (atau malau memang disengaja agar kebodohan tetap menjadi kebodohan?). Tapi, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala menyakinkan saya: represi menghasilkan ekspresi; begitu seterusnya: ekspresi menghasilkan represi.

orde (lagi-lagi, memang kesengajaanlah yang membuat saya memilih huruf ‘o’ kecil sebagai huruf pembuka kalimat) baru sudah tiada. Januari 2008, simbol penguasa orde baru sudah punya rumah baru. Saya teringat cerita sahabat saya tentang teman dia yang bunuh diri dengan cara menembak kepala sendiri menggunakan pistol ayahnya, yang memang merupakan anggota dari sistem pertahanan dan keamanan nasional di mana pun juga di muka Bumi. Pistol ayah, seperti judul cerpen. Tapi, sebagai tanda, dalam perspektif Saussererianism, pistol adalah representasi dari politik adalah ‘ayah’. Perwujudan fisik dari sistem sosial yang dibangun pada masa orde baru, pistol! Ada yang menghalus-haluskan dalam bahasa visual dengan mengambil gambar sepatu. Tapi, dalam realitas petanda yang bersifat semena-mena + konsensus, pistol atau sepatu adalah gonggongan anjing, sebagaimana ‘Animal Farm’-nya George Orwell. Kekerasan! Anak yang bunuh diri menggunakan pistol ayahnya, dalam tafsir post-strukturalis, bisa diidentikkan dengan pistol ayah yang membunuh anaknya. Tapi, pistol sebagai produk selalu bebas nilai. Karena itu, mana yang lebih mungkin: 1) pistol ayah yang tak punya kehendaklah yang membunuh anak, teman dari sahabat saya, atau 2) ayah dari teman dari sahabat sayalah, yang nota-bene pasti punya kehendak dikarenakan dia adalah manusia, yang membunuh anak, teman dari sahabat saya? Karena politik adalah ‘ayah’, ekspresi lahir dari represi.

Lalu, saya melihat tulisan dari amerika. Virginia Tech. Pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Itu tahun 2007. Satu tahun kemudian, entah di kampus apa, pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Tepatnya, membunuh orang lain lalu membunuh diri sendiri. Ternyata, politik di amerika bukan lagi ‘ayah’. Entahlah, ekspresi pelaku hanya bisa saya pahami dalam kerangka korban. Pelaku adalah korban dari politik adalah ‘bukan-hanya-ayah’.
Di eropa, kalau saya tak salah, fenomena bunuh diri banyak terjadi di masa-masa perang dunia ke-dua. Revolusi filsafat kontemporer pun, ketidak-percayaan para filosof pada pencapaian unggul zaman Pencerahan membuncah. Rasio hanyalah membawa manusia pada kebuntuan belaka. Hitler, dengan alasan yang luar biasa tak masuk akal tetap yakin bahwa ras aria Jerman merupakan ras paling unggul. Karena itu: Yahudi harus dibasmi, tumbal afirmasi ras aria Jerman adalah ras paling unggul. Kenapa harus Yahudi? Apakah Hitler terlampau goblok biologi atau ilmu Bumi? Bila merujuk pada bangsa, tak hanya Yahudi saja yang ada di Bumi, ada juga Asia, Arab, India, dan juga Cina. Saya pikir, disini letak ketololan Hitler, sekaligus motifasi personal dari si pemilik kumis tak jelas dan funky. Lalu, kenapa manusia? Setidaknya, memang manusialah yang punya potensi menjadi paling berbahaya di dunia ini. Sebabnya: manusia bisa melarikan diri dari tanggung-jawab. Saya tidak pernah melihat atau mendengar ada binatang bertanggung-jawab atau tumbuhan bertanggung-jawab. Karena Hitler manusia, maka dia punya potensi kejam, dan itu sudah ditunjukkan Hitler pada peradaban Homo sapiens. Lainnya, Hitler lari dari tanggung-jawab. Setahu saya, Hitler dikabarkan bunuh diri. Mudah-mudahan benar, sebab apabila Hitler dibunuh berarti dia sudah bertanggung-jawab. Tapi, bila dia bunuh diri, Hitler memang benar-benar orang yang tak bertanggung-jawab. Adakah legalitas atas pembunuhan atas sesama manusia? Menurut saya tidak ada. Dan kalau pun ada, persoalan dipindah menjadi masalah emosional belaka, subjektifisme yang penuh motif tipu daya. Politik adalah ‘ayah’. Dan ayah membunuh ‘ayah’.
Setelah Hitler bunuh diri, tak ada penguasa otoritarian yang bunuh diri. Politik adalah ‘ayah’ menjadi permanen. Dan tidak ada ayah yang membunuh ‘ayah’. Selalu anak-anak pemberontak yang maju menghancurkan para ‘ayah’; setelah sejarah mengajarkan ada ‘ayah’ yang membunuh anak melalui kisah teman dari sahabat saya yang bunuh diri menggunakan pistol ayahnya. Ibu, berdoa dan mencatat lalu mewariskan.

Di indonesia, zaman ‘ayah’ membunuh anak dan zaman anak membantai ‘ayah’ sudah berlalu. 1998. Pelajar sekolah menengah pertama dari jawa barat memberikan tulisan baru dalam sejarah peradaban indonesia yang entah masih ada atau tidak pada dua abad mendatang. [Sebab persoalan represif adalah persoalan yang membutuhkan waktu berabad-abad untuk menemukan solusi.] Kalau tak salah, pelajar ini bunuh diri menggunakan sarung. Kalau saya tak salah, sarung adalah hasil kreatifitas perempuan, menenun. Para ‘ayah’ hanya berkutat soal menemukan pesawat siluman tercanggih dan cara berburu paling ampuh. Tak ada lagi pistol yang berbicara di kepala anak-anak. Tapi, kehangatan sarung ternyata tidak menjadi jawaban. Tetap, ruang keluarga didominasi para ‘ayah’. Kembali, politik adalah ‘ayah’. Saya pikir, hanya menunggu waktu saja sampai kasus Virginia Tech terjadi di indonesia, dan pada saat itu di amerika pola simbosis-horor-mutualisme antara anak-‘ayah’ sudah dalam kategori yang sangat-sangat tak ternalar indonesia. indonesia, selalu lambat dan pelan, bukan karena berhati-hati, melainkan karena konsensus para ‘ayah’. Dan sekarang, wajar pula bila para ibu sering angkat suara, mengeluh harga pangan yang semakin tinggi, harga minyak goreng yang tak pernah stabil, dan sampai lupa mencuci kain sarung agar lebih bisa menyimpan kehangatan permanen.

Memang, ada baiknya melupakan negara. negara, dengan penuh kesengajaan dimasukkan dalam kategori lupa di dalam benak individu. Sebab, ada yang lebih penting di ruang keluarga. Politik adalah ‘ayah’ sebaiknya tak masuk ke dalam rumah. Sebab di dalam rumah, anak-anak pemberontak tahu mana yang lebih bermanfaat untuk menyalurkan ekspresinya. Sayang, realitas deviasi para ‘orang tua’ masih melihat anak-anak pemberontak terlampau muda, hijau, dan kurang pengalaman hidup. Padahal, semenjak Albert Einstein menelurkan teori relativitas khusus dan umum yang merelatifkan waktu, seharusnya kepala ‘orang tua’ lebih berisi: pasti ada yang bisa dipelajari dari anak bayi. Sebab: relativitas waktu, dalam tingkatan paling praktis membuktikan usia bukanlah besaran pokok yang tak terbantahkan (senioritas adalah lagu lama yang disukai oleh orang-orang sakit jiwa); dan pengalaman menjadi berharga ketika dipelajari dan didalami dan dilakukan,  banyak belajar pasti punya banyak pengalaman, sedang banyak pengalaman belum tentu punya banyak belajar. Selalu ada waktu yang terbuang sia-sia, sebagaimana kematian hanyalah keterkejutan sejenak yang berujung pada sia-sia!

Kematian adalah pilihan. Karena itu, kematian bisa dikonsensuskan. Kematian yang bagaimana tergolong baik, dan kematian bagaimana pula masuk kategori buruk rupa. Dan kasus ini ada di luar kewenangan para ‘ayah’. Seharusnya tidak ada consensus kematian yang buat para ‘ayah’! Politik adalah ‘ayah’ biarlah terus berjalan. Politik adalah kendala tetaplah melanglang buana. Sebab, Aristoteles sendiri sudah bicara soal keutamaan, yang menurut saya menyatukan realitas idealistik dengan realitas deviasi, jauh sebelum peradaban masuk kategori Masehi. Dan seharusnya, setelah peradaban masuk kategori Masehi, tak perlu ada kasus bunuh diri lagi. [Saya tidak tahu apa bisa muncul peraturan perundang-undangan yang menghukum orang yang bunuh diri secara pidana. Dan kalau memang ada peraturan seperti itu, para ahli ilmu sosial tampaknya harus berupaya merumuskan tindak ekspresionisme-individualistik pengganti kosa-kata bunuh diri, dengan misal: supra-suicide! Sebab, bunuh diri adalah ekspresi dan bila ekspresi itu represi bakal menghasilkan ekspresi baru lagi. Setidaknya: Dazed and Confused Led Zeppelin sudah membuktikan hal tersebut di era 1970-an.]

Februari 2008

MEMECAH KEBUNTUAN DENGAN KATA

Saya rasa, memang sudah seharusnya manusia yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bimasakti pada millenium ke-tiga ini tak lagi mengenal apa yang dinamakan bencana alam. Bencana alam, hanyalah dongengan belaka buat pengantar tidur bagi anak-anak badung. Yang ada hanya kesepakatan politik (!), ini adalah realitas yang tak terbantahkan.

Karena itu, saya pun mengapresiasi, bahkan sangat-sangat menghargai upaya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia untuk merumuskan apa yang sebenarnya tengah dan terus berlangsung di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur. Rumusan yang disepakati para anggota dewan, dengan sepenuh hati saya acungkan seratus triliun lebih jempol tangan. Para anggota dewan sudah melakukan, dalam perspektif saya, terobosan intelektual yang tak pernah dicapai, sekalipun oleh orang yang bernama Albert Einstein, atau Sir Isaac Newton, bahkan Socrates sampai Plato hingga ke Foucault. Hal begini, menjadi kebanggaan pribadi yang besar bagi diri saya yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan Camat di suatu kecamatan di suatu daerah di teritori Republik Indonesia yang dikenal bernama Depok.

Apresiasi tiada henti saya ucapkan atas pencapaian yang sungguh-sungguh luar biasa, sungguh-sungguh melampaui Teori Relativitas Umum dan Teori Relativitas Khusus Albert Einstein, bahkan kajian Post-strukturalis kontemporer yang digagas Jean Jacque Lacan, Michel Foucault, dan Jacques Derrida. Para anggota dewan dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab intelektual memilih untuk menyimpulkan bahwa kasus lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam. Sejauh yang saya ketahui, kontroversi kasus ini di kalangan ilmuwan ada pada dua kemungkinan, peristiwa alam atau tangan ahli manusia. Berada diantara dua pilihan, sekali lagi, saya patut mengacungkan seratus triliun lebih jempol tangan, atas keberanian para anggota dewan mengambil keputusan.

Memang sudah saatnya, dalam pikiran saya, manusia yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bimasakti pada milenium ke-tiga, merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan peristiwa alam. Peristiwa alam itu ternyata bisa macam rupa, salah satu diantaranya, yang paling kontemporer dalam risalah buku-buku bahasa adalah bencana alam. Karena itu, keberanian para anggota dewan untuk menyimpulkan lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam seharusnya dibiarkan bergulir hingga mencapai prestasi paling ultima. Karena itu pula, saya, sebagai orang yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan Camat di suatu kecamatan di suatu daerah di teritori Republik Indonesia yang dikenal bernama Depok, punya ekspektasi besar terhadap para anggota dewan untuk menyimpulkan ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’. Mungkin, para anggota dewan bisa merumuskan bahwa ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’, dugaaan saya, mudah-mudahan tidak meleset, adalah disebabkan tangan ahli manusia. Dan saya yakin, berdasarkan keberanian para anggota dewan yang merumuskan kasus lumpur Sidoarjo sebagai peristiwa alam, maka apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’ tak lain tak bukan adalah disebabkan tangan ahli manusia.

Dari para anggota dewan saya menyadari sepenuhnya dan seutuhnya bahwa kesepakatan politik itu penting. Kesepakatan politik itu harus mampu menyelesaikan segala permasalahan yang muncul, entah itu menyangkut ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan agama. Bila politik tidak turun tangan, saya tidak dapat membayangkan bakal bagaimana jadinya Republik Indonesia di kemudian hari ketika kasus lumpur Sidoarjo saja tidak bisa didefenisikan sebagai peristiwa alam atau akibat tangan ahli manusia. Sungguh luar biasa! Apresiasi saya tak bakal henti kepada para anggota dewan, apalagi jika para anggota dewan mampu merumuskan bahwa ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’ adalah akibat tangan ahli manusia. Dan bila kesimpulan itu sudah disepakati para anggota dewan, saya pikir, para anggota dewan pastilah bakal berusaha menuntut ganti rugi kepada si pelaku ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’. Tuntutan ganti rugi itu penting, untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan mengalihkan pos pembiayaan rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan untuk membayar utang pada luar negeri atau melunasi hutang para kreditor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dan akhirnya, saya sampai pada kesimpulan paling akhir, keputusan politik adalah keputusan yang paling unggul tiada bandingnya.

Merdeka!!!



Note: Kira-kira, partai apakah sajakah, atau siapa-siapa sajakah sosok pemberani yang menggagas ‘para anggota dewan harus merumuskan apa sebenarnya kasus lumpur Sidoarjo’ dan mengajukan gagasan berani dan penuh bobot intelektual ‘lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam’.