Aku, Jendela dan Atap Diam, Kereta Bergerak Laju

Dari dalam kereta melalui jendela kaca tepat disisi kiri wajah, sorot mata menembus pandang pada atapatap rerumahan diseberang rel seberang sungai, di bukit tak teratur tinggi rendahnya begitu juga tinggi atapatap rerumahan walaupun berada di garis kontur yang sama. Kereta melaju. Berjarak sejauh lancang dari jendela kaca terawang tidak hanya berpaku dimata pada atapatap rerumahan. Kaki langit yang terpenggal telapaknya oleh dirian rerumahan ditikam ujung atap bersegi lancip tajam dan tegas menikam betis kaki langit anganku terbang menyentuh kelabu awan yang berarak berat diatas atapatap rerumahan pada bebukitan yang tak teratur tinggi rendahnya. Kereta laju melaju cepat tapi aku tak tertinggal jendela diam sebagai penyekat terus melekat pada tatapku yang menghantam atapatap rerumahan yang selalu diam diiring gerak awan berat berarak yang sepertinya juga diam tak bergerak tapi kenyataan teori pasti berkata tidak.

Dari aku menuju jendela angan bergerak menerawang lurus seperti tatap yang menelan masuk semua sinar kedalam retina mata.

Dari atap menuju langit angan bergerak menerawang terbang menuju tempat sejauh ia bisa.
Kemendungan kelabu berarak menjuntai turun disambut kepulan uapuap dari atapatap bebas berseliweran diantara remang cahaya kontras oranye berkoloni hitam akibat lumut yang menempat disetiap genteng bila kita melihat dekat dengan putihhitam mega menjelang turun hujan. Sebelumnya, keliuran uapuap yang terkurung mengasap membumbung menuju langitlangit rumah mencari bebas sewaktu langit diluar merentang siang sesuai peta waktu berbentuk jarum tergantung didinding rerumahan walau berjumpa murung hari selayak petang. Letih berkejaran dengan atap yang sebenarnya diam tak bergerak akhirnya uapuap itu berhasil mendapatkan bebas bertemu indah langit mengganti kurungan langitlangit. Bercampur baur setelahnya antara uapuap dari dalam rumah diam tak bergerak dengan uapuap air dari lautan diam berombak atau sungai diam beriak diantara ruang berdimensi dua yang tercipta antara ujung atap lancip tajam dan tegas menikam betis kaki langit tempat awan menggelantung. Kontras garis memisah antara oranye berkoloni lumut menyebar hitam dengan kelabu awan berarak.

Pertemuan uapuap rumah lautan sungai yang mencari bebas menemukan indah. Pagutan puas bertemu saudara kembar mengusik hati ingin segera berpulang pada bumi dalam bentuk hujan. Tinggal menanti kapan.

Dari atap menuju langit angan bergerak menerawang terbang menuju tempat sejauh ia bisa.

Dari langit menuju bumi bertempat angan bergerak terjun bebas menghantam nyata didepan mata.
-Fitnah. Itu fitnah. Nyata bumi masih bertempat disini diam bukan tak bergerak. Kau cuma mampu mengeksekusi mati kami dari dalam gerbong kereta laju menembus jendela disisi kiri wajahmu. Tutup sudah jendela juga jendela wajahmu yang menjelma melalui retina mata. Kami menyimpan itu didalam rumah bukan diatas atap tempat oranye berkoloni hitam akibat lumut yang menempat disetiap genteng bila kita melihat dekat bertemu kelabu arak awan yang menggantung diratapan kertak rahang kaki langit yang menyimpan damai. Kosong, itu istilah kami. Yang diam itu lihat didalam penipu! bukan uap yang bercumbu dikontras atap dan awan. Kau tak mampu kemari sebab jasadmu berdiam tak bisa berontak didalam gerbong kereta seperti kami dalam rerumahan diatas bukit tak teratur tinggi rendahnya. Sudah diam jika tidak kau semakin menikam kami seperti ujung atap bersegi lancip tegas dan tajam. Kau tak mampu sekalipun kau punya belas untuk merendah sebab kau manusia dengan tubuh terkurung seperti kami dalam rumah atau jasadmu dalam jenazah kereta laju.-

“Sepertinya rindu uapuap yang mencari bebas akan turun berbentuk hujan setelah mendapat indah dalam ruang berdimensi dua.”

Sesampai distasiun tuju aku turun dan hujan menyambut. Sepertinya ini bukan kebetulan dan jika kebetulan aku akan bercerita tentang matahari.

-2002-

.... . ..... . . . . .. .. . .... .. . . . . (#1)

Sambil meloncat, kutikamkan belati pada lehernya. Lantas ia menoleh, tapi lekas kucabut tangkas belati yang nancap. Ia pun kembali sadar ke arah awal, bersama mukaku menghindar ciprat darah meloncat.
Perlahan, tubuh tambun yang memanggul aku di punggung, limbung. Jatuh!
Di bawah temaram lampu jalanan, kulihat dia meringis. Berkelojotan meregang, gemetar. Tapi, itu tak lama. Kutendang kepalanya, semakin lancarlah darah memancar dari luka yang semakin nganga, hampir terbelah.
Seiring pancur darah berkurang deras, ia pun semakin gencar menghisap udara lepas yang tak pernah mampu ia hembuskan; sekalipun matanya mampu melompat!
Berjongkok, kulihat si kepala botak pulas melotot beralas segenangan darah kental. Kusodok belati ke telinga kanan, lalu kugoyang. Ia sudah jadi bandul rupanya, batinku mengucap. Aku ubah posisi, berdiri. Berjalan keliling, sembari bersiul-siul kecil.
Sesaat aku berhenti, melongok tubuh tambun sekarung. Tanpa sadar bibirku merekah sewaktu aku menyeka muntahan darah yang sudah mengerak di sekujur muka. Aku hampiri ia, kuangkat tangan kanannya.
Kemeja lengan panjang biru muda milik dia, kupaksa koyak dengan belati berlumur merah. (Kulit legam, otot gempal, tampak nikmat.)
Kuasah belati dikulit gelap berimbun rambut. Dan, aku pun mulai membelah jaringan epidermis--empat senti meter dari pergelangan--lamban, merasuk perlahan ke lapisan otot-otot lurik, hingga membentur tulang hasta. Belatiku pun berkitar seputaran kontur tulang, mengerat.
Sayatan lingkar pertama usai sudah.
Aku mulai yang kedua, pada jarak tiga senti dari lingkar pertama. Caranya, tak jauh beda. Tidak terlalu sulit, bahkan cenderung menutup mata, sekejap selesai juga. (Ah, tinggal kukerat otot yang melekat di hasta tulang dia.)
Liurku mengalir, menahan ingin, juga dingin. Begitu gempal daging terlepas, segera kulahap. Taring kanan, menyobek keratan yang tak berat. Kukunyah pelan. Seperti tak mau lumat, langsung kutelan; bulan pun benderang sudah di pertengahan jalan, bersaput kelabu arak awan.
Tak puas hanya yang kanan, aku pindah ke kiri. Tak puas hanya tangan, aku pindah mengerat kaki. Puas kudagingi tangan, kaki; aku beralih ke bagian muka. Ingin kukuliti!
Bilah belati kuarahkan menyayat, bermula di sudut kening kiri. Gesek belati tak berbunyi mengikut rangka tulang dahi. Sampai dipertengahan, aku berhenti. Saatnya membelah vertikal, aku mengucap dalam hati.
Ujung teruncing belati pun berpindah haluan. Menuruni tengah kening, menyusuri lekuk hidung dan bibir, berakhir di belahan kurva dagu tumpul. Aku berhenti sejenak, menarik nafas seraya memperhatikan hasil kerja yang kubuat.
(Alangkah bagus bila kembali ke kening kiri.)
Aku pun melanjut laju belati ke sudut kening kiri. Mengikut rangka pipi, pelipis, juga memotong sedikit alis, hingga sampai di tujuan akhir. Pojok kening kiri, tempat bermula aksi.
Dari celah sayat, runcing belati kumasukkan. Tetesan darah tak lagi kuhiraukan, sebab muncrat darah sudah tak kuanggap luar biasa. Kuiris lancar belahan kulit wajah, hingga terlepas dan aku tertawa.
Seakan tertampar, aku terdiam. Aku merasa diri diintai. Seribu pasang mata memasung jasad. Kutolehkan pandang kebelakang, ramai orang-orang berdiri di trotoar jalan. Ada yang bergetar bibir, ada yang menutup muka, ada pula yang muntah.
Aku teriak bertanya: Ada apa. Lalu, tertawa. (Ah, bikin orang susah saja.)
Tak kuhiraukan mereka, aku melanjutkan usaha mencipta maha karya.
Tangan sudah kudagingi, muka sudak kukuliti. Mungkin, tinggal sedikit sentuhan akhir, bakal jadi instalasi histeri. Ya, tinggal kubelah saja perutnya, seperti rangkai dua jendela membuka. Masih dengan belati yang tak kenal letih, mulai kutikam kedalam perut tambun si kepala botak. Dari pusar, kubelah kasar, mengarah ke rangka tulang dada. Belahan vertikal usai sudah. Tinggal yang horisontal, dengan tengah tepat di pusar, ibarat memotong bolu buatan ibu.
Lipatan koyak, kubuka. Aih, usus, hati, lambungnya kuangkat keluar, hingga memburai serak. (Ya, sekarang selesai sudah! Tinggal termenung, mengingat apa yang telah.)

***

Sebenarnya, ia hanya ingin bercerita tentang kejadian lima hari yang lalu. Tapi, entah kenapa aku merasa bosan mendengarkannya. Ia hanya membaca barisan abjad yang telah tersusun manis di berlembar-lembar kertas berwarna merah agak muda.
Tiga pria dan satu wanita--keempatnya mengenakan pakaian wisuda--bergantian membaca tiga puluh tiga lembar kertas tersusun. Saat mereka membaca perlahan, kadang sembari menelan liur, aku hanya menunduk. Suara mereka yang keras, tegas, juga gemetar kudengar datang dari sisi kanan.
Tiba-tiba, usai mereka membaca, seseorang yang duduk di panggung berjarak tiga meter dari tempat aku duduk bertanya. "Anda mengerti, apa isi dakwaan jaksa?" Aku jawab, "Apa?"
Lelaki yang mengenakan toga merah dan hitam ini naik pitam. Jelas kudengar nada suaranya berubah. "Saya tanya, apakah anda mengerti isi dakwaan jaksa?" katanya dengan urat-urat leher yang mengencang keras dan jelas. Jawabanku pun masih sama, "Apa, Pak Hakim?"
"Saya tanya, apakah saudara terdakwa mengetahui isi dakwaan jaksa yang baru dibacakan tadi?"
Dan, jawabanku pun tetap sama. "Maksudnya, gimana Pak?"
"Anda jangan bermain-main. Tadi jaksa membacakan dakwaan terhadap Anda. Anda mengerti tidak isinya?" Kali ini, bukan hanya urat leher saja yang menegang. Matanya juga membelalak. Mulutnya menganga, mengeja tiap suku kata.
Aku hanya menunduk. "Ya, Pak Hakim. Saya usahakan untuk mengerti. Saya bolehkan minta kopi-an surat dakwaan, biar bisa saya baca lebih seksama nanti di penjara."
Hakim Ketua yang bernama entah siapa itu hanya bisa meraung. "Anda sudah berlaku kurang ajar. Anda didakwa melanggar paaaa....ssalll.ll..lll......"
Aku tak ingat ia menyebut apa selanjutnya. Cuma, setelah ia berteriak seakan mau diperkosa lima puluh enam setan-setan neraka betina, aku menggangguk. Bukan hendak menyatakan aku mengerti atau memahami. Tak lain karena, hanya tindakan itulah yang ia harapkan.
"OK! Kalau begitu, persidangan akan dilanjutkan pekan mendatang, dengan agenda pembacaan eksepsi."
Usai memutuskan, ia pun mengetuk palu satu kali. Dan, aku berdiri, lalu meninggalkan kursi duduk yang terasa nikmat itu. Dua polisi bersenjata mendatangiku, mengiringi aku selama perjalanan menuju ruang tahanan pengadilan, di belakang, tepat bersebelahan dengan kamar kecil untuk buang air besar juga kecil seluas tiga kali empat meter.

Dini, Si Kelinci

Kemarin sore, seorang gadis cilik berusia sekitar empat tahun, memasuki Pusat Informasi Hall A Jakarta International Expo, dengan mata sembab sembari terisak menangis.

Aku melihatnya seperti seekor kelinci berbulu putih, berusia sembilan belas hari. Ya, seekor kelinci yang berhasil bermetamorphosis menjadi sosok anak perempuan mungil; bulu-bulunya berubah menjadi kuning langsat keemasan, telinga berdiri mendadak berevolusi menjadi sepasang kuncir ekor kuda, juga indra pengendus yang kerap berembus kembang kempis setiap detik menjadi bangir mancung bercampur rona merah karena mengisak air mata.

Ia bernama, Dini Gitariyani.

Gadis cilik ber-tank top kuning cerah dan bercelana jeans biru berlamur putih itu datang bersama seorang polisi, Ajun Komisaris Polisi Arnuar Ristioan. Ia seperti beruang, berbulu coklat kasar dan tambun besar. Jalannya perlahan sambil bergoyang seakan hendak menggoyang bumi dengan tiap hentak langkah yang ia perbuat. Tampak cakar-cakar tersembul dari rimbun bulu-bulu di sekitar lengan juga tungkai kaki. Kepalanya terusnya menoleh ke kanan-kiri, layaknya ia mendengar sayup riak sungai berair jernih dan berpikir: ah, pasti sekarng ada ikan salmon yang mencari ruang melepas telur.

Arnuar bertemu Dini di Hall A3, Jakarta Fair 2005, saat kelinci sembilan belas hari itu sedang bersedih hati, "Papa...., mama....," suara batin yang tertangkap beruang coklat dipertengahan usia panjang.

“Waktu saya lihat, dia udah nangis, seperti kehilangan orang tua,” jelas beruang, perlahan-lahan kalimat tertutur, kental bas, pada petugas informasi yang berstelan blazer pekat dipadu pakaian menyerupai kaos, warna pink, bertanya, gimana ceritanya. Aih, petugas ini seperti putri duyung. Langsing tubuh mendadak berubah wujud menjadi berbentuk tubuh ikan duyung yang selalu menjadi mangsa anjing laut. Tiap rambutnya tergerai gerak tubuh yang ringkas, seakan kulihat kepak ekor yang mengatur irama berlabuh dalam kedalaman laut.

Putri duyung itu pun beralih tanya kepada kelinci, ia mendekatkan mulutnya hingga misai menyentuh telinga panjang kelinci sembilan hari itu. Singkat, "Tinggal dimana?" Dini si kelinci menjawab, "Dekat rumah Rasip," sambil mengeraskan volume tangis.

Aih, sepertinya yang bernama Rasip ini adalah buaya. Aku membayangkan tubuh yang penuh totol kotak-kotak, kulit yang keras, juga rahang yang sedang menggangga. Ah, pasti Rasip sekarang sedang berjemur di pinggiran delta, di sungai dekat rumah si kelinci.

Putri duyung bernama Alini, pun segera mengabarkan perihal Dini melalui mikropon. Sambil memegang rambut seuntai rambut yang akan ia selipkan di belakang telinga kanan, ia menyeru merdu, "Diketemukan seorang anak perempuan berumur sekitar empat tahun, menyerupai kelinci."

Enam menit berlalu, seekor harimau datang masuk tergopoh-gopoh. Dengan napas menderu ia bertanya, "Mana kelinci itu," ujarnya sambil menapakkan lengan kanan; sementara yang kiri berkacak pinggang, dengan suara mega power bas 350 volt, tepat di depan putri duyung Alini.

Sontak kelinci teriak, “Pa..pa..,” dan langsung turun dari kursi menuju pintu keluar Pusat Informasi, mengejar si harimau.

Si harimau berbelang kuning hitam, Gerdi, langsung berlari menggunakan keempat kaki. Saat berjumpa kelinci, ia berdiri, memeluk lalu menggendong Dini. Tangis kelinci Dini pun berhenti, saat Gerdi memberinya sebatang coklat terbungkus alumnium foil yang ia keluarkan dari saku kanan.

Usai tangis kelinci mereda, karena elusan cakar pada kepala kelinci Dini, Gerdi mengurus permasalahan administratif dengan putri duyung. Akhirnya, semua muka; kelinci, beruang, putri duyung dan harimau mengalirkan rona lega pada wajah.

MONOLOG SANTUN

For now, at least,
if an error is to be made,
let it be made for the sake of mercy.
-W R S -
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini perkenalan pertama, tapi saya enggan memberikan nama. Suatu ketika, pernah kudengar ada yang berbicara, "What's a name?"--cukupkah alasan itu bagimu? Jika saja aku mampu bertukar mental denganmu, mungkin; seperti seekor simpanse bernama Atlanta bersikap terhadap sobat Mia yang melahirkan dalam penelitian Frans De Wall-- entah dalam buku apa pernah kubaca, bisa jadi aku hanya melihat sobekan koran, lalu kuberi impuls imaji, dan muncullah nama-nama itu: Frans De Wall, Atalanta dan Mia;; tapi yang lebih penting kurasa engkau mengerti. Aku tidak mahir bertukar mental.
Aku harap jangan pula kau pasang tampang berlipat lima, ibarat manggis jatuh dipekarangan rumah sewaktu kemarau panjang singgah, aih dapatkahy terbayang kerut merut jaringan epidermisnya yang berwarna coklat gelap kehitaman dengan sedikit merah serta kuning yang mencoba merebut tempat di retina?
O, tunggu sebentar. Aku ingat siapa yang berkata, "What's a name?" Kalau tak salah ia lahir di Inggris, kalau tidak salah (sekali lagi) ia lahir sekitar abad ke-15, kalau tak salah (sungguh aku minta sekali lagi) di Stratford, dan kalau tak salah (ampun, kalau kalian tak maafkan sungguh kurang ajar, sekali lagi) tanggal lahirnya tak jelas, tapi ia dibaptis sekitar bulan April, berbeda hitungan jari dengan hari kelahiran aku yang palsu (apakah aku lahir setelah sperma dan ovum bertemu di kantung rahim--beberapa menit atau detik setelah persenggamaan, atau setelah sembilan bulan sepuluh hari pertemuan itu yang menyebabkan aku membuat seorang perempuan berteriak, entah karena kesakitan atau hendak berjumpa kematian; padahal ia belum rela meninggalkan dunia?), dan kalau tak salah (untuk kali ini, aku tidak meminta maaf, ampun. Sungguh, terserah kalian mau berhenti mendengar, lebih tepatnya membaca. Aku persilahkan, sebab menyesal hanya pantas melekat di aku, bukan kau, eh... maksudku kalian. Dan, ini hanya perkara berpikirku yang tak jelas, tak sadar. Terserah, aku mau melanjutkan pikiran samar yang aku sendiri tidak tahu bakal berujung kemana?) kalimat itu merupakan bagian dari dialog panjang yang berhasilkan difilmkan; filmnya..., itu aku lupa, tapi seperti biasa itu berasal dari pusat perfilman dunia, namanya Kayu Suci.
Ah, aku ingat sedikit, film itu sempat aku tonton di bioskop kelas 21, sewaktu Sekolah Menengah Umum, 1996; ya, aku menonton film itu tak bayar sepeser pun, hanya perlu kesabaran menunggu, lalu setelah film dimulai sekitar lima menit hingga sepuluh menit, aku pun bisa masuk bersama dua temanku, dan duduk menikmati sajian dari aktor yang bernama menyerupai seorang pelukis-cum-pematung-cum-arsitek-cum-insinyur-cum-matematikawan-cum-filosof (alamak, sudah pasti orang kumaksud ini genius kali, setidaknya bagiku), yang berakhir pada kematian; kalau aku tak salah, seorang penyair sempat mengabadikannya dalam sebuah sajak yang aku pun tak ingat berjudul apa, hanya satu kata saja aku ingat terang: membabibuta; ya...
antara penanya dan yang ditanya itu akhirnya mati! Ha...ha.ha...ha.., hanya karena persoalan keluarga, aih kenapa aku bisa teringat inti masalah itu, aih kurang ajar benar pikiran ini, ketika aku bersenang, bahagia, segala bisa ternalar dengan mudah, pfuh aku coba teruskan, keluarganya terpecah, lalu ada pesta, lalu datang, bertemu, lalu bercinta! Ha..,...,, haha.,.,haha, hingga akhirnya mereka mati berdua atas keputusan yang tak jelas gunanya!

Hei, tunggu dulu, bukankah film itu ditutup dengan air mata?

Satu lagi, aku harap kau jujur menjawab. Namaku, memang tak bergunakan. Maaf, aku mengecewakanmu, sudah capai kau dengar aku berkomentar panjang lebar hingga merambah jadi tak jelas; aku pikir kau pun tak sampai ke titik akhir ini! Ah,


Lampu yang padam, hanya meninggalkan bayangan kursi kosong jadi gosong didalam angan. Aku pun tetap terdiam dalam gelap mengutip pecahan terang yang mungkin saja belum beranjak jalan. Sesudahnya, baru aku melangkah, tinggalkan ruang; tapi aku tak tahu, entah kapan.

- -

It's never wrong to ask questions,
because in the land of the blind,
the one-eyed man is king.

- W R S -
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Perkenalan aku dengan sajak ini tak sengaja. Saat itu, aku sedang duduk berdiam dipinggiran oase Biru, 2 kilometer ke arah utara perkampungan penduduk terdekat, Kampung Biru.


Pertama sampai, mataku langsung akrab pendaran warna coklat dari berbagai varian gradasi yang mungkin terjadi, ketika siang hari. Di lokasi terasing dari ranah asalku berawal, aku pun berkehendak mencari tahu. Ini kampung apa.

Pernah aku teriak bertanya, ini kampung apa, sewaktu pertama aku berjumpa manusia penghuni daerah 'antah berantah' ini. Aku pun mendapat jawab yang tidak memuaskan. "Aku tidak tahu," singkat jawab seorang perempuan sambil menoleh berbalik arah; dan hanya rambutnya saja jelas kuingat; panjang melintasi leher jenjang, berkibar tersiram ringan riak angin, biru.

Aku berjalan sendiri. Menahan dingin, juga desir angin. Sambil tertunduk, mataku merujuk jejak sepasang tapak kaki yang selalu saja tak pernah lengkap kulihat. Kadang, tumit telah hilang. Kadang ibu jari sudah tak ada. Bahkan, hanya kelingking saja yang sisa. Hingga, suatu ketika tidak ada jejak tersisa.

Aku berdiri. Memutar pandang. Memutar tubuh. Delapan mata angin kutentang. Bayu rupanya, menderas. Aku pun masih berdiri. Merentang dua tangan, hendak bersayap. Memutar pandang. Memutar arah badan. Aku masih berdiri, sambil menengadahkan kepala. Kurasakan suara angin menyisir di dua liang telinga beranting liontin bunga. Aku masih berdiri, berputar dan pejamkan mata. Retina aku akrab dengan gelap. Kuhirup dalam udara seakan mencoba menyesakkan batu ke rongga dada. Tak terasa, aku pun terperangkap waktu purnama diatas kepala, saat kubuka mata. Entah sudah berapa lama aku berlaku demikian, tak jelas.

Perlahan, kurendahkan kepala di titik normal, kuhadapkan mata, tepat ke depan. Dan, lima detik kemudian, samar kulihat hilang menyebar. Sebuah oase, ditimpa kerlip bintang yang menyelinap diantara celah-celah dedaunan pohon menyerupai kelapa. Aku melangkah maju, menuju oase itu.

Sesampainya di oase, aku terkejut mendengar isak tangis. Perempuan. Ah, haruskah aku bertanya kenapa, atau ada apa. Dan, entah mengapa perkataan yang keluar justru tawaran. "Bisa saya bantu?"

Tangis terhenti. Aku mendekat sambil melihat sesuatu benda di sepasang telapak tangan tengadah menyatu, tampak asing bagiku. Nalarku bekerja cepat, mencerna: akan kuasosiasikan bentuk apa benda itu. Ah, aku teringat. Bentuk terdekat, barangkali, elips. Meskipun tidak tepat, aku puas. Aku mendekat, memperjelas.

Ah, hatiku lega. Tebakan aku tepat. Benda itu elips. Kutanya kepada perempuan itu, pertanyaan singkat, apakah itu sepasang matamu. "Aku tidak tahu," jawab perempuan itu, lalu berdiri. Ia melemparkan benda yang kuduga sepasang mata itu ke tengah oase--berbalik, berlari.

Aku menatap pana, ... teriak, "Kenapa?"

Ketika Teror Ketahuan, 18 Akhir 25

12.03, Kantor Pusat Lokalisasi Polisi-Polisi, menjelang santap siang.

Seorang pemuda, tinggi, tegap, brewokan, berhidung besar dan lebar, ceruk mata dalam hingga sorot tampak tajam, beralis hitam amat tebal, bertopi pink muda 'PEACE-lah', menyandang ransel terbitan home industri out door pertama, berjaket bahan kain katun polos hijau kelon berlapis parasut dibaliknya, bersepatu boot hitam setinggi satu inchi di atas mata kaki penuh bercak lumpur dari sol hingga plafon dengan tali sepatu yang lepas menjalar-jalar layaknya cacing tanah yang dilempar ke piring keramik, mengenakan cincin perak berukiran merak yang sedang mengangakan ekor-ekor terindah, celana jeans coklat kumal bercampur debu seperti sudah lima belas hari tidak dicuci, jenggot yang tak terawat meranggas sesuka akar dibawah dagu berlapis kulit berkerak rusak, bekas luka sayat pada kening agak kanan, berjerawat batu. Jalan menuju gardu.

Seorang polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah, bertubuh gempal padat, kulit putih mulus, mata sipit, bibir tipis, sedang makan nasi kotak dengan paduan rendang sapi, daun singkong rebus, sesendok sambel cabe hijau digabung rawit, kepulan nasi empuk dan panas, sayur nangka muda, berkuah santan kelapa muda enam buah dengan air cuma satu setengah liter, irisan mentimun tomat dan daun selada hijau segar dan besar-besar. Mau kemana, tanyanya sambil memiringkan kepala seakan hendak memandang matahari yang bersinar diatas kepala dengan mata yang lebih menyipit lagi dari posisi normal dan tangan yang menyendok segenggam nasi putih yang sudah bercampur kuah santan enam kelapa serta bumbu rendang yang terlihat seperti pecahan-pecahan liat kering yang padat dan lembab.

"Mau jumpa Lokal Satu, Dan!"

Pemuda itu pun digeledah. Tas dibuka, jaket dibuka, sepatu boot dibuka, baju dibuka, topi dibuka, jenggot dibuka, cincin dibuka, ceruk mata dibuka, hidung dibuka, kaos dalam dibuka, alis dibuka, celana dalam dibuka, tali sepatu dibuka, luka sayat dibuka, jerawat dibuka, tinggi dibuka, tegap pun dibuka.

"OK, silahkan masuk."

Usai digeledah, pemuda itu mengelus-elus dada sekaligus menarik nafas panjang melalui hidung yang hilang bentuk besar dan lebar dan merekalah sesungging senyum kalahkan bibir tipis milik polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah, lalu menghembuskan nafas perlahan-lahan, makin cepat, makin makin cepat, sangat lekas ia habiskan seluruh udara dalam rongga dada, dan ia pun kembali mengenakan segala yang dibuka satu-persatu di depan polisi yang sedang melanjutkan santap siang dengan agak sedikit membungkuk di depan meja piket coklat.

Pemuda itu pun melangkah masuk ke dalam kantor. Polisi itu pun hampir menyelesaikan makan, sekitar sembilan puluh delapan kunyahan, tuntas sudah itu makanan.

EMPAT RATUS LIMA PULUH ENAM MILYAR TUJUH RATUS TIGA PULUH TIGA JUTA DUA RATUS ENAM BELAS RIBU LIMA PULUH SATU SUARA PETASAN BERKUMPUL SEKALI LETUS MENGEPUL DARI RUMAH UTAMA KANTOR PUSAT LOKALISASI POLISI-POLISI, pukul 13.00.

"Ha...ha...ha... Kau pikir aku tak tau. Tai!" Polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah terpingkal-pingkal, memukul-mukul perutnya yang tak gendut hingga ia pun terbungkuk-bungkuk sambil menghentak-hentakkan kaki bergantian, kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri-kanan, setengah berloncat-loncat ia pukul lagi perutnya, sembari membanting-banting topi kepolisian ke abu-abu cone block, ia pungut lagi, banting lagi, pungut lagi, terus begitulah ia berlaku sambil meloncat-loncat cepat kadang hampir menyerupai kilat, di samping tong sampah sekitar dua ratus meter dari rumah utama, Komandan Lokal Satu.

Tiba-tiba, bahu kanan ia ditepuk dari belakang. Sontak, ia menoleh. Terdiam. Bibir mengatup rapat dan bergetar sebab dagu sudah kehilangan mantap, alis mata mulai mengkerut maka penuh kecutlah ia punya muka, tangan gemetar, kaki bergoyang, kedua lutut sudah bersinggungan, ia pun sudah ngelengas-ngelengos tak mampu menahan diri, seluruh isi perut sudah tumpah ke tumit kaki, organ jantung dan paru-paru sudah jatuh di kantong kemih, ia bernafas patah-patah karena vibrator tubuh yang berguncang hebat.

Sepotong tangan bercincin perak dengan ukiran cincin perak berukiran merak yang lagi membentangkan buntut belakang mekar seperti bunga yang merekah tertimpa sinar matahari pagi perdana (eh... kaya iklan euy --> biar ga terlalu serius ngebacanya.., bole' kan) mengapit secarik kertas ukuran block note para wartawan yang penuh bercak-bercak darah terselip dijepit jemari tangan yang tak lengkap, entah antara kelingking dan manis, manis dengan tengah, tengah telunjuk, telunjuk kelingking, ibu jari manis,tengah jempol, manis telunjuk, kelingking tengah, mungkin kelingking ibu. Isinya: KOK, BISA TAU SIH!!!

VICTOR DJAMI DAN KOTAK P3K *

Dua orang perawat perempuan berbaju biru operasi tampak mengganti pakaian seorang pasien pria yang terbujur kaku di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), bangsal lima. Di leher si pasien, terpasang alat bantu pernafasan tracheostomi.

Pasien itu, Victor Djami. Mahasiswa Fakultas Sastra UKI, korban penganiyaan Tramtib Kotamadya Jakarta Timur, Selasa (17/5) sore. Akibat penganiayaan, tulang tengkorak Victor remuk. Dan, sejak tanggal itu, pemuda berkulit coklat gelap ini terus mendapat perawatan intensif di ICU.

Ibunda Victor, Ariance Djami, hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Sebelumnya, selama empat hari pasca-pemukulan Viktor, ia menderita depresi berat. "Saya putus asa. Saya pikir Victor pasti ...," ujar Ariance sembari menggelengkan kepala di koridor ICU RS UKI, kemarin.

Seingat perempuan berambut pendek ini, harapan baru timbul usai percakapan singkat dengan tim dokter pimpinan Robert Sinurat, pakar bedah saraf. "Jangan lupa berdoa, Bu. Tetap tabah dan berharap pada Yang Kuasa," tutur Ariance meniru ucapan dokter saat itu.

Victor, anak pertama dari pasangan Nicholas Djami dan Ariance. Ia lahir di Sumba, 31 Oktober. Dua puluh tiga tahun lampau. Pada 1999, Victor menjadi yatim. Ayahnya, meninggal dunia karena stroke. Ariance pun harus berusaha seorang diri menghidupi kebutuhan Victor dan adiknya, Ferdinand Djami, mahasiwa Fakultas Teknik Informatika Universitas Satyawacana, Salatiga.

Sesungguhnya, harapan Ariance bertumpu pada Umbu--sapaan akrab Victor--mengganti peran Nicholas Djami yang sudah 'pergi'. "Umbu 'kan sekarang sudah nyusun skripsi. Tinggal nunggu lulus, lalu dapat kerja," ujar Ariance yang mengenakan blazer biru muda.

Sekarang, harapan itu hanya mampu ia simpan dalam hati. Melalui sentuhan dan genggaman di tangan serta kaki anak pertamanya itulah, Ariance menyampaikan pesan tersebut. "Cepat sembuh. Itu yang selalu saya bisikkan di telinga Umbu, setiap jam bezuk," ungkap perempuan yang sehari-hari berwiraswasta dengan penghasilan tak tetap.

Satu kenangan yang tidak terlupakan bagi perempuan berambut ikal ini, Umbu kerap membawa perlengkapan P3K dalam tas ransel. Kebiasaan itu bermula saat Umbu diterima menjadi anggota Korps Sukarelawan (KSR) UKI, 2000. Bahkan, tak jarang pula Umbu sampai di rumah yang berada Jalan Mangga Blok Y Gang II, Kelurahan Lagoa, Tanjung Priok, dengan pakaian penuh bercak darah. "Viktor habis nolongin orang yang ketabrak," kenang perempuan berkulit putih langsat ini. Paman Umbu, Andreas pun membenarkan. "Victor tak pernah bisa diam bila melihat orang terluka. Kalau melihat ada kecelakaan, sekalipun ia berada didalam bus, ia pasti turun membantu," tutur Andreas.

Prestasi Umbu tidak berhenti sampai disitu. Pasca-tsunami Aceh, Januari 2005, pemuda berdarah Sumba ini terjun ke lokasi sebagai sukarelawan. Ia mewakili UKI dalam tim medis Global Rescue
Aceh. Ariance bilang, "Dua minggu Umbu di Aceh waktu itu." Februari 2005, pria yang kini terbujur kaku di bangsal lima ICU RS UKI berniat kembali ke Aceh. Tapi, Ariance membendung. "Saya nasehatin Umbu biar nylesaiin skripsi dulu. Setelah itu, ia baru boleh pergi," kenang perempuan yang saat itu ditemani kerabat di koridor RS UKI. Dan, Umbu menurut.

Selasa, 17 Mei 2005, pukul 15.40. Bentrokan antara aparat Tramtib dan pedagang serta mahasiswa UKI bermula. Saat itu, Victor hendak pulang ke rumah dan sedang menunggu bus ke Tanjung Priok. Tapi, melihat seorang pedagang kaki lima terluka, niatan pulang batal. Ia berusaha menyelamatkan pedagang yang terluka. Malangnya, saat hendak menolong, Victor terjatuh. Ia pun langsung dianiaya Tramtib. Seorang teman Viktor sempat melihat, Tramtib memukuli kepala, badan dan kaki Umbu memakai pentungan. Bahkan, kepala Umbu dihantam menggunakan bongkahan batu pembatas jalan dengan trotoar. Umbu pun kritis. Ia koma lebih dari dua minggu, tepatnya 17 hari.

Hingga kini, ungkapan simpati memang terus berdatangan kepada keluarga. Dari rekan mahasiswa, pedagang kaki lima, hingga anggota Dewan dari Senayan. "Minggu pertama, pedagang datang bezuk, bahkan ngasih santunan juga," ujar Yoseph, sahabat Umbu. Kamis (2/5) siang, tiga anggota PDI-P turut membezuk Umbu. Mereka ialah Firman Jaya Daeli, Agus Tjondro Prayitno dan Nur Suhud.

Secercah harapan baru terbit. Ariance pun bisa menarik nafas lega. Ia tidak hanya berharap Umbu sembuh. Lebih dari itu, ia ingin penganiayaan Umbu tuntas di jalur hukum. 31 Mei 2005, Ariance bersama pengacara keluarga dari Perhimpunan dan Bantuan Hukum Hak Azasi Manusia (PBHI) Jhonson Panjaitan melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya. "Saya ingin pelaku dihukum," tegas Ariance.

Untuk kesembuhan Umbu, memang mujizat Tuhan! Tapi, perkara pengusutan hukum kasus penganiayaannya, tentu bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Apalagi, kejadian Umbu bukan yang pertama!

*: Buat Umbu yang tak pernah kukenal akrab.

(Maaf, Tidak Ada Judul)

Aku berpikir, matahari ialah mata Tuhan.
Bulan, cermin mata Tuhan.
Jadi, karena itu Ia Maha Tahu.

Kalau Tuhan buta, pasti rusak retina, habis hidrogen sama helium.

Dan, kalau aku buta
mungkin habislah Tuhan.

Da..da,...

Note: Berlaku untuk Planet Bumi di Galaksi Bima Sakti.

Doa Letnan Dua

Tuhan,
tolong kau atur
lalu lintas Jakarta!