VICTOR DJAMI DAN KOTAK P3K *

Dua orang perawat perempuan berbaju biru operasi tampak mengganti pakaian seorang pasien pria yang terbujur kaku di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), bangsal lima. Di leher si pasien, terpasang alat bantu pernafasan tracheostomi.

Pasien itu, Victor Djami. Mahasiswa Fakultas Sastra UKI, korban penganiyaan Tramtib Kotamadya Jakarta Timur, Selasa (17/5) sore. Akibat penganiayaan, tulang tengkorak Victor remuk. Dan, sejak tanggal itu, pemuda berkulit coklat gelap ini terus mendapat perawatan intensif di ICU.

Ibunda Victor, Ariance Djami, hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Sebelumnya, selama empat hari pasca-pemukulan Viktor, ia menderita depresi berat. "Saya putus asa. Saya pikir Victor pasti ...," ujar Ariance sembari menggelengkan kepala di koridor ICU RS UKI, kemarin.

Seingat perempuan berambut pendek ini, harapan baru timbul usai percakapan singkat dengan tim dokter pimpinan Robert Sinurat, pakar bedah saraf. "Jangan lupa berdoa, Bu. Tetap tabah dan berharap pada Yang Kuasa," tutur Ariance meniru ucapan dokter saat itu.

Victor, anak pertama dari pasangan Nicholas Djami dan Ariance. Ia lahir di Sumba, 31 Oktober. Dua puluh tiga tahun lampau. Pada 1999, Victor menjadi yatim. Ayahnya, meninggal dunia karena stroke. Ariance pun harus berusaha seorang diri menghidupi kebutuhan Victor dan adiknya, Ferdinand Djami, mahasiwa Fakultas Teknik Informatika Universitas Satyawacana, Salatiga.

Sesungguhnya, harapan Ariance bertumpu pada Umbu--sapaan akrab Victor--mengganti peran Nicholas Djami yang sudah 'pergi'. "Umbu 'kan sekarang sudah nyusun skripsi. Tinggal nunggu lulus, lalu dapat kerja," ujar Ariance yang mengenakan blazer biru muda.

Sekarang, harapan itu hanya mampu ia simpan dalam hati. Melalui sentuhan dan genggaman di tangan serta kaki anak pertamanya itulah, Ariance menyampaikan pesan tersebut. "Cepat sembuh. Itu yang selalu saya bisikkan di telinga Umbu, setiap jam bezuk," ungkap perempuan yang sehari-hari berwiraswasta dengan penghasilan tak tetap.

Satu kenangan yang tidak terlupakan bagi perempuan berambut ikal ini, Umbu kerap membawa perlengkapan P3K dalam tas ransel. Kebiasaan itu bermula saat Umbu diterima menjadi anggota Korps Sukarelawan (KSR) UKI, 2000. Bahkan, tak jarang pula Umbu sampai di rumah yang berada Jalan Mangga Blok Y Gang II, Kelurahan Lagoa, Tanjung Priok, dengan pakaian penuh bercak darah. "Viktor habis nolongin orang yang ketabrak," kenang perempuan berkulit putih langsat ini. Paman Umbu, Andreas pun membenarkan. "Victor tak pernah bisa diam bila melihat orang terluka. Kalau melihat ada kecelakaan, sekalipun ia berada didalam bus, ia pasti turun membantu," tutur Andreas.

Prestasi Umbu tidak berhenti sampai disitu. Pasca-tsunami Aceh, Januari 2005, pemuda berdarah Sumba ini terjun ke lokasi sebagai sukarelawan. Ia mewakili UKI dalam tim medis Global Rescue
Aceh. Ariance bilang, "Dua minggu Umbu di Aceh waktu itu." Februari 2005, pria yang kini terbujur kaku di bangsal lima ICU RS UKI berniat kembali ke Aceh. Tapi, Ariance membendung. "Saya nasehatin Umbu biar nylesaiin skripsi dulu. Setelah itu, ia baru boleh pergi," kenang perempuan yang saat itu ditemani kerabat di koridor RS UKI. Dan, Umbu menurut.

Selasa, 17 Mei 2005, pukul 15.40. Bentrokan antara aparat Tramtib dan pedagang serta mahasiswa UKI bermula. Saat itu, Victor hendak pulang ke rumah dan sedang menunggu bus ke Tanjung Priok. Tapi, melihat seorang pedagang kaki lima terluka, niatan pulang batal. Ia berusaha menyelamatkan pedagang yang terluka. Malangnya, saat hendak menolong, Victor terjatuh. Ia pun langsung dianiaya Tramtib. Seorang teman Viktor sempat melihat, Tramtib memukuli kepala, badan dan kaki Umbu memakai pentungan. Bahkan, kepala Umbu dihantam menggunakan bongkahan batu pembatas jalan dengan trotoar. Umbu pun kritis. Ia koma lebih dari dua minggu, tepatnya 17 hari.

Hingga kini, ungkapan simpati memang terus berdatangan kepada keluarga. Dari rekan mahasiswa, pedagang kaki lima, hingga anggota Dewan dari Senayan. "Minggu pertama, pedagang datang bezuk, bahkan ngasih santunan juga," ujar Yoseph, sahabat Umbu. Kamis (2/5) siang, tiga anggota PDI-P turut membezuk Umbu. Mereka ialah Firman Jaya Daeli, Agus Tjondro Prayitno dan Nur Suhud.

Secercah harapan baru terbit. Ariance pun bisa menarik nafas lega. Ia tidak hanya berharap Umbu sembuh. Lebih dari itu, ia ingin penganiayaan Umbu tuntas di jalur hukum. 31 Mei 2005, Ariance bersama pengacara keluarga dari Perhimpunan dan Bantuan Hukum Hak Azasi Manusia (PBHI) Jhonson Panjaitan melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya. "Saya ingin pelaku dihukum," tegas Ariance.

Untuk kesembuhan Umbu, memang mujizat Tuhan! Tapi, perkara pengusutan hukum kasus penganiayaannya, tentu bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Apalagi, kejadian Umbu bukan yang pertama!

*: Buat Umbu yang tak pernah kukenal akrab.

No comments:

Post a Comment