- -

It's never wrong to ask questions,
because in the land of the blind,
the one-eyed man is king.

- W R S -
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Perkenalan aku dengan sajak ini tak sengaja. Saat itu, aku sedang duduk berdiam dipinggiran oase Biru, 2 kilometer ke arah utara perkampungan penduduk terdekat, Kampung Biru.


Pertama sampai, mataku langsung akrab pendaran warna coklat dari berbagai varian gradasi yang mungkin terjadi, ketika siang hari. Di lokasi terasing dari ranah asalku berawal, aku pun berkehendak mencari tahu. Ini kampung apa.

Pernah aku teriak bertanya, ini kampung apa, sewaktu pertama aku berjumpa manusia penghuni daerah 'antah berantah' ini. Aku pun mendapat jawab yang tidak memuaskan. "Aku tidak tahu," singkat jawab seorang perempuan sambil menoleh berbalik arah; dan hanya rambutnya saja jelas kuingat; panjang melintasi leher jenjang, berkibar tersiram ringan riak angin, biru.

Aku berjalan sendiri. Menahan dingin, juga desir angin. Sambil tertunduk, mataku merujuk jejak sepasang tapak kaki yang selalu saja tak pernah lengkap kulihat. Kadang, tumit telah hilang. Kadang ibu jari sudah tak ada. Bahkan, hanya kelingking saja yang sisa. Hingga, suatu ketika tidak ada jejak tersisa.

Aku berdiri. Memutar pandang. Memutar tubuh. Delapan mata angin kutentang. Bayu rupanya, menderas. Aku pun masih berdiri. Merentang dua tangan, hendak bersayap. Memutar pandang. Memutar arah badan. Aku masih berdiri, sambil menengadahkan kepala. Kurasakan suara angin menyisir di dua liang telinga beranting liontin bunga. Aku masih berdiri, berputar dan pejamkan mata. Retina aku akrab dengan gelap. Kuhirup dalam udara seakan mencoba menyesakkan batu ke rongga dada. Tak terasa, aku pun terperangkap waktu purnama diatas kepala, saat kubuka mata. Entah sudah berapa lama aku berlaku demikian, tak jelas.

Perlahan, kurendahkan kepala di titik normal, kuhadapkan mata, tepat ke depan. Dan, lima detik kemudian, samar kulihat hilang menyebar. Sebuah oase, ditimpa kerlip bintang yang menyelinap diantara celah-celah dedaunan pohon menyerupai kelapa. Aku melangkah maju, menuju oase itu.

Sesampainya di oase, aku terkejut mendengar isak tangis. Perempuan. Ah, haruskah aku bertanya kenapa, atau ada apa. Dan, entah mengapa perkataan yang keluar justru tawaran. "Bisa saya bantu?"

Tangis terhenti. Aku mendekat sambil melihat sesuatu benda di sepasang telapak tangan tengadah menyatu, tampak asing bagiku. Nalarku bekerja cepat, mencerna: akan kuasosiasikan bentuk apa benda itu. Ah, aku teringat. Bentuk terdekat, barangkali, elips. Meskipun tidak tepat, aku puas. Aku mendekat, memperjelas.

Ah, hatiku lega. Tebakan aku tepat. Benda itu elips. Kutanya kepada perempuan itu, pertanyaan singkat, apakah itu sepasang matamu. "Aku tidak tahu," jawab perempuan itu, lalu berdiri. Ia melemparkan benda yang kuduga sepasang mata itu ke tengah oase--berbalik, berlari.

Aku menatap pana, ... teriak, "Kenapa?"

3 comments:

  1. Sebenarnya gua suka gaya tulisan yang melihat suatu objek secara kualitatif. Tapi, untuk menghadirkannya dalam bentuk tulisan, ternyata ga semudah itu. Mungkin gua harus mulai sering baca lagi. Kayaknya gua mau baca karya-karya; Danarto, Sartre, atau Tolstoi.

    ReplyDelete
  2. lalu darimana kau tahu kalau itu kampung biru?

    (kalo saya sendiri pasti berlari, atau berjalan sambil luak lieuk [maaf saat ini saya sedang lupa bahasa indonesianya luak-lieuk] mencari plang- biasanya suka ada kok)

    kalau kau mampir lagi ke kampung itu cobalah tunggu malam, lalu lihat apakah bulan disana berwarna biru... jika ya mungkin itu salah satu alasan mengapa gadis yang kau temui melemparkan benda ellips yang kau kira sepasang mata.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete