.... . ..... . . . . .. .. . .... .. . . . . (#1)

Sambil meloncat, kutikamkan belati pada lehernya. Lantas ia menoleh, tapi lekas kucabut tangkas belati yang nancap. Ia pun kembali sadar ke arah awal, bersama mukaku menghindar ciprat darah meloncat.
Perlahan, tubuh tambun yang memanggul aku di punggung, limbung. Jatuh!
Di bawah temaram lampu jalanan, kulihat dia meringis. Berkelojotan meregang, gemetar. Tapi, itu tak lama. Kutendang kepalanya, semakin lancarlah darah memancar dari luka yang semakin nganga, hampir terbelah.
Seiring pancur darah berkurang deras, ia pun semakin gencar menghisap udara lepas yang tak pernah mampu ia hembuskan; sekalipun matanya mampu melompat!
Berjongkok, kulihat si kepala botak pulas melotot beralas segenangan darah kental. Kusodok belati ke telinga kanan, lalu kugoyang. Ia sudah jadi bandul rupanya, batinku mengucap. Aku ubah posisi, berdiri. Berjalan keliling, sembari bersiul-siul kecil.
Sesaat aku berhenti, melongok tubuh tambun sekarung. Tanpa sadar bibirku merekah sewaktu aku menyeka muntahan darah yang sudah mengerak di sekujur muka. Aku hampiri ia, kuangkat tangan kanannya.
Kemeja lengan panjang biru muda milik dia, kupaksa koyak dengan belati berlumur merah. (Kulit legam, otot gempal, tampak nikmat.)
Kuasah belati dikulit gelap berimbun rambut. Dan, aku pun mulai membelah jaringan epidermis--empat senti meter dari pergelangan--lamban, merasuk perlahan ke lapisan otot-otot lurik, hingga membentur tulang hasta. Belatiku pun berkitar seputaran kontur tulang, mengerat.
Sayatan lingkar pertama usai sudah.
Aku mulai yang kedua, pada jarak tiga senti dari lingkar pertama. Caranya, tak jauh beda. Tidak terlalu sulit, bahkan cenderung menutup mata, sekejap selesai juga. (Ah, tinggal kukerat otot yang melekat di hasta tulang dia.)
Liurku mengalir, menahan ingin, juga dingin. Begitu gempal daging terlepas, segera kulahap. Taring kanan, menyobek keratan yang tak berat. Kukunyah pelan. Seperti tak mau lumat, langsung kutelan; bulan pun benderang sudah di pertengahan jalan, bersaput kelabu arak awan.
Tak puas hanya yang kanan, aku pindah ke kiri. Tak puas hanya tangan, aku pindah mengerat kaki. Puas kudagingi tangan, kaki; aku beralih ke bagian muka. Ingin kukuliti!
Bilah belati kuarahkan menyayat, bermula di sudut kening kiri. Gesek belati tak berbunyi mengikut rangka tulang dahi. Sampai dipertengahan, aku berhenti. Saatnya membelah vertikal, aku mengucap dalam hati.
Ujung teruncing belati pun berpindah haluan. Menuruni tengah kening, menyusuri lekuk hidung dan bibir, berakhir di belahan kurva dagu tumpul. Aku berhenti sejenak, menarik nafas seraya memperhatikan hasil kerja yang kubuat.
(Alangkah bagus bila kembali ke kening kiri.)
Aku pun melanjut laju belati ke sudut kening kiri. Mengikut rangka pipi, pelipis, juga memotong sedikit alis, hingga sampai di tujuan akhir. Pojok kening kiri, tempat bermula aksi.
Dari celah sayat, runcing belati kumasukkan. Tetesan darah tak lagi kuhiraukan, sebab muncrat darah sudah tak kuanggap luar biasa. Kuiris lancar belahan kulit wajah, hingga terlepas dan aku tertawa.
Seakan tertampar, aku terdiam. Aku merasa diri diintai. Seribu pasang mata memasung jasad. Kutolehkan pandang kebelakang, ramai orang-orang berdiri di trotoar jalan. Ada yang bergetar bibir, ada yang menutup muka, ada pula yang muntah.
Aku teriak bertanya: Ada apa. Lalu, tertawa. (Ah, bikin orang susah saja.)
Tak kuhiraukan mereka, aku melanjutkan usaha mencipta maha karya.
Tangan sudah kudagingi, muka sudak kukuliti. Mungkin, tinggal sedikit sentuhan akhir, bakal jadi instalasi histeri. Ya, tinggal kubelah saja perutnya, seperti rangkai dua jendela membuka. Masih dengan belati yang tak kenal letih, mulai kutikam kedalam perut tambun si kepala botak. Dari pusar, kubelah kasar, mengarah ke rangka tulang dada. Belahan vertikal usai sudah. Tinggal yang horisontal, dengan tengah tepat di pusar, ibarat memotong bolu buatan ibu.
Lipatan koyak, kubuka. Aih, usus, hati, lambungnya kuangkat keluar, hingga memburai serak. (Ya, sekarang selesai sudah! Tinggal termenung, mengingat apa yang telah.)

***

Sebenarnya, ia hanya ingin bercerita tentang kejadian lima hari yang lalu. Tapi, entah kenapa aku merasa bosan mendengarkannya. Ia hanya membaca barisan abjad yang telah tersusun manis di berlembar-lembar kertas berwarna merah agak muda.
Tiga pria dan satu wanita--keempatnya mengenakan pakaian wisuda--bergantian membaca tiga puluh tiga lembar kertas tersusun. Saat mereka membaca perlahan, kadang sembari menelan liur, aku hanya menunduk. Suara mereka yang keras, tegas, juga gemetar kudengar datang dari sisi kanan.
Tiba-tiba, usai mereka membaca, seseorang yang duduk di panggung berjarak tiga meter dari tempat aku duduk bertanya. "Anda mengerti, apa isi dakwaan jaksa?" Aku jawab, "Apa?"
Lelaki yang mengenakan toga merah dan hitam ini naik pitam. Jelas kudengar nada suaranya berubah. "Saya tanya, apakah anda mengerti isi dakwaan jaksa?" katanya dengan urat-urat leher yang mengencang keras dan jelas. Jawabanku pun masih sama, "Apa, Pak Hakim?"
"Saya tanya, apakah saudara terdakwa mengetahui isi dakwaan jaksa yang baru dibacakan tadi?"
Dan, jawabanku pun tetap sama. "Maksudnya, gimana Pak?"
"Anda jangan bermain-main. Tadi jaksa membacakan dakwaan terhadap Anda. Anda mengerti tidak isinya?" Kali ini, bukan hanya urat leher saja yang menegang. Matanya juga membelalak. Mulutnya menganga, mengeja tiap suku kata.
Aku hanya menunduk. "Ya, Pak Hakim. Saya usahakan untuk mengerti. Saya bolehkan minta kopi-an surat dakwaan, biar bisa saya baca lebih seksama nanti di penjara."
Hakim Ketua yang bernama entah siapa itu hanya bisa meraung. "Anda sudah berlaku kurang ajar. Anda didakwa melanggar paaaa....ssalll.ll..lll......"
Aku tak ingat ia menyebut apa selanjutnya. Cuma, setelah ia berteriak seakan mau diperkosa lima puluh enam setan-setan neraka betina, aku menggangguk. Bukan hendak menyatakan aku mengerti atau memahami. Tak lain karena, hanya tindakan itulah yang ia harapkan.
"OK! Kalau begitu, persidangan akan dilanjutkan pekan mendatang, dengan agenda pembacaan eksepsi."
Usai memutuskan, ia pun mengetuk palu satu kali. Dan, aku berdiri, lalu meninggalkan kursi duduk yang terasa nikmat itu. Dua polisi bersenjata mendatangiku, mengiringi aku selama perjalanan menuju ruang tahanan pengadilan, di belakang, tepat bersebelahan dengan kamar kecil untuk buang air besar juga kecil seluas tiga kali empat meter.

No comments:

Post a Comment