TIGA KISAH SATU CERITA, SUATU UPAYA MERINGKAS PIALA ASIA

(Nostalgia Nasionalisme, Cinta di Patah Hati dan Bayang-bayang Mahabarata)


“Masa sepakbola bawa-bawa nasionalisme,” kata seorang pemuda yang begitu membanggakan kedunguannya. Sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, merengut mendengar. Aku merasa situasi berubah menjadi syair Bhagavad Gita dalam episode Kurusetra.


Nostalgia Nasionalisme
Nyaris enam puluh dua tahun umur Republik Indonesia. Sepanjang itulah Belanda resmi angkat kaki, meski mereka sempat berusaha mengagresi Indonesia dua kali dan berakhir gagal. Pekik ‘Merdeka atau Mati’ lagi memang lagi di masa-masa Proklamasi.

Jaman berputar serupa cakra yang menggelinding. Jerman dengan paham rasisnya runtuh sudah. Sovyet juga tenggelam bersama Marxisme-Leninisme tahun 1989 seiring dengan dirubuhkannya tembok Berlin, pembatas Jerman Barat dan Jerman Timur. Kini, di jaman post-modernisme, di jaman globalisasi, nasionalisme menjadi benda usang yang diperjual-belikan di toko loak. Meski begitu, sesekali nasionalisme tampil sebagai barang antik yang diburu kolektor dari seluruh penjuru mata angin. Tak kecuali di Indonesia.

Indonesia tersingkir dari ajang Asian Football Championship 2007. Indonesia, bukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia alias PSSI. Lebih dari 50.000 penonton, termasuk di dalamnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, di Stadion Gelora Bung Karno yakin akan hal tersebut setelah Republik Korea Selatan menjaringkan bola satu kali di gawang Marcus Horison. Melalui televisi, jumlah orang yang yakin Indonesia tersingkir bukan lagi 50.000 lebih, melainkan berlipat-ganda menjadi 200 juta-an jiwa.

Meski tidak begitu intens, saya tetap mengikuti setiap pertandingan tim Merah-Putih melalui layar televisi. Setiap pertandingan yang saya lihat memberikan suasana psikologis yang berbeda, yang asing daripada yang saya rasakan di dalam keseharian. Saya begitu meng-Indonesia. Saya bukan orang yang romantis juga nasionalis, tetapi saya heran entah mengapa setiap kali mendengar lagu kebangsaan dinyanyikan hati saya bergetar-getar. Situasi jiwa begitu mencekam serupa horor yang bersahabat. Dan imajinasi saya pun melangkah masuk ke masa-masa Indonesia berkeringat merebut kemerdekaan. Alam di mana darah tumpah begitu melimpah di lahan Nusantara. Alam yang begitu merindukan cita-cita tahun ’28.

Di tengah landaan perasaan sedemikian, saya sadar bahwa sesungguhnya nasionalisme bukanlah bahasa yang susah untuk dijelaskan. Nasionalisme pada dasarnya adalah pengalaman, situasi kejiwaan. Keinginan menjabarkan nasionalisme dalam seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku, menurut saya hanya berujung pada kesia-siaan belaka. Lewat cara demikian nasionalisme tidak menjadi terang dan jelas. Malahan sebaliknya yang terjadi. Nasionalisme hadir dalam bentuk abstrak, njilmet dan bisa memasung kebebasan. Dan karena itu pulalah, nasionalisme pun mudah untuk disangkal—seperti yang dilakukan seorang pemuda yang begitu membanggakan kedungguannya di hadapan aku dan sepasang orang muda. Sebagaimana seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku yang memuat penjabaran nasionalisme mudah dibangun, maka semudah itu pulalah nasionalisme diruntuhkan. Seenteng menyusun sendi argumentasi pendukung nasionalisme, maka kelompok penentangnya pun akan mudah pula menyusun sendi argumentasi penangkal nasionalisme. Apalagi setelah kredibilitas rasio semakin dipertanyakan di penghujung abad ke-20 oleh para filsuf-filsuf kenamaan dunia. Maka, pengalaman pun tampil ke permukaan menawarkan cara dan metode pengenalan dan pendekatan yang lebih ampuh untuk menjabarkan nasionalisme. Di era sekarang ini, masa-masa penjajahan sudah tidak ada lagi, kelihatannya olahraga merupakan media paling tepat bagi pengajaran nasionalisme, terutama sepakbola. Sebabnya, cabang olahraga ini memiliki daya lebur kelas sosial yang begitu mematikan. Melihat tiga pertandingan kesebelasan Merah-Putih di Gelora Bung Karno melalui televisi, saya tidak merasa ada perbedaaan kelas yang jelas di antara penonton hadir, sekalipun mereka duduk di barisan VIP atau sekadar tribun kelas dua dengan harga tiket Rp15.000. Dan, memang nasionalisme sesungguhnya bekerja atas dasar peleburan kelas menuju satu keinginan bersama, Indonesia berjaya di ajang sepakbola dunia, di ajang perekonomian dunia, di ajang budaya dunia, di ajang bahasa dunia, di ajang pendidikan dunia, di ajang teknologi dunia, di ajang diplomasi dunia.

Sayangnya, nasionalisme di Indonesia jatuh pada pengalaman temporer belaka. Nasionalisme bukanlah pengalaman keseharian yang kolektif di Indonesia. Nasionalisme hanya milik segelintir orang di negeri ini. Dan saya merasa tak layak untuk menjawab mengapa seperti itu keadaannya. Nasionalisme di Indonesia hadir serupa kaset yang dibeli hanya untuk didengar sesaat dan setelahnya dibuang atau dijual ke toko loak hingga tiba suatu masa para kolektor dadakan pun berjibun antri membelinya sekadar ingin bernostalgia belaka.


Cinta di Patah Hati
Sejak Piala Asia digelar, ratusan kostum Merah-Putih laris manis di pasaran. Ribuan pemain ke-dua belas ikhlas membeli kostum dan dengan bangga mengenakannya dalam perjalanan dari rumah menuju Stadion Gelora. Rasanya, seperti orang pacaran saja. Para penonton hadir sebelum janji pertandingan dimulai. Memang, di sana para pemain ke-dua belas dan kesebelasan Indonesia sedang dimabuk cinta pada kata ‘Menang.’ Apalagi, ‘Ini kandang kita!’

Namun, kini semuanya pupus sudah. Meski Indonesia tak perlu angkat koper, tapi hati tetaplah sedih. Asmara yang mereka harapkan punah ditelan Kerajaan Arab Saudi dan Republik Korea Selatan. Tapi, apa mau dikata. Segala upaya sudah tumpah, mulai dari keringat, tabuhan gendang hingga teriakan. Semuanya tak cukup untuk membuat Sang Kekasih bertekuk lutut. Ada ujar yang mengatakan, “Mungkin Dewi Fortuna masih di Italia atau Yunani atau Belanda atau Amerika malah. Dia tak sempat berjalan-jalan ke Asia, dan singgah di Indonesia.”

Sedikit berlagak bijak, saya merasa Indonesia belumlah menjadi Don Juan di lapangan sepakbola. Meski begitu, patutlah diingat pula bahwa Don Juan tidak lahir dari sukses belaka. Reputasi kisah cintanya yang melimpah ruah tentulah buah dari duri-duri kegagalan yang berhasil diaenyahkan. Demikianlah cinta adanya. Dibutuhkan kerja keras, ketulusan, keseriusan dan jam terbang yang lama. Pengalaman lagi-lagi menjadi yang utama; dan dalam hal ini patah hati Indonesia di lapangan bola masih terbilang terlampau sedikit. Itu tak cukup buat modal bersaing dengan Don Juan lapangan hijau lainnya, semisal saja Kerajaan Arab Saudi, Republik Korea Selatan atau Jepang. Apalagi Brasil, Argentina, Italia pun Belanda. Padahal, Sang Kekasih yang bernama Kemenangan alias Victory itu juga merupakan idaman hati dari ratusan tim yang ada di Bumi ini.

Kekalahan di ajang Piala Asia pasti membuat Indonesia bersedih. Tetapi, yang penting adalah bangkit dari kesedihan. Sebab harus diingat pula, Sang Kekasih di lapangan sepakbola yang bernama Kemenangan itu selalu setia menanti, meski senang berganti-ganti pasangan. Kerja keras dan ketulusan dan keseriusan adalah hal yang patut diprioritaskan setelah jam terbang masuk kategori tak terkalahkan. Setidaknya, itulah yang saya ketahui setelah melihat sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, saling senyum. Saya sempat mengingat aura lesu dan layu yang terlukis di wajah keduanya ketika peluit panjang berbunyi dan babak kedua pun selesai dengan skor 1-0 untuk Republik Korea Selatan. Saya hanya bisa menyimpulkan, “Sepertinya mereka sudah kuat menahan patah hati,” sambil tertawa-tawa sendiri.


Bayang-bayang Mahabarata
Menjelang Piala Asia, di seputaran Stadion Gelora ramai terpasang poster raksasa potret pemain kesebelasan Indonesia beraksi dengan satu tag-line ‘INI KANDANG KITA’ di sudut kanan bawah. Di belakang potret ada gambar tokoh pewayangan dari kisah Mahabarata, serta sedikit Ramayana. Dan yang berada Bambang Pamungkas adalah sosok Arjuna, ahli memanah asal Hastinapura, sedang Ellie Aiboy kalau tak salah disandingkan dengan Anoman, kera putih yang membantu Rama menaklukkan Alengka.

Ide menyamakan para pemain kesebelasan Merah Putih dengan tokoh pewayangan menurut saya menarik. Tapi, yang saya sayangkan mengapa pengurus PSSI jatuh pada pilihan yang didominasi kisah Mahabarata. Maaf, bila saya dirasa terlampau berlebihan. Saya tidak bermaksud menyatakan Mahabarata sebagai kisah yang jelek; pun menyamakan Ponaryo dan rekan dengan para tokoh Mahabarata adalah ketololan. Saya pun tidak ingin mengkritik, tindakan itu sangat berkesan Jawasentrisme. Sama sekali tidak ada niatan demikian.

Penilaian yang saya tuliskan pada bagian ini terinspirasikan perkataan Ki Mantheb S. Suatu ketika ia pernah berkata, “Wayang adalah bayang. Ketika dalang memainkan tokoh wayang di sebelah kanan, penonton penikmat malah menyaksikan tokoh tersebut berada di sebelah kiri. Begitulah, kanan pun menjadi kiri, sedang kiri menjadi kanan. Antara Kurawa dan Pandawa, siapakah yang lebih baik? Tokoh-tokoh Kurawa yang dimainkan di sisi kiri, bagi penonton malah berada di sisi kanan. Tokoh-tokoh Pandawa yang dimainkan di sisi kanan, bagi penonton malah berada di sisi kiri. Apakah Pandawa memang berada di posisi seratus persen benar? Bagaimana dengan peristiwa perjudian Pandawa dengan Kurawa, ketika Yudhistira menjadikan istrinya sebagai taruhan? Apakah ada moralitas Pandawa dalam situasi demikian?” Kira-kira demikianlah Ki Mantheb berkata.

Sedikit lancang, saya menyimpulkan pengisahan Mahabarata tidak ditujukan pada pemilahan baik versus jahat yang kaku, melainkan samar dan penuh jebakan. Pengisahan itu, menurut saya tidak seperti kisah Ramayana. Di kisah Ramayana, baik versus jahat memang benar terpisah. Baik ada di kubu Rama, Laksmana dan Sinta. Sedang jahat, adanya di Alengka, tepatnya Rahwana. Memang ada latar yang perlu diperhitungkan, semisal Rahwana menjadi jahat disebabkan sebab tertentu dan Rama harus menjadi pembuangan dari Ayodya pun dikarenakan suatu ihwal yang bila dikisahkan disini menjadi terlampau meluas. Namun, sebab dan ihwal mengapa Rahwana haus darah dan Rama terbuang tidak menjadi alasan pemaklum. Sepanjang pengisahan, tetap saja Rahwana ditempatkan sebagai orang yang jahat dan harus dibasmi. Karena itu, menurut saya, alangkah tepatnya bila para pemain tim nasional digambarkan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari kisah Ramayana. Bisa Sugriwa, Subali, Anoman, Rama, Laksmana, Batara Indra, Hyang Baruna dan semacamnya. Bila sudah demikian, tentulah lawan kesebelasan PSSI pastilah duta Alengka. Karena itu, seturut takdir dan kehendak dewata yang berlaku dalam kisah Ramayana: Alengka kalah, pun (saya berharap) berlaku juga di lapangan sepakbola.

Meski begitu, pada dasarnya saya tak hendak mencari-cari kambing hitam penyebab tak lolosnya tim nasional Indonesia dari babak penyisihan. Hal yang tersebut di atas adalah kenyelenehan yang saya sadari sendiri dan belumlah tentu benar penafsiran demikian. Dan karena kisah Mahabarata itulah saya suka membayangkan lapangan sepakbola di Stadion Gelora seperti medan pertempuan Kurusetra, lokasi Pandawa dan Kurawa beradu digdaya. Dan di setiap pertandingan tim nasional Indonesia, pertanyaan siapakah Pandawa dan Kurawa selalu sulit untuk dijawab sebelum peluit panjang berbunyi untuk terakhir kali dan memang saya menetapkan pilihan untuk tak menjawabnya. Kesebelasan mana saja bisa menjadi Pandawa atau Kurawa. Yang jelas, Ivan Kolev sungguh berhasil menghadirkan Kurusetra di Stadion Gelora. Indonesia tampil dengan kolektifitas yang tinggi, daya juang yang menggunung, meski terpaksa takluk pada kebugaran fisik yang cepat padam, terutama pada pemain yang berada di medan gelandang. Tetapi, keletihan fisik itu tidak menghapus pukauan strategi dan nyali yang luar biasa yang ditunjukkan pemain tim nasional yang berlaga di lapangan: Yendri Pitoy, Marcus Horison, Maman Abdurrahman, Yulianto, Ricardo Salampessy, Muhammad Ridwan, Ellie Aiboy, Budi Sudarsono, Syamsul Chairul Bahri, Ponaryo Astaman, Eka Ramadani, Firman Utina, Bambang Pamungkas, Mahyadi Panggabean, Supardi, Atep, Ismed Sofyan dan juga Erol Aiboy.