Fragmen: Sepulang Menjenguk Titarubi Di Bentara Budaya

Sudah malam rupanya. Sambil melihat taman berpohon rindang yang begitu tenang aku dengar Alia bicara di atas lori kereta Lelaki asal Eropa asyik bercanda dengan teman perempuannya yang berbaju hitam. Rokokku sudah tinggal puntung tewas dalam pijakan sepatu. Silahkan menikmati pameran tunggal Titarubi berbaur dengan gemuruh riuh telapak tangan yang beradu.

HERSTORY. Ah, aku sedang tak ingin mengkritik. Tak ingin pula aku berbual di hadapan instalasi rel keretaapi berjudul Kisah Tanpa Narasi. Alia masih ada dalam telingaku. Dia pun masih ada dalam mataku. Serupa taman berpohon rindang yang begitu tenang serta dua potong bakpau goreng dan sesendok Chinese kung pao. Atau senyum Mas Ipung serta segelas bir kaleng di tangan Redana. Tak maksud aku mencela, sungguh. Tapi jiwa selalu menawarkan garam yang asing. Garam asing yang melahirkan kejut dan takut. Alia, kacamatamu sama indah dengan sepatu kets yang engkau pakai.

Titarubi mengingatkan aku pada kehidupan kota di Inggris yang pernah kudiami hanya beberapa bulan saja. Di sana, para bangsawan begitu senang berkereta kuda di sekitar istana ratu dan raja. Aku hanya bisa iri melihat busana mereka. Paduan kain yang penuh kerumitan. Entahlah, aku rasa mereka memang senang bercanda dengan senjata atau pena. Para lelaki memang senang menulis di atas pakaian yang bukan hanya miliknya sendiri. Sekarang, aku kembali ingat pada ucapan Romo Franz. “Kita bisa mempertanyakan mengapa hanya ada ‘history’. Bagaimana dengan ‘herstory’? Tapi bagaimana pula dengan ‘sejarah’?” Aih Alia, aku memang merasa ada yang kurang dengan ketimuranku. Tapi bukannya ketimuranku tak indah. Sebagaimana maha karya terindah yang engkau tulis dalam hatimu, demikianlah keindahan ketimuran yang ada dalam diriku. Keindahan dan kesempurnaan adalah dua hal yang berbeda. Maafkan aku.

Aku tidak tahu harus memanggil apa padamu. Tita atau Rubi? Mbak Tita atau Mbak Rubi? Ibu Tita atau Ibu Rubi? Aku sangat bodoh karena tak tahu harus memanggil apa padamu. Aku ingin bertanya padamu. Adakah diantara kata-kata yang tadi kusebutkan mampu menampung rasa hormat dan takzimku kepadamu? Titarubi, perempuan kelahiran Bandung pada 15 Desember 1968, terimalah hormat dan takzimku padamu.

Kisah adalah kejadian. Narasi adalah penceritaan suatu kisah. Aku kagum ketika engkau mampu memilih judul Kisah Tanpa Narasi. Kata-kata yang engkau pilih, secara harafiah mampu menerjemahkan diri sendiri. Di dalam batinku, bahkan, kata pilihanmu sudah menjadi metafora dari dirimu yang sangat-sangat personal. Melalui kata-katamu, aku melihat gelisah dan berontak menyala-nyala dalam dirimu. Dua jalan kereta yang saling melintasi satu sama lainnya. Tapi aku tak menemukan rel yang saling tikam di titik temu perlintasan. Aku malah melihat persimpangan. Entahlah. Persimpangan memang tempat yang menakutkan. Tapi, tak jarang pula persimpangan adalah tempat pengalaman. Persimpangan adalah tantangan.

Titarubi, Titarubi. Di dalam mataku masih tersimpan instalasimu. Ada lori keranjang gigan penuh manekin keramik. Tapi, ada pula lori yang kosong. Manekin keramik engkau tumpuk seakan penuh kekesalan. Tak ada manekin yang utuh aku perhatikan. Selalu saja ada cacat. Entah tangannya patah, pinggangnya patah, atau kakinya patah, kepalanya retak, atau malah telinganya sudah rompal. Tumpukan manekin keramik yang menjelma menjadi pemandangan penumpang kereta api kelas ekonomi Jabodetabek, dalam pembahasaan Efix Mulyadi. Tapi aku tak melihat seperti Efix. Aku mendengar. Aku mendengar jerit dari manekin-manekin keramikmu. Rasanya, seperti melihat para arwah menari-nari di taman berpohon rindang yang begitu tenang. Jerit manekin keramikmu membawa pikiranku menerabas waktu. Jerit-jerit dari masa lalu. Jerit-jerit dari masa kini. Jerit-jerit dari masa depan! Jerit, dari, keranjang. Hmm, keranjang.

Titarubi, Titarubi, Titarubi. Keranjang. Hmm, siapakah kini yang tak mengenal benda itu? Siapakah kini yang tak lepas dari benda itu? Siapakah pencipta benda itu. Aku menjadi teringat ketika mengambil mata kuliah kebudayaan kontemporer. Keranjang adalah simbol dari budaya belanja manusia metropolitan. Sedang belanja adalah simbol dari psikologis kekuatan materi. Ada engkau ingin mempersamakan kekuatan materi dengan tuhan? Aku lagi tak ingin bertaruh. Biarkan aku hanya mendekatkan siapa pada manusia. Aih Alia, semoga saja aku tak salah. Ada karpet merah yang mengalasi jalan kereta api. Adakah itu darahku, darahmu, atau malah darah semua manusia? Seperti fitrah kereta di atas rel: selalu berjalan. Sedang Kisah Tanpa Narasi mengingatkan: mungkin manusia tak butuh kereta, tak butuh keranjang; meski persimpangan tak bisa dipunahkan.

Titarubi, Titarubi, Titarubi, Titarubi. Aku duga, engkau tak bakal melupakan THE SILENT SOUND OF WAR, LINDUNGI AKU DARI KEINGINANMU, I WISH I HAD A RIVER, HERSTORY ABOUT FOOT: DI BAWAH KAKIMU BUNGA-BUNGA SUDAH MATI, SELAPUT, VAGINA BROCADE, HERSTORY ON WHITE: BAJU YANG KAU PINTAL TERLALU BERAT BAGIKU, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL #2, HERSTORY ABOUT FINGER, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL, yang sudah menyatu di dalam Kisah Tanpa Narasi.

Alia, inilah kiranya kekurangan dari ketimuranku. Mungkin ada baiknya—mudah-mudahan apa yang aku sebutkan bukanlah bualan terhebat yang pernah aku ucapkan—tajuk pameran tunggal Titarubi bertajuk HERSTORY digubah menjadi HERSTORY: Kisah Tanpa Narasi. Maafkan aku Alia. Maafkan aku Titarubi. Ini semua karena aku hanya ingin memaknai apa itu HERSTORY.