Tujuh Hari Mogok Buruh



Jika hari kemarin berkaitan dengan hari ini dan esok hari, demikianlah Marx memandang sejarah—zaman kemarin senantiasa berkaitan dengan zaman sekarang dan yang akan datang.

Zaman sekarang adalah zaman kapitalisme (ada yang menyatakan kapitalisme lanjut atau kapitalisme finansial) yang tidak dapat dilepaskan dari feodalisme pada zaman lalu, yang akan menuju zaman komunisme pada zaman yang akan datang. Dasar pengkategorian zaman-zaman itu adalah relasi kerja; zaman kapitalisme ditandai oleh relasi kerja buruh dan pemodal bersifat eksploitatif, zaman feodalisme ditandai oleh relasi kerja antara petani dan tuan tanah yang juga bersifat eksploitatif, zaman komunisme ditandai oleh relasi kerja yang membebaskan, tanpa eksploitasi.

Dengan demikian, satu-satunya zaman yang dapat menjelaskan mengapa ada buruh adalah zaman kapitalisme. Pertanyaan mengapa ada buruh melahirkan kemungkinan bertanya “apakah pada masa yang akan datang buruh tetap ada atau tidak?” Marx yakin bahwa pada masa yang akan datang kelompok atau kelas yang disebut buruh akan tidak ada lagi dan hal itu adalah keniscayaan.

Pada zaman kapitalisme, setiap peristiwa yang terjadi pada hari kemarin, hari ini, dan esok senantiasa dipahami sebagai pertentangan antara buruh dan pemodal—yang tentunya ditengahi oleh negara (yang kadang kala, atau malah seringnya berpihak pada pemodal). Wujud nyata dari pertentangan ini adalah waktu kerja 8 jam per-hari bagi para pekerja pada hari ini, yang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa yang terjadi pada hari kemarin, yaitu mogok buruh menentang waktu kerja yang melebihi 8 jam per-hari (agar gambaran ini lebih nyata, bacalah tulisan-tulisan Marx menyangkut kondisi pekerja pada masa-masa awal revolusi industri di Inggris pada akhir abad 18). Demikian juga dengan tujuh hari mogok buruh menuntut upah yang layak!

Tiga dan Barangkali



Tiga hari lalu, saya berdiskusi dengan teman saya. Ia berkata, "Barangkali, Vid, di sebuah negeri di mana kita begitu mudah menemukan kesalahan, sesungguhnya negeri itu hidup dalam ketakutan." Dalam pikiran saya, muncul pertanyaan: "Apa yang kau maksud dengan kata 'negeri'?"

Cita-Cita dan Modalitas



Cita-cita, dalam pemikiran Immanuel Kant, adalah modalitas—salah satu dari 12 kategori Pemahaman (Understanding/Verstand) Kantian. Dengan cara demikian, saya paham mengapa anak-anak sering mendapat pertanyaan tentang cita-cita mereka. Melalui bercita-cita, [tanpa disadari] anak-anak sudah [mulai] mengenal apa yang kelak akan mereka kenal sebagai Kemungkinan (Possibility) dan Kemustahilan (Impossibility)—dan tentunya, kemampuan mereka memberikan jawaban mengisyaratkan bahwa mereka memiliki Nalar (Reason).