Paragraph Kecil Tentang Lelaki Bertanduk

Lelaki bertanduk, yang sering aku lihat berjalan-jalan di taman-taman kota, mendadak santun bicara di hadapan khalayak. Ia bicara tentang perjuangan, dan dengan sangat sengaja menyeludupkan makna akan sebuah dukungan. Dengan kening yang bertanduk, sungguh aku tak pernah melihat dia berkelakukan seperti itu. Setahuku, dia hanya berperilaku santun ketika bermeditasi di dalam kamar baca yang memang khusus dia persiapkan di rumahnya, sebuah rumah yang berharga Rp2 miliar.

*

Ketika manusia sudah tak lagi percaya pada kekuatan Adimanusia--jika dianggap ungkapan 'tidak lagi percaya' keterlaluan, adalah lebih baik dan santun bila saya menyatakan: Ketika manusia meragukan kepastian yang dijamin kekuatan Adimanusiawi--manusia pun kehilangan tanah, tera. Ia tidak lagi berpijak di Bumi. Ia melayang, mengambang. Ia, gelisah.

Ketika gelisah, ia sadar kehidupan berjalan. Ketika kehidupan berjalan, ia sadar makna tetap ada, tetap dibutuhkan. Di sini, kegelisahan yang berakar pada ketidakpastian, menemukan kepastian. Di sini juga, kepastian menampilkan diri sebagai sesuatu yang menggentarkan. Tanah yang menghidupkan, sekaligus mematikan.

Kepastian hadir sebagai Makna. Tetapi, tepat di balik Makna-lah bersemayam problematika. Sesuatu yang mengesankan bak pelangi sekaligus dingin ibarat belati. Sebagai yang mengesankan, Makna hadir adalah yang abadi, universal, ada dengan sendirinya, yang hakiki, sesuatu yang tanpa rekayasa. Sebagai yang dingin ibarat belati, Makna hadir adalah yang sementara, partikular, ada karena kreatifitas penciptaan, tanpa-inti dan selalu berganti, sesuatu yang penuh rekayasa. Sebagai pelangi, Makna adalah Harapan. Sebagai belati, Makna adalah Mimpi.

Di hadapan Harapan dan Mimpi, ia tak lagi gelisah dalam ketidakpastian. Di hadapan Harapan dan Mimpi, ia bertemu keniscayaan, sebuah ke-tanpa-ca(ha)yaan, sebuah kegelapan yang menyimpan jawaban. Sayangnya, ia harus memilih: Harapan atau Mimpi; sebab ia sadar kehidupan berjalan, dan Bumi tak pernah menanti. Ketika itu, kegelisahan menjelma kecemasan. Misteri.

Ia yang kehilangan tanah, kini menemukan tera. Ia yang gelisah, kita bersua niscaya. Ia, yang melayang dan mengambang, kini sudah menapak dan menjejak seperti sedia kala. Kecemasan adalah keniscayaan yang baru. Kecemasan adalah tanah!

*

Tidak ada sejarah tanpa tanah. Tanah ibarat kertas bagi pena sejarah. Cerita tentang sebuah tanah, adalah cerita tentang perjuangan. Dan perjuangan itu pada mulanya adalah perebutan kewenangan atas suatu teritori. Dari cerita para pemenanglah, pena sejarah mendapatkan tinta untuk menulis serangkaian kata di atas tanah. Kata adalah Kekuasaan. Maka, sejarah pun dirumuskan sebagai pertarungan memperebutkan paragraph pada narasi Sejarah Besar. Perjuangan adalah Sejarah Besar.

*

Sebuah dukungan adalah sebuah keberpihakan. Sebuah dukungan adalah tinta bagi pena sejarah. Sebuah dukungan, selalu mengandaikan adanya perjuangan. Dukungan, punya ikatan batin dengan Sejarah Besar. Dukungan, lahir dari kecemasan.

*

Pada jantung kecemasan, kematian mendirikan rumah. Di atas kematian, Harapan dan Mimpi tegak berdiri. Di dalam kegelapan, Harapan atau Mimpi unjuk diri. Ia, yang gelisah, yang cemas, yang sadar bahwa kehidupan berjalan, yang meragukan kekuatan Adimanusiawi, harus menentukan arah. Memilih Harapan atau Mimpi. Ketika ia mengambil keputusan, seketika itu pulalah, tanah yang dahulu hilang tumbuh kembali. Ia yang melayang dan mengambang, kini berpijak dan menjejak. Bersamaan dengan itu, seketika, Sejarah Besar pun tercipta. Perjuangan menjadi nyata, dan dukungan adalah darah. Maka, Harapan atau Mimpi tak lain adalah darah! Beda keduanya ada di dalam waktu.

Harapan, mengandaikan yang abadi. Mimpi, mengandaikan yang tak abadi. Harapan tak memberi peluang untuk berbalik dan mengubah haluan. Mimpi, menawarkan peluang untuk kembali, memutar haluan, atau malah mengacuhkan atau menghancurkan apa yang telah dipilih. Tetapi, bukankah itu semua lahir dari ketiadaan pijakan, keraguan ataupun ketidakpercayaan terhadap kekuatan Adimanusiawi? Sebuah pertanyaan yang memercikan cahaya.

Antara situasi sebelum dengan sesudah manusia ragu atau tidak percaya terhadap kekuatan Adimanusiawi, hanya satu yang tetap ada: Makna. Pada kedua situasional itu, pada hakikatnya, Makna adalah apa yang menjembatani manusia dengan Tanah.

* * *

Aku terus mengikuti lelaki bertanduk. Begitu sampai di rumah, dia duduk di beranda, menikmati senja sambil menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya pelan-pelan, kemudian ia tidur untuk selamanya. "Ia sudah memecahkan Misteri," begitu aku berkata diam-diam kepada asap rokoknya yang belum menghilang.


26 Mei 2009

SEMANTIK DURI DARI ISTANA


Keamanan cuma menjanjikan satu hal: Tidak seorang pun merasa nyaman.



Seingat saya, menjelang pelaksanaan Pemilu 9 April ada pemandangan yang menyakitkan bagi mata saya. Sepintas, barangkali saja, bagi orang-orang tertentu adalah hal yang biasa dan lumrah pula. Namun, bagi saya, apa yang tengah menampilkan dan masih tetap tampil pada saat saya menulis tulisan ini serta akan terus tampil hingga terpilih Presiden Indonesia yang baru adalah sesuatu yang mengejutkan: kawat duri lingkar yang mengelilingi Istana Negara. Berkali-kali saya melewati Istana Negara, berkali-kali pula saya merasa miris ketika memperhatikan instalasi kawat duri di depan Istana Negara.


Keberadaan kawat duri di depan Istana Negara memberikan pemaknaan yang unik bagi Istana Negara itu sendiri. Istana Negara sebagai simbol politis, lebih khusus mengacu pada kesakralan kekuasaan, mengalami kemerosotan makna. Kehadiran kawat duri yang mengelilingi Istana Negara, bagi saya, memenggal sejarah sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Melacak pada ranah sejarah, kehadiran negara Indonesia di kancah dunia pada abad 20 merupakan hasil perjuangan berkeringat-berdarah mengasah rencong kebangsaan sebagai senjata peruntuh benteng kolonialisme batu Belanda. Pada 1945, buah pun dipetik. Indonesia berdiri dan lahirlah tatanan masyarakat baru, yang sekaligus mengimplikasikan tatanan pemerintahan baru, tatanan pemerintahan yang setidaknya berbeda dari tatanan pemerintahan kolonialisme.


Kemandirian bangsa untuk membentuk tatanan pemerintahan baru mewujud lewat perancangan dan pengesahan konstitusi yang mengenal dan menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam pertautannya dengan Istana Negara, yang dikombinasikan dengan penalaran ala Aristotelian, Presiden adalah forma dan Istana Negara adalah material. Presiden dan Istana Negara adalah kesatuan substansial.


Konstruksi pemahaman demikian menggiring pikiran saya untuk menemukan jawaban mengapa saya bisa merasa terkejut melihat kawat duri yang mengelilingi Istana Negara. Adanya kawat duri yang mengelilingi Istana Negara, dari sudut historis, tidak lagi menempatkan Istana Negara sebagai simbol kemandirian bangsa meraih kemerdekaannya, melainkan memindahkan semangat perjuangan pada kolonialisasi. Istana Negara tidak lagi menjadi Istana Negara, melainkan kembali menjadi benteng kolonialisme batu Belanda. Presiden tak lagi hadir sebagai simbol pemaknaan baru atas tatanan masyarakat yang mandiri, yang bebas dari kekangan kolonialisme, yang berdaulat, melainkan hadir sebagai tokoh-tokoh kolonialisme yang gemar mengeksploitasi orang lain serta hobi menaburkan benih-benih ketakutan di tanah orang lain.


Kawat duri adalah bahasa pertahanan teritorial, bertahan dari kemungkinan—atau malah kepastian—serangan mendadak dari pihak yang diidentifikasi sebagai musuh. Secara semantis, pilihan menempatkan kawat duri mengelilingi Istana Negara adalah pilihan yang secara langsung menempatkan Presiden tengah berjaga-jaga atas serangan yang mungkin dilakukan terhadap dirinya dari kelompok yang telah dia identifikasi sebagai musuh. Dan, apakah kategori musuh adalah tepat dipergunakan? Apakah mungkin Presiden tengah berperang melawan bangsa Indonesia?


Saya pikir, apa yang telah saya ungkapkan lebih merujuk pada aspek bawah-sadar. Kontekstualisasi pernyataan saya berlaku pada dimensi bawah-sadar. Sebab, dugaan saya, putusan menempatkan kawat duri mengelilingi Istana Negara adalah putusan yang semata-mata didasarkan pada perhitungan keamanan. Namun, justru di situlah kelengahan pola keputusan yang lebih mengedepankan aspek teknis penjaminan keamanan dari pada menelisik lebih jauh pada aspek semantis. Aspek teknis mengacu pada sadar, sedangkan aspek semantis mengacu pada bawah-sadar.


Dari sisi teknis, sulit untuk mengatakan bahwa Presiden memang tengah berperang menghadapi sesuatu yang telah didefenisikan sebagai lawan; sebab sudah jelas bahwa kalkulasi teknis lebih mengedepankan sarana praktis menjamin keamanan dengan fasilitator dari institusi polisi. Dari sudut semantis, saya pikir, apa yang tengah saya pikirkan adalah tepat. Sebuah pertanyaan komparatif cukup membantu saya untuk memperkuat dugaan tersebut. “Apakah tepat, sebuah simbol kemenangan, Istana Negara, yang memiliki ikatan dengan masa lalu serta harapan pada masa depan dari suatu bangsa yang telah berhasil menggagas kemandirian serta kedaulatannya sendiri, untuk di suatu masa setelah kemerdekaan diraih malah mempergunakan secara sengaja kawat berduri yang ditata sedemikian rupa untuk menjamin keamanan dari Istana Negara tersebut, padahal masa-masa perang sudah berakhir?”


Jika memang situasi demikian saya asumsikan hanya terjadi pada masa perang, maka di manakah perang itu sekarang? Hanya satu momen yang menerangi saya, yakni: Pemilu. Pemilu mengalami transformasi makna di Istana Negara menjadi Perang! Dan, adalah tragis bagi saya bila tindakan teknis serupa dipergunakan di masa-masa Pemilu mendatang oleh orang nomor satu di Republik Indonesia. Adalah lebih baik dilakukan perbaikan dengan menyelaraskan putusan teknis dengan pertimbangan semantis untuk menjamin keamanan Istana Negara? Atau malah diambil putusan radikal dengan memindahkan Istana Negara ke lokasi yang lebih mampu menjamin minimalisasi penggunaan pengamanan fisikal, seperti kawat duri itu. Tetapi, di sinilah puncak ironi paling akhir: Ketika kita merancang upaya penjaminan keamanan, pada saat bersamaan tidak seorang pun yang merasa nyaman. Sebuah ironi atau malah optimisme?