FRAGMEN MAKNA

§1. Makna. Persoalan pe-Makna-an berlangsung di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara kutub sakralitas dan anarkisitas makna.

Sakralitas makna adalah humus bagi mekarnya dogmatisme. Ketika dogmatisme merebak, kontras dikotomi a la hitam-putih menyala, benar-salah merajalela, otoritarianisme mulai mencengkram kehidupan, di mana dampak paling ekstrim adalah matinya teks, yang bisa dibaca sebagai matinya manusia disebabkan kemungkinan akan adanya potensialitas makna lain di luar makna yang sudah disakralkan diabaikan, dibuang, dimusnahkan. Ketika pengabaian, pembuangan, pemusnahan metafisis berlangsung, ketika itu pulalah kekerasan memanifestasikan dirinya lewat penyeragaman akal dan cara pandang.

Anarkisitas makna adalah humus bagi mekarnya relativisme. Ketika relativisme merebak, kontras dikotomi a la hitam-putih hilang arwah berganti warni warna pelangi, semua hal ada benar, demokrasi gelap mata lenyap nyawa, di mana dampak paling ekstrim adalah hilangnya teks, yang bisa dibaca sebagai ketiadaan manusia disebabkan realitas hilang fondasi metafisisnya. Atau dengan kata lain, makna menjadi sesuatu yang tak bermakna, nihil, tiada, sia-sia. Ketika benih-benih kenihilan, ketiadaan, kesia-siaan lahir pada aras metafisis, ketika itu pulalah manusia harus bersedia menerima bahwa hakikat dirinya identik dengan batu dan burung hantu.

Selbstbewusstsein Sastra



§1. Apologia. Apa yang hendak saya sampaikan berangkat dari segala keterbatasan saya. Pemahaman, sebagaimana yang tercermin dalam skema struktur pemikiran termaktub—dengan segala kelemahan dan kekurangan—mendapat inspirasi dari pemikiran Hegellian. Sialnya, saya tidak terlalu memahami secara detail pemikiran tersebut. Sepenuhnya, inspirasi pemikiran Hegel termaksud berasal dari pengajaran Frederick Coplestone tentang Hegel dalam buku History of Philosophy-Vol.VII. Saya sadar ada kelemahan yang pasti dapat ditemukan bila teks saya diselidiki lebih mendalam.


§2. Problematisasi. Ada dua alasan—setidaknya yang saya sadari—mengapa saya memilih Hegel. Pertama, ketakterdugaan yang saya alami saat membaca teks Coplestone. Ketika membaca teks dia mendadak—dan entah mengapa—saya berpikir bahwa apa yang disampaikan Hegel tampaknya dapat diterapkan di bidang sastra. Saat itu, percikan inspirasi tadi saya anggap sebagai penyedap hati yang sedang suntuk menghadapi teks rumit pemikiran Hegel yang sudah disederhanakan oleh Coplestone. Kedua, keheranan saya yang muncul saat membaca pemikiran Sapardi Djoko Damono (SDD) yang menyoal peran sastrawan dan fungsi sastra dalam masyarakat sejak dulu hingga nanti yang dituang SDD dalam buku Politik Ideologi dan Sastra Hibrida terbitan Pustaka Firdaus pada 1999; kerumitan SDD masih ditambah lagi oleh wawasan problematika sastra yang dijabarkan Radhar Panca Dahana (RPD) dalam buku Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra terbitan Indonesiatera pada 2001, khususnya menyangkut peran sastra dalam masyarakat (atau bagi personal).

SDD menilai posisi sastrawan dan fungsi sastra dari waktu ke waktu mengalami perubahan; begitu juga RPD menilai posisi sastra dan fungsi sastra juga mengalami perubahan. Keduanya sampai pada konklusi nyaris mirip (menurut saya) di mana SDD berpendapat ‘aksara tetap bertahan’ (SDD, 1999, hal.142); RPD berpendapat ‘proses manusia menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan pemahamannya atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya’ (RPD, 2001 hal. xiii). Persoalannya: mengapa bisa demikian?

Bagi saya, eksplisitasi atas pertanyaan tadi tidak jelas. Saya sempat pikir, barangkali ketidakjelian saya membaca akar ketidakjelasan eksplisitasi yang saya alami. Harus saya akui bahwa dalam setiap tulisan yang saya baca pada SDD dan RPD ada kelebat postulat ‘dengan segala kerumitannya, di dalam sastra senantiasa ada perubahan sekaligus yang tetap.’ Lantas, pertanyaannya: apa yang berubah? dan apa yang tetap? Di sinilah saya (masih) mencoba memberanikan diri untuk melihat problematika itu dan menelisik jawaban atas hal tersebut melalui pandangan Hegel. Barangkali upaya saya merupakan sesuatu yang cacat, keterlaluan, dan tak otentik.


§3. Kebebasan (Freedom) dan Kedirian (Selfhood). Upaya menjadi bebas sejalan dengan upaya menjadi diri sendiri. Setiap orang punya potensi menjadi diri sendiri atau tidak. Orang yang tidak menjadi diri sendiri berarti orang yang tidak menggangap dirinya orang [dan bagi orang lain, ia pun sudah dianggap bukan orang lagi]. Implikasinya, ia telah menurunkan derajat kemanusiaannya menjadi setingkat hewan.

Dalam skenario pemikiran Hegel, kebebasan merupakan suatu kualitas yang membedakan hewan dan manusia. Hewan semata-mata bertindak atas tuntutan deterministik jasmani; manusia mampu mengeliminir tuntutan deterministik jasmani dalam bertindak. Gejala puasa dalam kehidupan umat beragama pertanda determinasi jasmani-biologis tidak sepenuhnya menentukan arah tindakan manusia. Singkatnya, hewan tidak bebas, manusia bebas.

Di sisi lain, kedirian muncul dari peristiwa pengenalan (recognition) diri (self) melalui keberadaan yang-lain (others). Sialnya, peristiwa pengenalan diri terjadi dalam situasi yang tak setimbang. Peristiwa pengenalan diri sejalan dengan subordinasi kekuasaan. Subordinasi self atas others menghasilkan situasi yang tak setimbang. Self yang mengenali others melalui subordinasi menempatkan self pada posisi Tuan (Master) dan others sebagai Budak (Slave).

Sialnya, pemosisian Tuan-Budak berimplikasi pada penurunan derajat others ke tingkat hewan. Alasannya, Budak kehilangan kodrat manusia, yakni kebebasan. Pengenalan Tuan atas Budak menempatkan Budak setara dengan benda-benda, bahkan hewan, yang dapat dikendalikan seturut dengan kehendak Tuan.

[Spekulasi saya:] Kebebasan adalah dimensi internal individu untuk mengenali dirinya; ada pun kedirian adalah dimensi eksternal individu untuk mengenal dirinya. Melalui kebebasan, individu mengenali dirinya melalui dirinya sendiri; ada pun kedirian menyangkut kapabilitas individu mengenali dirinya melalui orang lain.


§4. Sastra. Sastra dalam konteks ini merupakan sarana mencapai (sekaligus mengekspresikan) kebebasan dan kedirian individu. Sastra adalah hasil daya kreasi pikiran manusia. Menyitir RPD, sastra dalam konteks yang lebih luas dikenali sebagai bagian dari ‘kesenian’ yang hidup bersama ‘elemen-elemen utama kehidupan lainnya, seperti sains, militer, ekonomi, politik atau agama’ (RPD, 2001, hal. 174). Di sini, sastra dikenali sebagai An Other.

Sastra adalah yang-lain bagi diri. Melalui sastra, diri mengenali dirinya sendiri untuk kemudian mencoba membangun dirinya sendiri dengan potensi kebebasan yang dapat diaktualkan seoptimal-optimalnya. Di sini, sastra berperan mengintrodusir nilai bagi diri, yang bisa saja pembaca, untuk kemudian—jika beruntung, dapat menjadi pengkarya.


§5. others-Others. others-Others adalah penanda untuk melihat sebuah evolusi, ziarah gagasan, kehidupan wacana. Sebutan lain untuk mengenali kekacauan pertarungan kuasa antara elemen-elemen kehidupan—misalnya cerita SDD yang mengungkapkan bahwa pada masa dahulu sastra menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat karena berperan dalam ritual keagamaan. Di kemudian hari, transformasi masyarakat menempatkan sastra berada di posisi terpinggirkan pada sebuah peradaban industrial (SDD, 1999, hal.69-82). SDD juga membuka peluang untuk mengenali karya sastra sebagai ‘komoditi’ (SDD, 1999, hal.140) sebagai dampak dari perkembangan masyarakat kontemporer.


§6. Politik. Politik adalah An Other.


§7. Negara. Negara adalah An Other.


§8. Hegemoni dan Rebellion. Hegemoni (saya sedikit banyak mengambil dari pemikiran Gramschi atas konsep ini) berkaitan dengan persoalan introdusir nilai yang bersumber dari pihak tertentu yang dominan atas pihak yang lain yang tidak dominan.

Persoalannya, introdusir nilai memiliki potensi pemaksaan suatu nilai. RPD mengisyaratkan sastra (seni dalam konteks yang lebih luas) adalah sastra ketika ia tidak memiliki beban untuk mendesakkan nilainya sendiri (RPD, 2001, hal.xii). Meski begitu, secara implisit saya menilai [pada pemikiran RPD] kompetisi estetik atas sastra tidak dihilangkan, melainkan berpindah ke pundak pembaca untuk secara kreatif menentukan kualitas ‘besar’ suatu karya sastra.

[Bukankah dengan demikian, hegemoni—dalam pengertian yang bebas dan semena-mena—sesungguhnya tengah terjadi? Barangkali saja ini pertanyaan dadakan yang muncul secara tiba-tiba tanpa adanya penyelesaian yang tuntas.]

Rebellion adalah ombak penolakan atas segala hal yang sudah kadung baku, beku dan kaku. Sastra yang kehilangan hakekat, entah sebagai sarana mengenali diri atau manifestasi upaya manusia menundukkan semesta melalui bahasa (RPD, 2001, hal.95) barangkali memang perlu didobrak. Alasannya: kebakuan, kebekuan dan kekakuan pertanda mulai berkurangnya kebebasan, yang berujung pada mengkerutnya kreatifitas. Saya mengenali hal ini sebagai demistifikasi.


§9. Yang berubah dan yang tetap. Yang berubah barangkali An Other. Yang tetap: kehendak bebas dan menjadi diri sendiri.


§10. Apakah sastra berhubungan dengan negara? Saya pikir ya dan tidak. Ya, sebab medium perhubungan antara sastra dan negara adalah diri; atau dengan kata lain, sepanjang diri ada, maka problem hubungan antara sastra dan negara masih tetap dapat dipersoalkan. Tidak, sebab kreatifitas [mungkin] tidak membutuhkan negara. Barangkali saja, apa yang kita kenali atau identifikasi sebagai negara sesungguhnya adalah setan-setan yang menghambat laju kreatifitas dalam diri warga.