Fragmen Berfilsafat

Tiga tahun lalu, teman saya (ia penyuka filsafat, drama dan hal-hal religius) bilang, "Kau mustahil berfilsafat seorang diri, kau membutuhkan orang lain, entah teman atau orang yang tak dikenal."

Fragmen Matematika


Teman saya (keturunan India dan ahli matematika) bilang, "Diam-diam, kita mencintai ketidakpastian, atau paling tidak merindukan ketidaktahuan." Setelah melihat kebingungan di wajah saya, ia bertanya, "Pernahkah kau menerima hadiah?" Hal ini terjadi, tiga tahun silam, dalam diskusi ringan, sewaktu perayaan ulang tahunnya.

Sajak


FIKSI 48 RINDU
  
Fiksi Angkasa

ketika filsafat menyulap fiksi jadi berita
(di angkasa)
metafora, menyihir kamu jadi asmara.
 
Allah dan Ibu

jika ia pikir
sajak itu angkasa
yang pisahkan penyair
dari Allah, dan Ibu
(menurutku)
ia sempurna asmara
pada amuk saya dan ombakmu. 

 Amuk Rahasia

setelah amuk di alam mata
mengucap salam ke puncak rumah
(kalbuKu pantai rahasia)
ombaknya ibu, ke teluk tubuhmu
 
1000 Tahun dan 48 Rindu

1000 tahun sudah dia mencakar rindu
jejaknya mampus di tapak hurufKu

sajak terjemahan


36
Damion Searls


Setelah Bo Juyi dan Burton Watson

Tidak juga tua, tidak juga remaja
hampir kepala empat, sebentar lagi setengah abad.
Semua biasa saja, tidak ada yang istimewa—
pekerjaan pertamaku, bernafas lalu menjadi tua.
Ya, bakat aku punya, tapi aku juga pemalas:
Jujur saja, dari pada tivi aku lebih suka jendela.
Begitu gajian, sekejap kemudian aku hidup dalam kemiskinan
nasi warteg rasanya rendang dan halte adalah keindahan.
Kamar yang sempit bukanlah masalah,
asal ada buku, gitar dan harmonika.
Buka buku, tutup. Buka lagi. Tutup. Buka lagi—tidak ada yang kubaca,
sekali waktu, kutiup harmonika. Selesai.
Lalu pagi. Naik bus lagi. Masuk telat lagi.
Sore. Waktunya pulang, membayangkan tilam lalu lelap.
Kerja itu buat kepala pening, untungnya aku tak pernah sakit
meski perut, kau sudah tahu, hanya itu alasan hidup.
Kau tahu, dari hari ke hari, hidupku begitu-begitu saja.
Membaca lagi dan lagi, sajak yang itu-itu juga, sajak yang nempel di tembok kamar—
sajak yang kutulis, kubaca sendiri, sendiri, dan berkali-kali. 
Sajak, hanya sajak yang biasa saja dan tidak ada yang istimewa. 



808 A.D.

Damion Searls


After Po Chü-i and Burton Watson

Not too old, not young anymore,
almost three dozen years gone by.
Not a failure, not a success—
my first real job, a job to grow old in.
Some potential, too lazy to use it:
I’d watch TV but I like the window more.
My money gets spent when I have it;
cheap food tastes good too, and a small room’s enough.
Even a smaller room would be fine,
a shelf of old books, guitar with no amp.
The books I just flip through and don’t worry about too much,
the guitar is for noodling around on my own.
Mornings on the bus; I get to the office late.
Evenings it’s back home, go to bed early.
Working out’s too much trouble, and my body’s all right,
some belly to keep me company.
So there you have it, day by day, month after month.
Rereading this poem taped to the wall—
that’s the only reason I wrote it.
No genius, not stupid either.


[versi asli: http://www.theparisreview.org/poetry/6058/808-ad-damion-searl]