CUACA AFORISMA

Tua dan berjanggut. Dia duduk di sebuah taman kota negeri tropika. Masa cuaca yang selalu mendung dan guyub gelisah. Antara merah Romeo atau hitam Hamlet. Antara nyanyian api atau ranjau epidemi. Antara desah nafas dan mata yang menatap suram senja, dari sebuah taman kota negeri tropika.

Di batin bergejolak Miami serta sengkarut legam kisah PKI. Nostalgia maestro seni Mooi Indie hingga pelajaran dari Stanislavsky. Atau denyut jantung Gatholoco bersama senandung damai Sang Gandhi. Tua dan berjanggut. Rengut kening dengan kepala yang merunduk. Ia hanyut pada arus amarah Nazi hingga rintih pedih di metropol Mumbai. “Yunani.” Ia menggumam. Membisikkan sesuatu kepada senja dan mendung cuaca.

Senja dan mendung adalah waktu. Tiba-tiba, dia ingat secuil sajak dari penyair berkepala kayu. Sebuah kata selalu mengandaikan cita-cita. Sosok mahluk yang berasal dari masa depan dengan takdir kembali ke masa depan. Di saat lampu jalanan pelan menyala, seekor anjing menyulap lahir menjadi ular sebelum hadir sebagai naga. Tak ada yang bisa luput dari legenda. Si tua dan berjanggut masih membaca malam dalam senyap dan khidmat.

Tua dan berjanggut. Ia memandang masa lalu. Pada tiap angka di penggalan takwin, misteri adalah nyawa yang tak bisa dibantah. Dia menoleh pada masa depan. Bagi tiap cita-cita, Bumi adalah sejarah. Serangkaian peristiwa hidup di antara niscaya, rencana, dan tak sengaja. Hari ini adalah pidato Camus yang gemetar mendendangkan syair: Tidak ada hari esok; atau malah sapaan api dari Chairil: Sekali berarti sudah itu mati. Pada sebuah taman kota di negeri tropika, si tua dan berjanggut menggigil dalam dekap purnama Desember yang pertama. Hanya keraguan yang menggembalakan dirinya untuk sampai pada suara: ilusi dan kekal adalah senyawa.

*

Dari pinggir sebuah taman kota negeri tropika, hanya aku yang senyum melihat dia tak berdaya. Si tua dan berjanggut lelap dalam cuaca aforisma yang mentah.

11 Desember 2008

KALIGRAFI TUBUH PUTU

Lantas, apa yang istimewa dari lukisan Putu? Begitulah pertanyaan yang muncul di dalam benak saya saat menyaksikan ragam karya lukisan dan instalasi Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional. Saya membaca pengantar dari kurator Jim Supangkat yang berintikan ‘tubuh’. Putu mengeksplorasi tubuh, tubuh yang hidup dalam buana tari Sanghyang. Tubuh dan tarian. Barangkali, karena kemampuan kecerdasan saya tidak lumayan, saya menderita kebingungan. Apa hubungan ‘tubuh’—dalam konteks filsafat kontemporer mendapat begitu banyak beban makna, mulai dari tubuh alami, tubuh konstruksi sosial, hingga tubuh sebagai kapital—bila dielaborasi dengan tarian kuno Sanghyang yang tak pernah saya lihat? Jim Supangkat hanya memberikan bantuan: tubuh dalam lukisan Putu mengadopsi kelihaian tubuh saat penari Sanghyang mengalami trance; trance mengakibatkan penari berada dalam keadaan tidak sadar. Karena trance, penari Sanghyang pun mampu menggerakkan tubuh di luar batas gerakan yang dapat ia lakukan dalam keadaan sadar. “Selain kesadaran alam sadar, ternyata tubuh pun hidup dalam tatanan kesadaran alam tidak sadar. Tubuh…”

Sedikit saya paham yang hendak disampaikan Jim, meski tak sampai mendalam. Barangkali, hanya kulit permukaan. Tak lebih. Dan berbekal sangu dari Jim, saya menjelajah bentala “Legacy of Sagacity.”

*

Di depan lukisan ‘Tangga Penuh Misteri’ saya termangu. Aku tak paham maksud Jim. Aku pun tak paham maksud Putu dalam lukisan itu. O-…, sebelum lupa: Putu Sutawijaya pada 27 November nanti resmi menapak usia tigapuluhdelapan tahun. Aku melangkah, menuju pigura lainnya dan masih mendapati perasaan yang serupa. Tak paham maksud Jim, tak paham maksud Putu. “Ah, daripada pusing memikirkan maksud mereka, lebih baik aku nikmati saja warna dan gambar yang ada dalam pigura. Tak usahlah bersusah-susah mencari makna.” Lalu, aku menarik nafas panjang, meredakan otot tegang di leher dan di pundak.

*

‘MATAHARI KE MATAHATI’. Saya termangu di depan lukisan Putu. Saya melihat ada yang tak wajar dalam lukisan Putu. Saya perhatikan, garisan kuas yang membentuk figur tubuh tampaknya model goresan yang tak asing. Saya merasa akrab dengan model goresan begitu. “Aih, kaligrafi.” Saya teringat Festival Kota Tua yang digelar di Taman Fatahillah, daerah Kota, Jakarta Barat, pada 22 November lalu. Ada stand VOC Galangan yang menawarkan kaligrafi huruf Cina. Saya sempat melihat mereka mempertunjukkan kepiawaian menggores kuas di atas kertas. Citra goresan yang saya amati di stand VOC Galangan ada kemiripan dengan goresan kuas yang saya amati pada lukisan Putu. Ah, saya pun sadar. Kaligrafi. “Tinta Cina.” Lukisan tinta Cina. Pada lukisan Putu, saya menghirup aroma kaligrafi dan lukisan tinta Cina. ‘MATAHARI KE MATAHATI’.

*

Di depan ‘JUMPING II’ aku kembali termangu. Mengingat Jim, mengingat Putu. Di depan instalasi satu sosok tubuh yang bertumpu pada dua tangan. Sosok yang hendak mencoba kayang (atau malah sudah selesai kayang dan hendak kembali dalam posisi normal?). Ah, memang deskripsi dengan kata-kata sukar juga. Seimbang dan takseimbang.

*

Aku membaca harian ibukota. Kompas, 23 November 2008. Putu mengaku bahwa idiom lukisannya berfungsi menyampaikan irama gerak kepada publik. “Irama gerak. Kaligrafi. Lukisan tinta Cina di atas kertas.” Menurut aku, Putu memadukan teknik kaligrafi dan lukisan tinta Cina di atas kertas menjadi di atas kanvas dengan mengadopsi aksara tubuh dalam tarian Sanghyang.

*

Lantas, apa yang bersembunyi dan menari di dalam kaligrafi? … tubuh?

November 2008

I-Klan

I-Klan!!!

Read in order to live.

Gustave Flaubert

(1821 – 1880)


GENERASI X. Gen-X.


*


DALAM KHAZANAH CARTESIAN, X adalah aksis. Sahabat dari Y, koordinat. Hasilnya, posisi.


CARTESIAN adalah terobosan mutakhir filsuf modern asal Perancis René Descates awal abad 17 Al-Masih. Disebut terobosan karena gagasan orisinil Descartes berhasil mengelaborasi ilmu aljabar dengan ilmu geometri. Bila aljabar dianggap mental dan geometri dianggap tubuh, maka sintesa Descartes sukses menubuhkan yang mental atau yang mental menubuh.


COGITO ERGO SUM. Selain grafik Cartesian yang mencemaskan bagi anak-anak sekolahan yang tidak menyenangi matematika (bahkan, kalau bisa, membunuh pelajaran matematika dari kurikulum pendidikan nasional yang menggemaskan), Descartes juga meninggalkan artefak kebudayaan berupa slogan: Saya berpikir, maka saya ada. Saya, dalam bahasa Inggris adalah I, I think therefore I exist. Kali ini, orang Indonesia lebih beruntung. Chairil Anwar, penyair ekspresionis berjuluk ‘binatang jalang’ meneriakkan: Aku. Bagi orang Indonesia, ada dua pilihan. Pertama: Saya berpikir, maka saya ada; atau, kedua: Aku berpikir, maka aku ada.


BERPIKIR, MAKA ADA. Bila ‘berpikir’ dianggap mental dan ‘ada’ dianggap tubuh, maka yang mental menubuh. ‘Berpikir’ adalah syarat mutlak bagi ‘ada’. Mental adalah syarat mutlak bagi tubuh. Tidak ada tubuh tanpa mental. Tapi, ada tubuh yang punya sakit mental. Atau, sakit mental yang menubuh. Apakah sakit mental membutuhkan tubuh? Atau tubuh malah membutuhkan sakit mental? Descartes tak bicara soal sakit mental. Dia hanya memproklamasikan: Rasionalisme! Dasar segala kebenaran adalah rasio, cogito.


*


DALAM KHAZANAH BARTHESIAN, X adalah tanda. Barthes bukanlah Fabian Barthes, penjaga gawang Perancis berkepala botak. Sekadar informasi yang tak begitu penting, kapten kesebelasan Perancis yang sudah pensiun Le Blanc selalu mencium kepala botak Barthes sebelum pertandingan dimulai. Barthes bukanlah Fabian Barthes, melainkan Roland Gérard Barhtes, kritikus sastra Perancis abad 20 Al-Masih. Barthes, campuran antara cerutu dengan bakteri Mycrobacterium tuberculosis penyebab penyakit te-be-se.


BAGI BARTHES, tanda hidup di dalam masyarakat. Kebudayaan masyarakat menentukan makna tanda. Budaya Cartesian memandang X sebagai aksis. Budaya Barthes bisa memandang beda. X tidak hanya aksis, melainkan bisa saja nonsens, persimpangan, abjad Latin ke-23, bisa pula berarti 10, atau malah berarti: ?, atau malah ¿.


PENULIS SUDAH MATI. Salah satu judul esai Barthes: The Death of Author. Di sini, orang Indonesia tak boleh keliru, apalagi mengeluh. Bahasa Indonesia memang kalah canggih (atau malah sebenarnya karena kurang digali) untuk menjajaki pikiran Barthes (kalau sempat, mampirlah ke kedai wikipedia, baca sedikit artikel Barthes. Ini sekadar anjuran, bukan suruhan apalagi perintah komandan.). Dalam pikiran Barthes, Author tidak hidup sendirian. Author hidup bersama Scriptor. The Death of Author seiring dengan The Resurrection of Scriptor.


AUTHOR DAN SCRIPTOR. Aku mengajukan alihbahasa Author menjadi Penulis, dan Scriptor sebagai Penyalin. Bagi Barthes, Penulis dan Penyalin adalah konsep yang merujuk pada dua cara berpikir yang dipergunakan pengarang ketika menulis teks. Penulis adalah mereka yang memiliki sekaligus menggunakan kemampuan imajinasi orisinal untuk menghasilkan karya sastra. Penyalin adalah mereka memiliki kemampuan mengkombinasikan beragam teks yang sudah ada (exist, dalam bahasa Inggris) untuk menghasilkan karya sastra.


PENULIS DAN PENYALIN ADALAH MENTAL. Hasil tulisan, tubuh. Pada ranah tulisan, Barthes membedakan dua jenis teks, teks-membaca dan teks-menulis. Teks-membaca atau readerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen pasif. Teks-menulis atau writerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen aktif sekaligus produsen pereproduksi teks-menulis. Teks-menulis menghasilkan pembaca yang berstatus produsen teks karena teks-menulis mendorong pembaca memproduksi maknanya sendiri atas teks yang dibaca dengan jalan menulis. Menurut aku, novel Tuan dan Nona Kosong karya penyalin Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin adalah teks-menulis.


X ADALAH TEKS-MENULIS. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh kreatifitas pembaca. Penulis sudah mati, Penyalin telah bangkit. Bila pikiran diibaratkan negara, maka ada dua partai berkuasa di dalam pikiran, partai Penulis dan partai Penyalin. Dan Barthes adalah juru kampanye utama dari partai Penyalin yang ada di dalam pikiran manusia. Apakah usaha Barthes berhasil? Saya tidak tahu. Tetapi, saya yakin, Dora bakal menjawab keyakinan penuh percaya diri: “Berhasil! Berhasil! Berhasil!”


X ADALAH TEKS-MEMBACA. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh imajinasi orisinal Penulis. Pembaca tak perlu bersusah payah menggali makna teks. Tidak ada pertarungan partai Penulis dengan Penyalin dalam pikiran pembaca. Di hadapan teks-membaca, pembaca sepenuhnya pembaca. Pembaca dalam konteks perekonomian (bisa saja ditambahkan predikat ‘kapitalis’, ‘sosialis’, atau ‘komunis’) adalah konsumen. Konsumen bagi teks-membaca adalah mereka yang berduit sekaligus melek huruf. Teks-membaca ibarat kosmetika telepon genggam dalam peradaban kosmopolitan. Teks-membaca punya kodrat, mengutip kata-kata Tardji (kalau tak keliru), ibarat tissue. Sekali pakai langsung dibuang. Kalau begitu, ingat-ingatlah Chairil Anwar kembali. “Sekali berarti, sudah itu mati.” Kira-kira, termasuk jenis yang manakah teks “Sekali berarti, sudah itu mati”? Apakah teks-membaca atau teks-menulis?


PEMBACA. Ada pembaca kreatif, ada pembaca konservatif. Pembaca ideal adalah pembaca kreatif. ‘Sampan’ tidak dipahami sebagai sampan, melainkan kapal-induk. ‘Kapal-induk’ tidak dipahami sebagai kapal-induk, melainkan bajak laut. Di hadapan pembaca, teks dapat menjadi teks-membaca atau teks-menulis. Penulis sudah mati. Penyalin bangkit. Pembaca harus selalu menghadirkan teks sebagai teks-menulis. Kreatifisme harus diselamatkan, konsevatifisme harus dibasmi. Maka, pikiran mendominasi tubuh. Pikiran menentukan tubuh. Agak nyamber dikit ke Foucault, Michel Foucault, makna adalah diskursus. Diskursus, pertarungan wacana! Yang-menang menguasai yang-kalah.


BARTHES DAN CARTES. Kedua, dengan bahasa personalnya sendiri, menyuarakan makna: Mental yang menubuh. Tidak ada teks yang tak bertubuh. Setiap buku adalah netral selama tak ada pembacaan. Setiap buku adalah netral selama tidak ada kerugian atau keuntungan. Makna buku, maksud saya tubuh juga, ditentukan pembacaan sekaligus pembelian. Makna adalah peristiwa transaksi yang menyejarah. Indonesia berasal dari dua kata, Indo dan Nesia. Indo berarti India, Nesia berarti kepulauan. Indonesia, kepulauan di India. Kalau begitu, apa makna Indonesia? Barthes dan Cartes barangkali tidak bisa menjawab. Tapi, mereka bisa memberikan dimana jawabannya berada. Bagi Barthes, makna Indonesia bergantung pada pikiran pembaca yang bisa memandang teks ‘Indonesia’ sebagai teks-membaca atau teks-menulis. Cartes, menjawab Indonesia(n) think therefore Indonesia(n) exist. Apakah Indonesia hanya mental tanpa tubuh? Aih, sekarang, saya lagi tak mau masuk dalam transaksi nasionalisme.


*


IKLAN, I-KLAN. Iklan, teks-membaca. I-klan, teks-menulis.


I-KLAN! Klaim personal: Tak ada iklan, tanpa saya. Iklan adalah saya. Aku adalah iklan. Iklan adalah aku-dan-keturunanku. Pertarungan iklan adalah pertarungan aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku. Istilah ngetrendnya: Tak ada kecap nomor 2! Kecap bicara soal cita rasa. Lidah yang beda hendak diringkus dalam citarasa kecap nomor 1. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dienyahkan. Maka, kekuasaan tidak mengenal kamu.


TIDAK ADA KAMU DI DALAM I-KLAN. I-klan tidak memberi ruang bagi kamu. I-klan justru memaksa kamu untuk menjadi aku, atau berpihak kepada aku. Selama kamu tetap kamu, kamu berada dibawah kekuasaan aku. Selama kamu menjadi aku atau berpihak kepada aku, kamu menguasai mereka. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dikuasai.


I-KLAN, teks-tertulis di dalam cogito pembaca. Pertempuran iklan antara aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku yang sesungguhnya berlangsung di dalam pikiran pembaca. Penguasaan atas peta politik kekuasaan pikiran pembaca adalah pertarungan partai Penulis dengan partai Penyalin. Kemenangan partai Penulis, berarti kemenangan aku. Kemenangan partai Penyalin, berarti kemenangan aku. Tetapi, di luar aku, tidak ada aku. Di luar aku, ada aku, Cartes dan Barthes. Bila aku memutuskan berpihak kepada aku, aku bukan lagi aku, melainkan aku. Sebagai teks-membaca, i(-)klan ‘cobloslah saya’ mengandung pesan tunggal: Cobloslah saya. Politik selalu antara aku dengan aku, dan aku memutuskan untuk menjadi aku, atau tetap aku.


I-KLAN ADALAH DOMINASI AKU ATAS KAMU. Bila kamu tidak menjadi atau berpihak kepada aku, I-klan bakal mencampakkan kamu. Disini, yang mental tak lagi hanya menubuh, melainkan sudah menentukan tubuh. Di luar aku, kamu menjadi Generasi X! Gen X.


*


GENERASI X. Gen-X. Generasi yang hidup karena membaca. Aih, agak pedih juga mendengarnya. Mimpi sekaligus tragedi!


*


KARENA MEMBACA, kita hidup. Karena hidup, kita bermasalah. Masalah hidup. Hidup ada sebelum membaca ada. Hidup dan membaca ada sebelum saya ada. Karena saya ada, hidup menentukan saya membaca dan hidup. Bukankah ‘hidup’ menjadi sesuatu yang aneh ketika diulang berkali-kali? Hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup. Aih, sebelum saya mengalami serangan jantung, ada baiknya saya pamit, undur diri dari hadapan Anda yang hidup. Thanks to Cartes. Thanks to Barthes. Thanks to Gustave.


November 2008

TENTANG ADONIS



“I live between the fire and the plague

with my language—with this mute universe”

The Fall (Adonis)


Aku hidup di antara api dan epidemi

bersama gelisah bunyi—di dalam dunia sunyi

Takluk (Adonis)


ADONIS adalah Ali Ahmad Said. Lahir pada 1930 di Qassabin, Siria. Bila ditilik dari sudut etimologi, Adon berasal dari bahasa Semit, adon, yang bermakna “Raja”. Sebelum memulai kuliah umum di ruang blackbox theatre Salihara pada 3 November 2008, ada narasi yang bercerita tentang musabab sempat mengungkapkan bahwa alasan Ali Ahmad Said menggunakan nama pena: Adonis. Diceritakan bahwa penggunaan nama tersebut dikarenakan Ali Ahmad Said merasa bahwa ‘kegagalan’ puisinya lolos seleksi bersumber pada namanya; itulah yang menyebabkan ia menggunakan nama pena: Adonis. Ternyata, strateginya berhasil. Bentala internasional mengenal Ali Ahmad Said sebagai Adonis, Adonis of Syria, Raja dari Siria.


Pada kuliah umum di blackbox theatre Salihara, peraih gelar Philosophical Doctor dari St. Joseph University, Beirut, Lebanon, pada 1973 ini memaparkan makalah bertajuk “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. Di dalam makalahnya, Adonis mengajukan tesis: “Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya berlawanan/bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama.” Bila tesis tersebut dikembalikan kepada judul makalah, hasilnya: kontradiksi. Bagaimana mungkin ‘yang bertolak belakang’ (pada tesis) bersanding dengan ‘dan’ (pada judul)?


Lepas dari kontradiksi antara judul dengan tesis, artikel ini saja tujukan untuk membahas (1) dimensi logika dari judul makalah, dan (2) dimensi kronologis penempatan frase. Penjernihan atas kontradiksi antara tesis dengan judul akan saya bahas pada bagian yang terpisah dari tulisan ini, disebabkan penjelasan terkait kontradiksi tersebut mengacu pada pola pikir dialektis yang dimajukan Adonis sebagai kerangka utama penyusunan makalah tersebut.


*


Makna “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu beda dengan makna “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama”. Pada yang kedua, variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih. Situasional memilih berarti memilih salah satu dari antara dua pilihan yang tersedia. Tindakan memilih yang-satu diikuti dengan tindakan mengenyahkan yang-lain. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti menendang “Kebenaran Agama”, memilih “Kebenaran Agama” berarti mencampakkan “Kebenaran Puisi”. Secara tidak langsung tindakan memilih yang-satu dapat berarti bahwa yang-satu itulah yang benar, sedangkan yang-lain adalah salah. Namun, kesimpulan yang begitu tidaklah selalu benar, menurut saya. Adalah lebih tepat bila dinyatakan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak ditujukan untuk menyalahkan yang-lain; meski selalu ada kecenderungan rasional untuk menyatakan bahwa ketika yang-satu dipilih, maka yang-lain adalah salah.

Apa yang saya maksudkan tak jauh beda ketika kita diperhadapkan pada pilihan mengunjungi teman yang sedang sakit atau pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis. Dalam situasional memilih tersebut, andaikan kita memutuskan untuk pergi mengunjungi teman yang sedang sakit, bukanlah berarti pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis adalah salah; begitu pula sebaliknya. Melalui perumpamaan ini pulalah saya menegaskan bahwa asumsi yang saya atas permasalahan “Kebenaran Puisi atau Kebenaran Agama” adalah pengosongan makna dari “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” sebagai pilihan disetarakan dengan “mengunjungi teman yang sakit” dan “pergi ke Salihara untuk mendengarkan kuliah umum Adonis”.


Asumsi pengosongan makna saya tujukan untuk melihat permasalahan variabel ‘atau’ dalam kepenuhan ‘atau’ itu sendiri sebagai simbolisasi dari suatu situasional memilih. Seturut dengan ilmu logika, asumsi pengosongan yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa tindakan memilih yang-satu tidak selalu berarti menyalahkan yang-lain. Dalam ilmu logika, variabel ‘atau’ yang menghubungkan dua entitas hanya menghasilkan konklusi yang bernilai salah apabila entitas pertama, atau katakanlah “Kebenaran Puisi”, bernilai salah, dan entitas kedua, atau katakanlah “Kebenaran Agama”, bernilai salah juga. Namun, apabila entitas pertama bernilai benar dan entitas kedua bernilai benar, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan dengan variabel ‘atau” adalah benar. Bila entitas pertama bernilai salah/benar dan entitas kedua bernilai benar/salah, maka konklusi antara kedua entitas tersebut yang dihubungkan oleh variabel ‘atau’ adalah benar. Pola baku penalaran logika ‘atau’ sbb:



Entitas Pertama (P)

Entitas Kedua (P)

Atau (P V Q)

Nilai

Benar

Benar

Benar

Benar

Salah

Benar

Salah

Benar

Benar

Salah

Salah

Salah

Tabel 1. Logika ‘Atau’


Bila variabel ‘atau’ menghadirkan situasional memilih, variabel ‘dan’ pada “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” menghadirkan situasional keterikatan. “Kebenaran Puisi” sejalan dengan “Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi” memiliki keterikatan dengan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” berarti pula mengikutsertakan “Kebenaran Agama”. Memilih “Kebenaran Puisi” tidak dapat mengenyahkan “Kebenaran Agama”; begitu pula sebaliknya. Situasional “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” muncul dalam perumpamaan sepakbola Inggris yang dikenal dengan slogan “kick and rush”. “Kick” punya keterikatan intrinsik dengan “Rush”; antara “menendang” dilanjutkan dengan “melesat”. Asumsi pada logika variabel ‘dan’ sebangun dengan asumsi pada logika variabel ‘atau’, yakni pengosongan makna. Dalam ilmu logika, pola baku variabel ‘dan’ sbb:



Entitas Pertama (P)

Entitas Kedua (P)

Dan (P Λ Q)

Nilai

Benar

Benar

Benar

Benar

Salah

Salah

Salah

Benar

Salah

Salah

Salah

Salah

Tabel 2. Logika ‘Dan’


*


Disamping pemilihan diksi-logis, ada juga permasalahan menarik yang bisa diambil dari penjudulan “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama”. “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama” tentu bisa saja dianggap sama dan sebangun dengan frase “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”. Namun, anggapan sama dan sebangun tersebut, tidak sepenuhnya tepat. Anggapan tersebut, menurut saya, melalaikan keberadaan unsur prioritas primair secara kronologis. Dari sisi penempatan, “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”; bukan sebaliknya. Lantas, bagaimana Adonis mempertanggungjawabkan untaian kronologis: “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama”?


Penjabaran pertanggungjawaban Adonis atas untaian kronologis “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” bersumber dari analisa historis dia atas perkembangan puisi dan perkembangan agama di dunia Arab. Selanjutnya, Adonis mengelaborasi pendekatan historis dengan ‘teori pengetahuan’-nya yang berpijak pada gagasan penyair sufi asal Afghanistan Jallaludin Rumi.


Dari riset historis, Adonis menemukan bukti bahwa tradisi puisi lebih dahulu ada di dunia Arab sebelum agama. Agama di dunia Arab, khususnya Islam, menurut Adonis, berasal dari tradisi bangsa Ibrani, yakni Ibrahim dengan kitab Talmud. Akulturasi kultural mempertemukan Arab dengan Ibrani hingga melahirkan Islam. Problematisasi historis tersebut, menurut saya, dibahas Adonis untuk membuktikan bahwa sebelum kehadiran Islam di dunia Arab, dunia Arab sendiri sebenarnya sudah ‘mengenali’ wajah Tuhan. Wajah Tuhan sebelum munculnya Islam dikenal lewat puisi-puisi para penyair Arab sebelum kemunculan Islam. Puisi-puisi penyair Arab pada masa tersebut merupakan representasi dari ‘dialog’ penyair dengan Yang Gaib.


Jabaran historis tadi dielaborasi Adonis dengan gagasan Jallaludin Rumi tentang asas pengetahuan indrawi dan spiritual, yakni tajjalî (manifestasi). Dalam makalahnya, Adonis menuliskan:

“[Tajjalî] adalah gambaran-gambaran dari kebenaran yang sinarnya terus memancar kepada cermin hati dan indrawi, selanjutnya dipantulkan kepada cermin nalar, sehingga lahir dari keduanya “pengetahuan rasa” (al-ma’rifah al-dzawqiyah), yakni pengetahuan yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) yang diperoleh secara langsung tanpa perantara. Dengan ungkapan lain, pengetahuan bagi Rumi adalah penyingkapan terhadap hakikat dengan terlepasnya hijab-hijab hati, indra dan akal, sehingga cahaya kegaiban terpancar.”


Dari sudut pandang demikian, maka puisi yang dimaksud oleh Adonis mengacu pada pengetahuan rasa, yang oleh kalangan sufi disebut sebagai “alam rasa” (‘alam al-adzwaq). Puisi yang dihasilkan para penyair Arab sebelum kemunculan Islam sesungguhnya berkenaan dengan upaya penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Dan agama, seturut dengan konteks pembicaraan Adonis: Islam, menempati posisi yang sama dengan puisi secara historis, yakni sebagai pengetahuan rasa yang memberikan keyakinan (al-ma’rifah al-yaqîniyah) melalui penyingkapan manifestasi dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci. Terkait dengan status kebenaran dari puisi dan agama, Adonis menegaskan: “Pengetahuan [rasa] tidak akan salah karena kesalahan hanya lahir dari kebenaran teoritis dan abstrak semata.


Maka teranglah bahwa “Kebenaran Puisi” mendahului “Kebenaran Agama” dikarenakan Adonis mempertimbangkan faktor historis puisi dan agama di dunia Arab, yang selanjutnya dielaborasi dengan ‘teori pengetahuan’ Jallaludin Rumi, dimana hanya pengetahuan rasa (al-ma’rifah al-dzawqiyah) sajalah yang memampukan manusia mencapai kebenaran mutlak (absolute truth). Secara implisit, menurut saya, Adonis hendak menyampaikan pesan: Puisi dan Agama adalah wahana untuk menggapai kebenaran mutlak, kebenaran yang bersumber dari Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci! (Dan, secara implisit juga, Adonis berharap kebenaran mutlak tersebut tidak dipahami sebagai kebenaran tunggal; sebab kebenaran tunggal dapat berujung pada kekerasan yang-satu terhadap yang-lain!)


*


Saya pikir, “Kebenaran Puisi” dan “Kebenaran Agama” dapat disejajarkan dengan api dan epidemi yang sama-sama menghadirkan gelisah bunyi bagi aku yang berdiam di dalam dunia sunyi, sebagaimana petikan sajak Adonis yang bertajuk ‘Takluk’ pada bagian pembuka risalah ini. Sebab, bukankah memikul puisi dan agama adalah sama-sama menyakitkan, juga menggelisahkan? Tidakkah sejarah para nabi pun melukiskan betapa jalan pengharapan menuju Yang Gaib, Yang Tak Kelihatan, Yang Sakral, Yang Suci adalah juga via dolorosa, jalan derita sekaligus siksa? Demikianlah, dari jarak sekitar 10 meter saya mendengar Adonis, Raja dari Siria, berujar: “Saya mengkritik Islam karena saya mencintai Islam.” Cinta bukan selalu berarti bahagia; Cinta juga bisa bermakna airmata.


November 2008


Sumber Utama:

Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama, Adonis, 2008

MUHAMMAD YUNUS:

“[Poverty-free world] would be a world that we could all be proud to live in.”

“… freedom is freedom from poverty.”
Gayatri Spivak


JUDUL artikel ini berasal dari halaman terakhir, halaman 262, buku “Banker For The Poor” karangan Muhammad Yunus terbitan PublicAffairs, Amerika Serikat, pada tahun 2003. Kutipan aslinya: “That would be a world that we could all be proud to live in.” “That” mengacu pada cita-cita Muhammad Yunus, Poverty-free World, Bumi tanpa Kemiskinan.
Saya tidak tahu pasti, apakah ada penelitian atau perhitungan ekonomi yang berupaya menjawab berapa besar sebenarnya uang yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan di dunia? Lantas, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari jumlah uang yang beredar di dunia? Atau, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari harta global di dunia ini? Apa yang saya maksudkan dengan ‘harta global’ adalah jumlah total uang, yang beredar dan tak beredar, dari seluruh negara yang ada di Bumi.
Bisa saja pertanyaan imajinatif yang saya lontarkan punya makna mengada-ngada. Justru pertanyaan imajinatif saya lahir dari fakta aktual yang dialami Muhammad Yunus pada tahun 1976. Ketika itu, Muhammad Yunus, pengajar di Departemen Ekonomi Univesitas Chittaggong, menerima laporan dari muridnya Maimuna Begum. Laporan tersebut memuat data jumlah uang pinjaman yang dibutuhkan oleh 42 jiwa warga perkampungan Jobra di Banglades sebagai modal untuk membuka usaha mandiri. Membaca data yang dikumpulkan Maimuna dalam tempo satu minggu, Yunus kaget: “Ya Tuhan, ya Tuhan. Segala derita mereka hanya karena uang yang tak lebih dari 27 dollar (My God, my God. All this misery in the all these families all for of the lack of twenty-seven dollar!)!”
“Mereka” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah perempuan dari keluarga miskin yang membutuhkan modal awal untuk memulai usaha mandiri membuat kursi bambu sederhana dengan jalan meminjam uang ke para lintah darat (tentunya dengan bunga yang tinggi). “Derita” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah segala dampak negatif yang dialami para perempuan pengrajin kursi bambu sederhana akibat pilihan meminjam uang dari lintah darat. Pinjaman yang berasal dari lintah darat tentunya bukanlah pinjaman yang menyehatkan, melainkan menyakitkan sekaligus menjerat. Sekali masuk, barangkali hanya kematian saja yang bisa membebaskan. “27 dollar” dalam konteks percakapan Yunus dengan Maemunah mengacu pada jumlah total uang pinjaman “mereka”.
Kembali berimajinasi, andaikanlah 27 dollar yang dimaksud dalam konteks peristiwa tadi berlangsung dalam kurs 1 dollar = Rp10.000. Maka, jumlah total dana pinjaman yang dibutuhkan 42 jiwa di perkampungan Jobra, Banglades, kurang dari Rp270 ribu. Dan apabila imajinasi kembali diliarkan, saya pikir tak ada kelirunya bila membayangkan jumlah uang tersebut nyaris mendekati dana kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintah Indonesia, dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dana BLT yang dibagikan setiap tiga bulan sekali berjumlah Rp300 ribu. Aih, imajinasi memang benar-benar mengejutkan.
Terlepas dari pengandaian imajinatif tadi, apa yang dialami Yunus dan diceritakan dalam “Banker For The Poor” merefleksikan bahwa kemiskinan bisa punah dari muka Bumi. Meski tidak terlampau akurat, saya mencoba menghadirkan perhitungan deduktif untuk menganalisa probabilitas memunahkan kemiskinan. Diperkirakan jumlah penduduk Bumi saat ini mencapai 6 miliar jiwa. Dan bila diandaikan seluruhnya adalah orang miskin, dengan asumsi setiap 42 jiwa membutuhkan dana 27 dollar, maka jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan mencapai 3,8 triliun dollar. Lantas, kira-kira, apakah harta dunia mencapai angka tersebut? Kalau harta dunia tidak mencapai angka tersebut, tampaknya umat manusia di Bumi memang, mau tak mau, harus menerima kemiskinan sebagai kodrat Bumi. Tapi, kalau memang harta dunia melampaui angka tersebut, maka kemiskinan bisa saja berasal dari limbah perilaku manusia. Maka wajarlah muncul pepatah, “Bumi yang kita huni mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak dapat memuaskan nafsu serakah dari hanya satu orang manusia.”

Oktober 2008
CITY OF SEN
Menyingkap Bentala Visi Amartya Kumar Sen Lewat Identitas dan Kekerasan*

Sejak peristiwa tragis 11 September 2001, peledakan menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, yang diperkirakan merenggut 2.800 nyawa manusia, sepertinya horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas. Dengan identitas, personal/komunal/global mampu memformulasikan suatu laku kekerasan untuk menghancurkan orang-orang lain yang berada di luar identitas-nya. Penalaran demikian melahirkan konklusi: Kebiadaban berakar pada Identitas! dan Identitas ada pada personal/komunal/global!
Bila konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’, tampaknya salah satu solusi menjawab horor peradaban kontemporer adalah menghilangkan identitas. Lantas, muncul pertanyaan apakah itu mungkin? Apakah mungkin bagi manusia, personal/komunal/global, hidup tanpa adanya identitas? Kalau mungkin, bagaimana pula cara personal/komunal/global mengenali dirinya sendiri? Atau malah, personal/komunal/global memang tak perlu mengenali dirinya sendiri? Fenomena pertanyaan demikian bisa memunculkan pertanyaan lain pada level ‘metafisika’. Kalau memang ‘Saya adalah Saya’ tidak diperbolehkan atau tidak boleh ada atau tidak ada, lalu dengan cara apa saya harus mendefenisikan diri? Mungkinkah saya menghilangkan saya?
Bila diteliti lebih lanjut, formulasi pertanyaan ‘metafisika’ “mungkinkah saya menghilangkan saya” selaras dengan metode skeptisisme yang dilakoni filsuf Perancis René Descartes pada abad 17 Al Masih. Bila segala hal saya ragukan, maka saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan! Bila saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan, maka saya tidak mungkin tidak ada. Cogito ergo sum. Saya berpikir, maka saya ada. Maka, ‘saya menghilangkan saya’ cuma bisa terjadi bila saya tidak berpikir. Bersandar pada penalaran Descartes, pertanyaan “mungkinkah saya menghilangkan saya” pun terjawab. Ketika saya bertanya (berpikir) “mungkinkah saya menghilangkan saya”, maka seketika jawabannya pun muncul: saya tidak mungkin menghilangkan saya!
Berpijak pada tesis prinsip rasionalitas Descartes, muncul jawaban saya tidak bisa menghilangkan saya. Saya adalah kepastian-pertama. Kalau begitu, saya dan identitas adalah keniscayaan. Lantas, bagaimana dengan konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’? Kalau memang saya dan identitas adalah keniscayaan, maka ‘kebiadaban’ yang berakar pada identitas pun bisa berhakikat niscaya. Benarkah demikian? Jika memang benar demikian, sangat tepat sekali bila dikatakan “horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas”. Dan semenjak identitas adalah keniscayaan bagi personal/komunal/global, maka segala laku kekerasan adalah kewajaran dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari masa lalu hingga masa menjelang. Atau dengan kata lain, hanya ketololanlah yang memampukan manusia untuk berharap pada suatu masa perdamaian mewujud di planet Bumi. Karena itu, manusia pun menjadi mahluk paling tragis. Di satu sisi manusia memiliki harapan akan adanya perdamaian (dengan konsekuensi melakukan kerja perwujudan perdamaian yang dipandu cahaya pengharapan), sedang di sisi lain manusia wajib berhadapan dengan keniscayaan untuk menghancurkan, membantai, dan memusnahkan manusia yang lain. Maka, yang disebut manusia adalah campuran dari rasionalitas tolol dengan rasionalitas horor.
Namun, benarkah hakikat kebiadaban pun adalah keniscayaan? Ada baiknya kita kembali meneliti konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’. Jika identitas adalah keniscayaan, apakah memang kebiadaban juga keniscayaan? Jika kebiadaban pun ternyata adalah keniscayaan, tak bisa dipungkiri lagi, manusia memang mahluk yang paling menderita di semesta jagat raya. Manusia harus ikhlas menerima kodrat sebagai mahluk tolol sekaligus horor. Tetapi, bagaimana bila kebiadaban bukan keniscayaan? Kebiadaban bukan keniscayaan mengandung pemaknaan bahwasanya kebiadaban adalah probabilitas, kemungkinan. Seturut dengan metode skeptisisme yang dilakoni Descartes, bisa dilakukan pengujian hipotetik lewat pengajuan pertanyaan: mungkinkah kebiadaban dihilangkan? Jawaban yang muncul adalah bisa ya, bisa pula tidak. Maka, menjadi teranglah bahwasanya hakikat dari kebiadaban bukanlah keniscayaan, melainkan probabilitas, potensialitas. Kebiadaban bisa ada, bisa pula tidak; dan ada atau tidak adanya kebiadaban sangat bergantung pada identitas yang beresensikan keniscayaan. Di sini, Amartya Kumar Sen, lewat bukunya yang bertajuk ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’ menyibak tabir kemungkinan yang terkandung di dalam keniscayaan-identitas untuk menihilkan kekerasan, kebiadaban manusia yang satu terhadap manusia yang lain; sekaligus memampuskan klaim ‘horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas’. Dan itulah cita-cita CITY OF SEN—barangkali bisa menggelincir jadi CITIZEN—sebuah tatanan dunia baru bagi peradaban manusia. Tatanan dunia yang membebaskan manusia untuk memilih dan menetapkan identitas, tanpa harus menghadirkan teror kekerasan bagi manusia lain di semesta jagat raya.

September 2008

* Identitas dan Kekerasan, fragmen dari judul buku Amartya Kumar Sen ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi Identitas’.

JUDUL KELIRU BIKIN KERUH

-Tafsir Yang Hilang Dalam Terjemahan 'Judul Buku Amartya Kumar Sen-

Terus terang, aku tak punya niat meremehkan kerja Arif Susanto. Aku pun tak tahu berapa lama waktu yang dia sisihkan dalam hidupnya untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Barangkali, hitungan bulan sudah dia habiskan untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Meski begitu, tetap ada riak-riak gerundelan kecil dalam perasaanku, yang tak bisa kubantah, kala membaca buku hasil terjemahan Arif Susanto. Penyebabnya hanya satu saja, yakni perkara judul.

Aku sadar, persoalan kritik terjemahan bisa menjadi suatu yang sia-sia. Barangkali, aku bisa dianggap tak menghargai kerja orang lain yang bersusah payah menjembatani jurang bahasa antara penulis dengan pembaca. Di sini, aku menegaskan kembali, kritik yang aku ajukan dalam artikel ini sama sekali tidak punya tendensi untuk menginjak-injak kemampuan berbahasa Arif Susanto. Bila dibaca secara keseluruhan, harus aku akui Arif Susanto sudah mengerahkan upaya optimal untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Namun, aku melihat ada satu kelemahan proses penerjemahan, yang mungkin saja punya dimensi kesengajaan. Kalau yang terjadi begitu, maka segala apa yang aku tuliskan di sini bakal menjadi bumerang buat aku. Aku bisa saja dicap sebagai orang tolol dan idiot. Namun, bila yang terjadi adalah unsur ketidaksengajaan, maka, aku harap, pembaca tidak memberi stereotip negatif bagi Arif Susanto. Dan aku pun tak bakal memberikan label begitu kepada Arif Susanto. Kerja dia, bagi aku, sesungguhnya mampu menjembatani jurang bahasa antara aku dengan Amartya Kumar Sen. Secara personal, melalui artikel ini, saya mengucapkan salut dan terima kasih atas kerja yang sudah Anda lakukan.

Apresiasi Dan Keberanian

Menurut aku, menerjemahkan bukan persoalan gampang. Ada kode-kode kultural dan intelektual dari penulis yang harus bisa ditransformasikan ke dalam bentuk lain tanpa mengurangi esensi dari kode-kode kultural dan intelektual. Bahkan, dalam tingkatan yang ideal, kode-kode kultural dan intelektual antara tulisan asli dengan terjemahan harus identik, sama seratus persen. Di sini, kerja menerjemahkan menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan bisa-bisa mematikan. Maka, kadangkala diperlukan orang-orang yang berhati berani dan bebal ambil resiko mengambil tanggungjawab kekeliruan yang mungkin muncul. Bicara keberanian, bukan perkara gampang. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Aris Susanto mau menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen. Pertama, Arif Susanto punya keyakinan bahwa buku karangan Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny adalah sesuatu yang berharga bagi para pembaca di indonesia yang suka bergelut dengan pemikiran-pemikiran kontemporer tetapi memiliki keterbatasan akses bahasa. Kedua, keyakinan akan pentingnya buku tersebut mendorong Arif Susanto keberanian Arif Susanto untuk menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Adalah apresiasi yang tinggi terhadap Amartya Kumar Sen dan keberanian intelektual untuk menerabas jurang bahasa merupakan modal batiniah Arif Susanto untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2006 oleh W.W. Norton and Company, Inc., New York, Amerika Serikat.

Judul Yang Keruh

Arif Susanto menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Kumar Sen menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’. Aku pikir, transliterasi judul tersebut mengandung kekeliruan. Dalam konteks ini, kekeliruan hendaknya tidak dipahami sebagai kesalahan. Bagi saya, kekeliruan bukanlah kefatalan, melainkan persoalan presisi. Di sini, penerjemah ibarat atlit panahan. Sebagai atlit panahan, tentunya yang bersangkutan mengetahui target yang hendak dituju, yakni sasaran. Mata panah diarahkan ke target sasaran. Andaikan saja, target sasaran berada di utara. Maka, setiap anak panah yang melesat dari busur pasti menuju ke arah utara, lokasi target bidikan berada. Namun, kadangkala anak panah menancap bukan di titik idaman, melainkan meleset satu, dua, atau tiga sentimeter. Dan konteks penerjemahan, meleset itulah yang saya sebut kekeliruan. Dan itu berbeda dengan kefatalan. Mengacu pada ilustrasi atlit panahan, maka kefatalan terletak bila sang atlit yang menyadari bahwa target bidikan berada di utara, dia malah mengarahkan mata panah ke arah tenggara. Tentunya, kategori meleset tak layak dilekatkan pada situasional begitu. Inilah yang aku pahami sebagai kefatalan. Melalui hasil terjemahan Arif Susanto, aku menyimpulkan bahwa Arif Susanto memang menyadari bahwa lokasi bidikan panah berada di utara dan anak panah yang dia lesatkan memang menuju ke utara, ke sasaran, ke target. Maka, bila ditinjau secara keseluruhan, hasil terjemahan Arif Susanto memang mampu mentransformasikan pemikiran Amartya Kumar Sen ke dalam dunia intelektual indonesia yang memiliki keterbatasan akses bahasa.

۞۞۞

Menurut saya, penerjemahan Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ menghilangkan suasana gaib tertentu yang termaktub di dalam tajuk gubahan Amartya Kumar Sen. ‘Gaib’ yang saya maksud mengacu pada hilangnya kode-kode kultural dan intelektual yang hendak disampaikan Amartya Kumar Sen.

Sesungguhnya, seturut pertimbangan saya, Identity and Violence: The Illusion of Destiny bisa saja langsung diterjemahkan menjadi ‘Identitas dan Kekerasan: Ilusi Takdir’. Melalui penerjemahan ‘verbal’ begitu, bisa dilacak lanjutan pemikiran yang luar biasa berkelindan di dalam buku karangan Amartya Kumar Sen. Bagi saya, tentunya setelah membaca buku karangan Amartya Kumar Sen, pemaknaan Identity and Violence: The Illusion of Destiny memang ditujukan untuk mengupas sebab-musabab Identitas dan Kekerasan dalam dunia kontemporer. Hasil akhir kajian Amartya Kumar Sen mengerucut di dalam judul bukunya itu, yang kemudian bisa dianggap sebagai tesis Amartya Kumar Sen sendiri, yakni ‘Ilusi Takdirlah yang menyebabkan timbulnya Identitas dan Kekerasan’.

Judul yang diberikan Amartya Kumar Sen, terutama pada kata ‘Destiny’ mengandung kode kultural dan intelektual tertentu. Kode kultural dari ‘Destiny’ tidak lepas dari konteks sosial-politik kontemporer yang berpijak pada kekeliruan Samuel Huntington ketika mendefenisikan bineka peradaban yang menggunakan indikator agama. Adanya agama dengan sendirinya mengandaikan keberadaan Tuhan, dan keberadaan Tuhan dalam tingkat yang paling pragmatis dikenali Takdir. Di dalam bukunya, Amartya Kumar Sen habis-habisan mengkritik teori benturan antarperadaban yang digagas Samuel Huntington dengan mengedepankan agama sebagai garda utama peradaban di Planet Bumi. Berhadapan dengan pemikiran Samuel Huntington, intelektualitas Amartya Kumar Sen gerah. Lantas, dia pun melekatkan gagasan ‘Illusion’ pada kata ‘Destiny’ untuk membantah tesis Samuel Huntington tentang benturan antarperadaban.

Kode intelektualitas Amartya Kumar Sen muncul dari perkawinan antara ‘Illusion’ dan ‘Destiny’. Agama atau Tuhan, yang didalam tesis Samuel Huntington, menurut Amartya Kumar Sen, tak lain tak bukan adalah ilusi, kepalsuan, tak asli. Meski begitu, secara spekulatif saya menilik ada suatu hal yang istimewa dari Amartya Kumar Sen ketika dia memilih ‘Illusion’ sebagai pendamping ‘Destiny’. Bila mengacu pada bahasa Inggris, ada beberapa padanan yang sesuai dengan ‘Illusion’, yakni delusion, impression, dan fantasy. Keistimewaan ‘Illusion’ dibandingkan tiga kata padanan tadi, menurut saya, adalah kemampuan kata ‘Illusion’ menampung konsep kekeliruan yang bersumber pada manusia untuk mengetahui makna dari ‘Destiny’. Barangkali, latar belakang Amartya Kumar Sen menggunakan kata ‘Illusion’ berangkat dari pemahaman dia sendiri yang ‘mengakui’ bahwa Takdir itu ada, namun manusia kerapkali manusia menjerumuskan diri dalam sisi ilusi Takdir daripada bergulat untuk menyelidiki dan memahami sisi asli Takdir. Dan seturut dengan pandangan Amartya Kumar Sen, penyebab hinggapnya ilusi di benak manusia dikarenakan kebebalan rasionalitas manusia itu sendiri.

Kompleksitas ‘Illusion’ dan ‘Destiny’ menempatkan posisi Amartya Kumar Sen sebagai sosok yang cukup terbuka sekaligus kaku. Di satu sisi, Amartya Kumar Sen bisa saja menyebar benih bahwa Takdir yang dipercaya manusia adalah ilusi, atau dengan kata lain Tuhan yang diyakini manusia ada sebenarnya tak ada. Setidaknya, argumentasi yang begini cocok dengan pengakuan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan diri sebagai orang yang ateis. Namun, di sisi lain, judul yang dibuat Amartya Kumar Sen punya potensi mengakui keberadaan Tuhan—entah itu sebagai afirmasi personal, atau sebentuk penghargaan kepada keyakinan Teistik orang lain yang benar-benar memahami keyakinan tersebut dalam pandangan yang lebih mengedepankan cita rasa perdamaian—, tapi yang menjadi permasalahan adalah pemahaman manusia atas Tuhan yang ilutif. Di sini, Tuhan bukannya tak ada, melainkan daya nalar manusia yang bebal, yang cukup puas dengan pandangan ilutif yang diperoleh tentang Tuhan; dan tak mau beranjak untuk mencoba memahami Tuhan yang hakiki, yang tak ilutif, yang asasi, yang asli. Paparan ini setidaknya cukup mumpuni pula ketika disandingkan dengan pernyataan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan dirinya dengan Hinduisme.

Kembali mengacu pada judul yang utuh Identity and Violence: The Illusion of Destiny, tampaklah bahwasanya apa yang hendak dibahas Amartya Kumar Sen dalam bukunya adalah Ilusi Takdir yang menghasilkan Identitas dan Kekerasan. Ilusi melekat pada manusia, begitu pula dengan Takdir; dan ketika dua entitas tersebut, muncullah Identitas dan Kekerasan.

Terkait dengan penggunaan frase Identity and Violence, lagi-lagi saya takjub dengan kelihaian Amartya Kumar Sen. Variabel ‘dan’ yang berangkat dari horison ilmu logika formal atau logika simbolik. Dalam logika simbolik, dua proposisi hanya bisa bernilai benar jika proposisi pertama dan proposisi kedua sama-sama bernilai benar. Bila Identity proposisi pertama bernilai benar dan Violence proposisi kedua bernilai benar, maka [The] Illusion of Destiny pun bernilai benar. Lewat penyelidikan demikian, bisa dilakukan penalaran bahwasanya [The] Illusion of Destiny cuma benar (baca: terjadi) ketika Identity dan Violence menyatu. ‘Menyatu’-nya Identity dengan Violence sebaiknya dipahami dalam konteks ‘afirmasi Identitas menyebabkan munculnya Kekerasan, dan bukan sebaliknya’. Namun, [The] Illusion of Destiny bisa bernilai salah (baca: tidak terjadi), ketika Identity bernilai benar dan Violence bernilai salah. Bila dilanjutkan, tentu saja bisa dinalar bahwa ada kemungkinan Identity bernilai salah. Namun, penalaran yang demikian sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran Amartya Kumar Sen yang ada di dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Dalam bukunya, Amartya Kumar Sen menegaskan bahwa Identitas itu ada (baca: status nilai Identitas selalu benar), dan adanya Identitas itu bersifat majemuk, bukan tunggal. Dari proses pemilihan judul yang begitu, nyatalah bahwa Amartya Kumar Sen memang piawai memadukan kecerdasan logika simbolik dengan kecermatan memilih diksi yang presisi untuk menggambarkan likaliku kompleksitas pemikirannya sebagai seorang ekonom sekaligus filosof, dan barangkali pula dibumbui dengan sentuhan cita rasa sastrawi yang mengandung unsur sinisme, satir, serta jenaka.

۞۞۞

Pemahaman yang demikian mengantarkan aku, tentunya setelah terlebih dahulu melakukan pembacaan atas buku karangan Amartya Kumar Sen, untuk sedikit saja mengomentari transliterasi Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’.

Terjemahan yang dilakukan Arif Susanto terhadap judul buku Amartya Kumar Sen tampaknya berpotensi mengaburkan kompleksitas kode kultural dan kode intelektual Amartya Kumar Sen. Lema ‘Destiny’ yang ada di dalam judul asli buku karangan Amartya Kumar Sen hilang di dalam hasil terjemahan Arif Susanto. Hal ini, sangat saya sayangkan karena ‘Destiny’ sesungguhnya punya peranan yang tak bisa diabaikan dalam pemikiran Amartya Kumar Sen yang dituangkan dalam buku tersebut. Selain itu, hadirnya frase ‘Ilusi tentang Identitas’ bisa-bisa malah membawa benak para pembaca judul buku pada pemahaman bahwasanya Identitas punya aspek ilutif. Padahal, bila mengacu pada gagasan Amartya Kumar Sen, Takdir-lah yang punya aspek ilutif di mata para penganut buta dari Takdir; dan seringkali para penganut Takdir terjerembab dalam pemahamannya yang ilutif atas Takdir tanpa berusaha menyibak dimensi ilutif Takdir untuk masuk dan menjelajahi dunia aseli, dunia hakiki dari Takdir, yang menurut aku berada di luar batas-batas rasio, nalar, kesadaran manusia.

Terakhir, aku mau menegaskan lagi, karena aku pikir tanggapan atau komentar aku dalam artikel ini bisa-bisa dinilai orang lain dalam perspektif yang negatif, meremehkan kerja penerjemahan teks yang sudah dilakukan Arif Susanto. Hendaknya, meski aku hanya bisa sampai pada tataran Berharap, pembaca yang membaca artikel ini menempatkannya dalam konteks ‘upaya aku untuk menyelesaikan gerundelan pribadi yang, barangkali saja, bermanfaat untuk stabilitas psikologis aku’. Aku sadar, menerjemahkan buku bukan perkara gampang, dan sesungguhnya Arif Susanto sudah melakukan kerja yang tak gampang dengan menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan Amartya Kumar Sen. Dan ketika Arif Susanto menyelesaikan terjemahan buku tersebut, berarti Arif Susanto sudah mengetahui apa isi buku tersebut; dan karena itu artikel yang saya tulis tidak boleh dinilai sebagai koreksi aku terhadap pemahaman Arif Susanto atas gagasan Amartya Kumar Sen yang tertuang dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny.

۞۞۞

Saya hendak menambahkan satu hal yang cukup penting, yang tak kalah pentingnya dengan segala celotehan yang sudah saya ungkapkan di atas. Saya mengucapkan terimakasih kepada penerbit Marjin Kiri yang telah berani membeli hak cipta penerjemahan, penerbitan, dan penjualan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny edisi indonesia dari W.W. Norton and Company, Inc. Saya pikir, adalah sesuatu yang sangat luar biasa ketika hanya dalam tempo satu tahun saja—buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny terbit pertamakali tahun 2006—buku berkualitas yang ditulis ekonom sekaligus filosof kaliber dunia muncul dalam edisi bahasa indonesia. Barangkali pengalaman saya tidak tahu banyak tentang buku-buku terjemahan, tapi seturut pengalaman saya, ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ merupakan buku asing yang sangat cepat hadir dalam khasanah kepustakaan domestik, hanya berselang satu tahun saja sejak penerbitan perdana di dunia ‘luar’ sana. Salute pada Arif Susanto! Salute pada Marjin Kiri!

Agustus 2008

METAMATEMATIKA

(ANIMASI --> (ilusi --> ilusi) <-- IMAJINASI)

ALBERT



Albert Einstein. Gua mau sebut dia, Albert. Bosan dengan sebutan Einstein. Inspirasinya dari Rizal, afRizal. afRizal sebut Chairil Anwar pakai Anwar. Bukan Chairil. “Anwar, Anwar...,” katanya. Gua bayangkan diucapkan sambil geleng-geleng kepala. Bisa sinis, bisa takjub. Aku pilih takjub. Albert. Albert.

Albert pernah ngomong: As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain, and as far as they are certain, they do not refer to reality. Omongan yang nyaris ngaco. Maksudnya, sulit buat gua pahami. Apalagi gua tak ngerti matematika. As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain. Bila hukum matematika merujuk pada realitas, hukum matematika tak pasti. As far as they are certain, they do not refer to reality. Kalau hukum matematika pasti, maka hukum matematika tentunya tak mengacu pada realitas. Maksud loe sebenarnya apa Bert?

Matematika. Gua pikir ada hubungannya dengan Inggris. Mathematic. Tambahan referensial, Latin: mathematica. Dari Yunani mathēmatikos. Sesuatu yang dipelajari. Mathanein. Belajar.

Reality. Realitas. Latin: Realitas, kata bentukan baru dari ‘res’, benda. Dari “Matematika,” dan “Realitas,” “menarik!” Ada matematika, tidak ada realitas. Ada realitas, tidak ada matematika. Matematika dengan realitas. Realitas dengan matematika. Sepertinya baku tinju. Tapi, aku pikir tak begitu.


* * *


Angka. Matematika, butuh angka. Angka adalah simbol. Matematika butuh simbol. Angka tidak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari mana manusia mengenal angka? Ada banyak peradaban penemu simbol untuk angka. Ada Babylonia, Romawi, India, dan yang paling populer adalah Arab. Angka: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dari Arab. Angka: 0, dari India. Romawi pakai I, V, X, M, L, C. Angka. Simbol. Simbol adalah animasi. Anima.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga tak mengenal ‘anima’. Hanya ada aninisme dan aninis dan animasi. Ketiganya, kata benda. Bukan kata kerja. Di Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) juga hampir sama. Tidak ada ‘anima’. Hanya animasi. Kata benda. Tak perlu gusar. Sebab, bukan masalah besar. KBBI dan TBI masih kenal ‘animo’. Kata benda. Antara ‘anima’ dan ‘animo’, bedanya pada vokal akhir. Barangkali, ada Jawa yang bermain. A menjelma O. Mengacu alfabet Yunani, memang luar biasa. Alpha. Omega. Alif. Ya.

Bahasa memang bisa buat cemas. Dagdigdug. Gagap. Bahkan, kadang kala menyesatkan. Kalau tidak, menakutkan. Begitu barangkali setiap ambisi terjadi. Antara menawarkan kesesatan atau ketakutan. Agus Sardjono berkata: Jangan main-main dengan kata. Sekali berkata ‘Teror’, bom meledak dimana-mana. Ada kata, ada bencana. Gerak. Bunyi. Pertemuan antara badan dengan sukma. Aneh. Unik.

KBBI mengenal animo sebagai hasrat dan keinginan yang kuat untuk berbuat, atau semangat. TBI mengenalkan padanan animo. Ada hasrat, interes, kehendak, keinginan, ketertarikan, minat, perhatian, selera. Tinggal pilih, kata TBI. Anima barangkali punya animo untuk memilih. Anima bebas. Benarkah?

Cassel Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room bicara. Anima, kata benda. Asli Latin. Kira-kira eksis di awal abad 20 Masehi. Atau abad awal 13 Hijriah. Artinya: a person’s true inner self, as opposed to the persona. Sebagai tambahan, persona: a person’s social façade, as distinct from anima. Dilacak lagi, makna asli ‘anima’ dalam bahasa Latin adalah Air, Breath, Mind. Udara, Nafas, Nalar. Yunani mengenal ‘anemos’ sebagai ‘anima’. Yang meniup, Yang menghembus, Angin. Sedikit tambah dari Jung. Carl Gustav Jung. Anima: aspek feminim dari personalitas manusia.

Kembali ke angka. Angka berakar pada animasi. Peralihan materi menjadi abstraksi. Peralihan materi menjadi animasi. Animasi karena Anima. Mind. Air. Breath. Materi jadi animasi, gara-garanya: panca indera. Anima butuh mata, panca indera. Mirip filsafat tubuh Maurice, Maurice Merleau-Ponty. Mata menangkap objek, anima buat animasi dari objek di dalam anima. Animasi tambah imajinasi. Anima kadang tak perlu lagi bertatapan dengan objek. Sekali anima bisa animasi, objek materi jadi simbol. Tanda. Sign. Signature. Barangkali paduan sign + nature. Agak rumit. Mata mengindra objek. Objek ada di dunia, spesifiknya di luar manusia. Saat anima buat animasi, tanpa sadar ada kerja dunia menerakan signature di dalam anima. Imajinasi tak pernah bersih. Selalu ada ada campur tangan Dunia. Imajinasi: Dunia dan Anima, Anima dan Dunia. Anima dan Dunia, Simbol.

Animasi. Imajinasi. Ilusi. Illusion. David Copperfield. Mata yang melihat bisa keliru. Mirip Ames Room, ruangan yang dirancang Adelbert Ames. Ada lagi. Ilusi Müller-Lyer dan Ponzo Illusion. Anima yang mencetak mentah-mentah dunia, menjelma ilusi di dalam animasi. Fransisco Budi Hardiman pernah bilang, “Panca indera bisa menipu.” ilusi: menipu, sekaligus meyakinkan. Kadangkala malah menakjubkan. Penipuan yang antik dan mahal. Tanpa pidana hukum positif.


* * *


Realitas, dunia. Ada ilusi. Ilusi bisa berubah. Ibarat sendok dalam gelas. Kelihatan bengkok. Filsafat cerita soal Being. Ada. Yang sungguh-sungguh ada dan yang mungkin ada. Antara yang aktual dan yang potensial. Yang aktual adalah nyata. Yang potensial, di sinilah ilusi menjadi nyata. Yang aktul menghapus ilusi. Mungkin kedengarannya aneh. Mana yang lebih nyata? Punya ‘3’ atau punya ‘tiga apel’? Gua tidak tahu mau diapain ‘3’. Kalau ‘tiga apel’, gua tahu gunanya. Dari ‘tiga apel’, yang penting bukan ‘tiga’, melainkan ‘apel’. Di sini, apel bisa menipu. Sebabnya, apel bisa habis dimakan atau membusuk. ‘3’ tidak bisa habis dimakan, tidak bisa membusuk. Bagaimana cara membusukkan angka? ‘3’ animasi, bukan lagi apel. Bukan lagi materi yang mengandung potensi aktualitas. 3 lebih kuat dari apel. 3 menjadi semacam payung bagi apel. 3 bisa menaungi apa saja. Entah apel, durian, mangga, sepeda motor, kumis macan, ekor kudanil. 3 tidak hanya hadir dari apel + apel + apel. 3 bisa hadir dari apel + sepeda motor + ekor kudanil. Angka lebih kuat dari materi. Simbol melampaui materi. Hasilnya: Angka adalah aksioma. Angka adalah aksioma. Simbol: aksioma awal bagi peradaban manusia.

Simbol sebagai aksioma luar biasa. Di sini matematikawan bicara tentang indah, keindahan, estetika. Aksioma melahirkan teorema. Matematika murni. Bukan apel yang praktis. Apel terapan. Apel makanan. Misal teorema kacangan seperti ini: bilangan ganjil + 3 = bilangan genap. Bilangan ganjil + Bilangan ganjil = Bilangan genap. X + X = Y; X=bilangan ganjil; Y=bilangan genap. Angka dan simbol menyatu. Makin ruwet. Anima dan Animasi dan Imajinasi. Di sini, muncul ilusi. Alias, Sejati. Pencapaian Jejak. Arkhe.


* * *


As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain, and as far as they are certain, they do not refer to reality. Lantas, bagaimana dengan politik? Albert omong lagi: Equations are more important to me, because politics is for present, but equation is something for eternity. Itu kata Albert saat dirinya ditawari menjadi Presiden Israel di tahun 1952. Kunci: reality=politic! Kalau begitu, adakah yang eternity? “Absolutely, yes! And it’s not politic!”


2008

MANUSIA:

OLIMPIADE, TUBUH, FISIKA, DAN METAFISIKA

Olimpiade sudah dimulai. 08-08-08. Pesta olahraga skala universal dan mundial. Olah raga. Raga sama dengan tubuh. Bisa pula, badan. F. Budi Hardiman punya distingsi unik untuk menjelaskan beda antara tubuh dengan badan. Bekalnya, sistem filsafat eksistensialisme yang digagas filsuf Perancis Maurice Merleau-Ponty. Tubuh adalah kepaduan antara aku dengan badan. Biasanya dikenal dengan istilah tubuh-subjek yang berdampak pada pola mengada manusia, yakni berada-di-dunia (être-au-monde). Kembali ke China. Di sana berlangsung Olimpiade. Dancing Beijing dan fisika.

Citius, Altius, Fortius. Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Tangguh. Tubuh. Eksplorasi tubuh mencapai taraf yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. 14 September 2002. Olimpiade Atalanta, Amerika Serikat. Tim Montgomery, sprinter 100 meter pecahkan rekor dunia. 9,78 detik. ‘Manusia paling cepat di dunia’. Lari dan materi. Kecepatan dan prinsip mekanika klasik Newtonian. Prinsip yang menaungi segala perilaku semesta materi.

Percepatan menurunkan formulasi kecepatan sebagai perbandingan terbalik dengan variabel waktu. Kecepatan, hasil pembagian antara jarak dengan waktu. Besaran pokok: Massa (M), Panjang (L), dan Waktu (T). Sebagai materi, dunia tubuh hidup dalam tatanan semesta prinsip mekanika. Olimpiade, pesta olah tubuh. Melampaui rekor yang pernah ada. Membukukan waktu yang Lebih Cepat. Kalau bisa, jarak 100 meter ditempuh dalam tempo 7 detik. Mungkinkah? Bagaimana kalau waktu tempuh menjadi 0,5 detik? Perhitungan teoritis atas formulasi kecepatan Newtonian memungkinkan kecepatan ∞ meter per-detik bisa dicapai, apabila waktu adalah 0 sekon. Tubuh menihilkan waktu. Olahan tubuh dilakukan untuk menihilkan waktu.

Sejak Einstein, waktu bukan lagi besaran pokok. Waktu, relatif. Apakah 0 sekon adalah waktu yang relatif? Magnum-opus Einstein menjelaskan batasan materi, massa. E = mc2. Pertama, antara energi dan massa ada reaksi yang dapat balik. Energi bisa menjadi massa, massa bisa menjadi energi. Hukum komutatif, perpindahan. Kedua, kecepatan cahaya. 3 x 108 meter per-sekon di ruang vakum. Artinya, secanggih apa pun olah tubuh, kecepatan materi mustahil mencapai ∞ meter per-detik. Olimpiade tak mungkin mengalahkan kecepatan cahaya. Cahaya adalah materi, dan juga gelombang! Optik. Barangkali, kelihaian menyiasati optik memampukan para ahli ilusi menghilang, lalu muncul tiba-tiba. Mata dan cahaya.

Tapi, ada satu kemungkinan lain. Transformasi. Energi menjadi materi atau materi menjadi energi. Tubuh menjelma jadi daya pukau. Seni tari. Yoga. Bisa pula, Moksa. Big Bang! Citius, Altius, Fortius. Semesta yang mengembang, ibarat balon. Kosmos. Makrokosmos, mikrokosmos. Manusia yang berkembang, ibarat balon. Zygot, janin, bayi, bocah, remaja, dewasa, tua. Paling puncak: Jejak! Yang tak-berhingga menjelma sebagai jejak. Kebudayaan Hellenisme mengenalnya sebagai Logos. Metafisika semesta. Antara abadi dengan di-sini. Plato bilang, Logos paduan antara onoma dengan rhema. Onoma, yang-tak-berwaktu. Rhema, yang-mewaktu. Niskala dan Kala. Niscaya dan Caya. Pasti dan Tak-Pasti. Paradoks!

* * *

Tahun 776 Sebelum Al-Masih, di bukit Olimpia, Yunani, diselenggarakan ajang lomba lari di lintasan sepanjang 192 meter. Zeus. Entah siapa yang menang ketika itu, saya tidak tahu pasti; sebab saya belum lahir dan belum banyak mengetahui informasi seputar peristiwa itu. Saya hanya mengetahui pada tahun 776 Sebelum Al-Masih, di Olimpia, Yunani, diselenggarakan ajang lomba lari.

* * *

Barangkali, Plato ada benarnya saat bilang badan (sema) adalah kuburan (soma) bagi jiwa. Tapi, bisa jadi Plato keliru. Sebab badan belum tentu sama dengan tubuh. Merleau-Ponty mengingatkan sejarah kekeliruan panjang di dalam dunia filsafat yang mengabaikan relasi ontologis antara jiwa dengan pengalaman. Antara Rasionalisme dengan Empirisme. Antara Idealisme dengan Materialisme. Antara Lebenswelt, dunia pra-ilmiah, dunia pra-reflektif, dunia pra-filosofis, dengan dunia-objektif, dunia ilmiah, dunia reflektif, dunia filosofis. Ada intuisi, ada diskusi. Kemanunggalan jiwa dengan pengalaman mengucap intuisi, keretakan jiwa dengan pengalaman meneriakkan diskusi. Dalam diskusi, kadang bermain ambisi, hasrat badaniah, kekuasaan, plus tipu-daya. Olimpiade butuh juri, wasit. Suara mereka mengandung otoritas mutlak tentang siapa yang bertanding dengan betul tanpa mempergunakan obat perangsang, doping, atau siapa yang berlaku kurang ajar. Medali menjadi mimpi, sama seperti kursi. Di sini, Olimpiade bicara tentang harga diri dalam diskusi. 24 Juli 1908. Pierre de Coubertin (1863-1937), pendiri Komite Olimpiade Internasional, ngomong: The most important thing in the Olympic Games is not winning but taking part … The essential thing in life is not conquering but fighting well. Human-nature, not an animal-life.

Human dan Nature. Antara manusia dengan alam, ada satu jembatan: human-nature. Budaya. Mungkin, Merleau-Ponty ingin memaknai berada-di-dunia (être-au-monde) sebagai human-nature. Humaniora. Metafisika manusia. Yang-Personal dan Yang-Massal. Habermas bicara tentang Lebenswelt dan System. Diskursus. Habitus politik yang baru. Habitus politik yang tak mengenal lupa. Habitus politik yang senantiasa menjejak. Arke. Arkeologi politik. Artefak bagi masa depan. Logos yang mendaging di antara Niskala dan Kala.

* * *

Api dari bukit Olimpus, Yunani, sudah menyala di Beijing, China. Stadion Nasional Sarang Burung. 08-08-08.

* * *

Tentang angka. Manusia tak pernah berjumpa ‘8’. Manusia berjumpa batu, singa, air, awan, kayu, tanaman, kursi, telinga, burung, kelapa, singkong. Tidak ada angka. Angka ada dalam ketiadaan dunia manusia. ‘8’ dan ‘0’, serta para kerabatnya hidup di dalam kertas. Angka, bukan materi. Angka, abstraksi. Angka, tak-eksis

Ketika tubuh bergerak, akal membaca gerakannya sebagai simbol. Gerak, kecepatan, perubahan. Simbolisasi. Makna yang tak baku, tak beku, dan tak kaku; seperti balon. Tubuh, melalui indra, mengampu akal tentang gerakan. Tentang simbolisasi. Akal, melalui abstrasi, mengajarkan tubuh tentang prestasi, probabilitas, kemungkinan yang tak-terbatas. Finite dan Infinite. Terbatas, dan Yang Tak-Terbatas. ‘8’ dan ‘0’ adalah abstraksi. Sebentuk tatanan dalam semesta Yang Tak-Terbatas. Dunia chaos. Dunia kosmos. Ada struktur, ada tak-berstruktur. Yang chaos, tak terduga. Tidak pasti. Postulasi Heisenberg tentang prinsip ketidakpastian (uncertainty principle). Kemustahilan selalu melekat pada segala upaya ‘ilmuwan’ untuk menentukan posisi dari materi. Sebab dunia kuantum mengenal materi sebagai partikel sekaligus gelombang. Barangkali dalam bahasa Husserl, Lebenswelt-materi. Misteri. Dan, harapan sembunyi di bilik misteri. Di Olimpiade, ada misteri. Ada juga harapan. Demikianlah Pierre de Coubertin memimpikan Olimpiade sebagai ajang pertarungan sekaligus perdamaian. Menghadirkan perang, bukan Perang. Yang-Perang, penaklukan. Kolonialisme. Dominasi. Yang-perang, wisest! Di indonesia, 1992, Universitas Nasional dalam suatu simposium menaburkan benih gagasan brilian: Survival of the Wisest! Gagasan penanding tesis Charles Darwin, survival of the fittest. Olimpiade bicara perang, bukan Perang. Dan Politik harus tahu diri untuk mengambil sejenak waktu beraskese. Menyendiri, atau mengikhlaskan arena menghasilkan System-nya sendiri. Manusia, kadangkala tak butuh Politik. Di dalam kosmos, Presiden harus dikembalikan pada simbolisasi. Presiden bisa bermakna, bisa pula tak bermakna. Dunia kosmos, dunia kronos sekaligus dunia ainos, kebetulan. Ada kemenangan yang kebetulan. Bunda Fortuna. Bukan hanya Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Tangguh. Tapi, ada Lebih Beruntung. Di dalam kronos, momen ainos hadir secara tak terduga. Misteri. Unexplained. Di sini, Santo Thomas Aquinas menemukan Prima-Causa.

* * *

Kemenangan adalah dambaan. Sebab, kemenangan memberikan nafas yang lebih panjang kepada jejak. Daya tahan artefak. Tahun 776 Sebelum Al-Masih, di bukit Olimpia, Yunani.

* * *

Tak ada jejak tanpa materi. Tak ada arketip tanpa kesadaran. Tak ada monarki tanpa manusia. Yang menakutkan adalah ketika human berhadapan dengan ketidakpastian. Heidegger menyebutnya dengan kata ‘cemas’. Waktu yang relatif menjelma jadi waktu otentik dan waktu inotentik. Dilema antara menetapkan cita-cita atau sekadar bicara. Hanya keyakinan yang bisa melampaui misteri. Sebab, hanya Rahim yang tahu bagaimana sejarah, mulai pertemuan sperma dan sel telur hingga menjadi janin. Ada kehidupan, dan kemungkinan mati. Sein-zum-Tode, sabda Heidegger. Ada-menuju-kematian. Mungkin, komposisi Ladagio Sostenuto dari Moonlight Opera gubahan Ludwig van Beethoven sedikit banyak bernyanyi tentang kecemasan. “Only art and science can raise man to the level of God.” Firman yang terucap dari raga Beethoven. Yang Indah, Yang Benar, dan Yang Baik. Ritual Olimpiade. Citius, Altius, Fortius. Yang Lebih Cepat, Yang Lebih Tinggi, Yang Lebih Tangguh. Yang Lebih Beruntung. Dancing Beijing. Beijing menari. Elly Lutan sempat ngomong: Tarian adalah Tubuh yang Berpikir. Human-Nature. Être-au-monde. In-der-Welt-Sein. Lebenswelt dan System. Eros dan Thanos. Wassalam. Shalom Aleichem. Peace be With You. Damai menyertai Engkau.

Agustus 2008