I-Klan

I-Klan!!!

Read in order to live.

Gustave Flaubert

(1821 – 1880)


GENERASI X. Gen-X.


*


DALAM KHAZANAH CARTESIAN, X adalah aksis. Sahabat dari Y, koordinat. Hasilnya, posisi.


CARTESIAN adalah terobosan mutakhir filsuf modern asal Perancis René Descates awal abad 17 Al-Masih. Disebut terobosan karena gagasan orisinil Descartes berhasil mengelaborasi ilmu aljabar dengan ilmu geometri. Bila aljabar dianggap mental dan geometri dianggap tubuh, maka sintesa Descartes sukses menubuhkan yang mental atau yang mental menubuh.


COGITO ERGO SUM. Selain grafik Cartesian yang mencemaskan bagi anak-anak sekolahan yang tidak menyenangi matematika (bahkan, kalau bisa, membunuh pelajaran matematika dari kurikulum pendidikan nasional yang menggemaskan), Descartes juga meninggalkan artefak kebudayaan berupa slogan: Saya berpikir, maka saya ada. Saya, dalam bahasa Inggris adalah I, I think therefore I exist. Kali ini, orang Indonesia lebih beruntung. Chairil Anwar, penyair ekspresionis berjuluk ‘binatang jalang’ meneriakkan: Aku. Bagi orang Indonesia, ada dua pilihan. Pertama: Saya berpikir, maka saya ada; atau, kedua: Aku berpikir, maka aku ada.


BERPIKIR, MAKA ADA. Bila ‘berpikir’ dianggap mental dan ‘ada’ dianggap tubuh, maka yang mental menubuh. ‘Berpikir’ adalah syarat mutlak bagi ‘ada’. Mental adalah syarat mutlak bagi tubuh. Tidak ada tubuh tanpa mental. Tapi, ada tubuh yang punya sakit mental. Atau, sakit mental yang menubuh. Apakah sakit mental membutuhkan tubuh? Atau tubuh malah membutuhkan sakit mental? Descartes tak bicara soal sakit mental. Dia hanya memproklamasikan: Rasionalisme! Dasar segala kebenaran adalah rasio, cogito.


*


DALAM KHAZANAH BARTHESIAN, X adalah tanda. Barthes bukanlah Fabian Barthes, penjaga gawang Perancis berkepala botak. Sekadar informasi yang tak begitu penting, kapten kesebelasan Perancis yang sudah pensiun Le Blanc selalu mencium kepala botak Barthes sebelum pertandingan dimulai. Barthes bukanlah Fabian Barthes, melainkan Roland Gérard Barhtes, kritikus sastra Perancis abad 20 Al-Masih. Barthes, campuran antara cerutu dengan bakteri Mycrobacterium tuberculosis penyebab penyakit te-be-se.


BAGI BARTHES, tanda hidup di dalam masyarakat. Kebudayaan masyarakat menentukan makna tanda. Budaya Cartesian memandang X sebagai aksis. Budaya Barthes bisa memandang beda. X tidak hanya aksis, melainkan bisa saja nonsens, persimpangan, abjad Latin ke-23, bisa pula berarti 10, atau malah berarti: ?, atau malah ¿.


PENULIS SUDAH MATI. Salah satu judul esai Barthes: The Death of Author. Di sini, orang Indonesia tak boleh keliru, apalagi mengeluh. Bahasa Indonesia memang kalah canggih (atau malah sebenarnya karena kurang digali) untuk menjajaki pikiran Barthes (kalau sempat, mampirlah ke kedai wikipedia, baca sedikit artikel Barthes. Ini sekadar anjuran, bukan suruhan apalagi perintah komandan.). Dalam pikiran Barthes, Author tidak hidup sendirian. Author hidup bersama Scriptor. The Death of Author seiring dengan The Resurrection of Scriptor.


AUTHOR DAN SCRIPTOR. Aku mengajukan alihbahasa Author menjadi Penulis, dan Scriptor sebagai Penyalin. Bagi Barthes, Penulis dan Penyalin adalah konsep yang merujuk pada dua cara berpikir yang dipergunakan pengarang ketika menulis teks. Penulis adalah mereka yang memiliki sekaligus menggunakan kemampuan imajinasi orisinal untuk menghasilkan karya sastra. Penyalin adalah mereka memiliki kemampuan mengkombinasikan beragam teks yang sudah ada (exist, dalam bahasa Inggris) untuk menghasilkan karya sastra.


PENULIS DAN PENYALIN ADALAH MENTAL. Hasil tulisan, tubuh. Pada ranah tulisan, Barthes membedakan dua jenis teks, teks-membaca dan teks-menulis. Teks-membaca atau readerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen pasif. Teks-menulis atau writerly text adalah teks yang menempatkan pembaca sebagai konsumen aktif sekaligus produsen pereproduksi teks-menulis. Teks-menulis menghasilkan pembaca yang berstatus produsen teks karena teks-menulis mendorong pembaca memproduksi maknanya sendiri atas teks yang dibaca dengan jalan menulis. Menurut aku, novel Tuan dan Nona Kosong karya penyalin Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin adalah teks-menulis.


X ADALAH TEKS-MENULIS. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh kreatifitas pembaca. Penulis sudah mati, Penyalin telah bangkit. Bila pikiran diibaratkan negara, maka ada dua partai berkuasa di dalam pikiran, partai Penulis dan partai Penyalin. Dan Barthes adalah juru kampanye utama dari partai Penyalin yang ada di dalam pikiran manusia. Apakah usaha Barthes berhasil? Saya tidak tahu. Tetapi, saya yakin, Dora bakal menjawab keyakinan penuh percaya diri: “Berhasil! Berhasil! Berhasil!”


X ADALAH TEKS-MEMBACA. Makna dari tanda ‘X’ ditentukan oleh imajinasi orisinal Penulis. Pembaca tak perlu bersusah payah menggali makna teks. Tidak ada pertarungan partai Penulis dengan Penyalin dalam pikiran pembaca. Di hadapan teks-membaca, pembaca sepenuhnya pembaca. Pembaca dalam konteks perekonomian (bisa saja ditambahkan predikat ‘kapitalis’, ‘sosialis’, atau ‘komunis’) adalah konsumen. Konsumen bagi teks-membaca adalah mereka yang berduit sekaligus melek huruf. Teks-membaca ibarat kosmetika telepon genggam dalam peradaban kosmopolitan. Teks-membaca punya kodrat, mengutip kata-kata Tardji (kalau tak keliru), ibarat tissue. Sekali pakai langsung dibuang. Kalau begitu, ingat-ingatlah Chairil Anwar kembali. “Sekali berarti, sudah itu mati.” Kira-kira, termasuk jenis yang manakah teks “Sekali berarti, sudah itu mati”? Apakah teks-membaca atau teks-menulis?


PEMBACA. Ada pembaca kreatif, ada pembaca konservatif. Pembaca ideal adalah pembaca kreatif. ‘Sampan’ tidak dipahami sebagai sampan, melainkan kapal-induk. ‘Kapal-induk’ tidak dipahami sebagai kapal-induk, melainkan bajak laut. Di hadapan pembaca, teks dapat menjadi teks-membaca atau teks-menulis. Penulis sudah mati. Penyalin bangkit. Pembaca harus selalu menghadirkan teks sebagai teks-menulis. Kreatifisme harus diselamatkan, konsevatifisme harus dibasmi. Maka, pikiran mendominasi tubuh. Pikiran menentukan tubuh. Agak nyamber dikit ke Foucault, Michel Foucault, makna adalah diskursus. Diskursus, pertarungan wacana! Yang-menang menguasai yang-kalah.


BARTHES DAN CARTES. Kedua, dengan bahasa personalnya sendiri, menyuarakan makna: Mental yang menubuh. Tidak ada teks yang tak bertubuh. Setiap buku adalah netral selama tak ada pembacaan. Setiap buku adalah netral selama tidak ada kerugian atau keuntungan. Makna buku, maksud saya tubuh juga, ditentukan pembacaan sekaligus pembelian. Makna adalah peristiwa transaksi yang menyejarah. Indonesia berasal dari dua kata, Indo dan Nesia. Indo berarti India, Nesia berarti kepulauan. Indonesia, kepulauan di India. Kalau begitu, apa makna Indonesia? Barthes dan Cartes barangkali tidak bisa menjawab. Tapi, mereka bisa memberikan dimana jawabannya berada. Bagi Barthes, makna Indonesia bergantung pada pikiran pembaca yang bisa memandang teks ‘Indonesia’ sebagai teks-membaca atau teks-menulis. Cartes, menjawab Indonesia(n) think therefore Indonesia(n) exist. Apakah Indonesia hanya mental tanpa tubuh? Aih, sekarang, saya lagi tak mau masuk dalam transaksi nasionalisme.


*


IKLAN, I-KLAN. Iklan, teks-membaca. I-klan, teks-menulis.


I-KLAN! Klaim personal: Tak ada iklan, tanpa saya. Iklan adalah saya. Aku adalah iklan. Iklan adalah aku-dan-keturunanku. Pertarungan iklan adalah pertarungan aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku. Istilah ngetrendnya: Tak ada kecap nomor 2! Kecap bicara soal cita rasa. Lidah yang beda hendak diringkus dalam citarasa kecap nomor 1. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dienyahkan. Maka, kekuasaan tidak mengenal kamu.


TIDAK ADA KAMU DI DALAM I-KLAN. I-klan tidak memberi ruang bagi kamu. I-klan justru memaksa kamu untuk menjadi aku, atau berpihak kepada aku. Selama kamu tetap kamu, kamu berada dibawah kekuasaan aku. Selama kamu menjadi aku atau berpihak kepada aku, kamu menguasai mereka. Kodrat perbedaan diakui sekaligus dikuasai.


I-KLAN, teks-tertulis di dalam cogito pembaca. Pertempuran iklan antara aku dengan aku dengan aku dengan aku dengan aku yang sesungguhnya berlangsung di dalam pikiran pembaca. Penguasaan atas peta politik kekuasaan pikiran pembaca adalah pertarungan partai Penulis dengan partai Penyalin. Kemenangan partai Penulis, berarti kemenangan aku. Kemenangan partai Penyalin, berarti kemenangan aku. Tetapi, di luar aku, tidak ada aku. Di luar aku, ada aku, Cartes dan Barthes. Bila aku memutuskan berpihak kepada aku, aku bukan lagi aku, melainkan aku. Sebagai teks-membaca, i(-)klan ‘cobloslah saya’ mengandung pesan tunggal: Cobloslah saya. Politik selalu antara aku dengan aku, dan aku memutuskan untuk menjadi aku, atau tetap aku.


I-KLAN ADALAH DOMINASI AKU ATAS KAMU. Bila kamu tidak menjadi atau berpihak kepada aku, I-klan bakal mencampakkan kamu. Disini, yang mental tak lagi hanya menubuh, melainkan sudah menentukan tubuh. Di luar aku, kamu menjadi Generasi X! Gen X.


*


GENERASI X. Gen-X. Generasi yang hidup karena membaca. Aih, agak pedih juga mendengarnya. Mimpi sekaligus tragedi!


*


KARENA MEMBACA, kita hidup. Karena hidup, kita bermasalah. Masalah hidup. Hidup ada sebelum membaca ada. Hidup dan membaca ada sebelum saya ada. Karena saya ada, hidup menentukan saya membaca dan hidup. Bukankah ‘hidup’ menjadi sesuatu yang aneh ketika diulang berkali-kali? Hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup, hi-dup. Aih, sebelum saya mengalami serangan jantung, ada baiknya saya pamit, undur diri dari hadapan Anda yang hidup. Thanks to Cartes. Thanks to Barthes. Thanks to Gustave.


November 2008

No comments:

Post a Comment