ALIS DAN KENANGAN DIPENJARA

Namanya, Ali Yusuf Abu. Asal, Afrika Selatan. Umurnya, 26. Kemarin, dia menjalani pemberkasan di lantai empat, ruang Satuan Narkoba Polres Jakarta Timur.

Dua tahun lalu, 2004, pria kelahiran Cape Town ini tiba di Indonesia. Bekalnya, visa wisata. Itu berdasar pengakuan dia. Tapi, pemeriksaan di Markas Komando Polres Jakarta Timur membuktikan bahwa visa tersebut cuma kamuflase belaka. Kanit II Narkoba Polres Jakarta Timur AKP Budi Santosa sudah menetapkan dia sebagai tersangka penipuan. Dan sebenarnya, kesalahan dia tak hanya itu. Ketika ditangkap pada pukul 07.00, di Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat, kemarin, Alis tak membawa paspor. Padahal, bagi seorang yang tergolong Warga Negara Asing (WNA) paspor merupakan identitas pengganti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penetapan itu sendiri ternyata berlatarkan cerita yang dimulai sejak Juli 2006. Saat itu, pihak kepolisian mendapat informasi dari warga. Isi informasi itu: Alis pengedar putauw! Sebagai tindak lanjut, Polres Jakarta Timur menelusuri gerak-gerik Alis.

Dan, puncaknya terjadi ketika polisi yang menyamar berhubungan via telepon dengan tersangka. Soal yang mereka bicarakan tak lain adalah jual-beli putauw. Melalui telepon, polisi menyatakan bahwa mereka punya uang Rp18 juta. Alis menjawab, nominal sebesar itu setara dengan 50 gram putauw. Kedua belah pihak pun setuju, tinggal menentukan lokasi transaksi. Dipilihlah, Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat.

Di tempat itu, polisi dan Alis bertemu. Alis meminta polisi mengunjukkan uang. Uang dalam amplop yang disembunyikan dibalik jaket pun ditunjukkan. Kini, gantian polisi yang meminta Alis melakukan hal serupa. Tapi, Alis tak memenuhi permintaan itu. Sebagai dalih, dia berjanji menyerahkan paket putauw setelah uang berpindah tangan dahulu. Tentu saja, itu tak bisa dipercayai oleh polisi.

Alis yang lumayan bisa berbahasa Indonesia ini pun mengajak polisi berkeliling untuk mengambil 'barang'. Setelah tawaran itu diikuti, polisi pun curiga Alis mau melarikan diri. Tanpa diduga, Alis langsung dibekuk dan dibawa ke Markas Komando Polres Jakarta Timur.

Di ruang pemeriksaan lantai empat itu, mengenakan kaos sport merah berlogo 'Air Jordan', Alis menyoal penangkapan itu. "Saya salah apa? Tidak ada barang bukti," kata pria berambut kriting dan pendek ini. Anehnya, dia tidak mangkir ketika dia ditetapkan sebagai penipu. Fakta pun meluncur dari mulutnya sendiri. "Dulu, saya pernah tipu napi di Salemba," kata lelaki yang berpostur gempal ini santai. Ceritanya, waktu itu napi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba mau membeli putauw. Alis menyanggupi, tapi dengan syarat: uang dulu, baru barang. Setelah persyaratan dipenuhi, Alis segera raib.

Selain kejahatan itu, lelaki kelahiran 1980 ini pun mengungkap aib barunya lagi. Ia pernah dipenjara selama satu tahun karena soal aniaya. September 2006 bebas.

Pada tahun 2005, di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, ia menghajar rekan kerjanya yang berasal dari Kamerun hingga berdarah. "Dia menipu saya," katanya pula menerangkan sebab aniaya. Ternyata, hubungan antara Alis dan rekannya itu pun tak jauh dari 'dunia hitam'. Mereka berkomplot membuat uang palsu, khususnya mata uang Paman Sam. Ketika itu, seingat dia, 100 USD palsu mereka jual seharga Rp780 ribu. Masalahnya, keuntungan 'bisnis' tersebut seluruhnya dibawa pergi rekan kerjanya itu. Inilah pangkal pemukulan itu.

Kini, ingatan setahun dipenjara muncul kembali. "Ya, pusing deh. Bakal masuk lagi nih...," Alis mengeluh!
PARENTAL ADVISORY: KEBODOHAN YANG TAK BOLEH BELAJAR

Film 'Pocong' karya Rudi Soedjarwo dinyatakan tidak lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Alasannya, berdasarkan Koran Tempo edisi Selasa 17 Oktober 2006, ada 9; diantaranya tidak bersesuaian dengan norma kesopanan, menonjolkan adegan kekerasan dan kekejaman lebih dari 50 persen, hingga terkesan kebaikan dikalahkan kejahatan. Ketua LSF Titie Said menambahkan pula dampak dari film itu. Menurut dia, film itu dapat membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei 1998.

Persoalan tidak lulus sensor mengartikan satu hal pokok, yakni ketidak-layakan tayang. Mengingat kata 'ketidak-layakan', saya terkenang pernyatan Franz Magnis Suseno di tahun 2003, tentang etika. Persoalan rumit itu disederhanakan menjadi satu kalimat sederhana: tidak semua hal yang dapat dilakukan (baca: kebebasan) boleh dilakukan (baca: tanggung jawab). Pencitraan praktis dari inti etika tersebut, kira-kira: meski semua manusia berpotensi (baca: dapat) membunuh, tapi kerja membunuh itu sendiri tidaklah layak dilakukan. Bila ditarik lebih panjang, persoalan ini bermuara pada kebebasan bertanggung-jawab. Seseorang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan yang dilakukan hanya bisa terlaksana apabila yang bersangkutan memiliki kebebasan memilih tindakan.

Kembali ke soal film 'Pocong' yang berbiaya Rp3 miliar ini. Untuk pertama kalinya, film ini haruslah dilihat sebagai salah satu mode ekspresi kesenian, diantara sekian banyak mode ekspresi kesenian lainnya, seperti sastra, suara, lukisan, teater dan lainnya. Dan, dunia ekspresi kesenian ini pada dasarnya berlandaskan kebebasan atau semesta probabilitas. Karena itu pulalah maka seniman memiliki keleluasaan 'boleh melakukan apa saja'. Namun, adanya keleluasaan ini tidak mengandaikan bahwa seniman menihilkan soal etika dalam berkarya. Seniman tetap memiliki standar etika, yang saya sebut dengan 'institusi etika prifat'. Di dalam 'institusi etika prifat' inilah tersimpan mana yang boleh dan tidak. "Institusi etika prifat' ini pulalah yang memungkinkan Rudi Soedjarwo menghasilkan film 'Pocong'.

Keberadaan 'institusi etika prifat' didalam diri Rudi terbukti melalui pembelaannya sendiri. Menurut Rudi--masih dalam artikel Koran Tempo edisi Selasa 17 Oktober 2006--film Holywood dan tayangan televisi lebih sadis dari film 'Pocong' yang ia buat. Tidak hanya itu. Film 'Pocong' pun disebut Rudi memiliki pesan moral, yakni 'kita harus lebih takut kepada manusia daripada kepada setan'. Pembelaan ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Rudi atas pilihan dan kebebasan ekspresi yang dia miliki.

Memang, selama film 'Pocong' dibuat untuk konsumsi sendiri, keperluan pribadi, maka tidak akan pernah ada masalah muncul. Tapi, ketika film ini hendak masuk ke ruang publik, masalah timbul. 'Institusi etika publik' menyaring hasil 'institusi etika prifat'. Kategori layak atau tidak pun bermain.

Dari perspektif ini, terlihat jelas bahwa LSF berposisi sebagai 'institusi etika publik'. Lembaga ini menyaring hasil kerja Rudi bersama rumah produksi Sinemart. Proses seleksi yang membutuhkan waktu dua minggu dilakukan tiga tahap, dari kelompok pertama ke pelaksana harian lalu ke pelaksana harian plus yang berisi agamawan, budayawan, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk kehati-hatian ini, saya pribadi mengucapkan salut. Namun, hasil akhir yang menyatakan bahwa film 'Pocong' tidak layak tayang, jelas-jelas menyakitkan.
Tentu saja, 'institusi etika prifat' milik Rudi beserta Sinemart terlebih dahulu tersakiti. Dan, bisa jadi beberapa personal di LSF, misalnya Titie Said pun bersedih; sebab menurut dia kualitas sinematografi, pencahayaan, akting dan dialog fim tersebut tergolong 'oke'. Selain mereka, saya pun merasa tersakiti. Dan, dengan menyadari dasar keberadaan LSF adalah hak sosial individu yang dilimpahkan ke negara, maka rasa tersakiti itu pun semakin menusuk. Dengan kata lain, saya sebagai individu yang telah melimpahkan hak sosial ke negara dengan kesadaran sendiri mengambil pisau dan menyayatkannya ke tubuh saya sendiri. Ya, putusan LSF adalah putusan saya sendiri untuk menghujamkan belati ke pembuluh nadi saya.

Disinilah keberatan dan ketidaksetujuan saya atas putusan LSF itu. Menurut saya, putusan 'institusi etika publik' LSF melabelkan satu hal ke 'institusi etika prifat' yang dimiliki tiap individu, yakni kebodohan. LSF dengan kekuasaannya mengklaim bahwa publik yang bakal menikmati film ini adalah sekumpulan orang bodoh-tolol yang tidak memiliki standar etika. Dan karena itu, satu film Rudi Soedjarwo--perkiraan saya berdurasi maksimal dua jam--mampu meracuni khalayak penonton untuk berbuat kekerasan dan kekejaman seperti yang ditampilkan film tersebut. 'Institusi etika prifat', khususnya saya, dicap bodoh-tolol oleh LSF 'institusi etika publik'. Betapa, hak sosial yang saya berikan kepada LSF ternyata telah disalah-gunakan dengan merenggut kebebasan milik saya untuk menilai apa dan bagaimana film 'Pocong' itu.

Selain itu, hal lain yang menyinggung adalah dugaan bahwa film 'Pocong' dapat 'membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei 1998'. Kalimat yang disuarakan Titie Said, bagi saya naif. Dugaaan atau kekhawawtiran atau ketakutan dalam pernyataan itu menyiratkan dua hal. Pertama, 'kita' harus melupakan tragedi; Kedua, 'kita' harus hidup damai tanpa 'luka lama dan dendam...' Saya secara pribadi menyakini bahwa siratan pertama bukanlah pilihan posisi bagi seorang yang bernama Titie Said, yang menurut saya, mampu merasakan derita yang dialami korban tragedi itu. Ketua LSF ini pastilah bermaksud pada siratan kedua, yakni 'luka lama dan dendam...' itu harus diselesaikan hingga 'kita' dapat hidup damai bersama.

Disitulah letak kenaifan LSF. Sebab, dampak tragedi Mei 1998 bukanlah terletak di dalam film, melainkan di kenyataan itu sendiri. Apakah Indonesia memang sudah menuntaskan sejarah kelam bangsa yang selalu mengagungkan nilai ramah tamah dan sopan santun ini?

Di sisi lain, dugaan atau kekhawatiran atau ketakutan LSF itu ternyata membongkar pola pikir 'institusi etika publik' ini. Melalui dugaan itu, saya pun dapat melihat apa dan bagaimana film di mata 'institusi etika publik' ini. Film bagi 'institusi etika publik' ini berada di atas kenyataan. Dan pola pikir inilah yang berusaha 'mereka' suntikkan ke kepala 'institusi etika prifat' yang kadung dicap bodoh-tolol. Film melebihi kenyataan! Menurut saya, ini pola pikir yang salah. Seharusnya 'institusi etika publik' ini mempromosikan ide bahwa film merupakan sub-ordinat kenyataan. Jadi, sebagus apa pun film yang dibuat, tetap saja kenyataan yang menempati posisi teratas.

Apakah putusan LSF ini bisa dibatalkan atau tidak--seperti perubahan keputusan dari meluluskan menjadi menarik dari peredaran film 'Buruan Cium Gue!' yang dikarenakan desakan 'institusi etika prifat'-yang-memublik*--wallahuallam, saya tidak bisa memastikan. Yang pasti, setidaknya hingga saat ini, 'institusi etika publik' menegaskan bahwa 'institusi etika prifat' cuma berisi kebodohan, ketololan, tolol bakero belaka! Bila sudah begini, kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dengan derajat tertinggi (baca: memiliki akal budi) diantara semua mahluk ciptaan-Nya pun menjadi semakin didangkalkan. Dan, jika memang benar 'institusi etika prifat' berintikan kebodohan, apakah saya, yang bodoh ini, memang tidak berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang benar demikian, saya terpaksa mengacuhkan keberadaan 'institusi etika publik' yang menyebalkan seperti, maaf LSF cuma salah satunya saja di Indonesia yang susah dicinta ini.


*: Saya sendiri tidak sependapat dengan desakan dan putusan menarik film 'Buruan Cium Gue!' dari peredaran; sebab ide ini lagi-lagi cuma menegaskan pelabelan 'institusi etika prifat' yang bodoh-tolol. Dan 'insitusi etika prifat'-yang-memublik cumalah kesemuan belaka, sebab itu menjadi tirani 'institusi etika publik' semata.
MEMANG SEPAK BOLA BISA MENYEBALKAN

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah. Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo. Lantas,
selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan. Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman. Lalu,

aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya : Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak; bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,

lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan. Permainan pun mulai!
Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!! Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning hitam bergambar elang. Hingga,
Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain : Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin, pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak! Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa. Sejenak,
aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau. Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit 80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,

melihat waktu sudah mencapai tengah malam.

Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang Jerman. Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi, semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan usai, berlanjut ke titik adu pinalti.
Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah, Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,

darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak. Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba

mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu, aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar, sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!
MEMANG SEPAK BOLA BISA MENYEBALKAN

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah. Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo. Lantas,
selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan. Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman. Lalu,

aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya : Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak; bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,

lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan. Permainan pun mulai!
Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!! Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning hitam bergambar elang. Hingga,
Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain : Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin, pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak! Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa. Sejenak,
aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau. Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit 80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,

melihat waktu sudah mencapai tengah malam.

Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang Jerman. Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi, semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan usai, berlanjut ke titik adu pinalti.
Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah, Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,

darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak. Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba

mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu, aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar, sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!

[Deif-Feil]
Nanti, Nanti, Nanti
--Sabarlah, Jangan Pula Terburu; Nanti Jadi Terlalu!--


Nanti, jika kita bertemu, aku kenalkan kau pada dua temanku.

Jhon Lennon : Imagine there's no heaven

Jim Morrison : I'm a spy in the house of love

Nanti, jika kita bertemu,

aku sudah lama tak bertemu dua temanku ini. Kabarnya, mereka sedang berlibur, entah dimana. Tak ada yang tahu.

Sekali waktu, ketika aku sedang tertidur, mereka datang. Tapi, begitu aku bangun menyambut, mereka pun hilang. Tak sempatlah aku bicara. Mereka pun serupa. Sama.

Kadang, tengah malam, dalam kamar, aku merasa mendengar langkah kedua temanku ini. Aku diam saja menunggu; sebab aku pikir mereka pasti hilang bila aku membuka pintu. Tapi, makin lama, bukan suara langkah kaki menjelas, malah jadi tak terdengar. Sama sekali hening.

Nanti, jika kita bertemu, aku pasti tak bisa mengenalkan kau pada dua temanku.
Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku; TAPI, BERADA DIANTARA MANAKAH AKU DAN TEMAN-TEMANKU HINGGA KAMU TIDAK TAHU DIMANA KEBERADAANKU DAN TEMAN-TEMANKU YANG BERADA DIANTARA AKU DAN TEMAN-TEMANKU BERADA DIANTARANYA


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan--
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Apakah engkau mendengarkan aku?"

Perlahan, aku merasa ada seseorang yang memasuki aku. Dari gelagatnya, sekarang ini, aku seakan membaca bahwa seseorang itu sedang mencari sesuatu. Tapi, aku pikir itu tidak mungkin. Sebab, seringkali aku melihat seseorang itu memasuki aku. Dan, biasanya, seseorang itu hanya memasuki aku untuk melempar buku atau rebahan di atas kasur sembari mendengarkan 'The Doors' atau album 'An American Prayer'-nya James Douglas Morrison. Setelahnya, seseorang itu lalu mematikan lampu. Demikianlah, seseorang itu seperti melakukan rutinitas memasuki aku. Hingga,

aku merasa seseorang itu bukan mencari sesuatu. Seseorang itu, rasanya hendak menanyakan sesuatu. Kadang, aku mencoba memasang telinga tajam mendengar. Namun, mengapa tak satu patah kata pun yang dapat aku dengar; padahal kalau aku melihat bibir seseorang itu bergerak-gerak kencang. Pastilah seseorang itu, bukan sedang sekarat meregang--setidaknya itu dugaan aku yang positif. Sebab, bila aku menduga negasinya, maka aku hanya menyimpulkan bahwa seseorang itu sedang mencoba menarik perhatian aku. Dan, memang, aku pun pernah berpikiran seperti itu. Tapi, pikiran itu runtuh dengan sendirinya, sebab seseorang itu memang tidak sedang menarik perhatian aku. Jika seseorang itu memang ingin menarik perhatian aku, seseorang itu tidak perlu melakukan hal itu berulang kali; idealnya, cuma beberapa kali; tidak menjadikan rutinitas. Nah, karena rutinitas itulah maka aku menggugurkan pikiran negasi itu. Aku merasa seseorang tidak sedang memikat perhatian aku. Aku merasa seseorang itu sedang mencari sesuatu atau, hendak menanyakan sesuatu. Entahlah, aku tidak tahu apa bedanya mencari sesuatu dengan menanyakan sesuatu. Pfuh, memang seseorang itu tampaknya sedang 'bersesuatu' kepada aku.

"Hei, ada apaan sih?" Sekali waktu, aku mencoba menanggapi seseorang yang sedang 'bersesuatu' itu. Dan, karena percobaan pertama itulah, aku pun menjadi berulang kali mengucapkannya. Kadang menggunakan huruf kapital semua, kadang huruf tak-kapital semua, kadang berhuruf campuran antara kapital dan tak-kapital, bahkan kadang juga aku mengucapkannya tanpa menggunakan huruf. Tapi, setelah beragam macam cara rupa telah aku upayakan, seseorang itu tampaknya tak memberi tanggapan seperti yang aku inginkan. Entahlah..., apa yang salah; aku tidak tahu. Apakah itu karena aku berkeinginan, atau karena apa. Mengapa aku begitu sulit untuk, ya mungkin semacam mendengar seseorang itu; atau memang seseorang itu juga seakan begitu sulit untuk, ya mungkin semacam mendengar juga, mendengar aku; padahal,

ketika 'An American Prayer'-nya James Douglas Morrison atau album lainnya 'The Doors', kami, maksud aku, aku dan seseorang itu bisa tertidur bareng, bahkan terbengong, terdiam. Kehilangan beban.
Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku

--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan--


"Tolong sediakan aku segelas kopi; maka aku akan berbicara panjang tentang apa itu kegilaan." Begitulah kata seorang teman. Di lain waktu ia berkata, "Tolong sediakan aku pena; maka sebuah puisi akan tercipta." Begitulah ia berkata, di lain waktu. Sampai suatu ketika, entah kapan saatnya, aku lupa--ia pun bertanya "Mengapa tak ada yang mendengarkan aku?" Dan, saat itu pula ia
meninggal dunia.

Beberapa hari setelah kematiannya yang mengenaskan itu--maksud aku, cara dia meninggalkan dunia, maksud aku, cara dia meninggalkan dunia itu terjadi hanya dikarenakan ia selesai bertanya, "Mengapa tak ada yang mendengarkan aku?"; bukan karena bunuh diri atau dibunuh diri-yang-lain--semua orang bertanya, bertanya bermacam-macam hal yang menyangkut kehidupan seorang temanku ini, mereka bertanya-tanya, yang sebenarnya hendak ditujukan kepada seorang temanku yang sudah meninggal dunia ini. Saking banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, kebetulan pada saat itu aku hanya mendengar, tanpa mengingat pun mencatat, sebab yang aku pikirkan hanyalah: jika pertanyaan itu hendak mereka tujukan kepada ia, maka ia-lah yang patut memberikan jawaban. Bila demikian, maka yang aku duga pun terjadi. Mereka memang menemukan jawaban, tapi jawaban itu mereka peroleh dari hasil menebak, hingga mereka pun terkadang ragu, apakah jawaban mereka itu benar dan tepat, atau sama sekali khayal. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana perasaan mereka ketika mereka berhasil menebak. Hingga,

aku pun berpikir, apakah kita mampu bertanya kepada sesuatu yang sudah mati; sudah meninggal dunia? Sederhananya, mampukah kita berdialog dengan kematian? Demikianlah, aku dikenalkan pada kematian pertama, melalui seorang teman yang meninggal dunia.

Seorang temanku yang lain, pernah berkata, "Manusia mahluk yang menuju mati." Seorang temanku yang lainnya pun berkata, aku tidak ingat tepatnya bagaimana, tapi intinya kurang lebih bercerita bahwa manusia itu berjalan bersama dengan kematian. Bahkan, seorang temanku yang lainnya pula lagi, menyuarakan pendapat bahwa manusia itu tidak pernah mati. Dan, ada juga temanku yang lainnya yang memperbincangkan hal serupa, tapi bukan dalam kata-kata, melainkan menggambar, entah melukis, judulnya, "Potret Diri Berhadapan Dengan Kematian".

Karena perkataan dan perbuatan teman-temanku ini, aku pun menjadi berpikiran seperti teman-temanku. Maksud aku, aku berpikiran lain dari dari teman-temanku. Maksud aku, seperti yang engkau tahu, teman-temanku inikan berpikiran lain, maksud aku, mereka berbicara satu hal yang sama, yakni kematian, tapi menghasilkan perbedaan sudut pandang. Karena itu, aku pun berpikiran lain dari mereka. Aku pun berpikiran untuk menciptakan dialog dengan kematian, agar aku bebas bertanya kepada kematian mengenai siapa dirinya dan buat apa dia ada.

Sebenarnya, niatan aku itu berasal dari pikiran, bahwa apa yang dipikirkan oleh teman-temanku hanyalah berupa jawaban. Itu, menurutku yang terjadi. Sebab, mereka tak pernah bisa menjelaskan bagaimana cara mereka memperoleh jawaban itu. Sebab, ketika aku tanya, "Pernahkah kau bertanya kepada kematian?" mereka hanya tertawa, terdiam, bahkan ada yang langsung angkat kaki pergi, ambil gelas dan melemparkannya ke mukaku, atau menggebrak meja. Padahal, aku pikir, aku cuma butuh jawaban 'Ya' ata 'Tidak'. Itu saja. Jika mereka pernah bertanya kepada kematian, maka aku akan menanyakan hal berikutnya, yakni, "Bagaimana caramu bertanya kepada kematian?" Namun, jika mereka tak pernah bertanya kepada kematian, maka aku tak perlu bersusah payah menanyakan hal berikutnya. Tapi,

ada seorang temanku yang lain pula yang bertanya balik kepada aku, "Mengapa kau bertanya demikian?" Ah, jawaban yang diberikan seorang temanku yang lain pula ini memang tidak memuaskan aku, karena aku cuma membutuhkan jawaban 'Ya' atau 'Tidak', sebelum melangkah pada pertanyaan aku yang berikutnya. Karena itu, terpaksa aku menjawab, "Aku cuma ingin tahu saja." Tampaknya, seorang temanku yang lain pula ini tak puas. Itu aku ketahui dari bola matanya yang memerah, dahinya yang mengkerut, nafasnya yang tertahan, alisnya yang mengetat, juga bibirnya yang seperti membeku. Aku pikir seorang temanku yang lain pula ini bakalan marah. Karena itu, aku lekas menambahkan jawaban, maksud aku, menjelaskan kenapa aku menjawab seperti itu. Aku bilang kepada seorang temanku yang lain pula ini:

"Kalau aku sebenarnya, biasanya, bertanya kepada yang bisa menjawab. Nah, karena ini pertanyaan, yang menurut aku hanya bisa dijawab kematian, maka aku pun menanyakan hal itu kepadamu. Maksudku, aku menanyakan apakah kau pernah bertanya kepada kematian? Sebab, aku pikir, kau hanyalah menebak saja. Tidak lebih. Sebab, bila jawaban itu akurat, maka kematian-lah yang seharusnya menjawab. Maksudku, ini kan tak ubahnya, saat aku belajar matematika, dan aku tidak mengerti, maka aku bertanya kepada guru yang lebih mengerti hal itu. Aku cuma, pengen tahu aja. Sebab, sudah banyak orang yang berbicara tentang kematian, tapi tak satu pun yang memberitahukan aku bagaimana caranya agar aku, maksud aku, kita, ehmm..., maksud aku--ya, kita semua ini--bisa berdialog dengan kematian. Itu saja sebenarnya alasan aku bertanya."

Seorang temanku yang lain ini pun tidak bisa berkata-kata. Padahal, kalau menurut aku, sebenarnya seorang temanku yang lain ini ingin mengatakan sesuatu. Tapi, aku tidak ingin bertanya lebih jauh, apa tanggapan, apa jawaban, apa pendapat, dan segudang apa lagi yang ingin kuketahui dari diamnya seorang temanku yang lain ini. "Maafin, ya. Aku pergi dulu," kata aku kepada seorang temanku yang lain. Aku tidak ingin mengganggu seorang temanku yang lain ini, sebab menurut aku, dalam keadaan itu diam tersebut, seorang temanku yang lain ini sedang berpikir. Dan, aku pun pergi.

Malamnya, aku berniat bertanya kepada kematian. Sebelumnya, aku mengadakan persiapan. Dialog dengan kematian tentulah hal yang sangat memakan waktu banyak. Karena itu, aku pun menyiapkan bergelas-gelas kopi siap seduh, juga makanan kecil, juga kertas dan alat tulis. Entahlah, aku hanya bertaruh, tepatnya menebak, bahwa kematian pun menyukai kopi, seperti aku. Sebab, bila sudah demikian, maka perbincangan pun lancar, dan aku tak perlu bersusah-susah mencari whisky atau jus jambu misalnya--bila itu merupakan kesukaan kematian. Dan, perbincangan aku mulai dengan pertanyaan:

"Apakah engkau mendengarkan aku?"
SEPATU TUMIR DAN SANDAL JEPIT

Engkau pasti segera membayangkan apa itu 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT'. Dan, aku harap engkau sudah membayangkan apa itu 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT'. Terima kasih.

Imaji itu, maksud aku 'SEPATU TUMIT DAN SANDAL JEPIT', tidak jauh beda dengan rekayasa kenyataan yang terjadi di perempatan Lampiri. Perempatan lampu merah yang tak pernah sepi. Bila sudah demikian, engkau pun mengerti; mengapa cerita ini mengambil setting lokasi di jalan raya, di tepi kali. Betapa sialnya engkau bila mengalami hal ini.

Aku berharap engkau memikirkan bahwa aku akan menjelaskan apa itu 'SEPATU TUMIT' terlebih dahulu. Selanjutnya, aku jelaskan apa itu 'SANDAL JEPIT'. Tentu saja, apa hubungan keduanya pun menjadi pertanyaan engkau berikut. Aku cuma bisa bilang, semua ada di kendaraan roda. Kendaraan roda dua yang kerap melintasi jalan raya. Khususnya, perempatan lampu merah yang tak pernah sepi; sebab, di tempat itu ada pos polisi.

Aku harap engkau tidak terkejut. Aku harap, sekarang, engkau sudah membayangkan dari mana aku memulai penjelasan. Inilah jawabanku. Penjelasan akan aku mulai dari 'SANDAL JEPIT'. Mungkin, sekadar menebak, engkau bakal membayangkan 'SANDAL JEPIT' sebagai simbol lelaki. Memang, setidaknya itulah yang hendak aku utarakan. Tapi, bila aku engkau perkenankan menambah alasan; tampaknya, aku sebagai pencerita memang tak butuh per-kenan-an engkau untuk menjabarkan alasan lain. Inilah alasan lain itu. 'SANDAL JEPIT' aku andaikan sebagai bentuk peradaban sebelum ada sepatu. Jadi, ada dimensi waktu pulalah yang harus engkau sadari ketika membaca cerita aku ini. Tak hanya laki-laki, atau perempuan; malah bisa jadi kaum transeksual, mungkin. Tapi, perkembangan zaman. Bisakah engkau lihat betapa wah alasan yang aku ajukan ini? Jika tidak, aku pikir itu tak masalah, sebab aku yakin penjabaran waktu itu pasti muncul ketika engkau membaca cerita ini hingga habis. Kecewa? Bisa jadi. Dan, bukankah waktu yang berjalan kerap membawa pesan pengalaman(?); itu tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di perempataan lampu merah yang tak penah sepi. Pos Polisi Lampiri. Brigadir Polisi Tingkat Satu yang berdiri, lalu menekan tombol sirene, ketika kemacetan terjadi di perempatan yang berada tak jauh dari rumah makan ayam bakar.

'SANDAL JEPIT'. Kata-kata itu membawa imaji sebuah, tepatnya sepasang kaki. Sepasang kaki, kanan dan kiri, dengan lima jari. Lalu, empat mata kaki. Bila demikian, tentu saja semua itu telanjang. Sebab, celana bahan panjang berwarna tak jelas itu tak mampu memnutup seluruh kaki. Apalagi kaki yang mengenakan alas 'Sandal Jepit'. Semuanya pun menjadi lengkap. Kaki, sandal jepit, celana bahan panjang.
Sampai disitu, engkau boleh saja menambahkan sarung tangan. Tapi, aku lebih memilih jaket hitam penahan. Penahan terpaan. Terpaan angin. Tentu saja, bagi aku itulah yang lebih menarik. Apalagi, bila engkau mengingat lokasi penceritaanku ini. Helm. Kendaraan roda dua. Jalan raya. Perempatan Lampiri dan Pos Polisi. Ya, 'Sandal Jepit' yang menjadi alas kaki di atas pijakan kaki pengendara roda dua dengan laju rata-rata 40 kilometer per-jam pada persneling ke-empat. Aku harap, engkau bisa membayangkan evolusi yang melambat.

Aku sudah menyelesaikan rekayasa kenyataan dalam pikiran engkau. Itu, tak jauh beda dengan kelakuan Brigadir Polisi Tingkat Satu atau Briptu di Pos Polisi. Berdiri, lalu mendekati tombol sirene. Menekan. Sirene patroli pun berbunyi. Para pengguna jalan pun tahu diri. Polisi. Atau takut diri. Polisi! Dan, kemacetan pun berangsur hilang. Angkutan kota, entah mikrolet atau metromini; angkutan pribadi, sedan mewah atau sekadar roda dua, perlahan menjadi teratur. mereka semua ingat, perempatan Lampiri. Lampu merah yang tak pernah sepi.

Tapi, mengapa engkau semakin tertegun. Membaca bukan berarti tidak membuatmu berpikir. Apakah engkau masih ingin mengetahui apa itu 'SEPATU TUMIT'? Atau malah engkau sudah menemukan jawaban tentang semua itu. Semua itu, yang aku maksudkan, termasuk hubungan antara 'SANDAL JEPIT' dan 'SEPATU TUMIT'. Aku pikir, memang cerita ini tidaklah terlalu menarik utuk dilanjutkan. Sebab, rasa-rasanya, engkau sudah mengetahui apa yang akan kujelaskan. Tapi, aku akan tetap berusaha membuat kejutan. Dan, apabila ternyata hal itu tidk terjadi, aku harap engkau tidak kecewa. Bukankah, menulis itu gampang? Engkau tinggal menguji. Entah dengan membaca, atau berlatih. Begitulah, sebangun dengan waktu yang selalu membuat kita serasa bertatih-tatih. Kapan semua berakhir.

'SEPATU TUMIT'. Sepatu tumit putih. Malam hari, sepatu tumit warna putih akan tetap menampak putih. Sebabnya, tentu saja, kontras warna; antara sepatu dengan malam, seperti garis dengan aspal. Berbeda halnya dengan warna ungu. Biru. Atau, malah hitam, barangkali; di malam hari. Rasanya, tanpa kontras. Mungkin, serupa celana bahan panjang yang dipergunakan pengendara roda dua yang tidak bisa aku sebutkan berwarna apa. Hanya, berwarna tak jelas.
Sepatu itu, dugaan aku, tidaklah bertumit tinggi. Paling cuma tiga senti, atau malah lima senti. Beda jauh dengan panjang betis kaki yang terlihat nyaris telanjang. Itu, bila saja rok coklat kehitam-hitaman yang ia--maksud aku pemilik sepatu tumit (Ah, pemilik sepatu tumit tampaknya simpulan spekulatif aku saja. Sebab, aku hanya mengetahui ada sepatu tumit di sepasang kaki seseorang. Bisa saja pemiliknya bukan 'ia'. Tapi, aku merasa dugaan aku menghampiri pasti. Catatannya, bila 'ia' itu seorang perempuan. Bukankah seorang perempuan berpantang menggunakan barang milik teman, entah sesama perempuan, pun lelaki, apalagi kaum transeksual.) dan betis berkulit nyaris putih--kenakan tidak sepanjang 80 senti. Memang, ia seorang perempuan. Berkemeja putih, tidak terlampau ketat, tidak terlampau longgar. Serasi di badan dan di padan. Dipadankan dengan rok coklat kehitam-hitaman. Apalagi, ia berkulit nyaris putih. Itulah yang nyata terlihat di dia punya kaki. Sebabnya, dia tidak duduk di bagian kemudi. Ia duduk menyamping, hingga gerai rok ia pun membuka celah luar biasa sepanjang jalan tepi kali. Melintasi perempatan Lampiri. Pos Polisi. Malam hari. Maka, imaji 'SEPATU TUMIT' akan semakin lengkap, bila aku menambahkan tas sandang kulit dan rambut panjang gaya ekor kuda. Tertawa.

Demikianlah, kendaraaan roda dua membaca 'Sandal Jepit' dan 'Sepatu Tumit' melintasi jalan raya tepi kali, perempatan Lampiri, lampu merah yang tak pernah sepi, juga Pos Polisi dengan kelakuan Briptu yang selalu menekan tombol sirene di malam hari hingga kemacetan pun berangsur-angsur menjadi pulih kembali, lancar, meski itu bukan berarti tak ada hambatan. Sebab, semua ingin pulang, ingin tenang, rumah tanpa masalah. Memang, jalanan selalu menawarkan penafsiran, umumnya curiga, yang dibangun atas dasar rekayasa,

seperti yang telah dia lakukan atas pikiran saya. Masihkah engkau berniat mencari hubungannya (?); seperti yang dia lakukan atas pikiran saya?