Diantara Teman-Temanku Aku Berada Diantaramu Dan Teman-Temanku Berada Diantara Aku

--Sebenarnya, Judul Tersebut Tidaklah Terlalu Penting Untuk Dibaca; Sebab Pada Dasarnya, Saya Pun Sedang Kesulitan Mencari Judul Apa Yang Tepat, Malah Yang Datang Judul Yang Sebenarnya Kurang Tepat, Tapi Mengasyikkan--


"Tolong sediakan aku segelas kopi; maka aku akan berbicara panjang tentang apa itu kegilaan." Begitulah kata seorang teman. Di lain waktu ia berkata, "Tolong sediakan aku pena; maka sebuah puisi akan tercipta." Begitulah ia berkata, di lain waktu. Sampai suatu ketika, entah kapan saatnya, aku lupa--ia pun bertanya "Mengapa tak ada yang mendengarkan aku?" Dan, saat itu pula ia
meninggal dunia.

Beberapa hari setelah kematiannya yang mengenaskan itu--maksud aku, cara dia meninggalkan dunia, maksud aku, cara dia meninggalkan dunia itu terjadi hanya dikarenakan ia selesai bertanya, "Mengapa tak ada yang mendengarkan aku?"; bukan karena bunuh diri atau dibunuh diri-yang-lain--semua orang bertanya, bertanya bermacam-macam hal yang menyangkut kehidupan seorang temanku ini, mereka bertanya-tanya, yang sebenarnya hendak ditujukan kepada seorang temanku yang sudah meninggal dunia ini. Saking banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, kebetulan pada saat itu aku hanya mendengar, tanpa mengingat pun mencatat, sebab yang aku pikirkan hanyalah: jika pertanyaan itu hendak mereka tujukan kepada ia, maka ia-lah yang patut memberikan jawaban. Bila demikian, maka yang aku duga pun terjadi. Mereka memang menemukan jawaban, tapi jawaban itu mereka peroleh dari hasil menebak, hingga mereka pun terkadang ragu, apakah jawaban mereka itu benar dan tepat, atau sama sekali khayal. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana perasaan mereka ketika mereka berhasil menebak. Hingga,

aku pun berpikir, apakah kita mampu bertanya kepada sesuatu yang sudah mati; sudah meninggal dunia? Sederhananya, mampukah kita berdialog dengan kematian? Demikianlah, aku dikenalkan pada kematian pertama, melalui seorang teman yang meninggal dunia.

Seorang temanku yang lain, pernah berkata, "Manusia mahluk yang menuju mati." Seorang temanku yang lainnya pun berkata, aku tidak ingat tepatnya bagaimana, tapi intinya kurang lebih bercerita bahwa manusia itu berjalan bersama dengan kematian. Bahkan, seorang temanku yang lainnya pula lagi, menyuarakan pendapat bahwa manusia itu tidak pernah mati. Dan, ada juga temanku yang lainnya yang memperbincangkan hal serupa, tapi bukan dalam kata-kata, melainkan menggambar, entah melukis, judulnya, "Potret Diri Berhadapan Dengan Kematian".

Karena perkataan dan perbuatan teman-temanku ini, aku pun menjadi berpikiran seperti teman-temanku. Maksud aku, aku berpikiran lain dari dari teman-temanku. Maksud aku, seperti yang engkau tahu, teman-temanku inikan berpikiran lain, maksud aku, mereka berbicara satu hal yang sama, yakni kematian, tapi menghasilkan perbedaan sudut pandang. Karena itu, aku pun berpikiran lain dari mereka. Aku pun berpikiran untuk menciptakan dialog dengan kematian, agar aku bebas bertanya kepada kematian mengenai siapa dirinya dan buat apa dia ada.

Sebenarnya, niatan aku itu berasal dari pikiran, bahwa apa yang dipikirkan oleh teman-temanku hanyalah berupa jawaban. Itu, menurutku yang terjadi. Sebab, mereka tak pernah bisa menjelaskan bagaimana cara mereka memperoleh jawaban itu. Sebab, ketika aku tanya, "Pernahkah kau bertanya kepada kematian?" mereka hanya tertawa, terdiam, bahkan ada yang langsung angkat kaki pergi, ambil gelas dan melemparkannya ke mukaku, atau menggebrak meja. Padahal, aku pikir, aku cuma butuh jawaban 'Ya' ata 'Tidak'. Itu saja. Jika mereka pernah bertanya kepada kematian, maka aku akan menanyakan hal berikutnya, yakni, "Bagaimana caramu bertanya kepada kematian?" Namun, jika mereka tak pernah bertanya kepada kematian, maka aku tak perlu bersusah payah menanyakan hal berikutnya. Tapi,

ada seorang temanku yang lain pula yang bertanya balik kepada aku, "Mengapa kau bertanya demikian?" Ah, jawaban yang diberikan seorang temanku yang lain pula ini memang tidak memuaskan aku, karena aku cuma membutuhkan jawaban 'Ya' atau 'Tidak', sebelum melangkah pada pertanyaan aku yang berikutnya. Karena itu, terpaksa aku menjawab, "Aku cuma ingin tahu saja." Tampaknya, seorang temanku yang lain pula ini tak puas. Itu aku ketahui dari bola matanya yang memerah, dahinya yang mengkerut, nafasnya yang tertahan, alisnya yang mengetat, juga bibirnya yang seperti membeku. Aku pikir seorang temanku yang lain pula ini bakalan marah. Karena itu, aku lekas menambahkan jawaban, maksud aku, menjelaskan kenapa aku menjawab seperti itu. Aku bilang kepada seorang temanku yang lain pula ini:

"Kalau aku sebenarnya, biasanya, bertanya kepada yang bisa menjawab. Nah, karena ini pertanyaan, yang menurut aku hanya bisa dijawab kematian, maka aku pun menanyakan hal itu kepadamu. Maksudku, aku menanyakan apakah kau pernah bertanya kepada kematian? Sebab, aku pikir, kau hanyalah menebak saja. Tidak lebih. Sebab, bila jawaban itu akurat, maka kematian-lah yang seharusnya menjawab. Maksudku, ini kan tak ubahnya, saat aku belajar matematika, dan aku tidak mengerti, maka aku bertanya kepada guru yang lebih mengerti hal itu. Aku cuma, pengen tahu aja. Sebab, sudah banyak orang yang berbicara tentang kematian, tapi tak satu pun yang memberitahukan aku bagaimana caranya agar aku, maksud aku, kita, ehmm..., maksud aku--ya, kita semua ini--bisa berdialog dengan kematian. Itu saja sebenarnya alasan aku bertanya."

Seorang temanku yang lain ini pun tidak bisa berkata-kata. Padahal, kalau menurut aku, sebenarnya seorang temanku yang lain ini ingin mengatakan sesuatu. Tapi, aku tidak ingin bertanya lebih jauh, apa tanggapan, apa jawaban, apa pendapat, dan segudang apa lagi yang ingin kuketahui dari diamnya seorang temanku yang lain ini. "Maafin, ya. Aku pergi dulu," kata aku kepada seorang temanku yang lain. Aku tidak ingin mengganggu seorang temanku yang lain ini, sebab menurut aku, dalam keadaan itu diam tersebut, seorang temanku yang lain ini sedang berpikir. Dan, aku pun pergi.

Malamnya, aku berniat bertanya kepada kematian. Sebelumnya, aku mengadakan persiapan. Dialog dengan kematian tentulah hal yang sangat memakan waktu banyak. Karena itu, aku pun menyiapkan bergelas-gelas kopi siap seduh, juga makanan kecil, juga kertas dan alat tulis. Entahlah, aku hanya bertaruh, tepatnya menebak, bahwa kematian pun menyukai kopi, seperti aku. Sebab, bila sudah demikian, maka perbincangan pun lancar, dan aku tak perlu bersusah-susah mencari whisky atau jus jambu misalnya--bila itu merupakan kesukaan kematian. Dan, perbincangan aku mulai dengan pertanyaan:

"Apakah engkau mendengarkan aku?"

No comments:

Post a Comment