Catatan tentang 9 Juli lalu


Mengapa saya berpartisipasi dalam pemilihan umum?
Pembenaran (justification) atas tindakan memilih.
Karena justifikasi terbentuknya negara Indonesia adalah demi mewujudkan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa Indonesia dan saya adalah warga negara Indonesia, suka atau tidak suka, menjadi bagian dari proses perwujudan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa Indonesia dan, dalam sistem demokrasi, pemilihan presiden dan wakil presiden secara berkala merupakan salah satu jalan mewujudkan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa Indonesia, maka saya memutuskan ikut serta dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang.

Mengapa saya memilih calon tertentu?
Pembenaran (justification) atas calon yang saya pilih.
Karena perwujudan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa Indonesia mensyaratkan adanya orang-orang tertentu, dalam hal ini presiden dan wakil presiden, dengan kualitas-kualitas tertentu di mana kualitas-kualitas ini tidak hanya dapat dipergunakan untuk menyeleksi calon yang akan saya pilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang, namun dapat juga dipergunakan untuk menyeleksi calon yang akan saya pilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019, 2024, dst., maka keputusan untuk memilih calon tertentu sebaiknya bertumpu pada kriteria-kriteria yang dapat berlaku secara universal, tidak hanya pada saat ini, namun juga pada saat yang akan datang.

Kualitas-kualitas itu adalah (1) tidak bernafsu pada kekuasaan, (2) telah terbukti dan teruji pada perkara-perkara kecil, dan (3) memiliki habitus yang baik [B. Herry Priyono tentang “Paradoks Kepemimpinan” pada kolom Opini Kompas (1/7/2014)]

Mengapa saya mengkritik calon terpilih?
Pembenaran (justification) atas kritik terhadap pemerintah yang terpilih.
Karena (1) saya adalah warga negara Indonesia, suka atau tidak suka, menjadi bagian dari perwujudan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa dan (2) saya menyeleksi calon pemimpin berdasarkan kualitas-kualitas yang memang dibutuhkan untuk mewujudkan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa, maka—entah yang terpilih adalah calon yang saya pilih atau tidak—saya dapat mengkritik presiden dan wakil presiden terpilih sejauh mereka telah menyimpang dari kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa dan menyimpang dari upaya perwujudan kebaikan-bersama/kemaslahatan-bersama bagi bangsa.

Filsafat Melihat "Lirikan Matamu..."



Agar belajar filsafat lebih menyenangkan (bukan lebih mudah), imajinasikan saja Das Sein itu pelangi; metafisika itu adalah awan berbentuk katedral; trus epistemologi itu seperti seekor kelinci yang berenang di sendang; lalu etika adalah “lirikan mata mu... menarik hati...”-nya A. Rafiq. Lalu demikianlah filsafat: saat engkau mendengar “lirikan mata mu... menarik hati...” trus melihat seekor kelinci berenang di sendang dan di atasnya ada awan berbentuk katedral, pelangi.

Tentang Hukuman Mati


  1. Kalau alasan etis hukuman mati adalah demi memberi efek jera, bukankah sesungguhnya tidak ada hubungan antara deskriptif-faktual (is) dan preskriptif-normatif (ought)? 
  2. Kalau alasan etis hukuman mati adalah karena pelaku telah membunuh banyak orang (entah langsung atau tidak—dan hal ini tentulah fakta)—bagaimana menjamin bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku bukan berlatarkan dendam? Apakah etis menghukum orang karena dendam? 
  3. Kalau alasan etis hukuman mati adalah tidak salah secara etis menghukum mati orang yang bersalah—bukankah ini mengandaikan manusia tidak-dapat-salah? Benarkah manusia tidak dapat salah? Bukankah falibilitas itu merupakan “nature” manusia?
  4. Maka, alasan etis menolak hukuman mati—tentunya selain argumen kesucian hidup—saya pikir: manusia adalah mahluk yang-dapat-salah dan implikasinya adalah keputusan [hukuman mati] yang dihasilkan juga dapat-salah; maka: hukuman mati itu pada dasarnya (i) secara epistemis, hukuman mati meniadakan falibilitas manusia [dengan demikian: menyatakan hukuman mati adalah manusiawi sebetulnya: reductio ad absurdum], dan (ii) secara etis: membuka kemungkinan menghukum orang yang tidak bersalah.   

Antara Cedera, Teman dan Hinaan



Teman saya bertanya (bagi saya: setiap pertanyaan pastilah rumit—entah mengapa saya menyimpulkan demikian dan saya masih saja belum dapat menjawabnya), “Bukankah berdebat tidak sama dengan menghina? Bukankah berpendapat tidak sama dengan menghina? Jika menghina dianggap sama dengan berpendapat dan menghina juga dianggap sebagai salah satu metode berdebat, bukankah ada yang tidak pantas di situ? Tentu saya sadar bahwa hinaan tidak dapat dijadikan alasan untuk mencederai orang lain. Namun, apakah tindakan menghina itu sendiri adalah benar secara moral?”