Fragmen Naratif Tentang Kepergian Gus Dur


Pukul 19.30, saya tiba di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah memarkir sepeda motor, saya bergegas menuju Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sewaktu berjalan menuju ruang IGD, saya melihat Syafi’ Alielha dengan raut wajah yang cemas dan tegang tengah berbicara melalui telepon genggam di tengah gerimis hujan. Ya, Syafi’ Alielha, salah seorang tokoh pemuda, juga termasuk penggerak organisasi aliansi taktis Forum Kota (Forkot) dan juga Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) di masa pergerakan mahasiswa 1998. Saya juga masih sering berjumpa dengan Syafi’ dalam aksi demonstrasi massal yang terjadi pasca reformasi, utamanya aksi penolakan kenaikan harga BBM serta aksi damai peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia pada 9 Desember lalu.

Saya berhenti sejenak, lantas Syafi’ menghentikan sebentar perbincangannya melalui telepon genggam untuk memberi waktu agar kami dapat bersalaman. Saya sempat bertanya, “Ada apa kemari?” sembari menduga-duga bahwa kedatangan Syafi’ pasti ada hubungan dengan wafatnya Gus Dur, yang baru saja saya ketahui dari asisten redaktur saya, Aries Wijaksena. Sebelum sempat menjawab, saya tebak, “Gus Dur ya.” Syafie’ menganggukkan kepala, lalu mengangkat tangan kiri menunjuk ruang IGD sebagai perlintasan menuju ruang persemayaman sementara Gus Dur, yakni Pelayanan Jantung Terpadu (PJT), lantai lima, ruang Atrium 2.

* * *

Gus Dur telah meninggal dunia. Pada pukul 18.45, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Sekitar pukul 19.15, asisten redaktur saya, Aries Wijaksena, mengirimkan pesan singkat kepada saya perihal wafatnya Gus Dur, sembari dilengkapi penugasan untuk segera meluncur ke RSCM melakukan peliputan. Membaca pesan singkat itu, saya pun menarik nafas dalam-dalam seraya mengucap “Gus…, selamat jalan,” dalam hati.

* * *

Sesampai di lantai lima ruang PJT, atmosfir duka yang bercampur dengan ketegaran dan keikhlasan begitu kuat meliputi batin saya. Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI periode 2004-2009 secara spontan mengajak rekan-rekannya sesama pelayat memanjatkan tahlil mengiringi perjalanan Gus Dur ke alam baka. Ia secara spontan melepas sandal, kemudian duduk bersila dan mulai membacakan tahlil. Para pelayat yang lain pun turut serta melepas kasut, duduk bersila, membuka telapak dan memanjatkan sembah kepada Yang Kuasa.

Di saat gema tahlil berkumandang memenuhi lobi lantai lima, tokoh-tokoh nasional—semisal Idrus Marham, Pramono Anung, Freddy Numberi, Agum Gumelar, Linda Gumelar, Sri Mulyani— berdatangan silih berganti hendak melihat jenazah Gus Dur yang berbaring di ruang Atrium 2, di lantai lima gedung PJT. Lobi lantai lima telah penuh sesak oleh para pelayat, juga oleh puluhan wartawan cetak, elektronik, juga para pewarta foto.

Saya sendiri berada sekitar 3 meteran dari pintu masuk ruang Atrium 2. Di sisi kanan dan kiri saya sudah ada kamerawan; ada pun di depan saya berdiri barikade pembatas yang bekerja untuk memberikan celah perlintasan keranda pembawa jasad Gus Dur. Dalam posisi tak bergerak leluasa itulah saya melihat wajah-wajah cemas sekaligus ikhlas para pelayat yang hendak masuk ke dalam ruangan Atrium 2. Tepat di depan saya berdiri Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengenakan busana hitam. Bibirnya tak henti-henti bergerak memanjatkan doa mengiringi kepulangan Gus Dur. Ada juga mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar yang bersama-sama dengan Menteri Perhubungan Freddy Numberi berupaya menerobos kerumunan demi melihat dan memberikan penghormatan bagi Gus Dur untuk yang terakhir kali. Tak lama setelah Sri Mulyani, Agum Gumelar bersama dengan Linda Gumelar masuk ke dalam ruangan, menyusul politisi Partai Golkar yang juga Ketua Pansus Angket Century Idrus Marham. Idrus Marham turut mengantri di lorong masuk menuju ruang Atrium 2.

* * *

Menghadiri pelepasan jenazah Gus Dur dari RSCM menuju Ciganjur, Jakarta Selatan, seketika saya merasakan gaib. Protokoler pengamanan yang biasanya melekat dalam setiap kunjungan para menteri mendadak lenyap. Momen duka kepergian Gus Dur seakan menjadi magnet yang mampu menarik beragam orang dengan latar belakang yang berbeda. Para pelayat ada yang berasal dari kalangan aktifis pergerakan pro-demokrasi seperti Syafi’, kelompok agama semisal rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, ada juga dari kelompok elit politisi semisal Muhaimin Iskandar, Pramono Anung, Idrus Marham, kelompok eksekutif semisal Menkeu Sri Mulyani dan Menhub Freddy Numberi, hingga orang awam yang, barangkali secara spontan mendatangi RSCM. Momen duka kepergian Gus Dur telah meluluhkan sekat-sekat hierarkis sosial yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.

* * *

Di tengah keramaian massa, saya kembali mengenang pertemuan saya dengan Gus Dur. Pertemuan dalam rangka tugas peliputan. Kala itu, Gus Dur menghadiri konferensi tingkatan internasional tentang Islam yang diselenggarakan di International Center For Islam and Pluralism (ICIP) di Hotel Sultan, Jakarta, pada tahun 2004. Dalam konferensi itu, Gus Dur hadir sebagai pembicara utama. Ketika itulah, untuk pertama sekali saya melihat Gus Dur berpidato di podium dalam bahasa Inggris (dan tentunya tanpa teks)!

Usai berpidato, beberapa wartawan, termasuk saya mewawancarai Gus Dur. Momen wawancara yang berlangsung kurang dari 10 menit memberi kesan mendalam bagi saya. Yang paling kental dalam ingatan saya adalah cara khas Gus Dur menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia, dengan gayanya yang unik, menjawab setiap pertanyaan dengan tegas, lugas, tanpa berbelat-belit!

* * *

Kini, sejak pukul 18.45, Indonesia telah kehilangan seorang tokoh yang besar. Bagi para aktifis pro-demokrasi, Gus Dur adalah benteng pertahanan. Ketika rejim Orde Baru berkuasa, Gus Dur bersama Megawati Soekarnoputri tampil sebagai representasi kelompok elit yang berpihak kepada mereka yang tertindas. Bahkan pada masa itu, duet Gus Dur dan Megawati disetarakan dengan duet Kardinal Sin dan Corazon Aquino yang menggerakkan people power di Filipina untuk meruntuhkan emperium Marcos. Bagi para aktifis, Gus Dur dan Megawati pun menjadi benteng perlindungan (ada juga yang berlindung di bawah naungan Gereja Katolik melalui Romo Sandyawan).

Setahu saya, merujuk pada dunia mitologis pewayangan Jawa, sosok Gus Dur kerap diidentikkan dengan tokoh Semar. Di hadapan kekuasaan, Semar secara bebas menyampaikan kritik melalui guyonan. Suatu kritik yang bersifat tekstual, dalam pengertian mengkritik kebijakan penguasa dalam cerita pewayangan itu sendiri; sekaligus kritik yang bersifat kontekstual, dalam pengertian mengkritik proses politik yang tengah terjadi pada dunia nyata, realitas politik empirik. Dan itulah yang dilakukan Gus Dur saat berhadapan dengan kekuasaan, melontarkan kritik demi membela mereka yang tertindas oleh penyelenggaraan kekuasaan yang semena-mena.

Para tokoh, Ketua PBNU Hasyim Muzadi, rohaniawan Katolik Mudji Sutrisno, politisi Pramono Anung mengaku bahwa wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi Republik Indonesia. Bagi ketiganya, Gus Dur adalah sosok yang selalu menjunjung kebhinekaan, dan senantiasa berjuang membela serta menegakkan kebhinekaan. Inklusifitas, pluralitas, multikulturalisme, demokrasi, hak asasi manusia adalah kata-kata kunci yang menjadi warisan Gus Dur bagi negeri.

* * *

Gus Dur telah tiada. Sang Khalik telah menetapkan titah-Nya. Pada 30 Desember 2009, pukul 18.45, Gus Dur pun berpulang. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Saya yakin, momen kepergian Gus Dur ke haribaan Sang Pencipta Semesta semakin mendekatkan kehadiran dirinya di dalam sanubari ribuan, atau malah jutaan lebih orang yang mengaguminya, orang-orang yang selalu berusaha mereguk inspirasi humanitas dari karya kemanusiaan yang telah dia lakukan selama hidup 69 tahun. Selamat jalan Gus Dur…

30-31 Desember 2009

Prita dan 204 Juta



For the world, I count it not an inn, but an hospital, and a place, not to live, but to die in.

Thomas Browne

(1605 - 1682)


Pengadilan Tinggi Provinsi Banten menjatuhkan vonis perdata atas Prita Mulyasari.[1] Prita harus membayar denda Rp204 juta plus membuat permintaan maaf secara terbuka terhadap RS Omni Internasional yang disiarkan dalam media cetak.

Satu hal yang tetap menjadi pertanyaan bagi saya, bagaimana penegak hukum—entah kepolisian, kejaksanaan, atau pengacara—mengkategorikan sesuatu sebagai tindakan pencemaran nama baik? Ya, akar muasal permasalahan antara Prita dan Omni adalah sebuah surat elektronik yang dikirimkan Prita kepada teman-temannya. Omni, tentunya bersama dengan polisi, kejaksanaa, dan tentunya pengacara Omni, menurut saya berhasil mengkategorikan tindakan Prita sebagai pencemaran nama baik yang berimplikasi kepada kerugian properti milik Omni. Lantas, apa yang menjadi ukuran untuk menyatakan suatu tindakan, utamanya surat, sebagai tindakan pencemaran nama baik?

Ada dua hal pokok yang harus disoroti dalam hal ini. Pertama, mengacu pada apa yang disebut sebagai ‘baik’? Berikutnya, bagaimana memahami ‘baik’ sebagai sesuatu yang berimplikasi pada properti?

Menentukan apa yang ‘baik’ bukanlah perkara yang baru. Setidaknya, masalah konseptualisasi ‘baik’ sudah berakar sebelum masa tarikh Masehi. Filosof Platon (428-347 SM), pada abad ke-4 SM, telah berupaya merumuskan apa yang disebut sebagai ‘baik’. Bagi Platon, ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ adalah realitas tertinggi, yakni Idea.[2] Apa yang dimaksud dengan Idea adalah suatu realitas yang tetap, abadi, tidak mengalami perubahan. Kita dapat mengidentifikasi Idea melalui sifatnya yang berlaku segala ruang dan waktu, bahkan melampaui waktu. Misalnya saja, perbuatan mencuri. Tindakan mencuri, entah itu di Budapest, Mumbai, London, Johannesburg, Merauke, pun Jakarta, entah itu tahun 1935, 1866, 1430, atau malah di tahun 2010, 3375, pun 5631, kita yakini sebagai sesuatu yang salah. Demikian juga ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dalam pengertian Platon. ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ itu sendiri adalah sesuatu yang berlaku di segala tempat dan ruang bahkan melampaui ruang dan waktu. “Baik” dan “Sang Baik” adalah universal.

Platon merumuskan hidup yang baik adalah hidup yang berorientasi pada akal budi atau yang rasional. Akal budi merupakan bagian tertinggi dari jiwa manusia. Menurut Platon, jiwa manusia terbagi atas tiga bagian, 1) bagian rasional (to logistikon), 2) bagian keberanian (to thymoeides) dan 3) bagian keinginan (to epithymêtikon). Bagian akal budi merupakan sarana untuk mendapatkan kebijaksanaan (phronêsis atau sophia).[3] Akal budilah yang membawa manusia pada pengenalan akan ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’.[4] Disebutkan pula akal budi sebagai bagian yang paling mulia dari jiwa.[5]

Lantas, apakah konsepsi ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dari Platon dapat ditetapkan untuk menentukan kualifikasi ‘baik’ dari peristilahan “pencemaran nama baik”? Lema ‘nama’ dalam frase tersebut tentunya mengacu pada objek partikular, objek yang berada dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Omni bukanlah objek yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Ada suatu masa ketika Omni tidak ada. Misalnya, pada tahun 1800, atau malah tahun 1300, bahkan bisa juga tahun 2025 atau malah 6710 Omni tidak ada. Fakta ini membuktikan partikularitas Omni.

Frase “pencemaran nama baik” dalam kasus antara Prita dan Omni menempatkan Omni sebagai subjek atas frase tersebut. Sebagai subjek, Omni adalah partikularitas yang dilekatkan dengan predikat ‘baik’ yang berlaku secara universal. Penggagasan yang demikian menjernihkan persoalan dengan mengkonseptualisasikan ‘ada sesuatu yang universal dari Omni, yakni intensionalitas akal budinya terhadap “Baik” atau “Sang Baik,” telah tercemari oleh tulisan-tulisan Prita yang menyatakan bahwa Omni bukanlah sebuah rumah sakit sebagaimana yang mereka cita-citakan.’ Semuanya ini tentu dengan persyaratan kita menerima hipotesa bahwa Omni telah menetapkan apa yang ‘baik’ bagi kehidupan Omni sesuai dengan apa yang telah dirumuskan Platon. (Jika tidak, kita harus menelusuri kembali apa yang dimaksud dengan ‘baik,’ yang diantaranya dapat membawa kita pada paham Hedonisme, menganggap yang baik adalah yang mendatangkan kenikmatan, atau paham utilitas, menganggap yang baik adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.)

Tentunya, jika Omni menerima konsepsi Platon akan apa yang ‘baik,’ maka Omni dengan segenap kekuatan akal budi telah menemukan Idea untuk mengisi liku kehidupan Omni. Sebagai sebuah rumah sakit, menurut saya, apa yang ‘baik’ adalah kesanggrahan. Kesanggrahan merupakan transliterasi dari ‘hospitality’. Filosof Jacques Derrida (1930-2004) menjelaskan kesanggrahan sebagai oposisi dari toleransi. Toleransi mengandaikan pemakluman atas adanya kekurangan, kecacatan, kekeliruan yang-lain di hadapan saya. Toleransi adalah sebuah invitasi, undangan di mana ‘saya mengundang Anda untuk datang ke rumah saya berbuat dalam batasan-batasan yang telah saya tetapkan.’ Jika toleransi adalah invitasi, maka kesanggrahan adalah visitasi. Kesanggarahan menandakan suatu kondisi yang dimulai oleh ketiadaan harapan pun undangan akan kedatangan orang lain dan diakhiri dengan kenyataan kita mendapat kunjungan yang tak diharapkan dan tak diundang.[6]

Kesanggrahan adalah sikap kita ketika menerima tamu. Kesanggarahan adalah suatu surprise di mana sur berarti ‘melampaui’ dan prise adalah ‘hadiah’. Surprise adalah sesuatu yang melampaui hadiah, sesuatu yang melampaui apa yang kita harapkan, suatu kejadian yang tiada kita harapan (sepanjang ‘harapan’ dimaknai sebagai sesuatu yang positif). Ya, rumah sakit pada dasarnya, menurut saya, bukanlah suatu institusi yang didirikan dengan pengharapan agar orang-orang sakit. Menelusuri akar kata hospitality menyingkapkan kesaksian bahwa rumah sakit pada dasarnya merupakan institusi yang diniatkan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan tidak mengharapkan kedatangan pasien. Namun, keberadaan institusi rumah sakit berhadapan dengan keniscayaan kenyataan bahwa manusia pasti sakit, entah karena usia tua, atau karena penyakit. Di sini, rumah sakit hadir dalam kemenduaan. Bagi dirinya sendiri, rumah sakit mengharapkan ketiadaan pasien yang datang agar kesanggrahan mereka dapat terwujud, di sisi lain, rumah sakit bagi pasien yang merupakan keniscayaan di mana pasien mengharapkan kesanggrahan pihak rumah sakit.

Melalui rekonstruksi rasional-idealis kasus Prita dan Omni—yang masih ditetapkan dalam konteks hipotesa sepanjang asumsi yang dipergunakan adalah pengadaptasian konsep ‘baik’ sebagai ‘Baik’ atau ‘Sang Baik’ dalam pengertian Platon—dapatlah dipahami musabab Prita menuliskan surat elektronik yang berisikan informasi (dari informare, bahasa Latin, yang berarti memberi bentuk bagi gagasan;[7] informasi berfungsi mentransmisikan pengetahuan antar subjek.) menyangkut pelayanan Omni. Prita, sebelum kedatangannya ke Omni, tentunya sudah merancang sejumlah proyeksi akan hasil yang ia terima. Proyeksi itu adalah harapan Prita. Harapan Prita pada dasarnya mendapatkan kesanggrahan Omni (sebagai batasan, Prita tidak semata-mata berharap pada kesanggrahan Omni, melainkan juga telah mempersiapkan sejumlah uang untuk membayar jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit Omni).

Nyatanya yang terjadi tidaklah sesuai dengan harapan Prita (dan Prita membayar untuk segala hal yang tidak sesuai dengan harapannya). Omni terbukti melakukan kesalahan diagnosis trombosit Prita! Pengalaman itulah yang disarikan Prita ke surat elektronik. Pengalaman itu adalah informasi. Pengalaman itu adalah pengetahuan. Jhon Locke (1632-1704), penggagas empirisme, menyatakan bahwa kita mempersepsi kebenaran dan kenyataan melalui pengalaman.[8] Atau dengan kata lain, pengalaman adalah sumber kebenaran, sumber pengetahuan.

Memang, jika kita menyelidiki secara detail, informasi yang disampaikan Prita belum tentu menjadi suatu kebenaran selama apa yang disampaikan Prita tidak dapat diakses oleh orang lain. Keutuhan pengalaman Prita dapat menjadi kebenaran, pengetahuan (episteme) selama apa yang disampaikan Prita dapat juga dialami oleh orang lain. Dari sudut ini, secara sepintas, memang apa yang dituliskan Prita dalam surat elektroniknya bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang belum 100 persen menjadi kebenaran. Atas kritik tersebut, saya mengajukan dua hal yang memperkuat bahwa apa yang dialami Prita, juga dialami orang lain dalam modus dan intensitas yang berbeda, tetapi memiliki substansi yang sama, yakni pelayanan Omni memang mengecewakan. Juliana, ibu dari Jared, telah melaporkan dugaan tindakan malpraktik yang dilakukan Omni ke Polda Metro Jaya.[9] Argumentasi kedua yang saya ajukan adalah proposisi afirmatif universal: Tidak ada yang sempurna di bawah langit. Kesanggrahan yang dicita-citakan Omni sebagai nilai ideal yang diterapkan Omni dalam menjalani kehidupannya tidak selamanya terwujud. Selalu ada disparitas antara yang diharapkan dan yang terjadi. Omni tak lepas dari adanya disparitas antara yang diharapkan dan yang terjadi.

Uniknya, ekspedisi mengarungi konsepsi ‘baik’ yang diformulasikan sebagai ‘kesanggrahan’ di dalam institusi rumah sakit tidak memberi peluang bagi Omni untuk mengajukan gugatan. Mengapa? Kekuatan akal budi yang dimiliki Omni untuk mengidentifikasi apa yang ‘baik’—dalam hal ini secara ideal diformulasikan sebagai ‘kesanggrahan’—gagal menyadari bahwa kesalahan utama bersumber dari dirinya sendiri. Omni tidak menyadari bahwa kesalahan mereka melakukan penghitungan trombosit adalah sesuatu yang fatal. Harapan Prita bertemu kenyataan yang pahit. Kenyataan itu masih ditambah lagi dengan tindakan membebankan Prita kewajiban untuk membayar biaya perawatan.

Tentunya, melalui serangkaian peristiwa yang terjadi, nyatalah bahwa Omni sama sekali tidak menggunakan kekuatan akal budinya. Omni tidak menggunakan kekuatan akal budinya untuk mengenali apa yang bijaksana dalam menghadapi kasus Prita. Omni pada saat itu hanya menggunakan bagian keinginan (to epithymêtikon), yakni hawa nafsu.[10]

Jika demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi ‘baik’ dalam frase ‘pencemaran nama baik’ bukanlah sebagaimana yang diformulasikan Platon. Kalau begitu, apa yang dimaksudkan dengan ‘baik’ dalam frase tadi hingga berdampak pada kerugian properti, material? Adalah menarik melihat pernyataan Ignas Kleden yang mengutip pernyataan filosof Adam Smith (1723-1790) dalam TheWealth of Nations: “Penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya.” (“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect oru dinner, but from their regard to their own interest.”)[11]

Menyatakan adanya kerugian properti mengandaikan adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan yang berada di ruang pribadi, ruang privat[12]. Frase ‘pencemaran nama baik’ di mana ‘baik’ pada dasarnya bersifat immaterial menjadi sesuatu yang bersifat material hanya dapat terjadi dalam konteks yang ekonomis, konteks yang bersifat tukar-menukar komoditi, Omni memberikan pelayanan kesehatan sebagai komoditi dan Prita memberikan uang yang juga adalah komoditi sebagai balasan atas pelayanan kesehatan yang ia terima dari Omni. Artinya, Omni bukanlah sebuah rumah sakit yang didirikan berdasarkan kesanggrahan, melainkan berpijak pada kepentingannya sendiri, yakni meraup keuntungan yang dapat ia renggut dari siapa pun yang datang untuk mendapatkan komoditi jasa pelayanan kesehatan dari dirinya. Dalam konteks ini, yang disebut dengan ‘baik’ itu adalah ‘kesejahteraan.’ Karl Marx (1818-1883) memformulasikan ‘kesejahteraan’ itu, dalam masyarakat kapitalis, sebagai “pembongkakan akumulasi komoditas.”[13] Maka, teranglah bahwa Rp204 juta yang harus dibayarkan Prita—tentu masih ada peluang Mahkamah Agung memberikan putusan yang menganulir segala putusan yang sudah ditetapkan pada pengadilan tingkat pertama dan kedua (jika tidak, maka Prita wajib membayar denda materil sebagaimana yang diputuskan pengadilan tingkat ketiga, yang masih memberikan peluang bagi diajukannya Peninjauan Kembali yang bertujuan menganulir putusan yang telah ada sebelumnya)—pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan ‘kesejahteraan’ Omni dengan cara ‘pembongkakan akumulasi komoditi,’ yakni tindakan yang ditujukan untuk memperbesar keuntungan agar modal dapat bertambah dan Omni bisa melakukan ekspansi bisnis ke daerah-daerah lain.

Bagi saya pribadi, kasus Prita dan Omni memberikan refleksi bahwa hospitality yang merupakan hakikat dari keberadaan rumah sakit patut dipertanyakan (untuk menggugat atau malah berperan merevitalisasi). Hospitality sebagai aktualisasi kemanusiaan hakiki dari seorang dokter—sebagai akar bagi keberadaan suatu rumah saki—mengalami reduksi menjadi semata-mata kegiatan mencari untung. Sumpah Hipokrates—yang mengikat setiap dokter, dan tentunya secara implisit mengikat kelembagaan rumah sakit yang berakar pada keahlian pengobatan—jauh sebelum tarikh Masehi sudah memberikan peringatan akan reputasi yang buruk yang bakal diterima oleh siapa pun (termasuk institusi sebagai implikasi) yang melanggar ketentuan sumpah yang dibuat Hipokrates (460-377 SM). Saya terjemahkan salah satu bagian Sumpah Hipokrates secara bebas:

Engkau secara tulus bersumpah kepada Yang Engkau Yakini Sebagai Yang Suci

Bahwa engkau akan setia kepada profesi kedokteran dan bersikap adil dan menghormati martabat orang yang terlibat di dalam profesi tersebut

Bahwa engkau akan mengendalikan kehidupanmu serta melakukan keahlianmu secara tepat dan bermartabat

Bahwasanya ke rumah siapa pun yang akan engkau masuki, adalah demi kebaikan, kesehatan dari mereka yang sakit melalui pengerahan kekuatan optimal yang engkau miliki, tetap menjaga konsentrasi agar tindakanmu jauh dari kesalahan, pengrusakan, serta niatan untuk mencelakai orang lain

Bahwa engkau akan melatih keahlianmu hanya demi kesembuhan pasienmu, dan tidak memberikan obat apapun, tidak memperlihatkan suatu tindakan apapun untuk tujuan kejahatan, sekalipun ada orang yang memaksamu untuk melakukan hal tersebut, hindarkanlah perbuatan itu

Bahwa apa pun yang akan engkau lihat atau dengar tentang kehidupan lelaki atau pun perempuan di mana hal tersebut tidak layak untuk dipercakapkan, engkau tetap menyimpan rahasia itu

Inilah yang menjadi sumpahmu. Maka, biarlah setiap kepala tunduk takzim atas segala sumpah

Dan sekarang, jika engkau berlaku benar sesuai sumpahmu, semoga keberhasilan dan reputasi baik selamanya menjadi milikmu; sebaliknya, jika engkau melakukan segala hal yang bertentangan dengan sumpahmu.[14]

Dan, tampaknya “Sebaliknya, jika engkau melakukan segala hal yang bertentangan dengan sumpahmu” tengah mengintai suatu rumah sakit, yang berada di suatu masa, yang bernama ‘Omni’ Internasional, yang secara implisit hendak menyatakan bahwa apa yang dilakukan “Serba Internasional,” tetapi luput mengenali apa yang hakiki dan universal dari keberadaan sebuah rumah sakit, serta keberadaan profesi dokter di tengah keniscayaan umat manusia untuk selalu berhadapan dengan penyakit, bahkan di titik yang paling ekstrem adalah kematian. Dan, tidak ada satu dokter atau rumah sakit pun yang mampu meluputkan seorang dari kematian, ketika Yang Maha Kuasa sudah menetapkan Titah. Dengan demikian, secara spekulatif, selalu ada kegagalan yang mengintai dalam kinerja rumah sakit, entah melalui campur tangan Yang Maha Kuasa atau keteledoran diri sendiri, yang jika diinsyafi, dapat memberikan pelajaran yang baik demi keberlangsungan sebuah gagasan kesanggrahan (itu pun kalau masih diakui sebagai nilai yang utama dan terutama bagi para dokter dan rumah sakit). Atau, jangan-jangan apa yang disampaikan secara satir oleh Thomas Browne, dokter sekaligus esais kelahiran London, sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ini adalah tepat. Kematian sudah selalu mengintai begitu kita menginjakkan kaki di rumah sakit, entah kita memang benar-benar meninggal dunia atau kehilangan harta benda karena gugatan perdata. Untuk yang pertama, sebagai pasien, kita tidak berkeberatan; karena manusia pada hakikatnya mahluk yang terbatas, dan keterbatasan manusia yang paling ultima adalah kematian. Untuk yang terakhir, sebagai rumah sakit, Omni telah menanam dendam.



[2] Magnis-Suseno, Franz., 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal.17

[3] Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 138-9

[4] Dalam batasan-batasan yang ketat, Sang Baik dapat pula diidentifikasi sebagai Tuhan dalam keyakinan orang beragama. Pengenalan akan Tuhan mengandaikan adanya Nurani di dalam diri manusia. Nurani yang berarti Cahaya (Nur) bagi [dimensi] Rohani (Ruh, Rohani) manusia untuk mengenal Tuhan.

[5] Encylclopædia of Britanica Library 2008

[6] Borradori, Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, diterjemahkan oleh Alfons Taryadi, (Jakarta: Kompas, 2005), hal.240-1

[7] Room, Adrian, Cassell’s Dictionary of Word History (London: Cassel & Co, 2002), hal.308

[8] Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal.74-5

[10] Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal.139

[11] Kleden, Ignas, Seni dan Civil Society (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2009), hal.23

[12] Ibid., hal.9-10. Distingsi antara ruang privat dan ruang publik ditandai oleh tema pokok yang dibahas dalam ruang tersebut. Ruang privat membahas pertanyaan “the question of good life”; ruang publik membahas “the question of justice.”

[13] Marx, Karl, Capital: A Critique Of Political Economy, (New York: The Modern Library, 1906), hal.41

[14] Microsoft Encarta 2006