LIMA PARAGRAF TENTANG GARUDA

-menjelang Final putaran kedua Indonesia lawan Malaysia-


Sepakbola bicara tentang rencana dan fortuna. Rencana adalah tahapan persiapan, mulai dari menggarap yang mentah hingga menjadi matang. Fortuna adalah segala sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia. Bisa saja fortuna menjelma sebagai hujan deras atau angin kencang yang menyulitkan gerak pemain atau mengubah arah lesatan bola.

Setelah Indonesia takluk 3 – 0 dari Malaysia, sepakbola masih saja bicara tentang rencana dan fortuna. Di sini, sepakbola tidak semata tampil sebagai permainan yang berlangsung dari satu peluit panjang di awal ke satu peluit panjang di akhir. Di sini, sepakbola adalah kehidupan—pada titik ekstrem, sepakbola adalah kelahiran yang berujung pada kematian demi mencapai keabadian. Di sini, sepakbola adalah sejarah.

Sebagai sejarah, sepakbola melampaui tapal batas rencana dan fortuna. Sebagai sejarah, sepakbola adalah takdir. Wujud yang paling sederhana dari takdir adalah kemenangan atau kekalahan. Menang dekat dengan gembira; kalah akrab sama derita. Di sini, sepakbola bicara tentang apa yang harus diterima, tentang apa yang tidak bisa ditolak, tentang bagaimana harus tetap berjalan tegap dan tegak!

Sepakbola tidak sekadar bicara tentang bagaimana cara menyepak yang tepat dan akurat, melainkan juga secara diam-diam bicara tentang bagaimana setiap pemain juga pendukung harus tetap mampu berjalan tegap dan tegak ketika berhadapan dengan takdir yang berwajah derita. Pada puncak ini, sepakbola bicara tentang masa depan. Sepakbola bicara tentang harapan. Dan harapan adalah nyala dalam setiap kelam.

Setelah Indonesia takluk 3 – 0 dari Malaysia, harapan tetap menyala. Di sini, sepakbola sudah menyerupai manusia. Ia tidak lagi tampil sebatas permainan atau hiburan belaka, melainkan sudah menjadi pelajaran, bahkan penghayatan. Sepakbola adalah perjalanan dari luka ke luka. Di sini, sepakbola adalah perjuangan. Selamat berjuang Garuda!!!


[Note: Penulis adalah orang yang sebal sama PSSI dan segala macam perabotannya—apalagi Nurdin Halid.]

GARUDA DAN CARA MEMBACA INDONESIA


: mengenang Emmanuel Levinas

(12 Januari 1906 – 25 Desember 1995)

Manusia membutuhkan sesuatu yang suci dalam kehidupannya. Manusia, kadang kala, mengenali kesucian sebagai cita-cita. Sesuatu yang diyakini ada, namun—sialnya—sulit untuk direngkuh. Kesucian itu—menggunakan istilah Badiou—ditopang oleh fidelity.

Namun, kesucian tidak sebatas masalah berpikir, berimajinasi akan adanya suatu entitas yang suci, suatu entitas yang memiliki daya melebihi manusia, suatu entitas yang supra-manusia. Kesucian juga mewujud pada dunia keseharian—entah dalam bentuk simbol dua dimensi atau rupa tiga dimensi. Kesucian harus membumi, harus berakar pada estetika—dalam pengertian paling sederhana dari kata ‘estetika’, yakni mampu memikat indera manusia.

Sederhananya, kesucian tidak hanya pada aras metafisika, tidak hanya pada aras epistemologik(a), tidak hanya pada aras etika, melainkan juga menyentuh pada aras estetika. Dan memang, yang paling ribet adalah mengurusi kesucian yang bermanifestasi pada aras estetika. Alasannya, sederhana saja. Kesucian pada aras estetika bergantung pada inderawi manusia—dan tentu saja pendasaran epistemologi kesucian pada aras etika berimplikasi pada pengebirian, reduksi atas gagasan kesucian itu sendiri.

Adalah lebih mudah mengidentifikasi sikap hormat atas segala manifestasi estetis dari kesucian melalui apa yang terlihat kasat mata. Misal saja, upacara bendera. Bendera merah putih dilipat dan dibawa ke tiang untuk dikibarkan dengan prosesi ritual tertentu, untuk kemudian diikuti dengan sikap hormat para peserta mengikuti naiknya bendera ke puncak tiang. Kita barangkali tidak terlalu bodoh—atau naif—untuk menyimpulkan bahwa semua peserta, dengan segala sikap yang mereka unjukkan secara kasat mata, membuktikan bahwa mereka benar-benar menghormati gagasan kesucian yang ada pada bendera dan serangkaian prosesi. Setidaknya, saya pribadi mengakui bahwa sikap hormat yang ditunjukkan peserta barangkali dituntun oleh strategi tertentu untuk menghindari sanksi. Ketakutan berhadapan dengan hukuman bisa jadi salah satu akar munculnya sikap hormat dari para peserta. Dalam situasi yang demikian, kesucian kembali ke muasalnya, yakni tidak semata berada pada aras estetika, melainkan berada pada aras metafisika.

Dalam aksentuasi yang lebih sublim, Rudolf Otto menempatkan kesucian sebagai pengalaman akan Yang Ilahi. Sebagai pengalaman akan Yang Ilahi, kesucian adalah misteri, sebuah misteri yang menggetarkan sekaligus mempesona, tremendum et fascinatum. Di sisi lain, Emmanuel Levinas—filsuf Perancis keturunan Yahudi kontemporer; ia meninggal dunia pada 25 Desember 1995—bicara tentang kesucian sebagai Yang Lain, The Other.

Kesucian sebagai Yang Lain adalah suatu infinitas, suatu transendensi yang melampaui kapasitas manusia untuk memikiran, mengimajinasikan, apalagi merengkuh. Kesucian pada diri manusia berakar pada hasrat (desire) akan metafisika, hasrat berjumpa dengan Infinitas yang memanifestasikan diri dalam rupa Wajah. Melalui Levinas, kesucian tampil lewat sisi negatif—lewat sisi yang tidak dapat direduksikan pada aspek estetika yang naif. Pada Levinas, gagasan kesucian bersanding dengan nalar kejeniusan yang sadar diri, yang sadar batas-batas permanen dalam diri manusia. Dalam situasi demikian, Levinas akan memaknai undang-undang sebagai pendasaran untuk menghadirkan kesucian pada aras estetis melalui simbol adalah manifestasi dari kenaifan, juga ambisi kekuasaan manusia yang selalu berkehendak mencengkram realitas.

Tegas, saya memang hendak mengkritik silang sengkarut persoalan pro-kontra penggunaan lambang negara sekaligus ke-Indonesia-an itu sendiri. Meski begitu, bukan berarti sikap saya adalah yang paripurna. Saya sadar bahwa pertama-tama saya berhadap-hadapan dengan orang yang berposisi pro-kontra, untuk kemudian—yang berikut paling penting—berhadapan dengan gagasan kesucian yang ada di balik lambang negara dan ke-Indonesia-an. Maka, yang menjadi pertanyaannya: apakah kita—utamanya sebagai warga negara—telah memiliki cara membaca Garuda dan Indonesia yang tepat (?) sebelum akhirnya melangkah pada pertanyaan yang berada di titik ekstrem: apakah makna yang kita dapatkan dari pembacaan Garuda dan Indonesia sudah akurat?

Desember 2010

FRAGMEN FILSAFAT

Filsafat adalah sebutan untuk segala hal spekulatif. Segala hal spekulatif tumbuh dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan berakar pada keingintahuan. Keheningan adalah spekulasi sekaligus keingintahuan atas filsafat.