MEMANG SEPAK BOLA BISA MENYEBALKAN

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah. Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo. Lantas,
selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan. Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman. Lalu,

aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya : Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak; bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,

lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan. Permainan pun mulai!
Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!! Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning hitam bergambar elang. Hingga,
Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain : Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin, pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak! Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa. Sejenak,
aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau. Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit 80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,

melihat waktu sudah mencapai tengah malam.

Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang Jerman. Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi, semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan usai, berlanjut ke titik adu pinalti.
Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah, Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,

darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak. Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba

mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu, aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar, sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!
MEMANG SEPAK BOLA BISA MENYEBALKAN

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah. Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo. Lantas,
selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan. Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman. Lalu,

aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya : Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak; bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,

lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan. Permainan pun mulai!
Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!! Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning hitam bergambar elang. Hingga,
Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain : Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin, pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak! Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa. Sejenak,
aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau. Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit 80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,

melihat waktu sudah mencapai tengah malam.

Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang Jerman. Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi, semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan usai, berlanjut ke titik adu pinalti.
Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah, Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,

darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak. Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba

mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu, aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar, sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.

tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!

[Deif-Feil]