House Of Blues

(Pertama, saya mengajukan maaf, terutama pada yang empunya cerita; sisanya pada pembaca. Sebab seluruh tulisan yang bakal Anda baca merupakan kutipan tak-utuh, semampu saya mengingat apa yang tertulis, apa yang terucap, dari pencerita. Hak cipta berada di tangan yang punya cerita. Saya cuma mencuri saja!)

Di rumah, nama aku, Eka. Di luar rumah, nama aku, Eko. Di luar kota, aku dipanggil Eki.

Sekarang, aku Ketua Asosiasi Pedagang Kopi Se-Jatinegara. Di rumah kontrakan sisa peradaban jaman Belanda, aku buka usaha. Bagian beranda hingga pekarangan yang berlantai ubin, aku buat kedai kopi; lengkap dapur mini berkanopi; tiga meja bertapalak kain motif petak enam-empat; tentulah bersama kursi plastik tanpa sandaran, warna seragam, hijau.
Bagian dalam, ruang tamu, digubah menjadi toko buku. Ada lima rak buku, satu kloset duduk, satu meja kasir yang dilengkapi dengan satu unit komputer serta seperangkat saun sistem yang bergunan untuk menyuarakan ratusan lagu yang tersimpan dalam file MP-3; dan 2000-an koleksi buku.
Agak ke dalam, ada semacam ruang multi-fungsi, berada di balik kayu tiga lapis, pembatas antara dengan ruang jual buku. Bisa sebagai ruang pertemuan, juga ruang peristirahatan, bahkan ruang belajar, sebab dilengkapi dengan satu meja kaca bulat dengan empat kursi yang berbahan alumuniun menuju besi.
Setelah ruang multi-fungsi, baru kamar tidur.
Paling sudut rumah, pojok barat daya, kamar mandi. Satu kloset jongkok, satu bak penampungan air berisi satu ember besar yang juga berfungsi menampung air, semuanya berwarna biru serupa warna air laut.
Nah, sisa ruang yang ada, berantakan. Ada satu televisi empat belas inci (yang sudah rusak karena tersambar petir, sebab ketika hujan lebat turun, aku lupa mematikan listrik. Memang, ketika hujan lebat turun, aku bergegas memutus semua aliran listrik ke peralatan elektronik. Komputer, kipas angin, lampu, sudah aku padamkan. Kala itu, aku merasa ada yang masih kurang. Kira-kira apa ya? Nah, ketika tersadar, tipi pun meledug. Ya, sudah. Apes.), tangga kayu, kain spanduk, meja, kursi rusak, piring kotor, juga jemuran.

Sebelas bulan lalu, aku mulai buka kedai. Tapi, di enam bulan pertama, yang datang cuma satu-dua saja. Kebanyakan orang cuma melintas di jalan depan, entah hendak menuju Kampung Melayu atau Stasiun Kereta Api Jatinegara.
Di bulan ke-tujuh, kedai menggeliat. Sudah ada yang membeli secangkir kopi, indomie, indomie telor, burger, sosis, atau roti bakar.

Dulu, di bulan ke-berapa, ada orang datang ke kedai kopi aku. Menanya: Ada apa. Aku jawab: Tidak ada apa-apa. Orang menanya lagi: Di kedai aku tersedia apa saja. Kopi: kata aku. "Mau," aku menawar. Orang itu menggeleng, lalu menanya lagi: Kalau didalam apa, seraya kepala orang itu bergerak mengarah ke ruang tamu persis lenggok penari memainkan ruas belulang leher. Buku: kata aku. Seizin aku: Silahkan lihat saja. Orang itu pun masuk ke ruang toko buku. Dan, sekeluar orang itu dari toko buku, orang itu marah kepada aku. Orang itu marah: Jual Pram, kok tidak bilang-bilang. Lantas, aku beralasan, orang itu tidak menanyakan hal itu. Orang itu pun langsung duduk, memesan secangkir kopi. Selesai minum, orang itu pulang. Orang itu membayar Rp37.000; Rp34.000 untuk satu buku Pramoedya Ananta Toer, yang aku tidak ingat berjudul apa, sisanya secangkir kopi hitam asal Kalimantan. Kapan-kapan aku datang lagi: janji orang itu.

Sekitar delapan ratus meter, ke arah timur, di jalur jalan berportal seberang kedai aku, lokasi prostitusi gelap. Gelap karena beroperasi tiap malam hari, gelap karena beroperasi tanpa izin resmi. Biasanya, sekitar jam duabelas-an malam, ada saja perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun berkemeja putih. Mereka, menunggu dua orang teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun dengan kulit gelap. Setelah dua teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaku bertubuh tambun itu datang, motor roda dua itu pun dipacu, ditunggangi empat manusia menuju arah utara, arah ke Stasiun Kereta Api Jatinegara. Terkadang, mereka mampir dahulu, entah membeli sebungkus rokok Sampoerna Mild, atau bertanya: Ada apa di dalam rumah. Lantas, kalau sudah aku berikan apa yang mereka minta, entah itu rokok pesanan atau jawaban ke-ingintahu-an, mereka pun gampang angkat kaki, pergi.

Pernah suatu ketika, jeger kampung datang ke kedai aku. Perawakan dia tegap, se-kreket, tato se-gambreng. Umur dia, pengakuan jeger kampung, enam puluh tahun. Istri dia, pengakuan jeger kampung, tiga. Dia nanya: Aku jual apa. Aku jawab: Kopi. Dia nanya lagi: Ada bir ga'. Aku jawab: Tidak. Dia menyarankan, agar aku menjual bir juga. Itu syarat minimal berdagang di dekat lokasi prostitusi. Selain bir, anjuran dia: Mansion, Jack Daniel, Topi Miring, Contreau, Chivas Regal, Cognac, Jhonnie Walker dan Martini. Soal keamanan, dia berani menjamin. Saya pasang badan, kalau ada polisi atau koramil datang: janji dia. Aku jawab: Tidak bisa. Dia nanya: Kenapa.
Aku jawab:
Aku sudah lama tidak minum alkohol. Kalau dulu, boleh. Mau minum apa saja, masih bisa. Sekarang, badan aku sudah tidak kuat lagi nerima alkohol.
Dia ngomong:
Alkohol itu buat dijual sama orang lain. Dan, (aku) tidak usah meminum.
Aku jawab:
Itu pertama. Kedua, aku sudah jatuh kata. Ke bawah sama ke atas. Ke bawah, aku tidak ingin ada setetes pun alkohol yang mengikut aku ke dalam tanah. Ke atas, aku janji tidak meminum setetes pun, apalagi menjual. Nah, karena aku suka ngopi, aku jual kopi saja. Aku bisa buat kopi, bagi aku enak rasanya. Dan, aku buatin sama orang. Enak juga. Buktinya, kopi buatan aku habis. Itulah keahlian aku.
Dia pun lantas memesan kopi. Kata dia: Kalau begitu, aku pesan kopi. Aku buatkan dia kopi-mix instant, sesuai pesanan. Selesai minum, dia menanyakan harga. Niat aku ingin menggratiskan, aku utarakan. Dia, marah. Tidak! Berapa harganya: bentak dia. Aku pun langsung memberitahu. Seribu: kata aku. Dari saku celana kanan, dia mengambil selembar uang seribu. Sebelum pergi, dia berkata: Nanti, aku datang lagi. Sama istriku!: dia berjanji.

Saat lain, polisi singgah di kedai aku. Mereka duduk, nge-rekap surat tilang. Mereka pesan minuman. Ada yang pesan kopi, teh manis, juga indomie rebus pakai telor. Lantas, salah satu dari mereka bertanya: Di dalam apaan. Buku: jawab aku. Salah satu dari mereka bertanya lagi. Buku apa? Aku menjawab bahwa buku yang aku jual kebanyakan sastra. Salah satu dari mereka mengangguk, berkata: O. Lalu, salah satu dari mereka menanyakan harga semua pesanan. Aku menjawab: Semua, tujuh rebu lima ratus. Salah satu dari mereka membayar dengan uang sepuluh ribuan. Aku kembalikan dua lembaran uang seribu dan sekeping uang lima ratus. Mereka pun pergi.

Yang paling parah, beberapa bulan lalu. Ada orang datang. Namanya, Erwin. Pekerjaan: musisi. Sering manggung di Slipi, Blues Bar. Kadang di Batavia Cafe, dan tiap Rabu mengisi acara Blues Night di TVRI. Erwin itu marah sama aku. Sebabnya plang rumah di pintu masuk toko buku. Tulisannya: H-O-U-S-E O-F B-L-U-E-S. Bahan tiap-tiap huruf, besi bersepuh emas. Erwin bilang: Kok berani-beraninya aku meletakkan tulisan itu di tembok rumah, tepat di atas pintu masuk toko buku. Apakah aku tahu artinya: tanya Erwin. Erwin menyuruh aku mencabut plang berisi tiga barisan kata-kata tersebut. Alasan Erwin, aku tidak layak memajang tulisan itu bila aku tidak mengadakan acara berbau blues. Erwin bilang: Blues itu religi. Erwing bilang: Kalau aku berani memampangkan tulisan itu, aku harus berani mengundang musisi blues mampir ke kedai kopi aku. Erwin tanya: Aku bisa main gitar tidak. Erwin tanya lagi: Sudah berapa buku blues aku baca. Erwin tanya lagi, apakah aku mengenal nama musisi blues yang Erwin sebutkan. Semua pertanyaan itu aku jawab: Tidak, Sedikit, Tidak ada, Tidak. Erwin makin marah. Plang itu semakin tidak layak menggantung di rumah kontrakan aku, menurut pendapat Erwin. Erwin mengancam: Besok aku datang, palng itu harus sudah tercabut.
Aku jawab:
Perlu waktu duapuluh tahun aku mendapatkan plabg bertuliskan 'HOUSE OF BLUES' itu. Mulai dari meminjam uang sedikit demi sedikit, hingga menabung seperak-dua perak. Itu sejak dulu, duapuluh tahun lalu. Awalnya, palng hendak berisi tulisan 'HOUSE OF RISING SUN'. (Judul lagu kelompok band Animals.) Itu karena, rumah kontrakan aku ini merupakan rumah yang pertama kali terkena sinar matahari pagi di jalan ini. Jadi, aku berharap ada kehangatan, ada harapan yang selalu terbit di rumah kontrakan aku ini. Tapi, sewaktu membeli huruf-huruf besi itu di Carefour Jalan MT. Haryono, uang aku tidak cukup. Bersama seorang teman, aku duduk di pelataran luar Carefour. Tulisan itu pun diutak-atik, disesuaikan dengan kemampuan uang yang aku punya. Aku hanya punya uang Rp60.000. Teman aku mengusulkan: Buat 'HOUSE OF BLUES' saja. Alasan teman aku: Aku penyuka musik blues. Aku setuju. Jadilah huruf-huruf kalimat tersebut aku beli, lalu aku susun di atas plang besi hitam, dan aku pampangkan di tembok atas pintu masuk ruang toko buku. Rencananya, tulisan itu nanti berpigura tanaman merambat yang aku tata melengkung memenuhi tembok tempat pintu masuk. Menyerupai kubah, niat aku.
Erwin bertanya: Apakah aku punya gitar. Aku punya, dan mengeluarkan gitar yang tersimpan di dalam ruang multi-fungsi yang berada agak di dalam rumah. Aku memberikan gitar itu kepada Erwin, untuk Erwin mainkan. Erwin pun memainkan musik blues dengan mata memejam. Erwin sempat bertanya: Ada bir tidak. Aku jawab: Tidak. Erwin pun bermain gitar lagi. Tiba-tiba Erwin bilang: Minimal aku harus menyetel musik blues di kedai ini. Itu baru melayakkan rumah kontrakan aku ini menjadi 'House Of Blues': kata Erwin. Sebab: Di Indonesia, belum ada tempat yang bernama House Of Blues. Itu penjelasan Erwin. Permintaan Erwin pun aku penuhi. (Sesekali waktu aku menyetel musik blues. Apalagi kalau Erwein singgah mengaso sebentar sebelum pulang ke Ciracas, sehabis manggung. Biasanya, sebelum pulang Erwin bilang: Sekali waktu aku menonton saat Erwin manggung. Mengenai tiket masuk atau apapun, Erwin yang bayar. Janji Erwin. Aku cuma menjawab: Kalau sempat bolehlah. Aku berkeinginan.) Saat asyik bermain gitar, tiba-tiba lagi Erwin berkata: Bisa ngebakar gress ga di kedai aku. Aku jawab: Lebih baik jangan. Erwin pun mengikut. Erwin main gitar sampai puas, dan aku terkesima. Lama berselang, Erwin pulang. Kapan-kapan, aku datang lagi: Erwin berjanji.

Di kedai ini, aku menjual kopi. Sesekali aku menyetel musik, mulai dari hard rock, heavy metal, rock 'd roll, jazz dan blues. Siapa yang datang, silahkan memesan menu makanan atau minuman yang ada, jangan mencari yang tidak ada dan tidak aku perbolehkan ada; juga melihat ke dalam ruang toko buku; atau sekadar cuma duduk di kursi plastik hijau tanpa sandaran sebentar. Kalau siapa yang datang mau bercerita, aku menyilahkan. Aku bisa berperan sebagai pendengar. Kalau siapa yang datang cuma mau berdiam, aku memperbolehkan. Kalau siapa yang datang tiba-tiba setuju bekerja sama untuk menghasilkan uang dengan berusaha bersama, aku mempersilahkan. Aku tidak akan meminta persenan. Aku malah bersyukur, siapa yang datang malah mendapat rezeki dari kedai kopi aku ini.

Aku cuma menjual kopi. Pilihan yang aku tetapkan sepulang dari Tanah Suci.
Memintal Ikan

Gelombang lapuk berenang renang, menghisap
belulang penggerutu gelandang mencandu
benang benang mereceh
khianat, berkhidmat.

Sengat kail selinap
merebus kelenja bungkuk,

ribuan lengan lunglai bintang bintang memintal
perut perut bertindik senyum
para perawan, mengerat selendang

berpesta dalam pesawat liburan panjang

di mata ikan, j t h.
Everybody Going Mad Because of The Oil Price

Tante Tia, 30-an, owner warteg 'Sederhana'. "Es batu aja nih..., naek serebu!!!"

Yadi, 38, driver M-06A Gandaria-Kampung Melayu. "Lima belas rebu buat apaan? Ngebunuh orang kok lambat amat?"

www.tempointeractive.com, Jumat, 14 Oktober 2005: Pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito dan Rumah Sakit Grhasia Propinsi DI Yogyakarta meningkat 100 persen.

www.detik.com, Jumat, 14 Oktober 2005: Elpiji langka pertanda bagus! Demikian Jusuf Kalla cerita.

Kompas, Rabu, 12 Oktober 2005: Probosutedjo sudah habis Rp16 miliar. Dia bercerita di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bobby, 28, karyawan swasta, senja. "Gua, numpang dong. Pliz..."

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005: Gepeng di Bandung Naik 10 persen, selama bulan puasa.

www.detik.com, Jumat 14 Oktober 2005: Gaji anggota DPRD DKI Jakarta naik jadi Rp50 juta. Sutiyoso: Biar tidak korupsi!

Jonni, mahasiswa drop out pe-te-en terkemuka di Indonesia-cum-aktifis abadi. "Anj*** Ba** Ng*** SBY-JK T**!!!"

P'lai, seniman plus bohemian. "Sekali bercinta, sudah itu lari!!!"

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005. Garuda nambah kursi 29.550 sambut Lebaran 2005.

Kaka, 23, kenek Mayasari Bakti, siang hari. "Gopek lagi, om!"

Antara, Jumat, 14 Oktober 2005: PNS di Yogyakarta stres.

Tiara, 30, warga Gang Kelinci, anaknya Pak RT.05. "Kok bisa ya."

George, bule, turis. Ngider di Sarinah Plaza, pake sandel jepit, baju kaos doang, celana hawai-ian, eh... sales counter senyum-senyum.

Wahyudi, korban penganiayaan militer. "Saya lagi ngopi di warung, tiba-tiba dia nyamperin. Lah di Mulus yang jidatnya nongol itu digebuk. Pala' saya juga digetok. A**!"
Secangkir kopi sudah terhidang. Aromanya meruap bersama asap yang mengambang melayang. Ia pun membuka komputer tenteng, lalu mulai mengetik. Kalau aku tak salah, baru kali ke-enam jarinya menjentik tuts kibor, ia berhenti. Lalu, ia memegang telinga cangkir Vienna, mengangkat perlahan menuju ke bibir. Bibirnya menipis seraya meniupkan udara, hendak mendinginkan kopi. Setelah dirasa cukup, ia pun mulai mencecap perlahan. Dengan mata memejam, ia hempaskan senyum lepas yang membayang di pelataran wajah. Ia menarik nafas sedalam mungkin, seakan berniat memasukkan sebongkah batu karang ke dalam rongga dada. Lalu, dengan tawa seringai, ia belalakkan kelopak mata, dan! membanting cangkir. Prang!, setidaknya seperti itulah bunyi derai kaca pecah.
Lagak tenang, ia pun melanjutkan mengetik kembali. Aku tak pernah mengetahui apa yang sedang ia tulis. Gugup, aku memberanikan diri melangkah, menanyai ia. Pertama, aku mengajukan kata: Maaf. Lantas, bersambung kalimat: Mengapa kau pecahkan gelas itu. Seusai bertanya, aku hanya bisa mengingat ia mengalihkan mata ke aku, dengan alis merendah. Seakan ia mengintai. Begitu tajam dan dekat. Usai memindai, ia pun berpaling ke laku awal. Memesan secangkir kopi.
0.5 ...

Seorang teman tiba-tiba menyambangiku, kala aku lelap tertidur. Ia menggoyang tubuhku hingga bergoncang. Aku pun terbangun, mengucek mata, dengan pandangan mengiba. Sebab untuk berkata 'Ada apa' atau 'Kenapa', aku tak sanggup. Aku hanya ingin kepengertian ia, lewat mimik muka mengharap, 'Tolonglah kawan, jangan sekarang. Besok atau kapanlah, seusai kunikmati tidur yang baru saja sampai di pelataran mimpi.' Tapi, ia tetap menggetarkan tubuhku. Terpaksa--bukan karena ingin mengetahui ada apa, melainkan lebih disebabkan sudahi segera ganggumu itu--aku bangun.
Perlahan kuanjakkan tubuh beringsut, hingga setengah tegaklah kuda-kuda tubuh disangga pantat, menyender pada rangka ranjang. Sebenarnya, aku masih setengah tertidur. "Ada apa," kataku dengan nada datar, tanpa lenggak irama legato. Dari sayu mataku, kulihat bibir berujar tak jelas. Lantas, kucoba mengecilkan sayu kelopak mata, agar sayup suara ia terdengar lumayan jelas. Aku pun bertanya ulang, dengan nada mendesah, untuk sebuah pertanyaan yang sama, "Ada apa?" Ini kali, kurasa jelas, aku melempar sebuah tanya kepada ia dengan cengkok yang keingin-tahuan yang mendalam; meski aku tak menyadari hal itu, bagaimana bisa terjadi.

"Kau baca tidak itu koran beberapa hari lalu. Front Pembela Islam mengadukan pameran CP Bienalle 'Urban/Culture' di Museum Bank Indonesia ke polisi. Kau mau tahu kenapa?"
(Kalau aku tak salah mengingat, seperti begitulah kalimat yang ia sampaikan dengan nafas menggebu-gebu serupa babi dikejar pemburu, selamat langsung berteduh dan berbincang dengan sahabat yang juga luput dari kepungan.)

"Cuma karena foto rekayasa. Foto Anjasmara dan Elisabeth yang telanjang. Itu karya kolaborasi Dany Linggar sama Agus Suwage. Nah, kalau kau baca editorial koran..., ah... entah koran apa itu, aku lupa namanya. Disitu disebutkan, mereka, maksudku koran itu, setuju dengan tindak pelaporan FPI. Alasannya, karena negara kita negara hukum. Segala sesuatu harus melalui aturan, ada prosedur hukum, tidak asal hantam, tidak asal-asalan ganyang. Tapi, seingatku pula, seorang temanku sempat berkata, di negeri ini sebenarnya bayi lahir sudah tidak lagi menangis. Aneh. Ah, tapi apapun itu, aku agak bersependapatlah dengan editorial koran yang kulupa namanya itu."
(Aku menarik nafas pelan tapi panjang. Kuhembuskan dengan ketukan yang tak jauh berubah dari saat awal aku menghirup ke dalam rongga dada. Aku lupa, apakah ini yang benar ia ucapkan, atau...)


"Tapi, aku curiga. Sebenarnya, ada apaan sih? Apa pula pasal FPI mengadu ke polisi? Semampunya aku mencari tahu, lalu menjadi sok tahu berdasarkan informasi yang sebenarnya aku tidak tahu pasti bagaimana mereka, maksudnya pemberi informasi itu, mendapatkan fakta. Tapi setidaknya, bermodal ragam infotainment ataupun info-tak-tainment, kudapatkan ihwal pelaporan. Sebabnya, foto rekayasa itu memiliki kencenderungan untuk menodai suatu agama tertentu. Memang ada sih alasan lain yang disampaikan. Tapi, aku kira alasan itu hanyalah sempalan saja. Dibuat sebisa-bisanya saja, menambah kesalahan. Dibilang, itu Anjasmara dan Elisabeth kan selebritis, public figure, dan macamlah predikat tak jelas, yang tak kumengerti. Terus, karena mereka itu selebritis, artis, public figure, tak bolehlah berbuat tak senonoh juga seronok begitu. Anjas sama Elisabeth itu jadi panutan publik, apa yang mereka lakukan, ada kemungkinan ditiru publik. Anjasmara dan Elisabeth tidak boleh menjadi pelopor tabiat selangkangan (Eh, kau ingat pula bukannya aku mendorong mereka berdua untuk menjadi pelopor tabiat selangkangan, tapi kau dengar dulu lanjutanku). Jelaslah taik kucing. Emang, kalau Anjasmara itu siapa. Dan, publik mana pula yang menjadikan Anjasmara panutan. Logika macam apa yang dipakai untuk menalar bahwa Anjasmara cocok diposisikan sebagai teladan. Padahal, publik cuma tahu Anjasmara itu lewat tokoh yang ia perankan. Anjasmara sebagai Encep, Anjasmara sebagai Romi, Anjasmara sebagai..., ah entah siapa lagi, yang pasti Anjasmara bukan sebagai Anjasmara. Tapi, lakon! Bukankah ini kedunguan terbesar. Baik yang membuat statement, yang menyebutkan Anjasmara itu panutan; atau mereka yang menjadikan Anjasmara panutan hanya karena menonton sinteron Cecep, atau yang lain. Kedunguan. Ketololan. Kebodohan. Dan, pelaporan itu didampingi oleh seorang pengacara, yang entah siapa namanya, yang mengikutsertakan, ini kalau aku tak salah, statement Anjasmara panutan. Pengacara dungu. Buat apa dia belajar hukum, bila lojik berpikirnya pun ngacau sengacau-ngacaunya hingga bagiku ia tampak meracau balau."
(Aku menguap. Kepalaku berbantun, mengantuk dinding kamar.)

"Lah, bagiku alasan sempalan itu menyimpang dan tak perlu diperdebatkan. Soalnya, kalau berdebat itu, tidak akan ketemu kebenaran. Jalannya saja sudah menyimpang, bagaimana ketemu jawaban. Jadi, yang utama itu alasan pertama. Foto itu diindikasikan menyindir, menodai suatu agama. Disebutkan, ini lagi-lagi dalam artikel yang kubaca; dan lagi-lagi aku lupa berasal dari mana, foto Anjasmara dan Elisabeth mencitrakan Nabi Adam dan Hawa ketika berada di Taman Firdaus. Nah, kalau ini aku kagum. Luar biasa. Bagaimana FPI berpikir, ah..., katakanlah menafsirkan gambar foto tersebut hingga ke level itu. Sebab, aku sendiri pun belum tentu dapat memaknainya dengan perspektif tersebut. Paling banter, aku cuma bilang: 'Gimana sih caranya ngebuat foto begini.' Atau 'Idenya gila ih...' Atau 'Anjing!!!' Sekali lagi, luar biasa. Imajinatif sekali cara mereka menafsir. Tapi, sayangnya entah mengapa menjadi menodai agama tertentu aku tak tahu jelas muasalnya. Yang pokok, itu foto rekayasa, ingat foto rekayasa, sudah disimpulkan menodai agama tertentu dan harus dihentikan itu pameran. Anjing! Tai' banget ga'?"
(Entah mengapa, aku cuma terangguk-angguk. Mataku kembali layu. Seakan palu godam karet menghantam kepalaku. Dan ia, masih terus berceloteh,... seingatku samar.)

"Aku jadi mikir. Apakah benar, agama dapat dijadikan landasan mengklaim, menilai, sesuatu itu salah, tidak tepat, bahkan amoral. Benarkah demikian? Perlu kau tahu, aku bukan dalam posisi meniadakan unsur agama dalam perikehidupan sehari-hari. Sebab, agama sebagai dialog antara Khalik dengan karya-Nya, juga berpotensi menghorisontal , antar sesama buatan-Dia. Tapi, disini kita berbicara foto rekayasa sebagai seni. Itu batasan yang harus diingat. Seni. Seni. Seni. Seni. Seni. Sekali lagi. Seni!"
(Ia mencengkram erat bahuku. Menggetarkan, seperti hendak memecahkan tubuhku. Aku cuma bergoncang. Kepalaku bolak-balik mengantuki dinding. Aku membandul, maju dan mundur, lalu memukul dinding berbahan batu, bunyinya: tengg...., tengg.... tengg....)

"Nih, berdasarkan literatur yang aku baca, tapi aku lupa lagi buku apa itu, dan siapa yang menulisnya. Yang pasti aku pernah baca, serta mengingat sedikitlah. Dibilang buku itu ke aku, agama memiliki peran sebagai media menuju kebenaran. Agama, jalan kebenaran. Tapi, ini tambahan yang kuberi, ketika agama dipergunakan untuk menilai segala sesuatu di luar porsinya, maka bukan kebenaran yang didapat, malah kebanalan, kedangkalan, kecetekan, ke-tak-rasional-an, kesewenang-wenangan, kesemena-menaan. Sebab, sepengingatan aku, ragam jalan menuju kebenaran. Ada yang melalui ke-ilmu-an, ada yang melalui filsafat, ada juga yang melalui seni. Kalau lewat jalan ilmu, kebenaran empiris, ilmiah. Filsafat itu, lagi-lagi menurut buku yang kubaca, lewat perenungan. Nah, kalau seni itu mengenal kebenaran melalui perasaan.
Lha, wujud rasa inilah yang abstrak. Masalah timbul, ketika apresiator yang tidak memiliki latar belakang ilmiah seni, atau bakat interpretasi karya, mendadak menilai dengan klaim mutlak dan tak mau berdialog. Tentu saja, tindakan FPI mengapresiasi tidak salah. Yang salah, tindak pelaporan hukum. Aku tidak suka! Bayangkan, pameran itu pun sampai dibatalkan. Dihentikan dari jadwal semula. Kuratornya, Jim Supangkat, ini lagi-lagi kubaca artikel entah dari mana, merasa sedih. Anjing engga? Jadi, ketika mereka menfasir tidak salah, menyimpulkan tafsir juga tidak. Tapi, kalau sudah menjadikan itu klaim mutlak dan mengadukan ke muka hukum yang tidak tahu dimana berada mukanya, itu menjadi grhh... Menurut, lagi-lagi bacaan yang entah apa itu, kawan kuharap kau bersabar menghadapi isi ingatanku yang payah ini, eksekusi akhir dari karya seni adalah indah atau tidak. Bagus atau jelek. Perlu dicatat, eksekusi akhir seni yang dibuat manusia, bukanlah berada dipilihan dosa atau tidak; sebab otoritas dosa itu berada di kepala-Nya. Bukankah Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) dari kepolisian pun berubah sebutan jadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Sebenarnya, fenomena pelarangan ini sudah berlangsung lama. Misal, pelarangan film 'Buruan Cium Gue!!!', pelarangan terbitnya buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, pelarangan pementasan teater Marsinah oleh Satu Merah Panggung-nya Ratna Sarumpaet, atau pergelaran Bengkel Teater Rendra, pentas puisi Wiji Thukul, juga pencekalan goyang nge-bor Inul, atau cerpen Langit Makin Mendung-nya Ki Panji Kusmin, yang sampai menyeret Hans Bague Jassin bersaksi di pengadilan; juga beberapa kasus di luar negeri, semisal pelarangan novel 'Satani Verse' Salman Rusdhie, Dan Brown dengan 'Da Vinci Code' yang dikecam gereja Vatikan, atau 'Animal Farm' karya George Orwell, dan masih ada yang sejenis lain.
Jelaslah intinya, bermuara pada kekuasaan. Kekuasaan yang terancam, menyebabkan timbul kerja represif. Kerja menekan, memeras, menghancurkan yang bersuara beda. Tapi, memang demikian seharusnya sebuah karya seni. Ia memang diwajibkan menawarkan suatu nilai baru kepada masyarakat. Dan, masyarakat yang tidak siap, membangun sistem pertahanan, mengeluarkan serum anti-bodi untuk mengebiri keampuhan nilai baru itu. Sederhananya, ibarat virus H5N1, yang membuat para pakar bekerja keras, karena kekuasaan manusia di bumi bakal berakhir karena virus ini menawarkan cara cepat dunia menuju kiamat.
Itulah yang berbahaya. Ketika simpulan final interpretasi mewajibkan sebuah karya mengalami intimidasi. Sebetulnya, jika apresiatornya menyadari tugas seorang seniman, ini lagi-lagi aku ambil dari buku, yang lagi-lagi aku tidak ingat siapa dan apa buku itu, tugasnya adalah menawarkan nilai baru. Memang, aku tidak naif. Ada sedikit keyakinanku yang berkata, 'Ada juga sih seniman yang tidak mikirin nilai baru.' Soalnya, ada dua mainstream besar di dua seni. Seni untuk seni dan seni untuk masyarakat. Tapi, dalam tingkatan praksis, itu semua menjadi luruh. Pilihan itu ada hanya didalam diri seniman. Bagi penafsir, ia bebas berjalan. Lagian, kan ada yang namanya kurator. Kurator itulah menjadi jembatan penghubung antara karya dengan publik penerima. Kurator itu seperti nomor telepon. Nomornya dulu kita tekan, baru tersambunglah kita ke tujuan. Dan, untuk menjadi kurator ada disiplin keilmiahan yang harus mereka pelajari. Berarti, publik penyerap, apalagi yang tidak punya latar seni atau latar nyeni, lebih baik mendengarkan ucapan kurator. Ada juga kok kenikmatan tersendiri mendengar ahlinya bicara. Tapi, kalau ada latar seni atau latar nyeni, bolehlah ia sedikit beradu argumen dengan kurator itu. Tapi, eksekusi akhir tetap jadi ke pribadi. Sebab seni itu, demikian mutlak sehingga ia harus rela di-realitif-kan. Nah, untuk kalimat ini, aku tak punya penjelasan panjang lebar. Yang jelas, aku tak suka karya dilarang-larang. Memangnya, kalau sudah dilarang, lantas yang namanya pornograpi itu, hilang. (Padahal, pornograpi itu sendiri yang bagaiman tak jelas juga ia punya rupa.) Benar, kalau aku tak salah ingat ada seorang ahli hukum yang berujar, lagi-lagi aku lupa siapa dia, dimana dia ngomong, tapi ujarnya kira-kira begini, 'Hukuman mati jelas mengurangi kejahatan. Karena, dengannya satu penjahat berkurang.' Lantas, apakah benar demikian? Ah, tak tau-lah aku."
(...............)