0.5 ...

Seorang teman tiba-tiba menyambangiku, kala aku lelap tertidur. Ia menggoyang tubuhku hingga bergoncang. Aku pun terbangun, mengucek mata, dengan pandangan mengiba. Sebab untuk berkata 'Ada apa' atau 'Kenapa', aku tak sanggup. Aku hanya ingin kepengertian ia, lewat mimik muka mengharap, 'Tolonglah kawan, jangan sekarang. Besok atau kapanlah, seusai kunikmati tidur yang baru saja sampai di pelataran mimpi.' Tapi, ia tetap menggetarkan tubuhku. Terpaksa--bukan karena ingin mengetahui ada apa, melainkan lebih disebabkan sudahi segera ganggumu itu--aku bangun.
Perlahan kuanjakkan tubuh beringsut, hingga setengah tegaklah kuda-kuda tubuh disangga pantat, menyender pada rangka ranjang. Sebenarnya, aku masih setengah tertidur. "Ada apa," kataku dengan nada datar, tanpa lenggak irama legato. Dari sayu mataku, kulihat bibir berujar tak jelas. Lantas, kucoba mengecilkan sayu kelopak mata, agar sayup suara ia terdengar lumayan jelas. Aku pun bertanya ulang, dengan nada mendesah, untuk sebuah pertanyaan yang sama, "Ada apa?" Ini kali, kurasa jelas, aku melempar sebuah tanya kepada ia dengan cengkok yang keingin-tahuan yang mendalam; meski aku tak menyadari hal itu, bagaimana bisa terjadi.

"Kau baca tidak itu koran beberapa hari lalu. Front Pembela Islam mengadukan pameran CP Bienalle 'Urban/Culture' di Museum Bank Indonesia ke polisi. Kau mau tahu kenapa?"
(Kalau aku tak salah mengingat, seperti begitulah kalimat yang ia sampaikan dengan nafas menggebu-gebu serupa babi dikejar pemburu, selamat langsung berteduh dan berbincang dengan sahabat yang juga luput dari kepungan.)

"Cuma karena foto rekayasa. Foto Anjasmara dan Elisabeth yang telanjang. Itu karya kolaborasi Dany Linggar sama Agus Suwage. Nah, kalau kau baca editorial koran..., ah... entah koran apa itu, aku lupa namanya. Disitu disebutkan, mereka, maksudku koran itu, setuju dengan tindak pelaporan FPI. Alasannya, karena negara kita negara hukum. Segala sesuatu harus melalui aturan, ada prosedur hukum, tidak asal hantam, tidak asal-asalan ganyang. Tapi, seingatku pula, seorang temanku sempat berkata, di negeri ini sebenarnya bayi lahir sudah tidak lagi menangis. Aneh. Ah, tapi apapun itu, aku agak bersependapatlah dengan editorial koran yang kulupa namanya itu."
(Aku menarik nafas pelan tapi panjang. Kuhembuskan dengan ketukan yang tak jauh berubah dari saat awal aku menghirup ke dalam rongga dada. Aku lupa, apakah ini yang benar ia ucapkan, atau...)


"Tapi, aku curiga. Sebenarnya, ada apaan sih? Apa pula pasal FPI mengadu ke polisi? Semampunya aku mencari tahu, lalu menjadi sok tahu berdasarkan informasi yang sebenarnya aku tidak tahu pasti bagaimana mereka, maksudnya pemberi informasi itu, mendapatkan fakta. Tapi setidaknya, bermodal ragam infotainment ataupun info-tak-tainment, kudapatkan ihwal pelaporan. Sebabnya, foto rekayasa itu memiliki kencenderungan untuk menodai suatu agama tertentu. Memang ada sih alasan lain yang disampaikan. Tapi, aku kira alasan itu hanyalah sempalan saja. Dibuat sebisa-bisanya saja, menambah kesalahan. Dibilang, itu Anjasmara dan Elisabeth kan selebritis, public figure, dan macamlah predikat tak jelas, yang tak kumengerti. Terus, karena mereka itu selebritis, artis, public figure, tak bolehlah berbuat tak senonoh juga seronok begitu. Anjas sama Elisabeth itu jadi panutan publik, apa yang mereka lakukan, ada kemungkinan ditiru publik. Anjasmara dan Elisabeth tidak boleh menjadi pelopor tabiat selangkangan (Eh, kau ingat pula bukannya aku mendorong mereka berdua untuk menjadi pelopor tabiat selangkangan, tapi kau dengar dulu lanjutanku). Jelaslah taik kucing. Emang, kalau Anjasmara itu siapa. Dan, publik mana pula yang menjadikan Anjasmara panutan. Logika macam apa yang dipakai untuk menalar bahwa Anjasmara cocok diposisikan sebagai teladan. Padahal, publik cuma tahu Anjasmara itu lewat tokoh yang ia perankan. Anjasmara sebagai Encep, Anjasmara sebagai Romi, Anjasmara sebagai..., ah entah siapa lagi, yang pasti Anjasmara bukan sebagai Anjasmara. Tapi, lakon! Bukankah ini kedunguan terbesar. Baik yang membuat statement, yang menyebutkan Anjasmara itu panutan; atau mereka yang menjadikan Anjasmara panutan hanya karena menonton sinteron Cecep, atau yang lain. Kedunguan. Ketololan. Kebodohan. Dan, pelaporan itu didampingi oleh seorang pengacara, yang entah siapa namanya, yang mengikutsertakan, ini kalau aku tak salah, statement Anjasmara panutan. Pengacara dungu. Buat apa dia belajar hukum, bila lojik berpikirnya pun ngacau sengacau-ngacaunya hingga bagiku ia tampak meracau balau."
(Aku menguap. Kepalaku berbantun, mengantuk dinding kamar.)

"Lah, bagiku alasan sempalan itu menyimpang dan tak perlu diperdebatkan. Soalnya, kalau berdebat itu, tidak akan ketemu kebenaran. Jalannya saja sudah menyimpang, bagaimana ketemu jawaban. Jadi, yang utama itu alasan pertama. Foto itu diindikasikan menyindir, menodai suatu agama. Disebutkan, ini lagi-lagi dalam artikel yang kubaca; dan lagi-lagi aku lupa berasal dari mana, foto Anjasmara dan Elisabeth mencitrakan Nabi Adam dan Hawa ketika berada di Taman Firdaus. Nah, kalau ini aku kagum. Luar biasa. Bagaimana FPI berpikir, ah..., katakanlah menafsirkan gambar foto tersebut hingga ke level itu. Sebab, aku sendiri pun belum tentu dapat memaknainya dengan perspektif tersebut. Paling banter, aku cuma bilang: 'Gimana sih caranya ngebuat foto begini.' Atau 'Idenya gila ih...' Atau 'Anjing!!!' Sekali lagi, luar biasa. Imajinatif sekali cara mereka menafsir. Tapi, sayangnya entah mengapa menjadi menodai agama tertentu aku tak tahu jelas muasalnya. Yang pokok, itu foto rekayasa, ingat foto rekayasa, sudah disimpulkan menodai agama tertentu dan harus dihentikan itu pameran. Anjing! Tai' banget ga'?"
(Entah mengapa, aku cuma terangguk-angguk. Mataku kembali layu. Seakan palu godam karet menghantam kepalaku. Dan ia, masih terus berceloteh,... seingatku samar.)

"Aku jadi mikir. Apakah benar, agama dapat dijadikan landasan mengklaim, menilai, sesuatu itu salah, tidak tepat, bahkan amoral. Benarkah demikian? Perlu kau tahu, aku bukan dalam posisi meniadakan unsur agama dalam perikehidupan sehari-hari. Sebab, agama sebagai dialog antara Khalik dengan karya-Nya, juga berpotensi menghorisontal , antar sesama buatan-Dia. Tapi, disini kita berbicara foto rekayasa sebagai seni. Itu batasan yang harus diingat. Seni. Seni. Seni. Seni. Seni. Sekali lagi. Seni!"
(Ia mencengkram erat bahuku. Menggetarkan, seperti hendak memecahkan tubuhku. Aku cuma bergoncang. Kepalaku bolak-balik mengantuki dinding. Aku membandul, maju dan mundur, lalu memukul dinding berbahan batu, bunyinya: tengg...., tengg.... tengg....)

"Nih, berdasarkan literatur yang aku baca, tapi aku lupa lagi buku apa itu, dan siapa yang menulisnya. Yang pasti aku pernah baca, serta mengingat sedikitlah. Dibilang buku itu ke aku, agama memiliki peran sebagai media menuju kebenaran. Agama, jalan kebenaran. Tapi, ini tambahan yang kuberi, ketika agama dipergunakan untuk menilai segala sesuatu di luar porsinya, maka bukan kebenaran yang didapat, malah kebanalan, kedangkalan, kecetekan, ke-tak-rasional-an, kesewenang-wenangan, kesemena-menaan. Sebab, sepengingatan aku, ragam jalan menuju kebenaran. Ada yang melalui ke-ilmu-an, ada yang melalui filsafat, ada juga yang melalui seni. Kalau lewat jalan ilmu, kebenaran empiris, ilmiah. Filsafat itu, lagi-lagi menurut buku yang kubaca, lewat perenungan. Nah, kalau seni itu mengenal kebenaran melalui perasaan.
Lha, wujud rasa inilah yang abstrak. Masalah timbul, ketika apresiator yang tidak memiliki latar belakang ilmiah seni, atau bakat interpretasi karya, mendadak menilai dengan klaim mutlak dan tak mau berdialog. Tentu saja, tindakan FPI mengapresiasi tidak salah. Yang salah, tindak pelaporan hukum. Aku tidak suka! Bayangkan, pameran itu pun sampai dibatalkan. Dihentikan dari jadwal semula. Kuratornya, Jim Supangkat, ini lagi-lagi kubaca artikel entah dari mana, merasa sedih. Anjing engga? Jadi, ketika mereka menfasir tidak salah, menyimpulkan tafsir juga tidak. Tapi, kalau sudah menjadikan itu klaim mutlak dan mengadukan ke muka hukum yang tidak tahu dimana berada mukanya, itu menjadi grhh... Menurut, lagi-lagi bacaan yang entah apa itu, kawan kuharap kau bersabar menghadapi isi ingatanku yang payah ini, eksekusi akhir dari karya seni adalah indah atau tidak. Bagus atau jelek. Perlu dicatat, eksekusi akhir seni yang dibuat manusia, bukanlah berada dipilihan dosa atau tidak; sebab otoritas dosa itu berada di kepala-Nya. Bukankah Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) dari kepolisian pun berubah sebutan jadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Sebenarnya, fenomena pelarangan ini sudah berlangsung lama. Misal, pelarangan film 'Buruan Cium Gue!!!', pelarangan terbitnya buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, pelarangan pementasan teater Marsinah oleh Satu Merah Panggung-nya Ratna Sarumpaet, atau pergelaran Bengkel Teater Rendra, pentas puisi Wiji Thukul, juga pencekalan goyang nge-bor Inul, atau cerpen Langit Makin Mendung-nya Ki Panji Kusmin, yang sampai menyeret Hans Bague Jassin bersaksi di pengadilan; juga beberapa kasus di luar negeri, semisal pelarangan novel 'Satani Verse' Salman Rusdhie, Dan Brown dengan 'Da Vinci Code' yang dikecam gereja Vatikan, atau 'Animal Farm' karya George Orwell, dan masih ada yang sejenis lain.
Jelaslah intinya, bermuara pada kekuasaan. Kekuasaan yang terancam, menyebabkan timbul kerja represif. Kerja menekan, memeras, menghancurkan yang bersuara beda. Tapi, memang demikian seharusnya sebuah karya seni. Ia memang diwajibkan menawarkan suatu nilai baru kepada masyarakat. Dan, masyarakat yang tidak siap, membangun sistem pertahanan, mengeluarkan serum anti-bodi untuk mengebiri keampuhan nilai baru itu. Sederhananya, ibarat virus H5N1, yang membuat para pakar bekerja keras, karena kekuasaan manusia di bumi bakal berakhir karena virus ini menawarkan cara cepat dunia menuju kiamat.
Itulah yang berbahaya. Ketika simpulan final interpretasi mewajibkan sebuah karya mengalami intimidasi. Sebetulnya, jika apresiatornya menyadari tugas seorang seniman, ini lagi-lagi aku ambil dari buku, yang lagi-lagi aku tidak ingat siapa dan apa buku itu, tugasnya adalah menawarkan nilai baru. Memang, aku tidak naif. Ada sedikit keyakinanku yang berkata, 'Ada juga sih seniman yang tidak mikirin nilai baru.' Soalnya, ada dua mainstream besar di dua seni. Seni untuk seni dan seni untuk masyarakat. Tapi, dalam tingkatan praksis, itu semua menjadi luruh. Pilihan itu ada hanya didalam diri seniman. Bagi penafsir, ia bebas berjalan. Lagian, kan ada yang namanya kurator. Kurator itulah menjadi jembatan penghubung antara karya dengan publik penerima. Kurator itu seperti nomor telepon. Nomornya dulu kita tekan, baru tersambunglah kita ke tujuan. Dan, untuk menjadi kurator ada disiplin keilmiahan yang harus mereka pelajari. Berarti, publik penyerap, apalagi yang tidak punya latar seni atau latar nyeni, lebih baik mendengarkan ucapan kurator. Ada juga kok kenikmatan tersendiri mendengar ahlinya bicara. Tapi, kalau ada latar seni atau latar nyeni, bolehlah ia sedikit beradu argumen dengan kurator itu. Tapi, eksekusi akhir tetap jadi ke pribadi. Sebab seni itu, demikian mutlak sehingga ia harus rela di-realitif-kan. Nah, untuk kalimat ini, aku tak punya penjelasan panjang lebar. Yang jelas, aku tak suka karya dilarang-larang. Memangnya, kalau sudah dilarang, lantas yang namanya pornograpi itu, hilang. (Padahal, pornograpi itu sendiri yang bagaiman tak jelas juga ia punya rupa.) Benar, kalau aku tak salah ingat ada seorang ahli hukum yang berujar, lagi-lagi aku lupa siapa dia, dimana dia ngomong, tapi ujarnya kira-kira begini, 'Hukuman mati jelas mengurangi kejahatan. Karena, dengannya satu penjahat berkurang.' Lantas, apakah benar demikian? Ah, tak tau-lah aku."
(...............)

No comments:

Post a Comment