House Of Blues

(Pertama, saya mengajukan maaf, terutama pada yang empunya cerita; sisanya pada pembaca. Sebab seluruh tulisan yang bakal Anda baca merupakan kutipan tak-utuh, semampu saya mengingat apa yang tertulis, apa yang terucap, dari pencerita. Hak cipta berada di tangan yang punya cerita. Saya cuma mencuri saja!)

Di rumah, nama aku, Eka. Di luar rumah, nama aku, Eko. Di luar kota, aku dipanggil Eki.

Sekarang, aku Ketua Asosiasi Pedagang Kopi Se-Jatinegara. Di rumah kontrakan sisa peradaban jaman Belanda, aku buka usaha. Bagian beranda hingga pekarangan yang berlantai ubin, aku buat kedai kopi; lengkap dapur mini berkanopi; tiga meja bertapalak kain motif petak enam-empat; tentulah bersama kursi plastik tanpa sandaran, warna seragam, hijau.
Bagian dalam, ruang tamu, digubah menjadi toko buku. Ada lima rak buku, satu kloset duduk, satu meja kasir yang dilengkapi dengan satu unit komputer serta seperangkat saun sistem yang bergunan untuk menyuarakan ratusan lagu yang tersimpan dalam file MP-3; dan 2000-an koleksi buku.
Agak ke dalam, ada semacam ruang multi-fungsi, berada di balik kayu tiga lapis, pembatas antara dengan ruang jual buku. Bisa sebagai ruang pertemuan, juga ruang peristirahatan, bahkan ruang belajar, sebab dilengkapi dengan satu meja kaca bulat dengan empat kursi yang berbahan alumuniun menuju besi.
Setelah ruang multi-fungsi, baru kamar tidur.
Paling sudut rumah, pojok barat daya, kamar mandi. Satu kloset jongkok, satu bak penampungan air berisi satu ember besar yang juga berfungsi menampung air, semuanya berwarna biru serupa warna air laut.
Nah, sisa ruang yang ada, berantakan. Ada satu televisi empat belas inci (yang sudah rusak karena tersambar petir, sebab ketika hujan lebat turun, aku lupa mematikan listrik. Memang, ketika hujan lebat turun, aku bergegas memutus semua aliran listrik ke peralatan elektronik. Komputer, kipas angin, lampu, sudah aku padamkan. Kala itu, aku merasa ada yang masih kurang. Kira-kira apa ya? Nah, ketika tersadar, tipi pun meledug. Ya, sudah. Apes.), tangga kayu, kain spanduk, meja, kursi rusak, piring kotor, juga jemuran.

Sebelas bulan lalu, aku mulai buka kedai. Tapi, di enam bulan pertama, yang datang cuma satu-dua saja. Kebanyakan orang cuma melintas di jalan depan, entah hendak menuju Kampung Melayu atau Stasiun Kereta Api Jatinegara.
Di bulan ke-tujuh, kedai menggeliat. Sudah ada yang membeli secangkir kopi, indomie, indomie telor, burger, sosis, atau roti bakar.

Dulu, di bulan ke-berapa, ada orang datang ke kedai kopi aku. Menanya: Ada apa. Aku jawab: Tidak ada apa-apa. Orang menanya lagi: Di kedai aku tersedia apa saja. Kopi: kata aku. "Mau," aku menawar. Orang itu menggeleng, lalu menanya lagi: Kalau didalam apa, seraya kepala orang itu bergerak mengarah ke ruang tamu persis lenggok penari memainkan ruas belulang leher. Buku: kata aku. Seizin aku: Silahkan lihat saja. Orang itu pun masuk ke ruang toko buku. Dan, sekeluar orang itu dari toko buku, orang itu marah kepada aku. Orang itu marah: Jual Pram, kok tidak bilang-bilang. Lantas, aku beralasan, orang itu tidak menanyakan hal itu. Orang itu pun langsung duduk, memesan secangkir kopi. Selesai minum, orang itu pulang. Orang itu membayar Rp37.000; Rp34.000 untuk satu buku Pramoedya Ananta Toer, yang aku tidak ingat berjudul apa, sisanya secangkir kopi hitam asal Kalimantan. Kapan-kapan aku datang lagi: janji orang itu.

Sekitar delapan ratus meter, ke arah timur, di jalur jalan berportal seberang kedai aku, lokasi prostitusi gelap. Gelap karena beroperasi tiap malam hari, gelap karena beroperasi tanpa izin resmi. Biasanya, sekitar jam duabelas-an malam, ada saja perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun berkemeja putih. Mereka, menunggu dua orang teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaki bertubuh tambun dengan kulit gelap. Setelah dua teman perempuan dari perempuan yang dibonceng lelaku bertubuh tambun itu datang, motor roda dua itu pun dipacu, ditunggangi empat manusia menuju arah utara, arah ke Stasiun Kereta Api Jatinegara. Terkadang, mereka mampir dahulu, entah membeli sebungkus rokok Sampoerna Mild, atau bertanya: Ada apa di dalam rumah. Lantas, kalau sudah aku berikan apa yang mereka minta, entah itu rokok pesanan atau jawaban ke-ingintahu-an, mereka pun gampang angkat kaki, pergi.

Pernah suatu ketika, jeger kampung datang ke kedai aku. Perawakan dia tegap, se-kreket, tato se-gambreng. Umur dia, pengakuan jeger kampung, enam puluh tahun. Istri dia, pengakuan jeger kampung, tiga. Dia nanya: Aku jual apa. Aku jawab: Kopi. Dia nanya lagi: Ada bir ga'. Aku jawab: Tidak. Dia menyarankan, agar aku menjual bir juga. Itu syarat minimal berdagang di dekat lokasi prostitusi. Selain bir, anjuran dia: Mansion, Jack Daniel, Topi Miring, Contreau, Chivas Regal, Cognac, Jhonnie Walker dan Martini. Soal keamanan, dia berani menjamin. Saya pasang badan, kalau ada polisi atau koramil datang: janji dia. Aku jawab: Tidak bisa. Dia nanya: Kenapa.
Aku jawab:
Aku sudah lama tidak minum alkohol. Kalau dulu, boleh. Mau minum apa saja, masih bisa. Sekarang, badan aku sudah tidak kuat lagi nerima alkohol.
Dia ngomong:
Alkohol itu buat dijual sama orang lain. Dan, (aku) tidak usah meminum.
Aku jawab:
Itu pertama. Kedua, aku sudah jatuh kata. Ke bawah sama ke atas. Ke bawah, aku tidak ingin ada setetes pun alkohol yang mengikut aku ke dalam tanah. Ke atas, aku janji tidak meminum setetes pun, apalagi menjual. Nah, karena aku suka ngopi, aku jual kopi saja. Aku bisa buat kopi, bagi aku enak rasanya. Dan, aku buatin sama orang. Enak juga. Buktinya, kopi buatan aku habis. Itulah keahlian aku.
Dia pun lantas memesan kopi. Kata dia: Kalau begitu, aku pesan kopi. Aku buatkan dia kopi-mix instant, sesuai pesanan. Selesai minum, dia menanyakan harga. Niat aku ingin menggratiskan, aku utarakan. Dia, marah. Tidak! Berapa harganya: bentak dia. Aku pun langsung memberitahu. Seribu: kata aku. Dari saku celana kanan, dia mengambil selembar uang seribu. Sebelum pergi, dia berkata: Nanti, aku datang lagi. Sama istriku!: dia berjanji.

Saat lain, polisi singgah di kedai aku. Mereka duduk, nge-rekap surat tilang. Mereka pesan minuman. Ada yang pesan kopi, teh manis, juga indomie rebus pakai telor. Lantas, salah satu dari mereka bertanya: Di dalam apaan. Buku: jawab aku. Salah satu dari mereka bertanya lagi. Buku apa? Aku menjawab bahwa buku yang aku jual kebanyakan sastra. Salah satu dari mereka mengangguk, berkata: O. Lalu, salah satu dari mereka menanyakan harga semua pesanan. Aku menjawab: Semua, tujuh rebu lima ratus. Salah satu dari mereka membayar dengan uang sepuluh ribuan. Aku kembalikan dua lembaran uang seribu dan sekeping uang lima ratus. Mereka pun pergi.

Yang paling parah, beberapa bulan lalu. Ada orang datang. Namanya, Erwin. Pekerjaan: musisi. Sering manggung di Slipi, Blues Bar. Kadang di Batavia Cafe, dan tiap Rabu mengisi acara Blues Night di TVRI. Erwin itu marah sama aku. Sebabnya plang rumah di pintu masuk toko buku. Tulisannya: H-O-U-S-E O-F B-L-U-E-S. Bahan tiap-tiap huruf, besi bersepuh emas. Erwin bilang: Kok berani-beraninya aku meletakkan tulisan itu di tembok rumah, tepat di atas pintu masuk toko buku. Apakah aku tahu artinya: tanya Erwin. Erwin menyuruh aku mencabut plang berisi tiga barisan kata-kata tersebut. Alasan Erwin, aku tidak layak memajang tulisan itu bila aku tidak mengadakan acara berbau blues. Erwin bilang: Blues itu religi. Erwing bilang: Kalau aku berani memampangkan tulisan itu, aku harus berani mengundang musisi blues mampir ke kedai kopi aku. Erwin tanya: Aku bisa main gitar tidak. Erwin tanya lagi: Sudah berapa buku blues aku baca. Erwin tanya lagi, apakah aku mengenal nama musisi blues yang Erwin sebutkan. Semua pertanyaan itu aku jawab: Tidak, Sedikit, Tidak ada, Tidak. Erwin makin marah. Plang itu semakin tidak layak menggantung di rumah kontrakan aku, menurut pendapat Erwin. Erwin mengancam: Besok aku datang, palng itu harus sudah tercabut.
Aku jawab:
Perlu waktu duapuluh tahun aku mendapatkan plabg bertuliskan 'HOUSE OF BLUES' itu. Mulai dari meminjam uang sedikit demi sedikit, hingga menabung seperak-dua perak. Itu sejak dulu, duapuluh tahun lalu. Awalnya, palng hendak berisi tulisan 'HOUSE OF RISING SUN'. (Judul lagu kelompok band Animals.) Itu karena, rumah kontrakan aku ini merupakan rumah yang pertama kali terkena sinar matahari pagi di jalan ini. Jadi, aku berharap ada kehangatan, ada harapan yang selalu terbit di rumah kontrakan aku ini. Tapi, sewaktu membeli huruf-huruf besi itu di Carefour Jalan MT. Haryono, uang aku tidak cukup. Bersama seorang teman, aku duduk di pelataran luar Carefour. Tulisan itu pun diutak-atik, disesuaikan dengan kemampuan uang yang aku punya. Aku hanya punya uang Rp60.000. Teman aku mengusulkan: Buat 'HOUSE OF BLUES' saja. Alasan teman aku: Aku penyuka musik blues. Aku setuju. Jadilah huruf-huruf kalimat tersebut aku beli, lalu aku susun di atas plang besi hitam, dan aku pampangkan di tembok atas pintu masuk ruang toko buku. Rencananya, tulisan itu nanti berpigura tanaman merambat yang aku tata melengkung memenuhi tembok tempat pintu masuk. Menyerupai kubah, niat aku.
Erwin bertanya: Apakah aku punya gitar. Aku punya, dan mengeluarkan gitar yang tersimpan di dalam ruang multi-fungsi yang berada agak di dalam rumah. Aku memberikan gitar itu kepada Erwin, untuk Erwin mainkan. Erwin pun memainkan musik blues dengan mata memejam. Erwin sempat bertanya: Ada bir tidak. Aku jawab: Tidak. Erwin pun bermain gitar lagi. Tiba-tiba Erwin bilang: Minimal aku harus menyetel musik blues di kedai ini. Itu baru melayakkan rumah kontrakan aku ini menjadi 'House Of Blues': kata Erwin. Sebab: Di Indonesia, belum ada tempat yang bernama House Of Blues. Itu penjelasan Erwin. Permintaan Erwin pun aku penuhi. (Sesekali waktu aku menyetel musik blues. Apalagi kalau Erwein singgah mengaso sebentar sebelum pulang ke Ciracas, sehabis manggung. Biasanya, sebelum pulang Erwin bilang: Sekali waktu aku menonton saat Erwin manggung. Mengenai tiket masuk atau apapun, Erwin yang bayar. Janji Erwin. Aku cuma menjawab: Kalau sempat bolehlah. Aku berkeinginan.) Saat asyik bermain gitar, tiba-tiba lagi Erwin berkata: Bisa ngebakar gress ga di kedai aku. Aku jawab: Lebih baik jangan. Erwin pun mengikut. Erwin main gitar sampai puas, dan aku terkesima. Lama berselang, Erwin pulang. Kapan-kapan, aku datang lagi: Erwin berjanji.

Di kedai ini, aku menjual kopi. Sesekali aku menyetel musik, mulai dari hard rock, heavy metal, rock 'd roll, jazz dan blues. Siapa yang datang, silahkan memesan menu makanan atau minuman yang ada, jangan mencari yang tidak ada dan tidak aku perbolehkan ada; juga melihat ke dalam ruang toko buku; atau sekadar cuma duduk di kursi plastik hijau tanpa sandaran sebentar. Kalau siapa yang datang mau bercerita, aku menyilahkan. Aku bisa berperan sebagai pendengar. Kalau siapa yang datang cuma mau berdiam, aku memperbolehkan. Kalau siapa yang datang tiba-tiba setuju bekerja sama untuk menghasilkan uang dengan berusaha bersama, aku mempersilahkan. Aku tidak akan meminta persenan. Aku malah bersyukur, siapa yang datang malah mendapat rezeki dari kedai kopi aku ini.

Aku cuma menjual kopi. Pilihan yang aku tetapkan sepulang dari Tanah Suci.

1 comment:

  1. gak tau kenapa, kok jadi teringat penjual kristal dalam kisah sang alkemis ya... tapi kedainya beneran ada kan?

    ReplyDelete