Secangkir kopi sudah terhidang. Aromanya meruap bersama asap yang mengambang melayang. Ia pun membuka komputer tenteng, lalu mulai mengetik. Kalau aku tak salah, baru kali ke-enam jarinya menjentik tuts kibor, ia berhenti. Lalu, ia memegang telinga cangkir Vienna, mengangkat perlahan menuju ke bibir. Bibirnya menipis seraya meniupkan udara, hendak mendinginkan kopi. Setelah dirasa cukup, ia pun mulai mencecap perlahan. Dengan mata memejam, ia hempaskan senyum lepas yang membayang di pelataran wajah. Ia menarik nafas sedalam mungkin, seakan berniat memasukkan sebongkah batu karang ke dalam rongga dada. Lalu, dengan tawa seringai, ia belalakkan kelopak mata, dan! membanting cangkir. Prang!, setidaknya seperti itulah bunyi derai kaca pecah.
Lagak tenang, ia pun melanjutkan mengetik kembali. Aku tak pernah mengetahui apa yang sedang ia tulis. Gugup, aku memberanikan diri melangkah, menanyai ia. Pertama, aku mengajukan kata: Maaf. Lantas, bersambung kalimat: Mengapa kau pecahkan gelas itu. Seusai bertanya, aku hanya bisa mengingat ia mengalihkan mata ke aku, dengan alis merendah. Seakan ia mengintai. Begitu tajam dan dekat. Usai memindai, ia pun berpaling ke laku awal. Memesan secangkir kopi.

No comments:

Post a Comment