Foucault/Jabulani


Di kepala Foucault, obsesi kepastian yang dikonstruksikan sekaligus disempurnakan, mulai dari Descartes hingga Hegel, rontok seketika. Foucault—dengan gagasan genealogi yang berakar pada pandangan nihilisme Nietzche—membongkar kerapuhan bahkan keringkihan konsep ‘subjek’ yang menjadi landasan bagi setiap kepastian ilmu pengetahuan, juga kebenaran. Subjek merupakan konsepsi ampuh pendobrak kebekuan paradigma teosentris pada babak Abad Pertengahan. Melalui subjek, paradigma teosentris pun bergeser ke sentrum antroposentrisme. Antroposentrime merupakan gagasan yang menempatkan manusia sebagai penentu masa depan bagi dirinya sendiri tanpa kehadiran entitas lain yang bersifat suprahuman. Pergeseran sentrum teos ke antropos ditandai oleh mantra sakti filsuf Francis Bacon: Power is Knowledge. Sastrawan Radhar Panca Dahan menterjemahkan mantra Bacon dalam satu kata sederhana (dan menyebalkan): Data.

Foucault memproklamasikan ketiadaan subjek. Bertahun-tahun ia menghabiskan waktu untuk mempelajari dan meneliti apakah ada yang disebut subjek dalam setiap arsip yang ia sigi. Penelitian telaten Foucault membuahkan kesimpulan yang mencengangkan. Tidak ada subjek(!) sebagaimana yang dimaksudkan para filsuf pendahulunya.

Ketiadaan subjek merupakan temuan yang tidak hanya menggemparkan semesta epistemologi, melainkan juga menjalar menjelman badai-gempa-banjir-dan-halilintar pada semesta ontologi. Metafisika, yang semenjak masa Renainssance, berpusat pada epistemologi mendadak berguncang. Subjek sebagai elemen fundamental untuk menentukan substansi realitas yang tetap, bagi kepala dan lidah Foucault adalah ilusi belaka. Subjek tak lagi menjadi lokus ontologis, juga epistemologis, juga aksiologis. Foucault bilang: subjek hanyalah efek belaka, “l’effet c’est moi.”

Bila Nietzche menggemakan “Tuhan sudah mati,” Foucault meneriakkan “Manusia sudah mati.” Manusia merupakan gagasan yang ditopang konsepsi subjek. Kehancuran subjek berarti kehancuran manusia. Bersamaan dengan runtuhnya paradigma epistemik-metafisik-aksiologis berpusat subjek yang tetap, Foucault membangun paradigma baru berfilsat, yakni relasi kuasa. Relasi-kuasa menjadi lema kunci bagi pemikiran Foucault. Sama seperti Jabulani. Jabulani, kata kunci paling utama mendahului semprit peluit di Soccer City, Johannesburg.

Rontoknya subjek berarti roboh juga rasio yang menjadi akar bagi segala ilmu pengetahuan. Foucault menumbangkan rasio dengan hasrat, hasrat untuk berkuasa dan hasrat untuk mengetahui. Duo hasrat inilah yang berperan mendefinisikan sekaligus mengubah realitas sosial. Diskursus menjadi wahana bagi duo hasrat memanifestasikan diri. Pertarungan pun menjadi peristiwa kunci untuk memahami realitas sosial, dan kontingensi menjadi kosmos peradaban Foucauldian.

Tanpa subjek dengan rasio, ilmu pengetahuan tidak lagi dikenali semata-mata sebagai obsesi manusia untuk mendapatkan kebenaran yang bebas nilai, kebenaran yang sejati, yang tak terbantahkan, kebenaran yang berlaku universal, tunggal. Duo hasrat sudah menelanjangi ilusi rapuh rasio. Duo hasrat menunjukkan bahwa kebenaran mengandung kekuasaan. Kebenaran ditopang oleh kekuasaan. Kekuasaan ditopang kebenaran. Diskursus merupakan wahana bagi logika kebenaran dan logika kekuasaan bekerja. Diskursus mengarahkan setiap peristiwa yang akan datang dalam kerangka logika produksi dan logika kepatuhan. Kepatuhan menciptakan produktifitas; barangkali Anda ingat bagaimana Mourinho menerapkan strategi catenaccio yang menyebalkan itu dalam pertarungan Liga Champion yang baru saja berlalu. Sebuah kepatuhan menghasilkan produktifitas, kemenangan! Sebuah kemenangan adalah realitas!

Foucault sudah menghilangkan subjek. Diskursus menjadi arena bagi setiap kebenaran dan kekuasaan bertemu dan saling berkontestasi. Secara ontologis, diskursus bekerja tanpa mengandaikan adanya subjek yang tetap. Diskursus bekerja dalam logika space of flows. Ya, seperti Jabulani! Siapa yang menyangka kalau Italia bakal tersingkir? Begitulah space of flows unjuk gigi.

Jikalau menggunakan paradigma subjek modern, pertarungan antara Italia dan Slovakia menempatkan Italia sebagai pemenang. Italia adalah subjek sekaligus penguasa di lapangan hijau sepakbola. Slovakia hanya tim kelas kambing, yang tidak mungkin menjadi tim kelas singa macan leopard. Italia dan Slovakia sebagai subjek sudah merupakan sesuatu yang fix, tetap, tak berubah. Tetapi, kenyataan memberikan pembuktian yang membuat Papa Lippi merajuk keluar lapangan setelah Fabio C. kalah 2-3 dari Slovakia.

Dalam kerangka pemikiran Foucauldian, Jabulani adalah representasi dari space of flows. Tidak ada subjek di setiap pertandingan. Antara dua tim dihubungan oleh suatu relasi yang bekerja dengan logika kebenaran dan logika kekuasaan untuk menentukan realitas akhir pertandingan. Tanpa adanya Jabulani yang merupakan representasi dari relasi kuasa Foucauldian, niscaya dapat dipastikan tidak ada subjek. L’effet c’est moi. Dalam pemikiran Foucauldian, sepakbola adalah representasi dari matinya subjek, munculnya relasi kuasa. Gol sebagai peristiwa dipandang sebagai diskursus yang tiada habis ibarat laju alir Jabulani dari satu kaki ke kaki lain naik ke kepala lalu hingga ke tangan penjaga gawang untuk kemudian dilempar ke tengah lapangan dan melalui umpan satu-dua yang manis serta menawan Jabulani bersarang di sebuah gawang. Ketika itu, realitas sosial yang baru pun berbentuk. Sebelum semprit berbunyi, setiap pemain sudah menyalakan hasrat akan kebenaran dan hasrat akan kekuasaan dalam bentuk strategi yang akan diterapkan, keterampilan mengolah dan mengelola bola, kecerdikan menangkap peluang entah untuk melakukan kesalahan tanpa diketahui wasit atau menyelinap melepaskan diri dari jebakan offside, atau melakukan manuver psikologis untuk memanas-manasi emosi lawan hingga menghasilkan peristiwa Zidane-Matterazzi jilid II. Logika kekuasaan yang bermain dalam pertandingan sepakbola memang memungkinkan aparatus taboo sebagai logika eksternal reproduksi diskursus untuk diterjang sejauh setiap pihak penerjang bersedia menanggung hukuman jika ketahuan oleh wasit (ah, Tuhan masih memberkati Maradona hingga saat ini. Saya cukup ngeri juga membayangkan peristiwa a la Maradona terjadi dalam dunia politik.). Bagi pemain, logika kekuasaan tidak dapat dibatasi; namun bagi wasit, logika kekuasaan memiliki instrumen lain, yaitu hukuman. Hukuman, l’effet c’ewt moi.

Di hadapan Jabulani, Italia dan Slovakia bukanlah apa-apa. Di hadapan Jabulani, kesebelasan Italia atau kesebelasan Slovakia tak ubahnya dengan para pendukung fanatik masing-masing kesebelasan yang dapat dirangkum dalam kata: anonim. Uniknya, dalam anonimitas inilah subjek muncul sebagai efek. Sebagaimana ulah para komentator yang merasa sudah mengetahui hasil pertarungan dengan menganalisa dokumentasi pertandingan yang pernah terjadi sebelumnya—tanpa menyadari bahwa dokumentasi sejarah atau arsip merupakan modus diskursus Foucauldian bermanifes. Atau orang-orang yang dengan segala perhitungan rasional mempertaruhkan sejumlah uang, tanpa menyadari bahwa tindakannya sesungguhnya berlatarkan motif pemuasan hasrat belaka. Jabulani adalah momen di mana yang haram dan yang halal—sebagai kategori penting dalam logika eksternal reproduksi diskursus Foucauldian—tampil dan semua menjadi terpesona untuk kemudian menjadi sadar bahwa ada yang tak bisa diubah. Maradona menciptakan gol dengan (dibantu) tangan: sebuah diskursus yang juga direproduksi Henry hingga menyebabkan Perancis lolos ke putaran final Piala Dunia 2010, meski harus pulang dengan memikul bencana kekalahan serta perpecahan. Taboo, l’effet c’est moi. Adieu!



Pustaka Utama:

Mills, Sara., Michel Foucault, (London: Routledge, 2003)