PARENTAL ADVISORY: KEBODOHAN YANG TAK BOLEH BELAJAR

Film 'Pocong' karya Rudi Soedjarwo dinyatakan tidak lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Alasannya, berdasarkan Koran Tempo edisi Selasa 17 Oktober 2006, ada 9; diantaranya tidak bersesuaian dengan norma kesopanan, menonjolkan adegan kekerasan dan kekejaman lebih dari 50 persen, hingga terkesan kebaikan dikalahkan kejahatan. Ketua LSF Titie Said menambahkan pula dampak dari film itu. Menurut dia, film itu dapat membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei 1998.

Persoalan tidak lulus sensor mengartikan satu hal pokok, yakni ketidak-layakan tayang. Mengingat kata 'ketidak-layakan', saya terkenang pernyatan Franz Magnis Suseno di tahun 2003, tentang etika. Persoalan rumit itu disederhanakan menjadi satu kalimat sederhana: tidak semua hal yang dapat dilakukan (baca: kebebasan) boleh dilakukan (baca: tanggung jawab). Pencitraan praktis dari inti etika tersebut, kira-kira: meski semua manusia berpotensi (baca: dapat) membunuh, tapi kerja membunuh itu sendiri tidaklah layak dilakukan. Bila ditarik lebih panjang, persoalan ini bermuara pada kebebasan bertanggung-jawab. Seseorang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan yang dilakukan hanya bisa terlaksana apabila yang bersangkutan memiliki kebebasan memilih tindakan.

Kembali ke soal film 'Pocong' yang berbiaya Rp3 miliar ini. Untuk pertama kalinya, film ini haruslah dilihat sebagai salah satu mode ekspresi kesenian, diantara sekian banyak mode ekspresi kesenian lainnya, seperti sastra, suara, lukisan, teater dan lainnya. Dan, dunia ekspresi kesenian ini pada dasarnya berlandaskan kebebasan atau semesta probabilitas. Karena itu pulalah maka seniman memiliki keleluasaan 'boleh melakukan apa saja'. Namun, adanya keleluasaan ini tidak mengandaikan bahwa seniman menihilkan soal etika dalam berkarya. Seniman tetap memiliki standar etika, yang saya sebut dengan 'institusi etika prifat'. Di dalam 'institusi etika prifat' inilah tersimpan mana yang boleh dan tidak. "Institusi etika prifat' ini pulalah yang memungkinkan Rudi Soedjarwo menghasilkan film 'Pocong'.

Keberadaan 'institusi etika prifat' didalam diri Rudi terbukti melalui pembelaannya sendiri. Menurut Rudi--masih dalam artikel Koran Tempo edisi Selasa 17 Oktober 2006--film Holywood dan tayangan televisi lebih sadis dari film 'Pocong' yang ia buat. Tidak hanya itu. Film 'Pocong' pun disebut Rudi memiliki pesan moral, yakni 'kita harus lebih takut kepada manusia daripada kepada setan'. Pembelaan ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Rudi atas pilihan dan kebebasan ekspresi yang dia miliki.

Memang, selama film 'Pocong' dibuat untuk konsumsi sendiri, keperluan pribadi, maka tidak akan pernah ada masalah muncul. Tapi, ketika film ini hendak masuk ke ruang publik, masalah timbul. 'Institusi etika publik' menyaring hasil 'institusi etika prifat'. Kategori layak atau tidak pun bermain.

Dari perspektif ini, terlihat jelas bahwa LSF berposisi sebagai 'institusi etika publik'. Lembaga ini menyaring hasil kerja Rudi bersama rumah produksi Sinemart. Proses seleksi yang membutuhkan waktu dua minggu dilakukan tiga tahap, dari kelompok pertama ke pelaksana harian lalu ke pelaksana harian plus yang berisi agamawan, budayawan, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk kehati-hatian ini, saya pribadi mengucapkan salut. Namun, hasil akhir yang menyatakan bahwa film 'Pocong' tidak layak tayang, jelas-jelas menyakitkan.
Tentu saja, 'institusi etika prifat' milik Rudi beserta Sinemart terlebih dahulu tersakiti. Dan, bisa jadi beberapa personal di LSF, misalnya Titie Said pun bersedih; sebab menurut dia kualitas sinematografi, pencahayaan, akting dan dialog fim tersebut tergolong 'oke'. Selain mereka, saya pun merasa tersakiti. Dan, dengan menyadari dasar keberadaan LSF adalah hak sosial individu yang dilimpahkan ke negara, maka rasa tersakiti itu pun semakin menusuk. Dengan kata lain, saya sebagai individu yang telah melimpahkan hak sosial ke negara dengan kesadaran sendiri mengambil pisau dan menyayatkannya ke tubuh saya sendiri. Ya, putusan LSF adalah putusan saya sendiri untuk menghujamkan belati ke pembuluh nadi saya.

Disinilah keberatan dan ketidaksetujuan saya atas putusan LSF itu. Menurut saya, putusan 'institusi etika publik' LSF melabelkan satu hal ke 'institusi etika prifat' yang dimiliki tiap individu, yakni kebodohan. LSF dengan kekuasaannya mengklaim bahwa publik yang bakal menikmati film ini adalah sekumpulan orang bodoh-tolol yang tidak memiliki standar etika. Dan karena itu, satu film Rudi Soedjarwo--perkiraan saya berdurasi maksimal dua jam--mampu meracuni khalayak penonton untuk berbuat kekerasan dan kekejaman seperti yang ditampilkan film tersebut. 'Institusi etika prifat', khususnya saya, dicap bodoh-tolol oleh LSF 'institusi etika publik'. Betapa, hak sosial yang saya berikan kepada LSF ternyata telah disalah-gunakan dengan merenggut kebebasan milik saya untuk menilai apa dan bagaimana film 'Pocong' itu.

Selain itu, hal lain yang menyinggung adalah dugaan bahwa film 'Pocong' dapat 'membangkitkan luka lama dan dendam akibat peristiwa berdarah Mei 1998'. Kalimat yang disuarakan Titie Said, bagi saya naif. Dugaaan atau kekhawawtiran atau ketakutan dalam pernyataan itu menyiratkan dua hal. Pertama, 'kita' harus melupakan tragedi; Kedua, 'kita' harus hidup damai tanpa 'luka lama dan dendam...' Saya secara pribadi menyakini bahwa siratan pertama bukanlah pilihan posisi bagi seorang yang bernama Titie Said, yang menurut saya, mampu merasakan derita yang dialami korban tragedi itu. Ketua LSF ini pastilah bermaksud pada siratan kedua, yakni 'luka lama dan dendam...' itu harus diselesaikan hingga 'kita' dapat hidup damai bersama.

Disitulah letak kenaifan LSF. Sebab, dampak tragedi Mei 1998 bukanlah terletak di dalam film, melainkan di kenyataan itu sendiri. Apakah Indonesia memang sudah menuntaskan sejarah kelam bangsa yang selalu mengagungkan nilai ramah tamah dan sopan santun ini?

Di sisi lain, dugaan atau kekhawatiran atau ketakutan LSF itu ternyata membongkar pola pikir 'institusi etika publik' ini. Melalui dugaan itu, saya pun dapat melihat apa dan bagaimana film di mata 'institusi etika publik' ini. Film bagi 'institusi etika publik' ini berada di atas kenyataan. Dan pola pikir inilah yang berusaha 'mereka' suntikkan ke kepala 'institusi etika prifat' yang kadung dicap bodoh-tolol. Film melebihi kenyataan! Menurut saya, ini pola pikir yang salah. Seharusnya 'institusi etika publik' ini mempromosikan ide bahwa film merupakan sub-ordinat kenyataan. Jadi, sebagus apa pun film yang dibuat, tetap saja kenyataan yang menempati posisi teratas.

Apakah putusan LSF ini bisa dibatalkan atau tidak--seperti perubahan keputusan dari meluluskan menjadi menarik dari peredaran film 'Buruan Cium Gue!' yang dikarenakan desakan 'institusi etika prifat'-yang-memublik*--wallahuallam, saya tidak bisa memastikan. Yang pasti, setidaknya hingga saat ini, 'institusi etika publik' menegaskan bahwa 'institusi etika prifat' cuma berisi kebodohan, ketololan, tolol bakero belaka! Bila sudah begini, kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dengan derajat tertinggi (baca: memiliki akal budi) diantara semua mahluk ciptaan-Nya pun menjadi semakin didangkalkan. Dan, jika memang benar 'institusi etika prifat' berintikan kebodohan, apakah saya, yang bodoh ini, memang tidak berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang benar demikian, saya terpaksa mengacuhkan keberadaan 'institusi etika publik' yang menyebalkan seperti, maaf LSF cuma salah satunya saja di Indonesia yang susah dicinta ini.


*: Saya sendiri tidak sependapat dengan desakan dan putusan menarik film 'Buruan Cium Gue!' dari peredaran; sebab ide ini lagi-lagi cuma menegaskan pelabelan 'institusi etika prifat' yang bodoh-tolol. Dan 'insitusi etika prifat'-yang-memublik cumalah kesemuan belaka, sebab itu menjadi tirani 'institusi etika publik' semata.