Grief Observed: do I have faith in You?


Kedukaan adalah sebentuk penderitaan. Kematian orang terkasih adalah hal yang mustahil terelakkan dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia tentunya ditandai oleh adanya relasi sosial yang bersifat intim, dekat, serta hangat—saya mengenalinya sebagai relasi kasih. Persoalannya, dalam situasi kedukaan, apakah kita masih dapat berbicara tentang adanya kasih yang nyata—atau malah beralih, kasih dan juga kebahagiaan tidak lain adalah ilusi (?). Dunia tidak lain adalah air mata—dan segala hal yang dikenali sebagai kebahagiaan sesungguh bersifat ideologis, atau semu. 

Dalam Grief Observed, Clive Staples Lewis (1898-1963) bersaksi tentang kedukaan atau derita. Ia mencoba mengulas pengalaman duka yang mewujud dalam perasaan hampa (emptiness) yang seakan tanpa batas. Kehampaan yang melahirkan ketakutan akan hari esok yang tidak akan pernah sama dengan hari-hari yang pernah dilewatinya di masa lalu; juga meruyaknya rasa malas akut sampai-sampai ia merasa bernafas sebagai kesesakan sekaligus sesal; hingga pada akhirnya, melahirkan gagasan dalam benak bahwa sesungguhnya diri sudah tak lagi punya alasan untuk tetap menjalani kehidupan. Kematian istrinya, Helen Joy Davidman (1915-1960), menciptakan duka mendalam dalam kehidupan Lewis—tentang kematian, Lewis menulis demikian: “Death only reveals the vacuity that was always there.” (Lewis: 1996, 28). 

13 Juli 1960, Helen Joy Davidman meninggal dunia. Tiga tahun sebelumnya, pada 1956, Lewis menikah dengan Davidman, yang kala itu sudah memiliki dua orang anak dari perkawinannya terdahulu. Pernikahan yang membawa kebahagiaan bagi kedua pribadi ini ternyata tidak bertahan lama. Penyakit lama yang diidap Davidman kembali kambuh. Kanker. Hingga akhirnya, kanker tulang merengut nyawa H—demikian Lewis menulis inisial Davidman, yang terambil dari alfabet pertama nama istrinya, dalam Grief Observed. Bagi Lewis, kanker memiliki sejarah tersendiri. Ayah dan ibu meninggal dunia karena kanker. Kini, setelah tiga tahun merasakan hangatnya kebahagiaan cinta bersama H, Lewis harus menerima kenyataan: Davidman meninggal dunia, meninggalkan Lewis dengan segala kenangan tentang H yang mustahil lenyap. Maka, apa artinya kebahagiaan sekiranya, diam-diam, kedukaan menyelinap dalam setiap senyum dan tawa yang pernah dilalui oleh sepasang pribadi ini? Apakah Kekristenan—hal yang mempertemukan Lewis dan Davidman; sebab, sebelum konversi menjadi Kristen, keduanya adalah orang-orang yang berpikiran ateis—dapat menjawab persoalan ini? Apa makna kedukaan dalam diri orang percaya? 

Talk to me about the truth of religion and I’ll listen gladly. Talk to me about the duty of religion and I’ll listen submissively. But don’t come talking to me about the consolations of religion or I shall suspect that you don’t understand.” (Lewis:1999, 25) Demikianlah Lewis menegaskan sikapnya kepada orang-orang yang berempati kepada dirinya setelah kepergian Davidman. Jawaban klise yang menyatakan bahwa ‘Davidman sudah bahagia bersama Tuhan’ bukanlah jawaban yang menenangkan batin Lewis. Ada hal yang lebih mendasar dari itu. Davidman telah meninggal dunia—dan Tuhan berada di balik semua itu. Maka Lewis pun mempertanyakan Tuhan. Masih mungkinkah kita menyatakan bahwa Tuhan itu baik dan di saat bersamaan, Ia yang adalah Mahabaik memanggil orang yang kita kasihi, mencampakkan kita dari kebahagiaan pada duka mendalam? Tidak hanya sampai di sini. Lewis melangkah lebih jauh lagi: “If it is consistent with hurting us, then He may hurt us after death as unendurably as before it.” (Lewis:1996, p.28) Benarkah Tuhan itu Mahabaik—dan sekiranya kita bertumpu pada pengalaman dan kesadaran, bukankah sesungguhnya Tuhan adalah Mahasadis?

Inilah hakikat kedukaan. Kedukaan adalah proses. Di dalam kedukaan, gagasan orang percaya tentang Tuhan digoncang. Goncangan yang muncul dalam wujud pertanyaan-pertanyaan atau gugatan-gugatan penuh amarah terhadap Tuhan sesungguhnya adalah jalan untuk menguji iman kita. Demikianlah Lewis menyimpulkan: “Only suffering can do.” (Lewis:1996, p.38). Kedukaan sebagai proses merupakan momen restorasi iman (restoration of faith)—momen bagi orang percaya mengetahui apakah imannya adalah rumah kertas atau batu karang. Persoalannya bukan lagi tentang Tuhan itu Mahabaik atau Mahasadis—sebab Lewis sudah yakin tentang hal itu sebagaimana yang dapat ditemukan dalam karyanya Miracle juga Mere Christianity—melainkan iman seperti apakah yang kita miliki. Lewis menulis: “God has not been trying an experiment on my faith or love in order to find their quality. He already knew it. It was I didn’t… He always knew that my temple was a house of cards. His only way of making me realize the fact was to knock it down.” (Lewis:1996, 52)

Dalam kehidupan orang percaya, kedukaan atau derita adalah jalan bagi iman untuk bertumbuh menjadi lebih tangguh. Iman yang bukan lagi terbentuk dari kertas, melainkan dari karang. Iman yang tidak hanya berdiam di kawasan tentram dan aman; melainkan iman yang setia dalam hantaman gelombang badai dan hujan. Salah seorang teman saya pernah berkata demikian: “Sekiranya engkau tak dapat menerima yang paling menyakitkan dari sahabatmu atau dari kekasihmu, tentunya engkau tidak siap untuk menerima hal yang paling membahagiakan dari mereka.” Kedukaan adalah kegelapan, kedukaan adalah lorong bawah tanah, kedukaan adalah labirin yang menakutkan—maka pertanyaannya bukan tentang mengapa ada kegelapan, melainkan: apakah kegelapan ini mampu melenyapkan terang dalam hati setiap orang percaya. Do I have faith in You? Inilah pertanyaan ultima dalam pengalaman duka yang dialami orang percaya.  

heart and ity

the purpose of religion is to teach human heart. human heart is the essence of humanity.