Monumen Puisi Agam Wispi



Monumen Puisi Agam Wispi:
Telaah Singkat Atas Puisi “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”


Puisi dan realitas adalah dua ranah yang antagonis. Di satu sisi, puisi punya kecenderungan menegasi realitas—di sisi lainnya, puisi berniat menjadi realitas. Secara sederhana, puisi yang berniat[1] menegasi realitas menjelma dalam prinsip kesenian “seni demi seni”; ada pun puisi yang berniat menjadi realitas menjelma dalam prinsip kesenian “seni demi masyarakat”. Di antara dua kutub ekstrem itu, puisi-puisi Agam Wispi berada pada kutub “puisi yang berniat menjadi realitas” atau “seni demi masyarakat”—kesimpulan demikian tentu sangat mudah untuk dibuktikan. Dalam karir berkeseniannya, Agam Wispi dekat—jika tidak ingin dikatakan identik—dengan institusi kebudayaan pada masa Orde Lama, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Keberadaan Lekra, dalam konteks sejarah Indonesia, kerap diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga gagasan kesenian “seni untuk masyarakat”—dalam pengertian: seni berfungsi menyadarkan masyarat akan adanya gerak sejarah yang bersifat progresif dan ditentukan oleh pertarungan antara kelas proletar dan kaum kapitalis.

Persoalannya, bagi karya kesenian yang bertolak dari prinsip kesenian “seni demi masyarakat” adalah apakah karya kesenian itu dapat, paling tidak, setara atau bahkan melampaui realitas itu sendiri? Istilah “realitas”, dalam hal ini, dapat dipahami sebagai peristiwa/peristiwa-peristiwa (event/events) yang terjadi secara faktual atau fakta—yang kemudian tercatat dalam sejarah. Tentu hal ini bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah kesenian dunia, peristiwa faktual, dengan olahan daya kreatif seniman, dapat bermetamorfosis menjadi karya seni yang memukau. Misalnya saja: lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarif Boestaman (1811-1880) yang menghadirkan-kembali atau merepresentasikan peristiwa (f)aktual dalam sejarah menyangkut penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda; atau monumen batu Brest Fortress di Brest, Belarusia, yang merepresentasikan peristiwa (f)aktual dalam sejarah terkait keteguhan hati para tentara Merah Sovyet untuk tetap bertahan menahan gempuran tentara Nazi Jerman di masa Perang Dunia II[2]; atau komposisi musik “String Quartet No.8 in C Minor” dari Dmitri Shostakovich (1906-1975) yang dapat dimaknai sebagai hasil permenungan Shostakovich tentang dampak-dampak negatif dari fasisme dan perang—Shostakovich mendedikasikan karya musikal ini kepada korban-korban fasisme dan perang; atau komposisi mars “17 Agustus Tahun 45” ciptaan H. Mutahar, dan lainnya. Contoh-contoh di atas menjadi penting untuk melihat, sekaligus menyadari, bahwa “puisi yang berniat menjadi realitas” bukanlah hal yang mustahil. Lantas, bagaimana dengan puisi-puisi Agam Wispi?

Meski sama-sama karya seni, puisi berbeda dari seni lukis—atau seni rupa, juga seni musik. Secara sederhana—tentunya, dengan mengabaikan kecanggihan pendekatan kontemporer dalam upayanya meninjau ulang apa yang disebut sebagai medium seni rupa—medium seni rupa bertolak pada perangkat-perangkat visual konkret, misalnya cat atau kayu atau batu atau fiberglass yang merupakan hal-hal konkret dan membantu menghadirkan visualisasi imajinasi secara konkret dalam bidang dwimatra atau trimatra; tentunya dengan bantuan komposisi garis, tekstur, goresan, dst. Medium dan teknik seni dalam seni rupa memungkinkan seniman menghadirkan objek-objek seni yang dapat disensasi secara indrawi [tentunya, yang menjadi batasan dalam hal ini adalah aliran abstrak]—dan tentunya melahirkan rasa indah dalam diri mereka yang melihat objek-objek itu. Begitu juga dengan seni musik—yang secara konkret menghasilkan bunyi yang menstimulasi lahirnya perasaan-perasaan tertentu dalam diri mereka yang mendengarkan karya musik. Puisi, agak berbeda. Medium yang utama sekaligus arus utama (mainstream) adalah kata—dengan demikian, dalam puisi, perubahan peristiwa menjadi karya adalah perubahan fakta menjadi kata.

Perubahan fakta menjadi kata bukanlah perkara gampang dalam puisi. Secara sederhana, proses abstraksi[3] adalah proses perubahan fakta menjadi kata. Proses perubahan fakta menjadi kata tentu tidak semata-mata bertopang pada kemampuan konseptual kata—dalam hal ini, kemampuan konseptual kata berarti kemampuan kata menampung sekaligus menyampaikan makna yang hendak diutarakan oleh penyair—namun juga mempertimbangkan keindahan bunyi, juga irama. Puisi Agam Wispi yang berjudul “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”, khususnya bagian 1, yang berlatarkan peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, menurut saya, merupakan hasil yang sempurna dari perubahan fakta menjadi kata. Demikian saya kutipan bagian pertama puisi tersebut:

depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah adalah tanah

dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah karena darah

tanah dan darah memutar sejarah
dari sini njala api
dari sini damai abadi

Petikan bagian pertama sajak di atas, tampak kepiawaian Agam Wispi memainkan rima akhir dan rima tengah; mengutamakan bunyi kakofoni pada tiga bait itu, yang sedikit dipadukan dengan efoni pada baris kedua dan ketiga dari bait ketiga. Isyarat-isyarat bunyi kakofoni menyatu dengan kekuatan konseptual dari pilihan kata di mana pertentangan kata (sekaligus bunyi) antara “tuan bupati” dan “seorang petani” melahirkan asosisasi pertarungan antara kelompok penguasa dan kelas pekerja—yang kemudian mencapai puncak ketika Agam Wispi menggunakan pertentangan bunyi antara “karena tanah” dan “adalah tanah”; pada bait kedua, pertentangan bunyi beralih menjadi perulangan bunyi: “karena darah” lalu “karena darah”.

Dengan menggunakan teknik rima akhir, rima tengah, lalu paduan bunyi kakofoni serta sedikit efoni, pertentangan dan pengulangan bunyi (secara relatif, pola pengulangan bunyi juga tampak jika kita membandingkan bait pertama dan bait kedua, juga jika kita membandingkan baris kedua dan ketiga pada bait ketiga) kemudian kekuatan diksi yang dipadukan dengan kesederhanaan konstruksi larik pada tiap bait berhasil menampung tema ketidakadilan, peristiwa ketidakadilan yang menjadi mata air puisi tersebut. Puisi “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)”, dalam pertimbangan saya, sudah berhasil menjadi monumen—puisi itu berhasil merekam makna ketidakadilan yang terkandung dalam peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa sekaligus melampaui fakta itu sendiri, dalam arti: memberikan pemahaman bagi pembaca bahwa sejarah, secara implisit, mengandung ketidakadilan di mana ketidakadilan bertopang pada “tanah” dan “darah”, yang keduanya memungkinkan “njala api” sekaligus “damai abadi.”

Jika kita mengacu kepada tiga prinsip dari realisme sosialis, yaitu (1) ada objek yang berada di luar kesadaran, (2) tidak ada yang disebut das Ding an sich pada objek, dan (3) kesadaran manusia mampu menembus lapis fenomena untuk mencapai lapis esensial, saya pikir: puisi Agam Wispi ini berhasil memenuhi kriteria tersebut. Pertama, “Matinya Seorang Petani (Buat L. Darman Tambunan)” sejatinya mengacu kepada fakta tentang adanya penggusuran petani di Tanjung Morawa—dan puisi itu berada dalam posisi yang sama dengan fakta tersebut. Kedua, puisi Agam Wispi ini memungkinkan kita melihat bahwa peristiwa “tersungkurnya seorang petani” adalah perwujudan dari “tanah dan darah memutar sedjarah”. Ketiga, sebagaimana sudah tersirat dalam yang kedua, lapis esensial dari fenomena “tersungkurnya seorang petani” adalah terjadinya ketidakadilan, yang mewujud dalam larik “tanah dan darah memutar sedjarah”.

Sebagai monumen yang berkedudukan setara dengan fakta, dalam pertimbangan saya, puisi Agam Wispi dapat dipergunakan untuk membaca sejarah Indonesia—tentu dengan pendekatan metodologi dan epistemologi tertentu. Di sini, puisi sudah menempati posisi yang sama dengan manusia, yaitu sebagai saksi (bisu) sejarah!—hanya dengan membaca sajalah para pembaca menyadari apa yang terjadi di masa lalu; dan barangkali hal demikian masih juga terjadi di masa sekarang, dan yang akan datang. Ketika puisi sudah menjadi saksi (bisu) sejarah, maka batas antara kebenaran dan puisi pun menjadi semakin tipis—dan jika batas kebenaran dan puisi menjadi semakin tipis atau bahkan tidak ada lagi, maka tindakan menulis atau membaca puisi pada saat bersamaan adalah tindakan menulis atau membacakan kebenaran; dan ada yang menamakan tindakan demikian sebagai revolusi.



Desember 2013


[1] Diksi “berniat” cenderung saya pergunakan dalam kerangka konotasi.
[2] Peristiwa perang antara tentara Merah dan Nazi di Brest itu juga difilmkan oleh sutradara Alexander Kott, dengan judul ‘The Brest Fortress’. Dalam film itu, dikisahkan: pasukan tentara Merah Sovyet menyadari mereka mustahil menang melawan serangan mendadak dari tentara Nazi Jerman. Di sinilah tragedi lahir Brest Fortress lahir: meski yakin mereka mustahil menang, pasukan tentara Merah Sovyet tetap memegang teguh keyakinan bahwa mereka tidak akan menyerah.
[3] Istilah ‘abstraksi’, dalam hal ini, dapat dipahami melalui ilustrasi demikian. Kata atau tanda ‘kucing’ tentu berbeda dari kucing asli dalam realitas. Jika kata ‘kucing’ bertolak dari kucing asli dalam realitas, maka kata ‘kucing’ tidak lagi mengandung kualitas ngeong, bulu yang halus, atau tubuh yang dekil, atau tubuh yang kurus, atau luka di kaki kucing, dan atau-atau lainnya. Kata ‘kucing’ adalah abstraksi dari kucing asli dalam realitas di mana proses abstraksi itu meniadakan atau menghilangkan kualitas-kualitas tertentu dari kucing yang kita lihat dalam realitas. Hilangnya kualitas-kualitas tertentu dari kucing dalam realitas—semisal ngiaunya, beratnya, warnanya, dst—dan beralih menjadi ‘kucing’, justru memungkinkan daya kreatif yang luar biasa. Kata ‘kucing’ memiliki kemungkinan penempatan baru—misalnya saja, jika kucing dalam realitas berada di halaman, maka, melalui daya fantasi imajinatif, penyair dapat saja menempatkan ‘kucing’ di bulan, menjadi astronot, berada dalam perut ikan hiu, menjadi gubernur di sebuah kota, hingga tampil sebagai dewa. Melalui abstraksi, kata memungkinkan penempatan (dan tentu pemaknaan) fakta semakin diperluas (bahkan diperdalam). Khusus dalam konteks relasi antara imajinasi dan fakta, di sinilah kita melihat bahwa daya imajinatif konseptual yang bertopang pada abstraksi memungkinkan para ilmuwan menemukan teori-teorinya yang memukau, sebagaimana yang dinyatakan filsuf Richard Rorty (1931-2007): rasio hanya dapat mengikuti jalan yang telah dibuka oleh imajinasi.

MS, MA, dan GM


Perdebatan antara Martin Suryajaya (MS) dan Muhammad Al-Fayyadl (MA) terkait peran Goenawan Mohamad (GM) dalam politik kebudayaan pasca 1965 memaksa untuk memikirkan kembali pendapat keduanya sekaligus mencoba memetakan sikap kritis saya pribadi terhadap mata air perdebatan, yaitu tulisan MS yang berjudul “Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965” yang dimuat dalam jurnal daring indoprogress.com—dan tentunya, mempertimbangkan ulang kritik MA yang dimuat oleh yang bersangkutan dalam status facebook-nya.

Antara Data dan Kesimpulan
Tulisan MS memuat dua tesis, yaitu (1) Goenawan Mohamad (GM) adalah makelar kebudayaan yang berperan membentuk selera intelektual Indonesia dan (2) GM berperan dalam konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. MS, dalam tulisannya, mencoba mengkonstruksikan dua tesis itu bukan sebagai dua tesis yang terpisah, melainkan tesis yang saling berkaitan di mana tesis (2) sudah terimplikasi dalam tesis (1)—artinya, GM mengonsolidasikan kapitalisme di Indonesia melalui perannya sebagai makelar kebudayaan. Merujuk pada tulisan MS, istilah ‘makelar kebudayaan’ dapat dipahami sebagai sinonim ‘penafsir-makelar’, suatu translasi dari istilah ‘interpreter-middleman’ yang dipergunakan oleh Ivan Kats (IK) dalam surat-menyurat antara dirinya dan GM. Ada pun ‘makelar kebudayaan’ atau ‘penafsir-makelar’ mengacu kepada orang atau pihak tertentu yang mengambil dari luar atau mengappropriasi hal-hal yang berada di luar dirinya, dalam hal ini mengacu kepada pemikiran intelektual Prancis Albert Camus, untuk menjadi bagian dari dirinya, dalam hal ini mengacu kepada alam pemikiran Indonesia (barangkali, karena konstruksi berpikir yang demikian, maka MS berargumentasi bahwa GM sungguh sangat berperan dalam membentuk selera intelektual Indonesia).

Bagi saya, persoalan mendasar adalah apakah memang kesimpulan-kesimpulan atau tesis-tesis yang diajukan MS dapat dipertanggungjawabkan? Atau, sejauh mana kesimpulan-kesimpulan itu dapat diterima? Atau, jika kesimpulan-kesimpulan itu tidak dapat diterima seutuhnya, apakah dimungkinkan kajian lebih lanjut demi mengokohkan kesimpulan-kesimpulan itu? Dalam posisi demikian, pertanyaan utama saya terhadap tulisan MS adalah “apakah data, yang menjadi fondasi kesahihan kesimpulan-kesimpulan itu, memang dapat menopang seutuhnya kesimpulan-kesimpulan itu?”—dalam kata lain, “apakah kesimpulan-kesimpulan itu ditopang oleh data atau tidak?” Bertolak dari tulisan MS, menurut saya, ada dua data utama yang dipergunakan MS demi menopang kesimpulan-kesimpulannya, yaitu (1) data yang bersumber dari buku Wijaya Herlambang yang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Order Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film” dan (2) data yang bersumber dari PDS HB Jassin, yang memuat surat-menyurat antara IK dan GM bertarikh 1965. Selain dua data utama ini, MS juga menggunakan data-data yang tergolong sekunder lainnya, semisal data tentang Manifes Kebudayaan dan jejaring tokoh PSI yang berada di balik peristiwa kebudayaan itu.[1]

Bertolak dari data surat-menyurat antara IK dan GM inilah, menurut saya, MS mengukuhkan tesisnya yang pertama. Surat-menyurat itu membuktikan adanya interaksi antara IK dan GM di mana interaksi itu memuat tujuan tertentu, yaitu (1) menjelek-jelekkan hal-hal yang berkenaan dengan PKI, komunisme, dan (2) menjadikan pemikiran Prancis sebagai paradigma kebudayaan di Indonesia yang sehubungan dengan kesukaan GM terhadap Albert Camus (AC), maka penerjemahan karya AC ke dalam bahasa Indonesia pun dapat dipahami sebagai appropriasi hal-hal Barat ke dalam Indonesia demi membentuk paradigma kebudayaan tertentu di Indonesia.

Dalam pertimbangan saya, surat-menyurat ini memang membuktikan posisi GM sebagai makelar kebudayaan, sebagaimana yang diintensikan MS, dalam usaha membentuk selera intelektual di Indonesia. Namun, persoalannya, apakah data itu dapat dijadikan patokan untuk menyimpulkan bahwa GM memang benar-benar berhasil membentuk selera intelektual Indonesia, menurut saya, tidak. Di sini, menurut saya, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) berperan atau bertugas membentuk selera intelektual di Indonesia dan (2) terbentuknya selera intelektual di Indonesia sesuai dengan tujuan IK dan GM. Pertanyaannya, apakah dengan menjalankan tugas sudah dengan sendirinya mencapai tujuan? Tampaknya MS menyadari hal ini. Karena itu, MS mengajukan data lainnya, yang menurut saya tergolong sekunder dan dapat dipertanyakan, yaitu diskusinya dengan “teman-teman yang kerap membaca dan menggemari tulisan Goenawan”. Tentu, pertanyaannya saya adalah apakah yang disebut intelektual adalah orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM? Apakah orang-orang yang tidak membaca dan menggemari tulisan GM bukan tergolong intelektual? Dalam pertimbangan saya, mengidentifikasi intelektual hanya dengan bertolak pada indikator telah membaca dan menggemari tulisan GM adalah hal yang prematur. Dengan demikian, menurut saya, MS berhasil membuktikan bahwa GM, sebagai makelar kebudayaan, memang berperan dalam membentuk selera intelektual di Indonesia—namun, MS belum berhasil membuktikan bahwa selera intelektual di Indonesia itu sudah terbentuk sesuai dengan yang diniatkan oleh IK.

Karena tesis (2) terimplikasi pada tesis (1), maka kegiatan GM sehubungan dengan ‘kontrak-kontraknya’ (bahasa yang dipergunakan oleh MA dalam statusnya untuk melukiskan korespondensi antara IK dan GM) dengan IK, [dapat] disimpulkan MS sebagai “menyiapkan prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”. Kesimpulan itu diperkuat dengan data sekunder yang bersumber dari hasil wawancara Rizal Mallarangeng pada Juni 1996, yang memuat pandangan politik GM sebagai, dalam bahasa saya, “seorang liberal yang masih dapat mengecam kapitalisme sekaligus kritis terhadap birokrasi”. Tentu yang menjadi persoalan bagi saya adalah “apakah dengan menerjemahkan buku-buku AC ke dalam bahasa Indonesia, dengan demikian GM sudah dengan sendirinya menyiapkan prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia?” Di sinilah, analisis MS menyangkut ‘Anatomi Politik Absurditas’ menjadi dasar MS menempatkan kegiatan GM menerjemahkan AC sebagai upaya menyiapkan prakondisi epistemik bagi konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Benarkah demikian?

Dalam pertimbangan saya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ tidak dapat dijadikan data untuk menopang kesimpulan kedua MS. Alasannya, ‘Anatomi Politik Absurditas’ bertolak dari pembacaan (sekaligus penilaian kritis) MS atas “Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas”-nya AC—dan pembacaan (sekaligus penilaian kritis) dari tiap orang atas suatu hal, dalam hal ini literatur filsafat, mustahil menghasilkan satu pembacaan (sekaligus penilaian kritis) tunggal. Alasannya, tentu saja, karena: meski butuh fakta, filsafat tidak bicara tentang fakta. Dan, “Mite Sisifus” AC, dalam pembacaan saya, bertolak dari pertanyaan filosofis “apakah hidup bermakna atau tidak?”[2]—bukankah pertanyaan demikian sesungguhnya tidak dapat diuji secara objektif-ilmiah sebagaimana metode penelitian yang diterapkan pada ilmu alam? Menurut saya, pembacaan (sekaligus penilaian kritis) MS—yang barangkali saja mengandung bias ideologi tertentu—menjadikan pemikiran AC sebagai pemikiran yang hanya bertopang pada tesis “semuanya baik adanya.”[3]

Bertolak dari pertimbangan di atas, saya pikir menyatakan GM berperan dalam konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu tidak dapat diterima sepenuhnya. Menurut saya, apa yang disampaikan MS sebagai tesis kedua bukanlah tesis atau kesimpulan, melainkan masih sebatas indikasi. Namun, sejauh MS menyatakan bahwa tindakan GM menerjemahkan karya-karya AC (dan lainnya) adalah bagian kecil dari proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965 tentu dapat diterima, meski tidak begitu terlalu meyakinkan, setidaknya bagi saya.

Dengan demikian, sejauh pembacaan saya atas tulisan MS, saya berkesimpulan bahwa GM punya peran dalam upaya menjelekkan PKI dan mengonstruksikan pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965 di mana hal-hal itu dibuktikan melalui adanya data atau bukti korespondensi antara IK dan GM. Namun, apakah GM berhasil atau tidak membentuk “selera intelektual di Indonesia” dan “menyiapkan prakondisi epistemik terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965”, saya pikir masih patut dipertanyakan, untuk tidaknya menyatakan bahwa hal-hal itu hanyalah spekulasi kosong yang tidak didukung oleh data dan indikator-indikator yang akurat.

MA dan MS
Tiga tanggapan MA terhadap tulisan MS, menurut saya, patut dicermati. Dalam pertimbangan saya, tanggapan pertama dan kedua, kurang lebih bernada sama—kecuali, satu poin dalam tanggapan kedua yang memuat soal “seleksi” dalam pemikiran Prancis, yang akan saya ulas kemudian. Tanggapan pertama dan kedua MA terhadap MS merupakan upaya MA membongkar asumsi tertentu yang melatari tulisan MS, yaitu GM adalah sosok yang luar biasa, sosok dengan daya yang begitu luar biasa hingga dapat mempengaruhi pemikiran ratusan juta orang Indonesia. Dalam tanggapannya yang pertama, MA mempersoalkan tafsir GM atas AC, yang menurutnya bias—dengan demikian, MA menyarankan, GM seharusnya tidak dapat dipandang sebagai penafsir otoritatif atas AC. Pada tanggapannya yang kedua, MA menyatakan bahwa GM bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam penyebaran pemikiran Prancis kontemporer—dan jika diperluas, maka akan menghasilkan tesis demikian: konstruksi pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965 tidak hanya ditentukan oleh GM semata. Terhadap tanggapan ketiga, menurut saya tidak relevan. Perdebatan dengan “robot Forex” mengandaikan klaim intelektual, dalam hal ini “intelektual” menempati kelas kata benda, identik dengan orang-orang yang membaca dan menggemari tulisan GM di mana, bagi saya, hal itu masih menjadi persoalan yang belum tuntas. 

Salah satu poin dari tanggapan kedua MA yang perlu dipertimbangkan adalah menyangkut ada atau tidaknya “seleksi” pemikiran di Prancis. Saya pikir, berdasarkan data yang dimilikinya, MA berhasil membuktikan bahwa pernyataan IK dalam suratnya kepada GM dapat dinyatakan keliru (kecuali, jika IK punya pertanggungjawaban tersendiri). Dalam amatan MA, pernyataan keliru dari IK justru diterima oleh MS sebagai self-evident. Meski begitu, menurut saya, sekalipun pernyataan IK menyangkut adanya “seleksi” di kancah pemikiran Prancis keliru, hal itu tidak membantah tesis-tesis yang diajukan MS sejauh menyangkut peran GM dalam politik anti-komunis dan konstruksi pemikiran kebudayaan di Indonesia pasca 1965.


[1] Klasifikasi data utama dan data sekunder menjadi penting bagi saya untuk mengetahui apa yang menjadi jantung dari kesimpulan-kesimpulan MS dari sudut data. Artinya, jika data utama dihilangkan dan data sekunder dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS pun menjadi spekulasi rendahan, rumor. Jika data sekunder dihilangkan dan data utama dipertahankan, maka kesimpulan-kesimpulan MS punya kualitas objektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
[2] Bdk. Camus, Albert, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (diterjemahkan Apsanti, D), Jakarta: PT . Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 3-4.
[3] Pada paragraf kedua dari ‘Anatomi Politik Absurd’, MS mengutip pernyataan Oedipus: “Meskipun telah mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang lanjut dan kebesaran hatiku membuat aku menilai bahwa semuanya baik adanya.” kemudian menggunakan sekaligus menggandakan kalimat “semuanya baik adanya” pada paragraf 5 dari ‘Anatomi Politik Absurd’, yang bagi saya menimbulkan satu pertanyaan: benarkah, AC berpikir demikian, benarkah AC akan berpikir bahwa buruh kebun sawit seharusnya berkata “Meskipun saya hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo sawit yang berhasil saya panen, saya menilai bahwa semuanya baik adanya,” atau AC akan berpikir bahwa pembantu rumah tangga seharusnya berkata, “Meskipun saya hanya diupah sepertiga dari UMP dan sesekali digebuki oleh majikan, saya menilai bahwa semuanya baik adanya,” atau AC juga akan berpikir demikian: “Kita harus membayangkan, somehow, Marsinah berbahagia.” Namun, jika kita melanjutkan pembacaan satu-dua paragraf setelah kutipan MS, maka kita akan menemukan kalimat demikian:
Kata-kata itu mendengung dalam alam manusia yang buas dan terbatas. Kata-kata itu mengajarkan bahwa semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas....Kata-kata itu membuat takdir menjadi urusan manusia, yang harus ditangani manusia.
Seluruh kegembiraan bisu Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya.
Kutipan di atas memperlihatkan “semuanya baik adanya” berarti juga “semuanya belum tuntas dan belum pernah tuntas,” “takdir manusia menjadi urusan manusia, yang harus ditangani manusia,” di mana kutipan demikian memungkinkan pembacaan absurditas sebagai optimisme—dan bukankah memahami ironi sebagai kebahagiaan sendiri adalah absurditas?
            Menurut saya, hal-hal di atas harus dipertimbangkan kembali. Sejauh pembacaan saya atas ‘Mite Sisifus’, titik tolak pemikiran AC adalah pertanyaan ontologis, yaitu “apakah hidup bermakna atau tidak?” Jawaban AC: hidup tidak bermakna(!); sebagai konsekuensi dari hidup yang tanpa makna (non-sense), AC pun menolak segala konstruksi metafisika, harapan, bahkan utopia atau mimpi apa pun akan Sejarah—MS secara jitu mengkategorikan pandangan AC sebagai antiutopian. MS, melalui argumentasinya, memperlihatkan bahwa harapan masih ada, akhir sejarah itu nyata—singkatnya: makna itu ada(!), yang justru bukan menjadi pokok bahasan AC.  


Anak Gajah dan 120 Kilogramnya

Hanya dengan berpikir, kau bisa membawa seekor anak gajah kemana saja--tetapi, sialnya, kau kehilangan bobot 120 kilogramnya. Demikian kata teman saya.

Tujuh Hari Mogok Buruh



Jika hari kemarin berkaitan dengan hari ini dan esok hari, demikianlah Marx memandang sejarah—zaman kemarin senantiasa berkaitan dengan zaman sekarang dan yang akan datang.

Zaman sekarang adalah zaman kapitalisme (ada yang menyatakan kapitalisme lanjut atau kapitalisme finansial) yang tidak dapat dilepaskan dari feodalisme pada zaman lalu, yang akan menuju zaman komunisme pada zaman yang akan datang. Dasar pengkategorian zaman-zaman itu adalah relasi kerja; zaman kapitalisme ditandai oleh relasi kerja buruh dan pemodal bersifat eksploitatif, zaman feodalisme ditandai oleh relasi kerja antara petani dan tuan tanah yang juga bersifat eksploitatif, zaman komunisme ditandai oleh relasi kerja yang membebaskan, tanpa eksploitasi.

Dengan demikian, satu-satunya zaman yang dapat menjelaskan mengapa ada buruh adalah zaman kapitalisme. Pertanyaan mengapa ada buruh melahirkan kemungkinan bertanya “apakah pada masa yang akan datang buruh tetap ada atau tidak?” Marx yakin bahwa pada masa yang akan datang kelompok atau kelas yang disebut buruh akan tidak ada lagi dan hal itu adalah keniscayaan.

Pada zaman kapitalisme, setiap peristiwa yang terjadi pada hari kemarin, hari ini, dan esok senantiasa dipahami sebagai pertentangan antara buruh dan pemodal—yang tentunya ditengahi oleh negara (yang kadang kala, atau malah seringnya berpihak pada pemodal). Wujud nyata dari pertentangan ini adalah waktu kerja 8 jam per-hari bagi para pekerja pada hari ini, yang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa yang terjadi pada hari kemarin, yaitu mogok buruh menentang waktu kerja yang melebihi 8 jam per-hari (agar gambaran ini lebih nyata, bacalah tulisan-tulisan Marx menyangkut kondisi pekerja pada masa-masa awal revolusi industri di Inggris pada akhir abad 18). Demikian juga dengan tujuh hari mogok buruh menuntut upah yang layak!

Tiga dan Barangkali



Tiga hari lalu, saya berdiskusi dengan teman saya. Ia berkata, "Barangkali, Vid, di sebuah negeri di mana kita begitu mudah menemukan kesalahan, sesungguhnya negeri itu hidup dalam ketakutan." Dalam pikiran saya, muncul pertanyaan: "Apa yang kau maksud dengan kata 'negeri'?"

Cita-Cita dan Modalitas



Cita-cita, dalam pemikiran Immanuel Kant, adalah modalitas—salah satu dari 12 kategori Pemahaman (Understanding/Verstand) Kantian. Dengan cara demikian, saya paham mengapa anak-anak sering mendapat pertanyaan tentang cita-cita mereka. Melalui bercita-cita, [tanpa disadari] anak-anak sudah [mulai] mengenal apa yang kelak akan mereka kenal sebagai Kemungkinan (Possibility) dan Kemustahilan (Impossibility)—dan tentunya, kemampuan mereka memberikan jawaban mengisyaratkan bahwa mereka memiliki Nalar (Reason).

Skeptisisme, Cara Membaca—tepatnya, Melihat—Opini, dan Dua Hal Yang Menyenangkan



Saya membaca, tepatnya melihat, ya melihat,empat artikel pada rubrik OPINI harian Kompas pada hari ini, maksud saya Senin,9 September 2012—barangkali, saya melihat(ya, bukan membaca): empat artikel ini adalah hadiah ulang tahun bagi Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Untuk sejenak, saya harap sidang pembaca melupakan sejenak cara lihat saya yang menyimpulkan bahwa empat opini yang di harian Kompas hari ini adalah hadiah ulang tahun—sesungguhnya, saya berniat menjadikan perihal ulang tahun sebagai inti dari tulisan ini, namun setelah saya berpikir lebih matang,saya putuskan menjadikan perihal ulang tahun sebagai bumbu atau sampiran dalam tulisan ini—sekadar catatan, menurut Sutardji, sampiran di dalam pantun hanyaberisi omong kosong atau non-sense!!!

Opini pertama yangsaya baca, tepatnya saya lihat, adalah opini yang ditulis W Riawan Tjandra, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.Opini dia berjudul: Republik Kartel. Inti dari opini yang bercorak realis itu adalah hanya merumuskan kembali tesis bahwa Indonesia adalah republik kartel dimana kartel politik dan ekonomi bersimbosis melestarikan habitus korupsi. Saya kutipkan kalimatnya: “Siklus kekuasaan telah menjerat para elite dalamsindikasi korupsi, menjadikan dirinya bagian dari kartel politik yangbersimbiosis dengan kartel ekonomi yang melembagakan habitus koruptif.” Dalam hati, sungguh, dengan segala kedunguan yang saya miliki, saya bertanya: “Apakah masih penting hal demikian ditulis dan diungkapkan? Bukankah mengungkapkan hal yang sudah jelas, setidaknya jika setiap orang yang memiliki kecerdasan lebih di atas saya (mohon maaf, saya pribadi menilai kecerdasan saya sungguh sangat rendah, dan bahkan saya sering mengutuki diri saya sendiri sebagai orang yang tolol luar biasa), lalu orang yang lebih cerdas dari saya itu meluangkan waktunya kira-kira seminggu untuk melihat kembali apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir, maka dugaan saya: adalah sulit untuk tidak menemukan apa yang ditulis oleh Tjandra dalam opini di harian Kompas.”

Opini kedua yang saya baca, tepatnya saya lihat, adalah opini yang ditulis Donny Gahral Adian, dosen filsafat politik UI (saya sedikit heran saat membaca hal ini: sesungguhnya apa beda atribut “dosen” pada Adian dan “pengajar” padaTjandra), yang berjudul: Lupakan Jokowi. Sejujurnya saya heran dengan opini yang bercorak idealis ini—sebelum saya jelaskan keheranan saya, saya jelaskan dulu apa yang saya maksud dengan “opini bercorak idealis.” Sesuai yang saya lihat, opini Adian hanya mengungkapkan obsesi pribadinya yang mengidamkan situasi politik yang kompleks, bukan yangsederhana. Situasi politik kompleks adalah situasi di mana partai politik punya kader berlimpah untuk selanjutnya kader-kader yang ada berkompetisi,sebagaimana konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat sana yang dulu menduelkan Hillary Clinton dan Barack Obama. Lantas apa yang saya herankan? Dibandingkan opini pertama yang bercorak realis, opini Adian yang bercorak idealis ini malah membingungkan saya: bukankah PDI-P, yang menjadi batu sendi bukti empiris dalam tulisannya, adalah partai feodal—tentu dengan segala kelebihan dankekurangannya (ketika menuliskan “tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” saya merasa hadir sebagai seorang yang santun dalam tulisan ini), partai yang secara radikal menempatkan keturunan Soekarno sebagai patron yang tak tergantikan selain oleh keturunan Soekarno itu sendiri? Ok-lah,Adian dapat saja berkelit dengan bilang: “Opini saya tidak mempersoalkan kader-kader yang akan menjadi Ketua Umum di PDI-P, melainkan kemampuan partai menghasilkan kader-kader yang dapat menjadi presiden?” Atas sanggahan demikian,saya hanya akan menjawab: “Saya terlalu dungu untuk memahami sanggahan demikian.” (sejujurnya, saya mau menulis: “Bukankah sanggahan Anda adalah omongkosong belaka? Bagaimana mungkin Anda dapat mengajukan gagasan demokrasi yang mewujud dalam kompetisi melalui format konvensi calon presiden demi menyaring kader-kader terbaik partai untuk dimajukan sebagai calon presiden dan di saat bersamaan tidak berbicara apa-apa tentang gagasan demokrasi dalam pemilihan Ketua Umum, yang tentunya tidak hanyamendasarkan justifikasi kepada jumlah suara, melainkan prasyarat kultural dari demokrasi itu sendiri, yaitu egalitarian?”

Opini ketiga datang dari Salahuddin Wahid, pengasuh pesantren Tebuireng, yang berjudul: Mengalahkan Meksiko dan Spanyol. Saya sulit memahami hal-hal menyangkut produk domestikbruto (PDB) yang dituliskan Wahid. Bagi saya, segala hal yang menyangkut Dahlan Iskan, konvensi Partai Demokrat, empat program Dahlan Iskan jika terpilih menjadi Presiden 2014 adalah omong kosong. Yang saya lihat, bukan saya baca,hal yang penting dalam opini Wahid adalah tulisan demikian (saya kutipkan):“Pada 2011 penerimaan Pemerintah RI 134 M dollar AS, sedangkan penerimaan Pemerintah Belanda 381 M dollar AS. Pengeluaran RI pada 2011 adalah 144 M dollar AS (defisit 10 M dollar AS), dan pengeluaran Belanda 420 M dollar AS(defisit 39 M dollar AS). [Bagian berikutnya, menurut saya, paling menarik:] Bayangkan, betapa timpangnya.Pendapatan Belanda yang luasnya sekitar 42.000 kilometer persegi dan penduduk hampir 17 juta orang bisa 285 persen lebih besar dari pendapatan RI. Padahal, RI punya luas daratan hampir 50 kali luas daratan Belanda, ditambah laut yang luasnya sekitar 4 juta kilometer dan punya penduduk 14 kali lebih banyak.” Sebagai orang dungu, saya lihat opini Wahid yang bercorak realis ini mau bicara tentang berapa banyak pendapatan negara yang hilang—dan barangkali Tjandra dapat lebih paham secara utuh mengapa terjadi Republik Kartel. Saya yang dungu ini saja dapat berimajinasi bahwa seharusnya dan niscaya penerimaan RI, denganluasan wilayah (belum lagi kalau bicara tentang potensi tambang dan lainnya), banyaknyajumlah penduduk, lebih dari atau paling tidak sama dengan penerimaan pemerintah Belanda. Jika asumsi demikian, secara realis benar, maka kehilangan penerimaan negara sebesar 241 M dollar AS (selisih antara penerimaan RI dan Belanda pada2011) itulah yang menjadi dasar tesis Republik Kartel dari Tjandra.

Opini terakhir,dari Fachry Ali, disebutkan sebagai “salah satu pendiri Lembaga Studi danPengembangan Etika Usaha Indonesia” (jujur, saya tidak tahu ini lembaga apa), berjudul: Negara dan Politik Mata Uang. Bagi saya, yang penting pada opini Alijustu ilustrasi dari Jitet (Anda harus melihat secara langsung ilustrasi yang saya maksudkan, saya berharap deskripsi saya dapat membantu pembaca "melihat" ilustrasi Jitet secara tidak langsung). Ilustrasi Jitet menggambarkan seorang bertopi, berbaju,berkaos kaki, dan bersepatu biru, dengan tangan kanan yang memegang telepon pada telinga kanan dan tangan kiri menyandang tas belanja bergambarkan huruf “I” (=saya) dan ikon cinta yang di dalamnya bertuliskan “Rp”, lalu pada topi, baju, celana, kaos kaki, sepatu dan barang-barang yang berada di tas belanjaannya menjulur label harga yang bersimbolkan dollar AS. Ilustrasi ini mengingatkan saya pada ekonom A Prasetyantoko, yang jauh-jauh hari, kalau tidak salah di tahun 2003 atau 2004, mengajukan tesis: Indonesia bukan lagi negara produksi, melainkan negara distribusi di mana jantung dari negara distribusi adalah konsumsi. Ya, konsumsi—mengkonsumsi segala hal dari mana saja, mengimpor demi memenuhi kebutuhan konsumen.

Terakhir, dan ini di luar dari empat opini yang ada. Opini terakhir, opini yang hanya hadir dalamKompas Siang, opini dari Fatchul Anam Nurlaili, “advisor” Puspanegara Research Community, yang berjudul: Menggagas Swasembada Kedelai. Saya semakin heran,“Bukankah Prasetyantoko, dalam konteks yang lebih umum, pada 2003/2004, bicaratentang ekonomi Indonesia yang tidak lagi bersendi pada produksi, melainkandistribusi dan konsumsi, masih memungkinkan kita berbicara tentang swasembadakedelai? Sungguh, saya heran total setotal-totalnya.” [Frase "total setotal-totalnya" adalah frase yang saya peroleh dari duet-penyiar Motion FM, Hilbram Dunar dan Miung, yang selalu mengudara seudara-udaranya dari pukul 06-00 hingga 10.00 saban Senin hingga Jumat.]

Setidaknya ada dua hal yang menyenangkan hati saya hari ini. Pertama, membaca (kali ini saya benar-benar membaca, tepatnya: membaca secara cepat) terjemahan buku karangan Rudolf Mrázek yang berjudul Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Kedua, artikel Paul Budi Kleden yang berjudul “Pandangan Johann Baptist Metz tentang Politik Perdamaian Berbasis Compassio” dalam Jurnal Filsafat danTeologi Diskursus Vol. 12 No.1, April2013. 

Krisis Kedelai dan Mercedez Benz



Saya bertanya kepada teman saya, “Bagaimana pendapatmu tentang krisis kedelai?” Dia menjawab [saya bingung apakah jawaban teman saya sederhana atau rumit]: “Siapa yang dirugikan dalam masalah ini? Petani kedelai? Tentu tidak. Alasannya sederhana, silakan kau cari sendiri data produksi kedelai, luasan lahan kedelai dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun [dan entah mengapa “kurun waktu 5 hingga 10 tahun” ini malah menyampaikan sesuatu yang lain dalam benak saya]—satu lagi, jangan lupa kau sertakan visi pemerintah tentang swasembada kedelai. [Ketika saya berniat mencari data itu melalui google.com, teman saya langsung melanjutkan penjelasan:] Jika kau temukan, maka produksi dan luasan lahan kedelai cenderung menurun dari tahun ke tahun—bahkan, kalau saya tidak keliru, juga terjadi perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri; di saat bersamaan, dengan penurunan produksi dan luasan lahan penanaman kedelai, yang diikuti dengan meningkatnya lahan industri, pemerintah merasa masih tetap berada dalam jalan tepat demi mewujudkan visi swasembada kedelai. Karena itu, tidak ada satu petani pun yang dirugikan ketika krisis kedelai terjadi! [Dalam pikiran saya, “Ok, petani tidak dirugikan dalam krisis kedelai—karena, krisis kedelai adalah krisis suplai kedelai. Tetapi, bagaimana dengan konsumen?” Entah dengan cara bagaimana, seakan-akan teman saya mengetahui apa yang ada dalam pikiran saya, sebab ia langsung melanjutkan penjelasannya:] Lantas, apakah krisis kedelai merugikan konsumen? Pembuktiannya sederhana, jika kau lapar kemudian masuk ke dalam warung makanan dan seketika kau tidak menemukan kedelai, dalam hal ini tentu saja dalam bentuk menu tempe goreng, tempe orek, tahu dan lainnya, pertanyaan aku sederhana saja: apakah hanya karena tidak ada menu berbahan kedelai, maka kau tidak makan? Tentunya, kau pasti makan. Atau, jika kau pedagang rumah makan dan tidak menemukan kedelai di pasaran, pertanyaannya: apakah kau akan menutup usahamu? Karena itu, satu-satunya kelompok yang dirugikan—dan tentunya mereka yang akan berdemo nanti—adalah kelompok pengusaha makanan berbahan baku kedelai. Mereka inilah yang dirugikan. Tidak ada petani atau konsumen—dalam hal ini, ‘konsumen’ mengacu kepada orang-orang yang makan di warung atau pengusaha warung makan. Mereka yang dirugikan adalah pengusaha yang menggunakan bahan baku kedelai. Selanjutnya, dan ini adalah bagian paling penting, yaitu: siapa yang diuntungkan dari krisis kedelai. Jawabannya sederhana: krisis kedelai adalah krisis suplai—yang, sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan petani, misalnya gagal panen. Karena itu, jika kau punya kecerdasan di atas rata-rata, maka krisis kedelai sebagai krisis suplai hanya menguntungkan importir kedelai. Itu saja. Aku tidak tahu persis berapa margin keuntungan total dari impor kedelai—tetapi, rata-rata usaha impor ini memberikan keuntungan kotor 40 persen. Ini belum lagi kita bicara tentang pajak impor—kalau aku tidak keliru, tahun lalu, karena krisis kedelai, impor kedelai menjadi bebas pajak. Jika sudah demikian, kau hanya perlu cari tahu berapa duit yang berputar dalam bisnis impor kedelai. Itu saja. Dan kalau kau mau kreatif, silahkan cari impor bahan pangan lainnya, misalnya daging dan lainnya. Sederhananya, dalam tempo 5 hingga 10 tahun ini [entah mengapa, kali ini teman saya memberi penekanan khusus pada kata-kata ‘dalam tempo 5 hingga 10 tahun ini’] barangkali sudah ada tiga mobil mercedez benz yang sudah dapat dibeli hanya dengan mengandalkan krisis kedelai. Yang jelas, mercedez benz itu bukan punya petani.”

Cacat dan Pesta



Teman saya—ia baru saja menyelesaikan pendidikan strata-tiga di suatu institusi pendidikan di Eropa—berkata, “Vid, pesan orang tua saya soal pendidikan itu hanya ini: Kamu sekolah tinggi-tinggi itu bukan untuk menjadi pintar, tapi untuk menutupi kebodohan—cacat yang mustahil engkau lenyapkan dengan bedak dan pesta.”

Cita-cita dan Kutukan


Hari ini, saya berjumpa teman lama. Seperti biasa, setelah bertanya apa kabar dan lainnya, kami berdiskusi ragam hal. Dari sudut pandang saya, satu hal menarik dalam diskusi kami adalah ketika teman saya berkata: "Merdeka itu adalah cita-cita. Ketika menjadi kenyataan, kemerdekaan malah melahirkan kegeraman, amarah, kekesalan, dan lainnya. Sialnya, kita tak dapat bercita-cita tanpa berpijak pada kenyataan." Setiap kali berdiskusi dengan teman saya, saya sulit untuk memutuskan apakah saya mendapatkan berkah atau kutuk dari setiap diskusi yang kami lakukan.

Tiga Hari dan Mata Kuliah


Tiga hari lalu, saya berjumpa dengan teman saya, teman lama saya. Dari dia, saya belajar tentang banyak hal, antara lain, filsafat, politik, ekonomi, sejarah, dan juga agama. Sembari menikmati sajian teh poci, kami berdiskusi—dan, dia bilang kepada saya, "Vid, filsafat itu bukan sekadar mata kuliah, apalagi semata-mata huruf belaka. Begitu juga dengan manusia." Selalu saja, saya butuh waktu lama untuk memahami apa yang hendak dia sampaikan.

Negara dan Metallica



Kadang-kadang, berjumpa teman lama itu menyenangkan. Tiga hari lalu, saya berjumpa teman lama, dia sudah membeli tiket konser Metallica. Sewaktu ngobrol, teman saya bilang, "Vid, gua pikir tugas negara itu sederhana saja: lahirin grup band cadas kayak Metallica. Udah itu aja." Saya pikir, teman saya ada benarnya.

Teh dan Niat



Sewaktu minum teh, tiga hari lalu, teman saya (baru saja ia kembali dari luar negeri) bilang, "Untuk bernafsu, manusia tidak perlu belajar. Namun, untuk berpikir, manusia belajar." Saya berniat membantah, namun saya setelah saya timbang kembali, saya batalkan niat saya.

Suara Korban dan Soldatenkaffee: Membantah Argumentasi Zen RS



SAYA SANGAT KAGET ketika membaca dua artikel yang ditayangkan di id.Yahoo.com—“Kartu Pos Bergambar Fasisme” (lihat http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kartu-pos-bergambar-fasisme-120405702.html) dan “Soldatenkaffee dan Trauma Ke-Indonesia-an” (lihat http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/soldattenkafe-dan-trauma-ke-indonesia-an-114545852.html)—tulisan Zen RS. Dua tulisan dari Zen RS itu mengajukan tesis bahwa Nazi bukanlah trauma ke-Indonesia-an, melainkan trauma Eropa—dengan demikian, keberadaan Soldatenkaffee dapat dipahami semata-mata sebagai tempat yang memuat simbol-simbol Nazi tanpa perlu mengaitkan simbol-simbol tersebut dengan muatan ideologis fasisme Nazi. Justifikasi dari tesis itu adalah paparan historis di mana, melalui kajian sejarah Indonesia, trauma ke-Indonesia-an adalah fasisme berbalut Pancasila yang muncul melalui slogan “NKRI Harga Mati,” lalu tragedi 1965, tragedi Santa Cruz di Dilli, tragedi Ahmadiyah di Cikeusik, tragedi Syiah di Sampang, dst. Bagi saya, sejauh afirmasi Zen RS tentang trauma ke-Indonesia-an, saya tidak membantah—dalam tulisan ini, saya membantah afirmasi Zen RS yang hendak menjustifikasi bahwa adanya trauma ke-Indonesia-an yang khas dapat dijadikan justifikasi untuk menolak trauma Eropa akan Nazi.

            Bantahan saya terhadap tesis Zen RS menyangkut dua hal. Pertama, membaca sejarah Indonesia dapat dilepaskan dari sejarah dunia? Apakah peristiwa partikular tertentu di suatu tempat tertentu tidak mempengaruhi kondisi atau situasi di tempat lain? Kedua, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan trauma oleh Zen RS? Apakah itu hanya pengalaman personal-individual yang unik dan khas, serta tidak dapat dibagi? Apakah trauma adalah harta milik pribadi yang eksklusif, yang tidak dapat dibagi? Apakah perbedaan antara sejarah orang Eropa dan sejarah orang Indonesia meniscayakan kemustahilan membagi pengalaman pahit atau masa lalu? Lalu, apakah dengan tidak bersetujunya saya dengan pandangan Zen RS, maka saya bukanlah orang Indonesia, bukanlah orang tidak mengetahui trauma ke-Indonesia-an? Bagi saya, ketika Zen RS menuliskan “apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?”—dan pada saat yang sama berbicara tentang trauma, saya menjadi ragu: apakah Zen RS memang benar-benar menghikmati apa yang disebut dengan trauma?

Tentang yang pertama, saya mulai dari ledakan Gunung Tambora pada tahun 1815. Apakah ledakan itu hanya menjadi sejarah bagi mereka yang tinggal di Sumba? Apakah ledakan itu tidak menjadi sejarah bagi mereka yang tinggal di Amerika atau Eropa? Bukankah kekalahan Napoleon Bonaparte dalam perang Waterloo sesungguhnya disebabkan oleh debu vulkanik dari ledakan Gunung Tambora? Lebih lanjut, bukankah kekalahan Napoleon dalam perang Waterloo justru mengubah konfigurasi politik di Eropa, menciutkan kekuasaan politik Prancis yang begitu besar di Eropa pasca Revolusi 1789?

            Ada dua hal yang hendak saya tunjukkan melalui ilustrasi sejarah ledakan Gunung Tambora. Pertama, secara epistemologis, ada kemungkinan bahwa peristiwa yang terjadi pada suatu tempat tertentu mempengaruhi kondisi atau situasi di tempat yang-lain. Secara epistemologis, istilah “kemungkinan” ini mengacu kepada perspektif—artinya, dapat saja lebih dari satu perspektif yang mungkin ada untuk membaca suatu peristiwa. Kedua, secara ontologis, adalah suatu keniscayaan (necessity) menyangkut adanya keterkaitan antara satu peristiwa pada suatu tempat dengan adanya perubahan kondisi atau situasi di tempat yang lain.

            Barangkali justifikasi historis-geologis yang saya ajukan dapat dibantah. Misalnya, “Ah, ilustrasi sejarah itu tidak dapat menjadi dasar untuk menyatakan ada trauma yang sama antara orang-orang di Sumbawa dan orang-orang di Eropa.” Ok, saya dapat menerima hal itu. Karena itu, saya akan ajukan peristiwa sejarah berikutnya, yaitu bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Apakah peristiwa jatuhnya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 adalah semata-mata peristiwa partikular yang terjadi di Jepang? Peristiwa jatuhnya bom atom Hiroshima dan Nagasaki tidak dapat dipisahkan dari berkuasanya Nazi di Jerman, terbentuknya triad Jerman-Italia-Jepang dengan gagasan fasisme mereka, lalu disetujuinya pelaksanaan Manhattan Project? Di Indonesia, Perang Dunia II memungkinkan Jepang masuk ke Indonesia menggantikan Belanda. Di sini, ledakan bom atom menjadi bagian dari trauma kemanusiaan secara menyeluruh—tidak hanya bagi Jepang, namun juga bagi ahli-ahli fisika dan filsuf-filsuf sains pasca Manhattan Project untuk berbicara tentang batas moral dalam ilmu pengetahuan yang diklaim bebas nilai.

            Terakhir, saya akan bicara tentang tsunami 2004 yang melanda Aceh. Apa yang dapat kita hikmati dari peristiwa yang sudah menjadi bagian dari sejarah Aceh, Indonesia, dan dunia ini? Apakah kita masih dapat berbicara bahwa sejarah, yang secara ontologis berakar pada peristiwa (event), dapat diisolasi mutlak tanpa memperlihatkan keterikatan dengan peristiwa lainnya? Tentunya, apa yang mengikat peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya adalah agen dalam peristiwa itu sendiri, yaitu manusia. Manusia, dalam hal ini, tidak dapat semata-mata dipandang berdasarkan ras atau warna kulit atau tampilan fisik-fisiologis lainnya. Bagi saya, secara ontologis, kemampuan manusia untuk saling berbagi inilah yang menjustifikasi mengapa kita dapat berbagi sejarah. Manusia, secara universal, adalah pelaku sejarah—dengan demikian, sejarah kemanusiaan pada tempat lain adalah sejarah kemanusiaan bagi tempat lainnya. Memposisikan pembacaan sejarah yang secara ontologis dan metodologis mengisolasi suatu peristiwa [dan tentunya ingatan tentang peristiwa] pada daerah tertentu lepas dari peristiwa lainnya, bagi saya, dalam batas-batas tertentu adalah naif. Saya ingat kata-kata sejahrawan Taufik Abdullah: “sejarah itu adalah lautan masa lalu, yang darinya kita belajar tentang diri kita, yang darinya manusia belajar tentang manusia.”

            Berikutnya, menyangkut trauma. Sejauh pembacaan saya terhadap dua artikel Zen RS, saya mencurigai gagasan Zen RS tentang trauma adalah sebagai entitas yang eksklusif, tidak dapat dibagi, hanya dimiliki secara personal-individual. Benar, trauma adalah mengacu kepada luka di masa lalu yang selalu membayangi kehidupan pada masa kini [dan tentunya juga di masa depan]. Persoalannya, bagi saya, apakah trauma itu benar-benar tidak dapat dibagi, apakah trauma hanya demi diri sendiri? Lantas, bagaimana Zen RS memahami peristiwa Human Rights Watch Group (HRWG) berbicara tentang pelanggaran HAM di Indoensia—suatu trauma ke-Indonesia-an, yang diklaim Zen—pada forum Sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Jenewa, pada pekan lalu? Apakah trauma ke-Indonesia-an adalah semata-mata trauma ke-Indonesia-an yang tidak dapat dipahami oleh orang lain? Apakah trauma Nazi hanya semata-mata trauma Nazi yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang Indonesia? Saya pikir, di sinilah kekeliruan mendasar Zen RS: Zen RS mereduksi trauma menjadi semata-mata hak eksklusif yang tidak dapat dibagikan kepada orang lain—dan atas dasar ini juga, Zen RS dapat mengisolasi pikirannya dari trauma terhadap Nazi.

            Pada hakikatnya, trauma adalah suara korban yang tidak dapat bersuara. Trauma adalah suara korban! Korban bersuara dalam keheningan—inilah trauma. Melalui trauma, melalui suara dalam keheningan, korban yang hendak berbicara tentang dirinya, apa yang dialaminya, serta berbicara tentang harapannya di kemudian hari, yaitu apa yang dialami tidak akan terjadi lagi. Indonesia bersyukur bahwa Auschwitz tidak terjadi di Indonesia—tetapi, saya pikir hal itu tidak dapat menjustifikasi kita untuk tidak belajar dari kekelaman sejarah Eropa. Peristiwa holocaust—sebuah peristiwa yang dibantah kebenarannya oleh pemilik kafe Soldatenkaffee Henry Mulyana (lihat http://www.thejakartaglobe.com/features/bandung-cafes-nazi-kitsch-theme-sparks-some-uncomfortable-questions/)—memperlihatkan bahwa kemanusiaan (humanity) sesungguhnya bukan meletak pada rasio atau kesadaran, melainkan meletak pada relasi kita dengan orang lain, mereka yang menjadi korban, mereka yang tidak berdaya dan orang-orang yang tidak berdaya inilah yang sesungguhnya memberikan pelajaran kepada kita tentang apa artinya menjadi manusia. Bukankah trauma ke-Indonesia-an dan trauma kemanusiaan lainnya mengajarkan bahwa kita adalah manusia yang dapat saja lebih baik dari apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Kurang lebih, demikianlah gagasan filosofis dari filsuf Perancis Emmanuel Levinas (1906-1995), seorang Yahudi yang sempat ditahan Nazi, dan hampir seluruh keluarganya tewas dalam peristiwa Shoah.

            Jika trauma bukanlah sesuatu yang eksklusif, namun sesuatu yang membutuhkan kepekaan kita untuk mendengarkan suara-suara korban—entah siapa pun dia, apakah ia orang Eropa atau tidak, Islam atau Kristen atau Budha atau Hindu atau ateis sekalipun, apakah ia berkulit coklat atau tidak, dst—lantas, mengapa kita dapat memilah dengan tegas dan begitu pasti ada yang disebut trauma ke-Indonesia-an dan ada yang disebut trauma Eropa? Bagi saya, sejarah yang lahir dari/atau menjadi trauma bukanlah sejarah yang eksklusif atau tidak dapat dibagi. Korban selalu senantiasa bersedia untuk berbagi—masalahnya, kadang kala kita tidak cukup peka untuk mendengarkan suara yang berbicara dalam keheningan.  
             

Diam-Diam


Tiga hari yang lalu, saya berdiskusi tentang Mesir dengan teman saya. Di akhir perbincangan, dia bilang, "Karena kekuasaan memungkinkan kehidupan yang lebih baik, diam-diam demokrasi berbicara tentang KAMI melalui KITA."

sajak terjemahan

Antara yang kutatap dan yang terucap
: kepada Roman Jakobson
-Octavio Paz-

1
Antara yang kutatap dan terucap,
Antara yang kutatap dan yang kudiamkan,
Antara yang kudiamkan dan yang kuidamkan,
Antara yang kuidamkan dan yang terlupakan:
puisi.
      Ia tergelincir
antara ya dan tidak,
                            mengucap
apa yang kudiamkan,
      mendiamkan
apa yang kuucapkan,
                 dan bermimpi
tentang apa yang terlupakan.
                                Puisi bukanlah mantra
ia adalah gerak.
            Puisi adalah gerak
pada mantra.
       Puisi
mengucap dan terdengar:
              ia begitu nyata.
Sesaat aku berkata
     ia begitu nyata,
puisi menjelma musnah.
                          Adakah ia abadi?

2.
Semesta akal
        dan ilusi
kata-kata:
             puisi
datang dan berkelana
         antara ada
dan ketiadaan.
        Ia menenun
dan mengungkai peta ingatan.
           Puisi,
ia-lah mata pada setiap kitab,
ia-lah kata bagi segala tatap.
Mata mengucap,
            kata-kata menatap,
melihat yang terucap.
                   Dengarkanlah
segala pertimbangan,
       lihatlah
apa yang kami ucapkan,
                         sentuhlah
peta ingatan dan cita-cita.
                Sesaat mata dipejam,
kata-kata menjelma cahaya.


Between What I See and What I Say[1]
: for Roman Jakobson
-Octavio Paz-

1
Between what I see and what I say,
Between what I see and what I keep silent,
Between what I keep silent and what I dream,
Between what I dream and what I forget:
poetry
It slips
between yes and no,
                               says
what I keep silent,
   keeps silent
what I say,
   dreams
what I forget.
        It is not speech:
it is an act.
   It is an act
of speech.
      Poetry
speaks and listens:
    it is real.
And as soon as I say
       it is real,
it vanishes.
    Is it than more real?

2.
Tangible idea,
         intangible
word:
        poetry
comes and goes
between what is
and what is not.
It weaves
and unwaves reflection.
Poetry,
scatter eyes on a page,
scatter words on our eyes.
Eyes speaks,
      words looks,
looks thing.
     To hear
thoughts,
see
what we say,
       touch
the body of an idea.
      Eyes close,
the words open.


[1] Saya tidak tahu siapa yang menterjemahkan puisi Octavio Paz ini ke dalam bahasa Inggris--dan saya juga tidak tahu juga puisi ini dalam bahasa aslinya. Terjemahan puisi Octavio Paz ini saya temukan melalui mesin pencari Google.