POLITIK,
SESUATU YANG MELAMPAUI
ILMU PENGETAHUAN


Politics is not an exact science.
Prince Otto von Bismarck
(1815 - 1898)



Saya hendak berangkat dari pertanyaan, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” Contohnya, “Apakah penghematan uang satu putaran penyelenggaraan pemilihan presiden mampu menyelesaikan masalah politik Indonesia?” Jawabannya tentu saja bisa ya, bisa pula tidak. Jawaban apa pun yang diberikan tentu bergantung pada konsepsi dari istilah politik itu sendiri.

Dari sudut etimologi, kata ‘politik’ berasal dari bahasa Yunani ‘polis’ yang berarti negara-kota. Perbincangan ‘politik’ adalah perbincangan tentang negara-kota, tentang pengelolaan negara-kota, tentang pengelolaan hidup-bersama di dalam suatu territorial. Adanya pengelolaan meniscayakan kehadiran pengelola dan yang-dikelola. Pemerintah hadir sebagai pihak pengelola, sedangkan warga negara hadir sebagai pihak yang-dikelola. Atas nama kedaulatan, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengelola kehidupan warga negara.

Tentu saja perbincangan dengan pengelolaan hidup-bersama bukanlah perbincangan yang tak memiliki tujuan. Pengelolaan hidup-bersama—entah dari sudut sosiologi, ekonomi, atau pun budaya—menjadi topik perbincangan penting justru karena memang ada tujuan yang hendak dicapai. Hidup-bersama hadir bukan semata-mata sebagai hidup-bersama yang bersifat nasib, melainkan hidup-bersama yang bersifat perjuangan, kerja keras, menuju hidup-bersama yang baik. Problemnya, apa yang dimaksud dengan ‘baik’?

Pemerintah bukanlah sesuatu yang datang dari kekosongan, bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Kelayakan orang atau sekelompok orang memegang kekuasaan pada suatu negara-kota berlandaskan keberhasilan mereka memenangkan persaingan di kalangan warga. Kemenangan sudah tentu mengandaikan adanya yang-kalah. Kemenangan atau kekalahan dari kontestan persaingan disebabkan oleh konsepsi para kontestan untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi hidup-bersama.


Persaingan Tanpa Yang ‘Baik’
Meski tidak terlalu memadai, penjelasan di atas membantu untuk melihat apa yang ada di dalam konsepsi politik. Setidaknya ada enam hal yang penting, 1) kedaulatan, 2) kekuasaan, 3) pemerintah yang juga berasal dari 4) warga, dan 5) persaingan/kompetisi 6) untuk menentukan apa yang ‘baik’.

Bila kembali mengacu pada pertanyaan awal, “Apakah ilmu pengetahuan mampu memecahkan masalah politik?” maka teranglah batas-batas jawaban ya atau tidak. Menurut saya hanya rasionalitas yang menyederhanakan politik sebagai persaingan/kompetisi sajalah yang memampukan ilmu pengetahuan menyelesaikan persoalan politik. Persaingan dimenangkan kontestan tertentu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berperan menemukan teknologi baru agar kontestan lain kalah. Penguasaan teknologi menjadi jaminan kemenangan. Menguasai ilmu pengetahuan, memanfaatkan ilmu pengetahuan beserta orang-orang yang berpengetahuan menjadi langkah pokok menuju kemenangan. Tetapi, sejatinya, politik tidak hanya persaingan belaka. Persaingan politik adalah persaingan yang berupaya meyakinkan warga tentang apa yang ‘baik’ bagi warga di masa depan.

Patut pula diperjelas, kualifikasi apa yang ‘baik’ yang menjadi substansi persaingan merupakan wilayah yang berada di luar obyektifitas. Apa yang ‘baik’ adalah sesuatu yang sulit untuk diukur, yang berada di luar jangkauan kuantifikasi numerik. Apa yang ‘baik’ lahir dari pertimbangan atas, minimal dua pilihan yang ada, yang mungkin diambil subyek tertentu. Maka, yang ‘baik’ hadir sebagai subyektifitas. Dalam konteks ini, subyektifitas yang saya maksud mengikuti pemahaman Kierkegaard (yang agak saya modifikasi. Kierkegaard menggunakan konsepsi subyektifitas dalam konteks nilai benar/salah, bukan baik/buruk) di mana keputusan memilih yang ‘baik’ bukan karena apa yang dipilih adalah ‘baik’, melainkan karena subyek memiliki keyakinan bahwa apa yang dipilihnya adalah ‘baik’. Dan klarifikasi atas subyektifitas berada pada wilayah masa depan. Pada masa kampanye sekarang, kata-kata ‘bukti’ dan ‘janji’ adalah wujud dari subyektifitas akan apa yang ‘baik’.


Karya, Produk, Dan Sampah
Penggunaan ilmu pengetahuan dalam konteks simplifikasi pemahaman politik menjadi sekadar persaingan/kompetisi, menurut saya, menyebabkan politik hadir sebagai komoditi. Politik tak ubahnya seperti produk sikat gigi, jam tangan, sabun cuci, atau teh celup. Komodifikasi politik menyebabkan terjadinya degradasi nilai politik. Komodifikasi politik merendahkan status politik yang awalnya adalah “karya” menjadi sekadar “produk,” bahkan bisa-bisa di kemudian hari politik dikenali sebagai “sampah.”

Politik sebagai persaingan menentukan apa yang ‘baik’ tentunya dengan sendiri mengandaikan adanya kerja. Analisa mahzab Frankfurt yang menggali inspirasi dari Karl Marx merumuskan kerja sebagai bagian keberadaan manusia di dunia. Antara apa yang dikerjakan orang dengan orang yang mengerjakan ada ikatan yang tak terpisahkan. Antara hasil pekerjaan dengan pekerja ada ikatan batiniah di mana melalui hasil pekerjaannya seseorang menunjukkan siapa dirinya. Adanya hubungan intrinsik antara hasil pekerjaan dengan pekerja itulah yang saya konsepsikan sebagai karya. Sebuah idiom yang masih berlaku di dunia kesenimanan Indonesia. Percakapan antara seniman, mulai dari yang amatir hingga profesional, adalah tentang: Karya. Apakah Anda pernah mendengar pameran karya elektronik? Saya pikir, yang jamak terjadi adalah pameran produk otomotif, furnitur, dan lainnya.

Proses industrialisasi, yang dikritik Karl Marx karena logika kapitalisme yang bekerja di dalamnya, mengubah nilai dari hasil kerja menjadi produk. Hasil kerja bukan lagi karya, yang hanya satu-satunya, tidak terganti, abadi. Sejak jaman industrialisasi, hasil kerja memiliki nilai baru, yakni produk. Produk berarti tidak satu-satunya, dapat diganti, dan tentu saja tidak abadi. Hasil kerja yang disebut produk pun mengingkari keterikatan intrinsik dengan pekerjanya. Suatu hal yang kemudian dikenal dengan istilah alienasi, pengasingan pekerja dari apa yang dikerjakan.

Dari produk, lahirlah sampah. Sampah adalah produk yang sudah tidak mampu lagi memberi utilitas kepada pemiliknya. Seseorang yang kehilangan produk dapat saja langsung melapor ke polisi perihal kehilangan tersebut. Namun, tentu saja janggal untuk memikirkan ada orang melapor karena kehilangan sampah dari bak sampah di belakang rumahnya.

Komodifikasi politik oleh ilmu pengetahuan menghilangkan aspek fundamental politik, yakni kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’. Pencitraan diri para kontestan—saya menduga, pencitraan kontestan didukung riset ilmiah untuk mengetahui kira-kira iklan macam apa yang harus dikeluarkan agar dapat menguasai arus bawah sadar publik hingga memilih calon bersangkutan—menjadi jalan pintas untuk memikat suara publik, yang diidentifikasi sebagai pemilih yang lebih mengedepankan perasaan daripada pikiran. Kerja keras yang lebih bersifat ideologis untuk menentukan apa yang ‘baik’ dengan cara pengorganisasian publik dan melakukan transformasi kesadaran kritisnya malah tidak dilakukan. Kerja politik yang dilakukan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dokter Wahidin, Tan Malaka, menurut saya mengadopsi pola kerja keras untuk menentukan apa yang ‘baik’ bagi Bumiputra, yaitu: Kemerdekaan. Secara metaforis saya menyatakan: Perenungan akan permasalahan kebangsaan dan kenegaraan seakan mengisi setiap denyut nafas mereka. Dan bukankah pada masa pemilihan legislatif lalu, para caleg mendatangi, lalu menginventarisir segenap permasalahan dari daerah pemilihannya beberapa bulan menjelang pemilihan umum digelar?

Pada setiap proses periodik politik yang terjadi, pada akhirnya sejarah jugalah yang akan memberikan klarifikasi keselarasan antara ‘bukti’ dengan ‘janji’ (tidak cuma mengandalkan ‘bukti’ tanpa ‘janji’, atau sebaliknya ). Saya pikir, pada saat sejarah bicara itulah kita baru mengetahui siapa yang memang benar-benar melakukan kerja politik yang bernilai karya, bukan cuma produk apalagi sampah, sebagaimana sikap para anggota dewan yang membolos, juga tidur saat bersidang.


Akhir Kata
Saya pikir, tidak salah juga bila ilmu pengetahuan dipergunakan saat berkampanye. Sebabnya tentu saja karena ilmu pengetahuan memang berguna bagi kehidupan manusia. Namun, penggunaan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi para kontestan untuk mendapatkan raihan suara yang maksimal seyogyanya dibarengi dengan usaha transformasi kesadaran kritis publik bahwa ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran tunggal yang bersifat mutlak dan pasti, bahkan melampaui ruang dan waktu. Menyitir pendapat filosof Jerman Jürgen Habermas, ilmu pengetahuan bukan lagi sarana manusia untuk membebaskan diri dari mitos atau takhayul, melainkan sarana untuk menaklukan, mendominasi!




RUMAH SAKIT ATAU HOSPITAL?

Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko menyediakan padanan bagi frasa “rumah sakit,” yakni hospital. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga pun mengamini hal tersebut pada halaman 408.

Bagi saya, mendengar atau pun melihat kata ‘hospital’, seketika intuisi berbahasa saya membawa imajinasi saya pada kesimpulan tentatif: Pasti berasal dari bahasa Inggris atau setidaknya berhubungan dengan bahasa Inggris.

Encarta Dictionary Tools menyatakan ada tiga arti dari ‘hospital’, yakni 1) bangunan untuk perawatan medis, 2) tempat untuk memperbaiki sesuatu, 3) tempat penampungan bagi mereka yang membutuhkan. Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus pun menyatakan hal yang relatif sama, kecuali ada penegasan pada poin 2), yakni sebagai tempat reparasi bagi objek-objek spesifik yang kecil, semisal arloji atau pun jam.

Fakta yang saya peroleh dari perbandingan kata ‘hospital’ yang ada pada Tesaurus Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan apa yang ada pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus meyakinkan saya bahwa kata ‘hospital’ adalah kata serapan dari bahasa asing, atau setidaknya bernenek moyang pada bahasa Inggris.

Melihat kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengartian ‘hospital’ telah mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan arti yang terdapat pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus. Pada halaman 408 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hospital’ merupakan kata benda dari ragam cakapan atas kata ‘rumah sakit’. Tidak ada pengartian lebih lanjut, hanya berhenti pada pemadanan kata. Melihat pada halaman 967, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘rumah sakit’ sebagai 1) gedung tempat merawat orang sakit; 2) gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.
Dari dua pengartian, kata ‘pelayanan’ memantik kegelisahan tersendiri bagi saya. Penasaran, saya melihat halaman 646 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ‘pelayanan’ yang menempati posisi kata benda punya tiga arti, 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan, 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.

Pengartian atomis kebahasaan yang saya lakukan cukup mengejutkan. Namun, apa yang mengejutkan itu akan saya bicarakan nanti, setelah saya melakukan pelacakan tentang sejarah kata ‘hospital’ dalam bahasa Inggris.

Cassell’s Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room, pada halaman 288, saya kutipkan:

hospital n. an institution for the reception and treatment of the sick or injured. WH: 12-14 C. Old French (Modern French hôpital), from Medieval latin hospitale, use as n. of Latin hospitalis hospitable, from hospes, hospitis HOST1. See also –AL1. A hospital was originally a house for the reception of pilgrim, travelers or strangers, then a charitable institution for the infirm, aged and needy. The current sense evolved in the 16 C.

Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata ‘hospital’ berakar pada kata “host” (lihat: HOST1) yang berarti 1) orang yang menghibur orang lain, 2) orang asing, musuh, juga tamu.

Dari penjelasan Cassell’s Dictionary of wordhistories terang bahwa pengertian ‘hospital’ bermula dari sebuah rumah yang difungsikan untuk menerima orang asing, entah petualang atau peziarah, yang dikenal sebagai ‘tamu’, orang yang menghibur orang lain. Di kemudian hari, konsep ‘hospital’ mengalami evolusi menjadi lembaga tempat berlindungnya orang tak mampu, tua, dan yang membutuhkan, hingga berakhir pada evolusi paling mutakhir, yakni sebagai lembaga yang menerima dan merawat orang yang sakit dan terluka.

Apa yang memukau saya dari penjelajahan atomik bahasa, konseptualisasi ‘hospital’—yang menurut Saussure dapat terjadi secara arbitrer ataupun melalui jalur kesepakatan—sangat kaya. Secara konseptual-implisit, kata ‘hospital’ mengandung makna keterbukaan, keramahan, kesediaan menerima orang asing sebagai orang yang menghibur orang lain—suatu konsep yang juga ada pada kebudayaan di Indonesia di mana kedatangan tamu berarti juga kedatangan rezeki (rezeki adalah istilah yang punya kaitan intrinsik dengan spiritualitas/religiusitas daripada materialitas ekonomis) dan karena itu pula menyambut tamu dilakukan tangan terbuka.

Dalam filsafat kontemporer, Jacques Derrida pun mencoba mengkonseptualisasikan ‘hospital’ sebagai suatu prinsip filosofis bagi filsafat politik. Prinsip tersebut berguna untuk mengkonstruksikan ulang tata kehidupan global yang sudah mengalami kekacauan, yang diidentifikasi sebagai akibat dari fundamentalisme agama, yang juga pernah terjadi pada abad 16 M. Dalam buku terjemahan Alfons Taryadi, Filsafat Dalam Masa Teror karangan Giovanna Borradori, Derrida menawarkan konsep hospitality sebagai tandingan bagi toleransi yang dianggap telah gagal menciptakan tatanan dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Alfons Taryadi menerjemahkan hospitality sebagai kesanggarahan, yang menurut saya tepat meski belum jitu. Saya kutipkan tulisan Giovanna Borradori pada halaman 26, yang telah diterjemahkan Alfons Taryadi, untuk menjelaskan pengertian Derrida atas prinsip tersebut:

Tetapi kesanggrahan murni atau tanpa syarat tidak berupa suatu undangan seperti itu. (“Saya undang anda, selamat datang di rumah saya, dengan syarat bahwa anda menyesuaikan diri kepada hukum-hukum serta norma teritori saya, sesuai dengan bahasa, tradisi, kesenangan saya dan seterusnya.”) Kesanggrahan murni dan tanpa syarat, kesanggrahan itu sendiri, membuka atau lebih dahulu terbuka kepada seseorang yang tidak diperkirakan akan datang, tidak pula diundang, kepada siapa saja yang datang sebagai pengunjung yang sama sekali asing, sebagai seorang pendatang baru, yang tak teridentikasi dan tak ternyana, singkat kata, yang sepenuhnya lain.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia lema ‘sanggrah’—sebuah kata kerja yang mengalami pembendaan dengan penambahan ‘ke-~-an’—berarti singgah sebentar (beristirahat barang sehari atau dua hari). Menurut saya, pemahaman Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih memusatkan pengartian lema ‘sanggrah’ pada subyek dari ‘sanggrah’, bukan bertitik tolak dari obyek ‘sanggrah’. Ilustrasinya, pengartian ‘sanggrah’ dalam bahasa Indonesia lebih bertitik tolak pada, katakanlah, orang yang menginap, daripada orang yang menyediakan pondokan.

Karena alasan pemaknaan subjektif itulah saya menilai terjemahan Alfons Taryadi tepat tetapi kurang jitu, karena konseptualisasi Derrida atas hospitality merujuk pada kesiapan emosional, intelektual, bahkan spiritual yang positif dari orang yang kedatangan tamu ke rumah orang bersangkutan secara tidak terduga, tak teridentikasi, tak disangka. Secara konseptual memang saya tidak bisa memberikan istilah apa yang jitu untuk menerjemahkan hospitality Derrida, tetapi setidaknya, menurut saya, hospitality Derrida mengandung ketulusan, kebahagiaan, serta kegirangan. Hospitality, menurut saya tak jauh beda dengan perasaan yang saya alami sewaktu kecil ketika saya kegirangan melihat ada kupu-kupu besar terbang di dalam rumah (tatkala kecil, saya menerima pikiran yang menyatakan ‘kedatangan kupu-kupu di rumah adalah pertanda akan datangnya tamu’).

Melalui studi banding linguistik filosofis atas kata ‘hospital’ untuk menilai secara kualitatif makna ‘rumah sakit’, saya mendapatkan kesimpulan yang memang mengejutkan. Secara historis, ‘hospital’ memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar merawat orang sakit, sebab ada unsur manusiawi, juga ketelitian, ketelatenan sebagaimana ditunjukkan lewat pengertian reparasi jam/arloji. Unsur kemanusiawiaan dan ketelitian a la ilmu keteknikan menjadi nyawa bagi kata tersebut. Pada bahasa Indonesia, kata ‘rumah sakit’ mentok pada pengertian gedung tempat merawat orang sakit dan gedung yang menyediakan dan memberikan perawatan serta pelayanan. Konsep yang sedemikian dangkal—saya pikir, kesimpulan “dangkal” disebabkan keterbatasan wawasan saya yang tidak mengetahui potensialitas bahasa Indonesia untuk menghasilkan konseptualisasi lokasi perawatan orang sakit yang lebih tepat daripada ‘rumah sakit’—semakin menjadi banal setelah saya memperhatikan apa yang dimaksud dengan lema ‘pelayanan’. Lema ‘pelayanan’ cenderung mengadopsi suasana pemahaman yang bersifat teknis fisikal dan ekonomis. Maka, konstruksi ‘rumah sakit’ pada bahasa Indonesia, yang dideteksi melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia didominasi gagasan ekonomis, untung-rugi. Kategori ekonomis menjadi tolak ukur utama yang dilekatkan ‘rumah sakit’ kepada orang-orang yang mengunjungi ‘rumah sakit’.

Secara konseptual, saya pun bisa mengerti mengapa Ibu Prita dipenjara karena menuliskan dan menyampaikan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di dunia maya. Ada persoalan ekonomi, untung-rugi, yang melatari hal tersebut dikarenakan konstruksi bahasa ‘rumah sakit’ di Indonesia. Secara spekulatif, saya dapat menyimpulkan, gugatan perdata pun laporan pidana dari Rumah Sakit Omni Internasional terhadap Ibu Prita adalah murni hilangnya keuntungan Rumah Sakit Omni Internasional. Dan masalah ‘pencemaran nama baik’, menurut saya, adalah topeng untuk menutupi niat yang sebenarnya, yakni mendapatkan kembali keuntungan yang hilang.