RUMAH SAKIT ATAU HOSPITAL?

Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko menyediakan padanan bagi frasa “rumah sakit,” yakni hospital. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga pun mengamini hal tersebut pada halaman 408.

Bagi saya, mendengar atau pun melihat kata ‘hospital’, seketika intuisi berbahasa saya membawa imajinasi saya pada kesimpulan tentatif: Pasti berasal dari bahasa Inggris atau setidaknya berhubungan dengan bahasa Inggris.

Encarta Dictionary Tools menyatakan ada tiga arti dari ‘hospital’, yakni 1) bangunan untuk perawatan medis, 2) tempat untuk memperbaiki sesuatu, 3) tempat penampungan bagi mereka yang membutuhkan. Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus pun menyatakan hal yang relatif sama, kecuali ada penegasan pada poin 2), yakni sebagai tempat reparasi bagi objek-objek spesifik yang kecil, semisal arloji atau pun jam.

Fakta yang saya peroleh dari perbandingan kata ‘hospital’ yang ada pada Tesaurus Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan apa yang ada pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus meyakinkan saya bahwa kata ‘hospital’ adalah kata serapan dari bahasa asing, atau setidaknya bernenek moyang pada bahasa Inggris.

Melihat kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengartian ‘hospital’ telah mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan arti yang terdapat pada Encarta Dictionary Tools dan Merriam Webster’s Dictionary & Thesaurus. Pada halaman 408 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hospital’ merupakan kata benda dari ragam cakapan atas kata ‘rumah sakit’. Tidak ada pengartian lebih lanjut, hanya berhenti pada pemadanan kata. Melihat pada halaman 967, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘rumah sakit’ sebagai 1) gedung tempat merawat orang sakit; 2) gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.
Dari dua pengartian, kata ‘pelayanan’ memantik kegelisahan tersendiri bagi saya. Penasaran, saya melihat halaman 646 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ‘pelayanan’ yang menempati posisi kata benda punya tiga arti, 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan, 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.

Pengartian atomis kebahasaan yang saya lakukan cukup mengejutkan. Namun, apa yang mengejutkan itu akan saya bicarakan nanti, setelah saya melakukan pelacakan tentang sejarah kata ‘hospital’ dalam bahasa Inggris.

Cassell’s Dictionary of wordhistories karangan Adrian Room, pada halaman 288, saya kutipkan:

hospital n. an institution for the reception and treatment of the sick or injured. WH: 12-14 C. Old French (Modern French hôpital), from Medieval latin hospitale, use as n. of Latin hospitalis hospitable, from hospes, hospitis HOST1. See also –AL1. A hospital was originally a house for the reception of pilgrim, travelers or strangers, then a charitable institution for the infirm, aged and needy. The current sense evolved in the 16 C.

Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata ‘hospital’ berakar pada kata “host” (lihat: HOST1) yang berarti 1) orang yang menghibur orang lain, 2) orang asing, musuh, juga tamu.

Dari penjelasan Cassell’s Dictionary of wordhistories terang bahwa pengertian ‘hospital’ bermula dari sebuah rumah yang difungsikan untuk menerima orang asing, entah petualang atau peziarah, yang dikenal sebagai ‘tamu’, orang yang menghibur orang lain. Di kemudian hari, konsep ‘hospital’ mengalami evolusi menjadi lembaga tempat berlindungnya orang tak mampu, tua, dan yang membutuhkan, hingga berakhir pada evolusi paling mutakhir, yakni sebagai lembaga yang menerima dan merawat orang yang sakit dan terluka.

Apa yang memukau saya dari penjelajahan atomik bahasa, konseptualisasi ‘hospital’—yang menurut Saussure dapat terjadi secara arbitrer ataupun melalui jalur kesepakatan—sangat kaya. Secara konseptual-implisit, kata ‘hospital’ mengandung makna keterbukaan, keramahan, kesediaan menerima orang asing sebagai orang yang menghibur orang lain—suatu konsep yang juga ada pada kebudayaan di Indonesia di mana kedatangan tamu berarti juga kedatangan rezeki (rezeki adalah istilah yang punya kaitan intrinsik dengan spiritualitas/religiusitas daripada materialitas ekonomis) dan karena itu pula menyambut tamu dilakukan tangan terbuka.

Dalam filsafat kontemporer, Jacques Derrida pun mencoba mengkonseptualisasikan ‘hospital’ sebagai suatu prinsip filosofis bagi filsafat politik. Prinsip tersebut berguna untuk mengkonstruksikan ulang tata kehidupan global yang sudah mengalami kekacauan, yang diidentifikasi sebagai akibat dari fundamentalisme agama, yang juga pernah terjadi pada abad 16 M. Dalam buku terjemahan Alfons Taryadi, Filsafat Dalam Masa Teror karangan Giovanna Borradori, Derrida menawarkan konsep hospitality sebagai tandingan bagi toleransi yang dianggap telah gagal menciptakan tatanan dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Alfons Taryadi menerjemahkan hospitality sebagai kesanggarahan, yang menurut saya tepat meski belum jitu. Saya kutipkan tulisan Giovanna Borradori pada halaman 26, yang telah diterjemahkan Alfons Taryadi, untuk menjelaskan pengertian Derrida atas prinsip tersebut:

Tetapi kesanggrahan murni atau tanpa syarat tidak berupa suatu undangan seperti itu. (“Saya undang anda, selamat datang di rumah saya, dengan syarat bahwa anda menyesuaikan diri kepada hukum-hukum serta norma teritori saya, sesuai dengan bahasa, tradisi, kesenangan saya dan seterusnya.”) Kesanggrahan murni dan tanpa syarat, kesanggrahan itu sendiri, membuka atau lebih dahulu terbuka kepada seseorang yang tidak diperkirakan akan datang, tidak pula diundang, kepada siapa saja yang datang sebagai pengunjung yang sama sekali asing, sebagai seorang pendatang baru, yang tak teridentikasi dan tak ternyana, singkat kata, yang sepenuhnya lain.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia lema ‘sanggrah’—sebuah kata kerja yang mengalami pembendaan dengan penambahan ‘ke-~-an’—berarti singgah sebentar (beristirahat barang sehari atau dua hari). Menurut saya, pemahaman Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih memusatkan pengartian lema ‘sanggrah’ pada subyek dari ‘sanggrah’, bukan bertitik tolak dari obyek ‘sanggrah’. Ilustrasinya, pengartian ‘sanggrah’ dalam bahasa Indonesia lebih bertitik tolak pada, katakanlah, orang yang menginap, daripada orang yang menyediakan pondokan.

Karena alasan pemaknaan subjektif itulah saya menilai terjemahan Alfons Taryadi tepat tetapi kurang jitu, karena konseptualisasi Derrida atas hospitality merujuk pada kesiapan emosional, intelektual, bahkan spiritual yang positif dari orang yang kedatangan tamu ke rumah orang bersangkutan secara tidak terduga, tak teridentikasi, tak disangka. Secara konseptual memang saya tidak bisa memberikan istilah apa yang jitu untuk menerjemahkan hospitality Derrida, tetapi setidaknya, menurut saya, hospitality Derrida mengandung ketulusan, kebahagiaan, serta kegirangan. Hospitality, menurut saya tak jauh beda dengan perasaan yang saya alami sewaktu kecil ketika saya kegirangan melihat ada kupu-kupu besar terbang di dalam rumah (tatkala kecil, saya menerima pikiran yang menyatakan ‘kedatangan kupu-kupu di rumah adalah pertanda akan datangnya tamu’).

Melalui studi banding linguistik filosofis atas kata ‘hospital’ untuk menilai secara kualitatif makna ‘rumah sakit’, saya mendapatkan kesimpulan yang memang mengejutkan. Secara historis, ‘hospital’ memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar merawat orang sakit, sebab ada unsur manusiawi, juga ketelitian, ketelatenan sebagaimana ditunjukkan lewat pengertian reparasi jam/arloji. Unsur kemanusiawiaan dan ketelitian a la ilmu keteknikan menjadi nyawa bagi kata tersebut. Pada bahasa Indonesia, kata ‘rumah sakit’ mentok pada pengertian gedung tempat merawat orang sakit dan gedung yang menyediakan dan memberikan perawatan serta pelayanan. Konsep yang sedemikian dangkal—saya pikir, kesimpulan “dangkal” disebabkan keterbatasan wawasan saya yang tidak mengetahui potensialitas bahasa Indonesia untuk menghasilkan konseptualisasi lokasi perawatan orang sakit yang lebih tepat daripada ‘rumah sakit’—semakin menjadi banal setelah saya memperhatikan apa yang dimaksud dengan lema ‘pelayanan’. Lema ‘pelayanan’ cenderung mengadopsi suasana pemahaman yang bersifat teknis fisikal dan ekonomis. Maka, konstruksi ‘rumah sakit’ pada bahasa Indonesia, yang dideteksi melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia didominasi gagasan ekonomis, untung-rugi. Kategori ekonomis menjadi tolak ukur utama yang dilekatkan ‘rumah sakit’ kepada orang-orang yang mengunjungi ‘rumah sakit’.

Secara konseptual, saya pun bisa mengerti mengapa Ibu Prita dipenjara karena menuliskan dan menyampaikan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di dunia maya. Ada persoalan ekonomi, untung-rugi, yang melatari hal tersebut dikarenakan konstruksi bahasa ‘rumah sakit’ di Indonesia. Secara spekulatif, saya dapat menyimpulkan, gugatan perdata pun laporan pidana dari Rumah Sakit Omni Internasional terhadap Ibu Prita adalah murni hilangnya keuntungan Rumah Sakit Omni Internasional. Dan masalah ‘pencemaran nama baik’, menurut saya, adalah topeng untuk menutupi niat yang sebenarnya, yakni mendapatkan kembali keuntungan yang hilang.

No comments:

Post a Comment