Saya dan Filsafat tentang Anda yang Paham karena Semoga

Ini adalah hal yang paling serius yang pernah saya buat (Anda, Pembaca, dapat juga membacanya demikian: Tulisan yang berjudul ‘Saya dan Filsafat tentang Anda yang Paham karena Semoga’ adalah tulisan singkat serius yang pernah saya buat, entah dengan susah payah atau mengada-ada), sehingga untuk memahaminya, Anda harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan yang cukup (meski apa yang saya maksud dengan ‘cu-kup’ masih sangat problematis) akan filsafat modern dan pasca-modern (ah, tentunya saya dan Anda tidak perlu berdebat tentang apa yang dimaksud dengan ‘pas-ca-mo-de-ren’):

Sesungguhnya, pertama-tama, filsafat bukanlah upaya mencari (dan kemudian, jika Tuhan mengizinkan—sebab, “Manusia berencana, Tuhan menentukan”—maka ‘upaya mencari’ akan berujung pada ‘menemukan’; dan, sekali lagi saya ingatkan peristiwa ‘menemukan’ hanya terjadi karena ‘Tuhan menentukan’) kebenaran, melainkan upaya menyelidiki atau memeriksa Kebenaran. (Saya harap Anda sudah paham, sebab masih ada yang mau saya sampaikan,) dan upaya menyelidiki Kebenaran hanya dapat berlangsung dalam ”Tuhan berencana, Manusia menentukan” (untuk yang terakhir ini, saya benar-benar tidak mengerti apa yang hendak saya sampaikan, dan saya pun tidak berharap ada di antara Anda, Pembaca, dapat memahami apa yang bagi saya sendiri tidak dapat saya pahami.).

[Setelah selesai menuliskan tulisan singkat serius ini, saya kembali membaca dan melakukan perubahan dan perbaikan di sana-sini—namun (saya bersyukur sekaligus menyayangkan), saya tidak dapat memberikan kepada Sidang Pembaca (saya harap Anda paham mengapa para penulis, entah karena kesantunan atau kebiasaan—sejujurnya, saya selalu curiga dengan ‘kesantunan’ dan ‘kebiasaan’—selalu menggunakan frasa ‘Sidang Pembaca’ dalam pengantar tulisan. Ah, tepat sekali jawaban Anda, ‘Sidang Pembaca’ adalah frasa yang menunjukkan otoritas penilaian atas kualitas suatu tulisan adalah ‘Pembaca’, tentunya setelah melalui proses-‘Sidang’.) tulisan hasil perubahan dan perbaikan itu. Tapi, percayalah, Sidang Pembaca yang terhormat, Anda dapat mengetahui tulisan hasil perubahan dan perbaikan itu—hanya saja…, ah, lebih baik tak saya beritahukan apa alasannya. Semoga Anda, Sidang Pembaca yang terhormat, dapat memahaminya. Terima kasih.]

Satu Paragraf tentang Kepergian Franky

Barangkali, kedekatanku secara emosional dengan Franky diperantarai oleh Gus Dur. Pernah suatu ketika, Franky mengisi acara peringatan wafatnya Gus Dur. Dari panggung yang berada di tengah Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Franky mengajak semua orang yang hadir dalam peringatan bernyanyi, “Gus Dur-ku sayang, pahlawanku.” Bagiku, lirik yang tampak biasa tampil sebagai sesuatu yang tak biasa. Franky berhasil menempatkan metafora ‘pahlawan’ yang ia sematkan ke sosok Gus Dur menjadi ‘sahabat’. Ia mampu menempatkan Gus Dur sebagai sosok yang jauh—bukankah ‘pahlawan’ identik dengan hal ideal?—sekaligus dekat, bukankah sahabat adalah orang yang menghabiskan hidupnya dengan selalu berada di dekat kita?

Kabar kematian Franky mengejutkanku. Di tengah ungu duka, siapa pun paham—ucapan “Selamat jalan...” adalah puisi panjang dan begitu mendalam.

Ecce Nietzsche

Fatum. Takdir. Chairil—seorang temanku yang berkepala botak dan menyimpan jendela sekolah yang rusak, lampu disko, kitab suci, tanda seru, gonggong anjing, hingga kabar duka dalam tengkorak plontos itu suka memanggil dia dengan sebutan: Anwar—menulis: nasib adalah kesunyian masing-masing.

Fatum. Takdir. Nietzsche—seorang temanku, selalu saja beku mendiam setiap kali ia mendengar nama itu. “Amor fati.” Puncak filsafat, demikian dia bicara, adalah ketidakpastian—paling tidak, adanya secercah kesadaran akan ketidakpastian. Ketika aku bertanya: apakah itu keraguan. Dia hanya menggelengkan kepala. Sampai sekarang aku tidak tahu apa makna gelengan kepala itu. Apakah hendak berkata, “Bukan itu,” atau “Engkau tidak akan mengerti,” atau “Usaha mencari penjelasan adalah sia-sia,” atau…,—tetap saja aku tak bisa menjawab.

Fatum. Takdir. Seorang temanku yang lain—meski ia tak pernah menyebutkan nama dirinya, persahabatan kami tetap berlangsung hangat tanpa beban kecurigaan—bilang, “Agar kita sampai pada situasi buruk yang tak terelakkan, biarkanlah itu menjadi tugas takdir.” Aku mendengar kalimat itu sebagai kesempurnaan. Hingga, suatu ketika ia menambahkan kalimat lain atas kalimat yang pernah ia ucapkan kepadaku di masa lalu: “Keputusan, barangkali, juga… pikiran, kita, manusia, itu persiapan, ya persiapan untuk menghadapi sesuatu, hmmm…, atau tepatnya situasi, situasi yang buruk.” Ia menarik nafas panjang dengan susah payah, “Tragedi,” sambil menutup mata seakan hendak tidur. Setelah itu, percakapan antara aku dan dia berlangsung dalam hening kenangan dan airmata.

Fatum. Takdir. “Nasib adalah kesunyian masing-masing—barangkali, sebuah kesia-siaan yang berakar pada tragedi.” Aku hanya menatap sepi jalanan kota, lampu jalan yang menyala malas, dan seekor kucing dengan mata menantang!

FRAGMEN KOPI

saya pikir: kita perlu kopi agar hidup tidak terlalu horor

dia pikir: kita perlu kopi karena teh punya keterbatasan

FRAGMEN SASTRA

Prosa adalah cara berhadapan dengan orang lain.

Sajak adalah cara berhadapan dengan diri sendiri.

FRAGMEN FILSAFAT

Filsafat adalah pembicaraan tentang hal-hal yang tidak penting namun sulit untuk dihentikan dan sialnya--mereka yang berlibat dalam pembicaraan malah mendapatkan pelajaran berharga dari pembicaraan tentang hal-hal yang tidak penting itu.

Orang Lain

Enrique Dussel membuka bukunya yang berjudul Philosophy of Liberation lewat kutipan personal yang menggetarkan. Demikian ia tulis: there is no peace; they even tear up the flowers. Dussel menebar ironi kehidupan ke dalam pilihan dilematis: melepas mekar bunga demi hening damai atau melupakan hening damai demi mekar bebungaan. Mendadak saya ingat ucap seorang sahabat: “Agar kita sampai pada pilihan terburuk yang tak terelakkan, biarkanlah itu menjadi tugas takdir.”

Saya pikir—barangkali saya keliru—Dussel melihat kekerasan adalah situasi yang niscaya ada dan terjadi di dalam kehidupan. Manusia—seberapa pun kuat dan tangguh—tetap saja gagal mencegah kekerasan tampil dalam kehidupan. Kekerasan ibarat musim kemarau yang niscaya datang, segera atau tunda.

Barangkali—manusia memang mahluk paling sial di dunia. Ia hidup dalam keniscayaan sekaligus yakin akan ilusi realitas. Ia maklum bahwa kekerasan tidak dapat dielakkan sekaligus mendamba bahwa kedamaian bukan sekadar mimpi. Diam-diam—keyakinan akan kekerasan yang mutlak dan niscaya disusupi oleh kehendak untuk mencipta damai yang belum tentu pasti. Kalau memang demikian, saya mahfum bahwa apa yang disebut dengan “perang suci” adalah persetubuhan intim antara keniscayaan kekerasan dan mimpi akan kedamaian. “Perang suci” tampil dalam banyak peristiwa, mulai dari pertempuran Katolik dan Islam pada abad 11 hingga 13 Masehi dalam penentuan otoritas atas kota suci Yerusalem, konflik Bosnia di era 90-an yang menyeret Radovan Karadzic ke Mahkamah Kejahatan Internasional atas sangkaan genosida hingga kejahatan kemanusiaan, aksi-aksi terorisme di New York pada 2001, di Bali pada 2002, juga Mumbai pada 2008, dan tentu masih ada dan banyak yang belum disebut bahkan dicatat.

“Perang suci” adalah ironi. Ibarat pohon, perakaran “perang suci” adalah ambisi menghadirkan buah perdamaian—namun sialnya “perang suci” tumbuh pada humus tanah kekerasan. Mulai dari ideologi politik hingga doktrin agama dapat menjadi sumber inspirasi sekaligus dasar legitimasi kudus sebuah perang yang absurd. Pada “perang suci” tidak ada korban, yang ada hanya kurban. Kematian adalah pengurbanan—jalan tiba pada cita-cita. “Perang suci” adalah rute wajib penubuhan mimpi, baik bagi mereka yang tersisa atau yang sudah berkalang tanah. Dan kekalahan adalah dosa!—pengkhianatan atas cita-cita.

Pada “perang suci” pembunuhan dikenali sebagai suatu kewajaran. Di padang pertempuran, seorang pribadi mengenal pribadi lainnya melalui kacamata cita-cita: kawan atau lawan—siapa pun yang berada pada kutub lawan harus ditumpas mampus. Hanya ada satu diktum di medan perang: Setiap mereka yang lain dari saya harus tiada! Pada alam cita-cita, menggema maksim: Orang lain tak punya tempat di sini! Maka, mimpi akan damai sebetulnya mereguk ilham dari bisikan: “Tolaklah orang lain.”

Barangkali Dussel keliru—dan kita dapat berkata: the Other is peace, their face are flowers. Tentunya pernyataan begitu terucap bila orang lain mendapat tempat—baik pada tatapan kasatmata dan di citacita yang kasatatma. Dan lebih dari 2.000 tahun lalu, Sokrates bicara tentang “kenalilah dirimu sendiri”. Apa yang diucapkan Sokrates adalah petikan dari kalimat yang tertera di kuil pemujaan Apollo, di Delphi, yang berbunyi: Kenalilah dirimu sendiri, engkau berada di antara binatang dan dewa. Tanpa berniat menyatakan ada yang kurang atau keliru dalam hikmat demikian, ada baiknya kita juga membacanya sebagai: Kenalilah orang lain, ia berada di antara binatang dan dewa.

FRAGMEN METAFORA

Metafora bermula dari keterbatasan dan ketakterdugaan. Ketakterdugaan adalah kata lain bagi ketakterbatasan.

FRAGMEN WARAS

Bertanya--bahkan bertanya hal paling konyol sekalipun--adalah jalan menuju waras.

Sketsa Tentang Sebuah Negeri Di Mana Mimpi Adalah Sebuah Kemustahilan

Gagasan adalah masa depan. Ia—kita maknai pun kenali sebagai mimpi. Ia—sebab gagasan tidak semata-mata ada sebagai benda mati, sebagai batu, atau sebagai peluru. Ia—gagasan adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang tumbuh. Ia—malah, bisa saja, mahluk yang berkehendak. Dan bukan pula tak mungkin kehendak dari sebuah gagasan bahkan melebihi kehendak dari orang yang melahirkan gagasan. Kadang, tanpa sadar kita mengucap: Revolusi memakan anak-anaknya sendiri. Gagasan adalah masa depan. Ia adalah kehidupan sekaligus kematian.