CATATAN PERJALANAN TAK SAMPAI 24 JAM:
EKSOTIKA BALI ERA GLOBALISASI


Selama perjalanan 112 menit, dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Ngurah Rai, angan saya membayangkan irama komposisi musik bertajuk 'GloBALIsm' karya I Wayan Balawan. Ketika itu, musikus jazz asal Pulau Dewata tampil bersama Batuan Ethnic Fusion di Gedung Kesenian Jakarta setahun lalu. Gitaris yang tenar dengan teknik sentuh (touch technique) delapan jemari itu memadukan dua alat musik dari dua jaman berbeda, tradisional dan modern. Gamelan Bali hadir sebagai representasi kekayaan perabadan tradisional. Dan, gitar elektrik, bass, juga drum merujuk pencapaian modernitas alat musik. Cipta kreasi Wayan pun menghasilkan komposisi jazz yang unik lagi menarik.

Berdasar suguhan musik unkonvensional tersebut, imajinasi saya berhasil menangkap pesan yang hendak disampaikan pria kelahiran Gianyar, Bali, 9 September 1972. Terasa, melalui musik Wayan mencoba bercerita tentang perubahan Pulau Bali. Melodi gitar elektrik mengangkat gejolak hentak pembangunan, entah berupa gedung perkantoran atau tempat hiburan seperti diskotek, juga outlet-outlet perlengkapan selancar hingga pakaian renang. Di sisi lain, tabuhan gamelan turut andil mencitrakan gaung budaya lokal yang masih terkawal rapi, memberi gambaran keramahan penduduk hingga pura ibadah yang masih berdiri megah di tiap pojok jalanan pulau seluas 5.623,82 kilometer per-segi. Setidaknya, visualisasi imajinasi itulah muncul selama penantian dalam pesawat Citilink dengan pilot Kapten Hermawan, pada Kamis, 21 Juni lalu.

Dari informasi Kapten Hermawan yang berada di ruang kendali pesawat, saya pun mengetahui bahwa pesawat melaju pada kecepatan 750 kilometer per-jam di ketinggian 10.000 meter di atas permukaan laut. Akhirnya, perjalanan udara dengan jarak tempuh 612 mil yang dimulai pukul 10.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB)--melintasi 'pucuk' gunung berapi aktif Bromo, Jawa Timur, terkurung awan-awan di lapisan troposfer--berakhir pukul 13.52 Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA).

Pendaratan di Ngurah Rai
Perjalanan lintas udara yang mencoba 'mencicipi' produk Clear on the Air gawean bareng Citilink dan Citibank pun lengkap dengan mendaratnya pesawat kapasitas sekitar 120 orang di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, yang berada dekat Pantai Kuta. Ketika pesawat hendak mendarat, ombak laut pun turut bergulung menyisir menghantam tepian pantai bertabur bebutiran pasir-pasir putih. Kepenatan menanti tuntas sudah!

Sesaat menjejak kaki untuk pertama kali di tanah Bali, suhu udara berada pada titik 26 derajat Celcius. Dan, saya segera mengubah jam digital perujuk waktu yang masih dalam format hitungan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB). Sambil mengganti angka penunjuk, dari pukul 13.05 menjadi 14.05, hembus angin laut yang 'merajang' wajah menambah semarak eksotika pulau tropis yang sudah melambung namanya hingga ke seantero dunia. Betapa tidak, majalah perjalanan wisata internasional Travel+Leisure terbitan negara Uncle Sam menobatkan Bali sebagai 'Pulau Wisata Terbaik 2005'.

Pukul 14.40
Usai mengambil nafas di tempat peristirahatan, perjalanan menyusuri pulau wisata terbaik pun dimulai. 'Ziarah' panjang pun mengambil langkah awal di WET Cafe & Bar. Dari sisi bentuk maupun menu yang ditawarkan, memang tidak ada yang istimewa dari Cafe & Bar ini. Desain interiornya, bernuansa modern, simpel bahkan cenderung minimalis. Dinding cafe pun hanya di dominasi dua warna belaka, merah dan hitam; selebihnya berupa kaca transparan. Dan, berkat kaca transaparan inilah, chicken nuggets 'berteman' semangkuk sambal hasil rajangan cabe yang ditawarkan sebagai menu rehat perdana pe-'ziarah'-an Kuta bertambah sedap. Pasalnya, mata lepas memindai sepenggal Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kabupaten Badung, berlatar bangunan mall bertiang pilar gagah gaya Yunani, Discovery Mall.

Di jalanan satu arah selebar tujuh meteran itu, ramai lalu lalang pejalan kaki, entah dari wisatawan asing atau domestik. Pria-pria bule berambut pirang, santai melenggang telanjang dada, hanya mengenakan celana puntung selutut, lazim menjadi fashion para selancar yang menantang gelombang laut pasang di sekitar pesisir Pantai Kuta. Sedang kaum Hawa dari luar Kepulauan Nusantara, tampil mengenakan busana tank-to, dengan bawahan rok mini tak sampai selutut. Tentu saja, tidak lupa asesoris kaca mata hitam, ada yang nangkring di kening, ada yang nyangkut di pangkal hidung bangir.

Perbincangan singkat dengan Public Relations WET Cafe & Bar Liasina J. Sinulingga pun semakin membuka wawasan mengenai nilai lebih WET Cafe & Bar. Perempuan turunan Batak yang sudah lima tahun menetap di Bali ini bercerita, WET Cafe & Bar merupakan upaya pengembangan bisnis dari wahana permainan air, Waterboom. Dulu, kata perempuan langsing semampai ini, lokasi yang menjadi Cafe & Bar merupakan tempat peristirahatan bagi pengunjung Waterboom. Hal itu semakin jelas saat Lia—sapaan Liasina—menyebutkan kepanjangan akronim WET. “Waterboom Experience Take Away, disingkat: WET,” tutur perempuan yang model rambutnya serupa tokoh Molly Jensen yang diperankan aktris Demi Moore dalam film 'Ghost' di 1990.

Paparan Lia lebih lanjut pun makin membongkar inti perubahan WET dari tempat melepas lelah menjadi restoran cepat saji. Perkaranya, efisiensi demi mendatangkan keuntungan lebih bagi Waterboom, plus pelayanan ekstra tidak hanya bagi pengunjung Waterboom, tetapi pejalan kaki yang kebetulan melintas. “Kalau dulu, cuma buat tempat istiraha kelihatannya kurang efektif. Ya, kami inisiatif mengubahnya jadi cafe dan bar. Tentu dengan konsep yang tetap, untuk peristirahatan,” lugas Lia berujar.

Tak sampai sepuluh menit, sehabis menyantap beberapa potong chicken nugget, saya bersama rombongan wartawan beranjak pergi mengunjungi Disovery Mall yang berjarak sekitar 20 meter dari WET Cafe & Bar. Baru saja melangkah, Lia langsung angkat suara menggoda, “Jangan lupa, makan malamnya nanti harus disini lho!” dengan lenggak alis mata yang mengkerut manis.

Sebenarnya, tujuan mengunjungi Discovery Mall tak lain hanya untuk memenuhi niatan melihat keindahan Pantai Kuta yang tersembunyi di balik bangunan megah. Dari WET Cafe & Bar, pandangan mata ke pantai tempat turis menikmati matahari tropis atau pemancing lokal jadi terhalang. Tapi, saat melangkah masuk, saya menjadi tercekat kaget. Kenangan peledakan bom di dua diskotek, Paddy's Club dan Sari Club yang berlokasi di Jalan Legian, Oktober 2002, muncul mendadak. Pemantiknya, ketiadaan 'pasukan' penjaga keamanan gedung lengkap dengan detektor logam di tangan kanan, seperti jamak terjadi di tiap pintu masuk pusat-pusat perbelanjaan di ibukota Jakarta untuk sejenak 'menggeledah' bawaan pengunjung. Tapi, seorang teman, karyawan swasta yang bekerja di Bali, Erwin Sihombing, langsung menjelaskan lepas gejala tersebut. “Disini yang begituan (red—pemeriksaan pengunjung menggunakan detektor logam juga gerbang pemindai) hanya ada di hotel-hotel,” kata dia.

Sembari berceloteh ala kadar, saya beserta sembilan wartawan lainnya tiba di 'buntut' Discovery Mall. Panorama Pantai Kuta pun merasuk retina. Bentangan pasir-pasir, deburan ombak bergulung lalu terbantun di pelataran pantai, serta hembusan angin laut, memikat saya agar lebih bergegas. Tampak beberapa bule-bule dewasa berjalan ditepian, berjemur; sedang yang kanak-kanak riang bermain dengan ombak. Selain itu, sekitar dua hingga tiga orang pemancing lokal terlihat beraksi melempar kail ke tengah pantai. Ada juga seorang ibu yang mengenakan kaos biru langit sedang bercanda ria dengan balita lelaki yang bertelanjang segala. Dan, tak satupun dari mereka yang terlihat oleh mata saya bermimik murung. Kalau tidak tersenyum, paling banter bermuka serius.

Petualangan pun berlanjut. Kali ini, mengambil lokasi di dalam Discovery Mall. Berjalan keliling, hingga ke lantai tiga. Saya pun menemukan keunikan baru. Outlet anggur berlabel Hatten Wine. Asli buatan lokal, tepatnya berasal dari belahan utara God's Island, Singaraja, Kabupaten Buleleng. Karyawan penjaga outlet ramah menawarkan produk anggur AGA White berbotol ramping hijau. “Boleh dicoba, Mas,” kata dia. Langsung saja ia menyajikan anggur ptuih tersebut ke dalam sloki kecil. Saya mencoba, nikmat meski terasa agak kecut (mungkin, karena tak biasa bagi saya yang notabene bukan penikmat minuman kelas 'bangsawan').

Dari informasi Ricky, karyawan biro perjalanan wisata Bali Discovery, saya pun mengetahui bahwa anggur tersebut sudah diekspor hingga ke Australia dan Singapura. “Pabriknya sudah sebelas tahun berdiri, Mas,” tutur pria yang mengenakan kalung batu giok ini. Seluk beluk Hatten Wine diketahui oleh pria asal Toraja ini karena biro perjalanan wisata tempat ia bekerja menyediakan layanan perjalanan wisata ke lokasi perkebunan anggur tersebut.

“Dulu, anggur di Singaraja hanya terbatas untuk konsumsi. Ya, seperti makanan pencuci mulut,” ungkap pria yang telah lima tahun menetap di Bali ini. Namun, perkebunan rakyat di Singaraja memiliki produksi yang banyak. Akhirnya, inovasi pun muncul. Anggur ranum berwarna hijau yang tampak dalam brosur di outlet tersebut diolah untuk menghasilkan nilai lebih. Sang inovator itu bernama Ida Bagus Rai Budarsa. Dan, ia pun mengajak pembuat anggur asal Perancis Vincent Desplat untuk meracik ramuan khas anggur PT. Hatten Bali.

Pria berdandan dandy ini meneruskan satu informasi tak kalah penting. Prestasi Hatten Wine di tingkat internasional. Satu produk Hatten Wine, yakni Alexandria berhasil meraih medali perunggu di International Wine and Spirit Competition, Mei 2003 di London. Ada tujuh varian produk Hatten Wine. Rose, Jepun, Aga Red, Aga White, Alexandria, Pino de Bali dan Tunjung. Kisaran harga jual, Rp75.000 hingga Rp100.000.

Menyisir trotoar Jalan Kartika Plaza, sampailah di Pasar Seni Badung. Lokasi ini merupakan pusat
souvenir lokal, seperti ukiran, lukisan, gelang, hingga baju santai. Sepanjang perjalanan menyusuri trotoar Jalan Kartika, tampak sesajen yang dibentuk kotak dari janur kelapa, berisi roti kering serta dupa menyala. Ada yang terletak di trotoar. Ada juga yang berada di depan pintu masuk pertokoan. Sesajen ini merupakan bagian dari ritual keagamaan di Bali, yakni agama Hindu.

Menyusuri Malam Sekitar Jalan Legian
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WITA. Pe-'ziarah'-an berlanjut ke pusat gemerlap hiburan malam Jalan Legian. Du-gem, akronim umumnya. Panjang ujaran, dunia gemerlap! Pilihan pun jatuh ke sebuah tempat bermotto 'eat drink groove'. Namanya, fuel.

Dari trotoar Jalan Legian, tampak dua lelaki kekar bersafari hitam berdiri di depan pintu masuk kaca. Seorang diantaranya memegang tongkat deteksi metal. Sementara didalam ruang diskotik ramai pengunjung, warga luar Indonesia serta yang tulen turunan Republik. Ada yang berjingkrak liar mengikut irama musik techno bertempo sedang di 'lantai ekspresi'. Ada juga yang duduk di sofa-sofa sembari menikmati segelas bir. Lainnya, cuma berdiri berkelompok dua hingga empat orang dan bercakap-cakap. Tentunya, didominasi busana pantai yang santai. Yang pria berkaos oblong dengan celana selancar selutut serta sandal jepit. Perempuan lebih apik dengan celana panjang casual serta blus minim lengan. Tentulah dengan rambut pirang tergerai.

Mengingat Legian, terbayang peristiwa peledakan bom di Oktober 2002. Dua tempat hiburan malam, Paddy's Club dan Sari Club. Dan, 20 meter dari 'fuel'-lah bekas lokasi peledakan, Sari Club. Tepat diseberangnya, berdiri monumen peringatan atas kejadian tersebut. Ketika mengunjungi monumen tersebut, ada sebuah rangkaian bunga duka cita, lengkap dengan selembar banner putih bertuliskan: IN MEMORY OF ALL WHOSE DIED ON 12TH OCTOBER 2002 FROM THE BRITISH GOVERMENT. Di monumen tersebutlah terukir nama korban yang berjumlah 200 jiwa, dari belasan negara. Terbanyak berasal dari Australia dan Indonesia.

Public Relations 'fuel' Angie hanya bisa tersenyum kecut ketika saya menanyakan mengenai hal tersebut. Ia singkat berujar, “Itu masa lalu. Yang penting, adalah masa depan.” Bagi Angie yang merupakan peranakan Indonesia-Singapura, kejadian Oktober 2002 memang menyakitkan. Kenangan yang masih tersimpan itu pun terungkap, “You know, seven of my friends was died in October 2002.” Selanjutnya, suara getir yang baru saja ia lontarkan berubah jadi bernada optimis. “Kembali, saya dan juga masyarakat Bali lainnya melihat ada sesuatu yang masih berharga di masa depan. Kita tidak boleh larut dengan tragedi itu,” jelas Angie yang mengecat rambut pendeknya dengan warna pirang.

Ia melanjutkan, pergerakan waktu sudah merubah segala sesuatu di Bali. Ia menyimpulkan segala perubahan di Bali pasca ledakan berdasarkan satu hal. “Apa yang kami lakukan pasca ledakan untuk satu point penting. Mengembalikan 'semangat' Bali,” jawabnya. 'Semangat' yang ia maksudkan bermakna: Bali is the center of happiness. Hiruk pikuk musik, kilatan larik lampu laser ragam warna berkedap-kedip, kepulan asap rokok, serta canda tawa pengunjung yang umumnya mengenakan sandal jepit 'fuel' turut andil menegaskan pernyataan Angie tersebut.

Tak terasa, waktu sudah sampai di pukul 02.00 dini hari. Saatnya 'fuel' tutup pintu. Sementara rombongan wartawan lain pulang ke penginapan, saya melanjutkan perjalanan di seputar Jalan Legian. Duduk santai menikmati secangkir kopi di supermarket Circle K yang buka 24 jam.

Tak jauh dari tempat saya duduk yang berada di tepi trotoar jalan, ada dua orang wisatawan perempuan asal Jakarta. Satu mengenakan blus hitam lengan panjang, lainnya berbaju coklat lengan pendek. Sering terdengar telinga saya mereka bercakap memakai kata ganti orang pertama tunggal 'gua' dan 'elu' untuk kata ganti orang ke-dua tunggal.

Selain itu, ada juga enam wisatawan mancanegara yang duduk terpisah meja, tepat dibelakang saya. Kelompok pertama, beranggotakan dua orang, wanita semua. Yang kedua, empat orang pria yang santai meneggak bir botol sembari makan snack. Iseng menguping pembicaraan, saya pun mengetahui bahwa empat pria itu asal Kanada. Umurnya masih muda. Seputaran 14 hingga 16 tahun.

Awalnya memang suasana masih biasa. Namun, ketika dua perempuan Indonesia saling memotret menggunakan kamera digital kisruh kecil mulai terjadi. Tak sengaja gambar yang hendak diambil mengarah ke sekumpulan turis asal Kanada tersebut. Hanya karena merasa dipotret, salah seorang wisatawan asing asal Kanada itu berseru kepada teman-temannya, “Hei, look at that. They wanna get a picture of us.” Empat wisatawan 'ge-er' (red—gede rasa) ini pun langsung beraksi ambil pose sendiri-sendiri. Risih mendengar serta melihat tingkah pola kurang wajar dari empat pemuda wisatawan luar, perempuan asal Jakarta yang berlengan panjang itu pun berkomentar sinis, “Look at this picture. There's no picture of you, only me,” sembari menunjukkan hasil jepretan. Keributan kecil sebatas 'perang mulut' pun terjadi. Hasilnya, empat wisatawan berlatar 'budaya luar' langsung angkat kaki. Tentunya, setelah 'rekonsiliasi' kecil, saling memaafkan, sewaktu pukul 03.00 WITA; meski muka cemberut masih terpancar dari dua kelompok berbeda latar budaya. Yang satu identik 'timur', lainnya tergolong 'barat'. Setengah jam berlalu, saya turut meninggalkan tempat kopi; puas menikmati 'perang budaya' serta lalu lalang bule-bule bertelanjang kaki.

Pulang Berbekal Kenangan
Pagi hari, Jumat (22/7) saya sudah bergegas mengemas perbekalan untuk kembali ke Jakarta. Menggunakan bus, saya bersama rombongan wartawan lainnya bergerak ke Bandara Ngurah Rai. Menjelang pukul 13.00, pesawat 'Citilink' pun buka pintu. Entah mengapa, saat berada di kabin pesawat, ingatan konser Balawan setahun lewat kembali berkilas. Sebelum memulakan komposisi musik 'GloBALIsm', Balawan membuat pengantar singkat. Kalau tak salah ingat, perkataan Balawan kala itu, “Nah, yang sekarang judulnya 'GloBALIsm'." Lalu dia diam sejenak, sebelum lanjut berucap, "Y.ya . .. it.u, Global dan Asem.” Usai berujar nyeleneh, Gedung Kesenian Jakarta mendadak penuh tawa penonton!

SUMPAH!!! GA' MENARIK vol.II

Cerita ini kali,masih tak jauh beranjak dari perkara Gie. Dalam tiga minggu berturut-urut, harian nasional MEDIA INDONESIA menggelontorkan artikel sosok aktifis keturunan Soe Hok Gie. Pertanda apakah ini? Saya masih belum mampu menjawab, meski sudah berlumur limpah sangka dalam kepala. Apapun itu, tampaknya yang utama adalah memperhatikan artikel tertanggal 24 Juli 2004, 'Hok Gie, Chairil dan Jim Morrison', karya seorang wartawan Adiyanto.

Jujur, saya akui tulisan ini menyenangkan. Intinya sangatlah sederhana; dalam arti amat mudah terbaca. Tanpa bermaksud menguasai pemaknaan, izinkanlah saya mengutarakan apa yang terbaca dengan amat mudah tersebut. Ketiga tokoh--Gie, Chairil dan Jim'mo--berpusat di satu titik. Pemberontakan yang bertujuan merubah kehidupan. Dan, ketiganya bergulat dalam pencarian jati diri serta makna kehidupan.

Disisi lain, imajinasi penulis, khusus bagi saya yang baru belajar menulis, terasa segar. Dengan sedikit hiperbola, kata 'segar' mungkin dapat terganti hingga terdengar lebih menggelegar. Memukau! Untuk itu, saya hanya mengajukan batu berpijak yang rasa-rasanya kerap hadir 'menghantui' masyarakat Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih. Entah melalui televisi atau media cetak tertulis. Ya, saya rasa semua pasti akrab dengan tanda-tanda perubahan tampilan koran nasional 'Amanat Hati Nurani Rakyat' KOMPAS. Soe Hok Gie, Chairil Anwar dan Harry Roesli. Ketiga tokoh yang sudah mendiang itu tampil menjadi ikonik perubahan. Potret wajah mereka tersablon lekat di baju kaos warna pekat hitam.

Menariknya, memperbandingkan dua hal tersebut. Sesuai dengan maksud untuk memproklamirkan perubahan KOMPAS, cita rasa optimisme perlawanan pun bermekaran, mengutip tutur tiga tokoh yang berasal dari tiga dekade berbeda. Sementara itu, artikel MEDIA INDONESIA, bersuasana penceritaan tragedi. Persoalannya berpusat di kematian. Gie, Chairil dan Jim'mo, serasa sudah menjadwalkan kematian. Lagi, ketiganya pun mati di umur serupa. Dua puluh tujuh tahun!

Lainnya, tiga sosok itu berlatar berbeda. Gie, lebih dekat dengan predikat pemikir. Chairil lekat predikat penyair. Sedangkan Kang Harry yang dapat disejajarkan dengan Jim'mo atau sebaliknya, tenar sebagai musikus. Tiga perspektif yang menyorot satu titik api, kehidupan. Pusarannya tak jauh dari memberontak, berbungkus aroma optimisme sekaligus getir pahit gejolak batin.

Di babak akhir, mereka mati. Mungkin, hanya Kang Harry saja yang berumur lebih mumpuni. Namun, menggunakan penggalan 'petuah' Gie, layaklah Kang Harry menempati kategori mahluk hidup dua setengah. Menggunakan kemampuan ingatan saya yang terbatas, kalau tak salah begini kutipan 'petuah' yang lahir dari pemikiran pemuda usia 27:
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan
Kedua, dilahirkan tapi mati muda
Yang paling sial, hidup lama


Setidaknya, satu bait Chairil Anwar sangat mumpuni mewakili tulisan 'Sumpah!!! Ga' Menarik vol.II'. AKU INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

SUMPAH!!! GA' MENARIK

Ketika membaca artikel 'Moralitas Gie dan Wahib' buah rasa Ismatillah A Nua'ad pada rubrik Tifa, Media Indonesia Minggu 17 Juli 2005, saya sedapat mungkin menjauhkan hasrat emosional.Namun, niatan awal, libido intelektual, kalah mencuat dalam diri. Atas dasar itu, akhirnya saya menyadari posisi diri sesungguhnya. Saya, mahluk biologis. Mengikut pendekatan Darwinisme, atau setidaknya masih dalam kerangka 'ke-purba-an' abad pencerahan, saya menempatkan emosi-biologis di peringkat perdana. Dalam tataran bahasa akademik, bolehlah disebut: subjektif. Bukan dalam paham 'suka atau tidak suka'--mungkin dengan menggunakan idiom asing bahasa Inggris lebih mumpuni merasuk nalar, yaitu like or dislike--tapi berpijak gumaman tanya, "Kok gitu sih judulnya?"

Menurut saya, pijakan yang diletakkan Ismatillah A Nua'ad--adalah baik untuk mendekatnya unsur kejiwaan antara saya dengan penulis artikel, saya menggunakan sebutan Is saja yang merujuk pada panggilan akrab penulis yang muncul di alam imajinasi saya--adalah interpretasi. Pemaknaan ini muncul dari tulisan Is yang menjabarkan barang bukti yang menjadi dasar perilaku termaktub di atas.

Sesuai dengan judul artikel, Is mengambil bahan baku dari tiga sumber, dua berkaitan dengan sosok Soe Hok Gie, sisanya tentu saja merujuk Ahmad Wahib. Sumber itu adalah buku 'Catatan Seorang Demonstran' yang merupakan kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang merasa cukup dengan sapaan Soe, dilafalkan menjadi Su, serupa dengan pembunyian nama dua mantan Presiden Indonesia, Soekarno dan Soeharto; atau Gie yang dalam aksara bunyi menjadi Gi; serta referen dari film Gie karya sutradara Riri Riza yang telah ditayangkan perdana pada 14 Juli lalu. Untuk Wahib, Is mengambil satu bahan, yakni sekumpulan tulisan Ahmad Wahib yang bertajuk 'Pergolakan Pemikiran Islam'.

Berbicara mengenai pembacaan, tepatnya pembandingan dua sosok tersebut, terasa Is telah melakukan tindak ketidakadilan. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam nalar saya. Is mengelola tafsir Gie berdasarkan satu buku dan satu film, sedangkan Wahib bersandar pada satu buku. Mengikut nalar awam penarikan kesimpulan--tentunya bisa saja isi nalar saya diperdebatkan, tetapi apakah dan apalah saya, seorang reaktif yang mencoba mengenal istilah 'kritis'--menghasilkan kesimpulan: Gie lebih mendalam, Wahib ala kadar. Dan, sudah seharusnya demikian. Pasalnya, Is mendapat bahan yang lebih untuk mengenal Gie. (Walaupun begitu, masih ada peluang untuk menyatakan bahwa bahan baku penulisan itu sebenarnya satu-satu untuk kedua sosok. Bukankah film Gie merupakan adaptasi dari buku 'Catatan Seorang Demonstran'?)

Nalar Is bermula dari penanyangan perdana film Gie. Ia mengulas, dalam tutur saya yang mencoba menafsir paragraph dua tulisan Is, mahasiswa--saya membayangkan Is sebagai perempuan--jurusan Teologi dan Filsafat ini mencoba menjadi kritikus film. Tapi, sayang! Is jatuh pada pendekatan dangkal. Is hanya mampu menerangkan, dalam paragraph dua, film Gie mengalami pembesaran belaka. Dan, Is tidak menyebut secara detil apa sebab ia berkesimpulan film Gie hanya mengalami pembesaran. Tidak ada satupun fakta dari film yang diangkat untuk memperkuat kesimpulan ataupun penyelasan Is atas film tersebut.

Pembacaan atas tujuh paragraph selanjutnya semakin menegaskan alam pikir saya, Is ceroboh. Is seakan-akan menujukan tulisannya kepada pembaca berkeahlian tingkat purna. Bukan bagi saya! Jika memang demikian, maka saya berhak untuk mendapat sebutan tak cerdas, pandir hingga ke tingkat dungu paling dasar. Saya tidak mengerti batasan Is ketika mengangkat permasalah moral, atau moralitas. Memang, di paragraph dua pun Is melabelkan kunci pembantu menguak apa itu moralitas. Sayang, tidak jelas. Moralitas dimaklumi dalam pengertian kritis dan idealis. Pengertian seperti itu membaca saya mencoba memahami idiom moralitas dalam kerangka prinsip dan intelektualitas, tepatnya hasrat mempertanyakan segala sesuatu.

Hebat! Is mampu menuliskan rangkaian penalaran yang bermula dari isi buku, lalu mencerna moralitas keduanya. Pendekatan yang Is gunakanlah yang membuat saya tertarik. Apalagi Is hanya mempergunakan isi buku 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergulatan Pemikiran Islam'. Akhirnya, Is menggunakan semacam teori-lah, yang menurut saya memampukan Is menafsir apa yang terjadi secara kejiwaan-emosional dua tokoh 'abstrak' Gie dan Wahib. Maaf, bila saya labelkan kata 'abstrak' untuk dua tokoh yang sudah memberi inspirasi pencerahan rohani bagi Is. Kata itu merupakan pertanggungjawaban saya atas tingkah laku saya, malas membaca.
(Ya, saya belum membaca kedua buku itu, Is. Tapi, aku pun punya pembelaan. Apakah tulisan Is harus dibaca oleh orang yang telah membaca dua buku tersebut? Jika memang jawabnya ya, apakah hasrat keingintahuan saya harus terbendung atas dasar alasan tersebut? Jika memang jawabnya ya, buat apa tulisan itu ditampilkan sampai memenuhi setengah halaman? Dan, inilah muara akhir dari pertanyaan di awal paragraph awal penyebab saya berkomentar. 'Kok gitu sih judulnya?' 'Buat apa judul begitu?')
Saya tak tahan berlama-lama lagi Is. Ingin rasanya kuhisap sebatang kretek dari pada menulis panjang lebar ulasan yang tak berakar ini. (Maaf, bila terasa emosional. Saya akan mencoba mengurangi kadar, mengambil jarak.)

Sang penulis, Is, memahami pemikiran, sikap dan tindakan dua tokoh itu sebagai citraan moralitas. Ada sifat kritis, bermuara untuk mempertanyakan status kekuasaan. Entah bersifat politis atau wewenang kiai. Ada kisah romantis, percintaan ala platonik hingga aristotelian. Ada kisah kesendirian, pencarian jati diri. Akhirnya, tentu saja: kematian!

Namun Is terlupa satu hal. Ketika Is membawakan judul 'Moralitas Gie dan Wahib', premis hipotesis yang beranak di benak berada antara ukuran lebih besar, lebih kecil, atau sama. Hasilnya, secara implisit termaktub dalam tulisan Is. Ada kecenderungan 'mempersamakan' moralitas antara Gie dan Wahib. (Bagi saya, hal itu tidak bermasalah. Bukankah saya tidak mengetahui apa yang Is maksud dengan moralitas. Saya hanya menggunakan pijakan nalar logis berpikir, serta intuisi. Lebihnya didominasi perasaan. Mohon dicatat!)

Melihat kecenderungan Is 'mempersamakan' hal itu, saya terpikat menggunakan 'penalaran' Is untuk menelaah maksud artikel tersebut. Dasarnya, tiap tulisan memiliki tujuan. Ada tingkat kepentingan. Artikel (yang entah keberapa karya rasa Is ini, saya tidak mengetahui pasti) bersimpul di titik moralitas Gie dan Wahib, 'sama'. Sampai di sini, hanya satu pertanyaan nyeleneh yang mencuat loncat. 'So what gethouhw lho..?'

Tulisan Is hanya berperan sebagai pemberita bahwa ada satu tokoh lagi yang sebenarnya setara dengan Gie yang beragama Katolik, yaitu Ahmad Wahib. Dan, muncul pula bayang tulisan paragraph dua, kutipan mendekati lengkap: '....Hanya saja, dalam banyak hal, film ini memiliki titik lemah yang mendasar. Gie mengalami pembesaran informasi yang tak seimbang dengan produk yang dilahirkan dari film Gie. Tak ada yang terlalu istimewa.' Dan, atas dasar inilah saya menyebut artikel Is adalah buah rasa dalam kalimat pertama. Ujar-ujar lepas ini pun juga merupakan buah rasa saya juga. Saya menyebutnya dengan subjektifitas; emosional.

Dalam perasaan saya, Is tidak seharusnya memperbandingkan hal itu, apalagi bila ingin menyatakan Wahib sebangun dengan Gie. Bagi saya, Is mengagungkan Wahib, hingga berusaha memopulerkan tokoh tersebut. Saya memang kagum dengan kerajinan Is membaca buku. Tapi, bila Is sudah membaca buku tersebut--entah 'Catatan Harian Seorang Demonstran' dan 'Pergolakan Pemikiran Islam'--apakah Is sudah dapat menjawab satu hal yang kerap muncul di kalangan aktivis, popularitas! Apakah Wahib ataupun Gie butuh popularitas? Jika tidak, maka hanya satu alasan mengapa Is menulis artikel ini; atau Riri Riza membesut film seharga miliaran bertajuk 'Gie', yaitu: emosional! Riri baca buku 'Catatan Harian Demonstran', lalu tertarik me-film-kan; Is nonton film 'Gie' lalu tertarik memperbandingkan. Keduanya berdasar masalah: 'like or dislike' saja. Dan, ujar-ujar lepas tak beraturan ini lebih baik anda lupakan. Sumpah, ga' menarik. Tabik!!!

CATATAN: Menyimak tulisan Is, saya tersadar. Pesan tersirat yang mungkin saja ingin ia sampaikan. Ada sosok lain selain Gie. Itu benar. Tapi, yang menjadi beban tak lain: cara penyampaian! Sosok Gie, tidak butuh popularitas. Gie menulis, bukan dalam tataran ingin terkenal, tapi merubah keadaan. Begitupun dengan Wahib. Semua tindak tanduk menulis itu merupakan bagian dari upaya penegasan diri sebagai homo sapiens beradab! Posisi pembaca lebih kepada mengetahui, mengenal hingga memahami. Muara akhir hasrat emosional ini hanyalah sebuah bentuk pemaparan betapa popularitas ditentukan oleh media. Nyaris seraut dengan lirik lagu 'American Idiot', sejudul dengan tajuk album terbaru Green Day.

Don't wanna be an American idiot.
One nation controlled by the media.

Harian De' Mello

Untuk tulisan selanjutnya, anda akan banyak berjumpa dengan saya. Tentulah, santun tata krama masih mengingatkan saya untuk memperkenal diri. Dari dalam sanubari, saya berharap memperoleh perkenaan batin dari anda, agar kita menjadi lebih dapat saling mengenal, kalau pun tidak baku-tahu atau saling mengetahui.

Namun, sebelum melangkah teramat jauh, layaklah kita mengambil jeda untuk berjaga. Saya harap, anda jangan menaruh keterpesonaan berlebih pada saya; mungkin karena tutur kalimat ranum tulisan saya terasa bersahaja. Saya hanya bisa berpesan, "Dugaan anda memiliki kemungkinan meleset, entah dekat atau tidak, itu perihal ujian waktu." Jadi, tidak perlu ada kecewa bersimaharajalela didalam nurani anda, bila kenyataan bertentangan dengan harapan. Maaf, mungkin saya orang yang terlalu berperasaan. Tapi, sekali lagi, saya hanya mengingat santun tata krama pergaulan yang diajarkan oleh ibu dan bapak sewaktu saya berumur belum kepala dua.

Rasanya, sedikit misteri yang anda imajikan tentang siapa saya lumayan menguak. Setidaknya, testimoni ini berasal dari nurani; tentulah tanpa bermaksud melebih-lebihkan, baik menambah ataupun mengurang. Jika anda masih berpikiran cerdas, atau dalam bahasa yang agak kasar menaruh syak-wasangka curiga, saya rela. Lagi pula, itu adalah hak anda, sebab saya hanya berposisi untuk memperkenalkan diri, tegasnya mencoba meyakinkan anda.

Baiklah, langsung saja saya berpindah dari bayangan abstrak menjadi nyata. Utamanya, nama. Orang tua saya memberi nama, Arif. Hanya empat huruf itu saja. Jadi, bila ada yang bertanya, "Lengkapnya?", saya hanya bisa membalas jawab dengan mengernyitkan alis mata, menyusul pelafalan jelas dan kental-perlahan, "A..rif.."

Berbicara umur, saya sudah menginjak usia 27 tahun. Bisa terbilang tua, bisa terbilang muda, bisa terbilang belum apa-apa. Yang pasti, saya sudah beristri, anak dua, masih kecil-kecil pula. Yang pertama baru berumur tiga tahun, adiknya sudah menginjak enam bulan lima hari. Ibunya, istri saya, Ismi. Hanya terpaut tiga tahun dengan saya. Ismi lebih muda.

Kami tinggal mengontrak. Sebulan harganya mencapai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Rumah kecil untuk ukuran orang seperti saya yang berpenghasilan tidak tetap. Biaya penghidupan empat lambung saya peroleh dari pekerjaan mengojek. Sesekali, bantuan kiriman datang dari mertua, ibu dan ayah Ismi. Sampai disini, saya malu. Saya tidak ingin melanjutkan apapun perihal keluarga saya, meski sekali waktu pasti akan tersua sedikit ulasan keluarga di harian mendatang.

Ya, begitulah pengantar singkat perkenalan saya. Jika sekali saat kita bertemu, anda bisa menegur saya dengan sapaan, "Rif..." saja. Atau "Arif," pun bolehlah. Kalau perlu, saya beritahu penamaan saya yang lain. Dikalangan teman yang serupa mengojek, saya mendapat tambahan pengenal. Mereka biasa menyebut nama saya, tepatnya mengubah nama saya dari Arif yang hanya empat aksara menjadi enam abjad plus satu tanda baca, De' Mello.

Jika anda bertanya mengapa, saya harus mengutarakan malu untuk perdana. Betapa tidak, cerita dibalik pelabelan itu memalukan. Tapi, setidaknya agar kita saling mengenal, baku-tahu, ada baiknya saya berkisah. Nama itu terberi karena dua hal. Pertama, ini biasa, tak perlulah saya malu cerita. Sebabnya, perawakan saya menyerupai orang yang berasal dari timur Indonesia. Berkulit lumayan gelap, serta rahang yang bergaris keras. Padahal, saya asli keturunan Jawa Tengah, kota Semarang. Alasan kedua, hal memualkan, akibatnya memalukan. Mereka, teman-teman sesama pengojeg, memirip-miripkan saya dengan salah seorang pemeran film porno yang pernah mereka tonton di VCD. Sayangnya, pemeran yang mereka saksikan itu bukan saya. Kalau benar itu saya, tidak masalah. Tapi, ada sudahlah, ini hanya masalah tampang dan perawakan, tanpa memperhitungkan tabiat. Bagi saya tak memiliki arti lebih. Saya paham, ini hanya kecelakaan sejarah sajalah. Profesilah yang menentukan prestasi, sisi positif yang saya ambil, lalu menyebutnya sebagai hikmah. Bagaimana tidak, pelanggan ojeg saya malah bertambah dan akrab dengan nama De' Mello daripada Arif. Menurut mereka, nama itu asyik, keren dan entah mengapa ada yang bilang bersahabat. Apakah memang, saya sendiri masih kebingungan. Tapi, apa pun itu, saya hanya menjalankan diri sebagai mahluk yang bertabiat, berusaha untuk tidak mengecewakan karena santun tata krama. Sedikit emosional, meskipun saya berlatar tak sempurna, tabiat masih bisa dipertontonkan. Minimal tidak menyerupai mereka, maksud saya bukan teman-teman sesama pengojeg di perempatan jalan di dekat jembatan Sungai Belang, tapi mereka yang tentunya anda pun paham. Selalu bersuara demikian baik, padahal, lagi-lagi anda sudah paham. Terakhir, saya harap anda paham siapa itu De' Mello dan harian De' Mello.

A-F-D-O-L

Didalam bus Patas AC berbiaya Rp3.500, jurusan Cikarang-Senen, saya membaca artikel 'Ulasan Bahasa'. Judulnya, sungguh sangat menyedihkan. 'Bahasa Gaul dalam Judul Berita'. Penulisnya, Abdul Gaffar Ruskhan. Entah siapa dia, saya tidak mengetahui, apalagi mengenal; meski dibawah tulisan namanya terdapat pengejawantahan tentang siapa dia, 'Pusat Bahasa'. Mungkin begitu juga pemikiran dia tentang siapa saya. Terakhir, ulasan itu ada di harian MEDIA INDONESIA edisi Sabtu, 9 Juli 2005.
Sampai sejauh ini, saya mohon maaf, karena hanya mengganggu pikiran anda dengan kalimat kedua paragraph pertama. Apa sebab, saya belum jelaskan. Tapi, bila anda berkenan, silahkanlah anda membaca dahulu artikel tersebut. Saya takut, jangan-jangan tulisan ini malah memengaruhi anda untuk berpikiran dan berperasaan seperti saya.
Lebih baik saya tidak melanjutkan apologia di paragraph dua. Eloknya, langsung saja saya jelaskan apa yang terkandung dalam barisan kata 'sungguh sangat menyedihkan', sebagai penutup prolog tulisan ini.

***

Ah, sekarang saya sudah menghisap sebatang rokok, pertanda ekstase bermula. 'Bahasa Gaul dalam Judul Berita', layak mendapat predikat tambahan dalam gaya tutur kosmopolitan--kosmopolit mengacu pada dampak globalisasi pada yang terjadi di Indonesia, menggunakan bahasa Remy Sylado, bahasa tinutuan, gado-gado, campur aduk-- So what gitu lho?
Mengikut alur pikiran manusia bernama Abdul yang tertuang dalam artikel sebanyak delapan paragraph itu, bermuara pada analisa empat judul berita yang tidak jelas berasal dari mana. (Bah, bagaimana ini harian MEDIA INDONESIA, artikel tanpa kejelasan fakta kok bisa-bisanya lolos seleksi. Ini menambah keyakinan saya, bahwa Abdul setara dengan ide yang ia tuliskan; simpulan akhir saya tentang siapa dia akan tersirat di akhir sajadah kata yang tak panjang ini.) Idealnya, penulis yang memiliki nama tak sedap didengar ini--coba anda lafalkan perlahan dan rasakan, apakah nama itu nikmat dicerna akal (?); untuk mudahnya, bandingkan nama Abdul Gaffar Ruskhan dengan nama kekasih anda, misalnya Sri Dewi Larasati atau Dewa Brata Kusuma--menyebutkan dari mana ia kutip judul tersebut. Fungsinya hanya satu. Membuktikan bahwa judul tersebut memang nyata dan ada. (Bayangkan saya sampai menambalkan dua kata yang dalam tataran pemikiran filsafat memiliki pengertian berbeda dan tentunya didahului dengan perdebatan panjang. Kalau saya tak salah, 'nyata' itu berdampingan dengan asal kata dalam bahasa Inggris, real; sedangkan 'ada', masih dalam tataran 'kalau saya tidak salah', be. Tapi, sebelum tertinggal, semua ini hanya gagahan belaka, biar anda mengira saya ini luar biasa, cerdas dan berwawasan luas. Padahal, imajinasi anda itu memiliki keterbatasan menilai bila tidak bertemu dengan objeknya secara langsung, yakni saya. Sebagai apologia berikutnya, izinkan saya mengganti sebutan orang pertama tunggal saya menjadi aku. Alasannya, agar 'saya' ini tampil lebih agresif, lebih menerabas, tentunya dengan bumbu yang tak kalah lezat: lebih emosional.)
Jadi, tanpa adanya pustaka yang menyebutkan dari mana asal judul tersebut, aku berpikir Abdul Gaffar Ruskhan--bagaimana kalau aku mengganti sebutan panjang penulis artikel dahsyat, dalam pengertian mampu menghajarkan aku untuk menuliskan tanggapan, dengan nama Afdol, akronim Abdul Gaffar Ruskhan plus akhiran yang baru saja aku temukan, yakni dol. Dan, rasanya nama itu akan jadi lebih lezat tampil di mata--hanya menulis fiksi. Empat judul berita yang ia tempelkan dalam artikelnya hanyalah karangan imaji semata, dan--mengutip pelabelan yang kerap terjadi di sebuah sinetron, umumnya diawal sajian--'kalau pun benar, itu hanya sebuah kebetulan semata'. Itulah salah satu kesedihan ku.
Tapi, aku tidak percaya Afdol melakukan hal itu. Ia mengorbankan emblem 'Pusat Bahasa' yang merekat di boks nama penulis artikel. Ya, terpaksa harus bersusah-susahlah aku untuk mencari fakta. Dan, tentunya sebagai wujud penghormatan ku atas jerih susah nalar Afdol mengembangkan ide hingga menjadi tulisan, lalu artikel koran yang pastinya dia sudah menerima imbalan setimpal, uang.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan, khususnya ingatan ketika aku berjalan-jalan di lapak loper koran, entah di Terminal Kampung Melayu, Teminal Blok M, Terminal Senen, juga melihat loper-loper koran di dalam bus Mayasari Bakti jurusan Kampung Melayu-Pulogadung, atau yang berada di perempatan serta pertigaan lampu merah sepanjang Jalan Matraman hingga Salemba, aku menemukan fakta itu. Fakta dalam pengertian keserupaan gaya berbahasa, antara kutipan Afdol dengan judul berita yang kubaca. Akupun mengetahui, media apa yang dia maksud. Tanpa berniat memojokkan media tersebut, aku akan memberitahu anda, sebab itu adalah fakta. (Mungkin ini kebijaksanaan Afdol, untuk tidak mengatakan kedunguan atau kecerobohan dirinya yang aku pikir merupakan seorang ilmuwan, memperhitungkan aspek tertentu yang berdampak menghilangkan fakta. Bayangkan, aku ulang sekali lagi, menghilangkan fakta! Padahal, faktalah yang menjadikan Afdol berbicara. Atau, bisa saja artikel itu diperiksa kembali susunan kata, dan sebagainya oleh redaksi harian berlogo kepala elang.)
Faktanya, judul-judul serupa tampil di harian semisal, Lampu Merah, Rakyat Merdeka dan Non-Stop. Sebagai contoh, harian Rakyat Merdeka terbitan Sabtu, 9 Juli 2005, memuat berita utama bertajuk Berani Bener Hamid Loloskan Koruptor, atau berita lainnya, Janjinya, Tanto Nyikat 3 Mafioso (Aku memutuskan untuk memilih yang pertama sebagai sampel perbandingan dengan ulasan Afdol). Atau harian Lampu Merah, edisi Sabtu 9 Juli 2005, memuat ... berita Duduk Ngongkong Ngobrol Ama Dua Cowok 'CD-nya' Keliatan Warnanya Putih Gambarnya Bunga-bunga Merah Jambu Diperkosa. (Jika anda merevisi 'Ngongkong' menjadi 'Nongkrong' itu hak anda. Tapi, yang utama jangan menyatakan aku salah ketik. Itu saja. Sebab, aku pun berpikir demikian; namun aku tetap memilih menggunakan kata itu atas dua dasar. Pertama, itu fakta. Kedua, keanehan kata yang mengajak pikiran untuk berpikir apa makna kata tersebut diluar penulisan yang benar, seakan menyimpan misteri.) Dan, untuk contoh berita dari harian Non-Stop, aku tak punya. Bisa saja sidang pembaca tidak memercayaiku kerna itu, tapi tak apalah, itu hak anda. Tapi, ingat jangan menyuruhku untuk menghentikan kegiatan yang berlandaskan emosi ini; meski batin ini bersuara: "Semoga Puan dan Tuan masih sedia membaca hingga tuntas semua?"
Sebelum tertinggal, aku ingin mengingatkan diri tentang satu hal. Yakni perihal judul yang terambil dari harian sampel Lampu Merah. Sebenarnya, dalam hati kecil aku bertanya, sedikit menambahkan, bila anda teliti tentu mengerti mengapa aku tidak membubuhkan kata 'judul' pada isian diantara potongan kalimat 'memuat ... berita'. Alasannya, sederhana. Aku tidak merasa apa yang tertulis ada judul. Kalaupun itu judul, kenapa sangat panjang? Memang tidak ada penjelasan mengenai batasan karakter judul, meski bentuk baku untuk media massa, kerana permasalahan ruang menghasilkan kesimpulan bahwa judul harus singkat, lugas dan tentunya tepat dengan isi yang hendak diutarakan. Sedikit menyimpang, Afdol mengartikan judul dalam teminologi yang sangat susah aku mengerti. Ia menyebut judul sebagai 'roh' berita. (Sedikit mengumbar kedunguan--entahlah kalau ada khalayak yang menyebutku cerdas, bahkan berwawasan luas--aku menyebut 'roh' berita berada didalam berita keseluruhan; bukan didalam judul. Ia adalah makna dari berita itu sendiri, bukan gambaran yang kita peroleh dari sebuah judul. Ingat saja adagium yang berbunyi, 'Don't judge a book from the cover'. Sayangnya, Afdol yang berasal dari 'Pusar Bahasa' ini mereduksi 'roh' hingga terbatas pada judul berita saja. Maka dengan membaca harian-surat kabar-koran-newspapper, muncullah 'roh'-'roh' bergentayangan yang menghajar mata anda, juga nalar anda.) Beralaskan alasan perasaan, maka aku pun menyoreng berita dari Lampu Merah sebagai sampel contoh judul berita, meski ia menggoda, soalnya artikel Afdol erat bertemali hal itu.
Jadi, aku cuma punya dua judul berita yang menjadi fakta, 'Berani Bener Hamid Loloskan Koruptor' dan 'Janjinya, Tanto Nyikat 3 Mafioso'. Kalau mengikuti alur berpikir Afdol, niscaya berita ini akan berubah penampilan. Untuk judul pertama, masalah, ada dua. Pertama, kata 'bener' bukan merupakan bahasa baku Indonesia, tapi bahasa 'gaul' Indonesia, aku lebih mendekatkan hal itu dengan bahasa 'aktual' Indonesia. (Mohon, pembaca yang mengerti bahasa baku membantu saya, aktual atau aktuil yang merupakan bentuk baku. Lalu kabari saya. Mengenai soal mengubah kata ganti orang pertama tunggal dari 'aku' menjadi 'saya', mudah-mudahan anda mengerti kenapa sebab itu memang mudah.) Hingga, kata 'bener' harus direvitalisasi menjadi 'benar'. Perubahan sementara menjadi 'Berani Benar Hamid Loloskan Koruptor'. Kedua, judul berita itu memojokkan subjek kalimat judul berita itu, Hamid--entah siapa ini tidak penting. Padahal, menurut Afdol judul adalah 'roh', maka sebenarnya siapa itu Hamid sudah seharusnya juga diketahui secara pasti, bukan menebak-nebak seperti yang anda lakukan saat ini, mengasosiasikan Hamid dengan sosok pejabat menteri di Indonesia. Padahal, itu tidak bisa. Sebab kita hanya mengambil judul berita, bukan berita. Dan, mengapa pula Afdol harus berpikiran itu memojokkan. Atas dasar apa ia mampu menyimpulkan? Bagaimana kalau ternyata fakta yang benar adalah pernyataan judul berita tersebut? Menyiasati hal ini, Afdol berlindung dibalik bahasan santun dan tidak, berbicara kesan pembaca. Dalam kalimat itu, si Hamid terkesan melakukan tindakan negatif. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan, bertujuan memositifkan kesan itu; tanpa bermaksud merubah fakta memojokkanlah sesungguhnya niatan revisi, hanya memperhalus. Jadinya, sebagai umpama 'Hamid Campur Tangan Meloloskan Koruptor'. Mungkin anda lebih tepat membandingkannya dengan isi tulisan Afdol. Ia mengutip judul berita, entah fiksi atau fakta, mungkin juga gosip yang telah beralih nama menjadi istilah berderajat maha: Infotainment, yakni bertajuk 'Menteri Hatta Nyalahin Masinis' menjadi 'Menteri Hatta: Itu Kelalaian Masinis'. Sekali lagi ini berdasarkan kesan, dan ingat batasannya adalah judul. Dan, lagi pula Afdol dengan tegas menyatakan judul adalah 'roh', berarti sudah termaktub didalamnya isi berita sebenarnya. Padahal, ia hanya menggariskan judul, bahasan dia bukan mengurai berita, mulai dari judul, isi berita yang biasa disebut bentuk tulisan piramida terbalik. (Inilah kesedihan berikut yang kualami. Sudah tidak menyebut fakta dimana berita itu, Afdol malah berani-beraninya mengganti judul berita Menteri Hatta menjadi--berdasarkan pengalamanku menjadi jurnalis selama sembilan bulan--kutipan perkataan Menteri Hatta.) Lebih ironis lagi, bila melihat dari empat contoh yang dibahas, Afdol hanya mendalami tiga contoh saja. Bisa jadi ini merupakan bagian dari kerja redaksi yang mengatur ulang tulisan Afdol. Entahlah, ini hanya dugaanku saja.
Memang, judul berita diatas memberikan masalah bagi perasaanku. Disatu sisi, aku menilai apakah memang itu yang terjadi. Kalau memang itu yang terjadi, fakta sebenarnya, bukan manipulasi pewarta, itu sah-sah saja, tergantung kebijakan redaksi. Perihal kebijakan inilah yang menimbulkan sisi lainnya, yakni aku mencoba memahaminya sebagai gaya penulisan. Adakah yang salah dengan gaya penulisan itu? Merunut pola pikir Afdol, judul tersebut hanya menyalahi tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi, apakah itu menyalahi gaya bahasa Indonesia tanpa menggunakan embel-embel 'baik dan benar', masih tanda tanya besar. Sebab gaya berbahasa itu dinamis sekali. Sekadar umpama, kalau dulu perkataan top di jaman Soekarno adalah Bung, dijaman Soeharto adalah Pak, dijaman Abdurrahman Wahid adalah Gus, dijaman Megawati Soekarnoputri adalah Mbak dan dijaman Susilo Bambang Yudhoyono adalah akronim SBY atau JK. Bukankah ini pertanda dinamika gaya bahasa, antara kultur feodal dan faham kesetaraan?
Lebih parah lagi, mengapa Afdol tidak menyoroti berbagai spanduk milik Pemerintah DKI Jakarta yang nyata-nyata menulis, 'Nyok Bareng-Bareng Kite Bangun Kote Jakarte', semisal spanduk yang berada di dekat halte Universitas Tarumanegara di Grogol, Jakarta Barat. Bukankah itu lebih tepat. Pasalnya, pemerintahlah yang lebih berkewajiban menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Menggunakan bayangan itu, aku mengerti mengapa Afdol memilih media massa sebagai sampel. Ia mungkin sudah tidak memperdulikan apa yang dilakukan pemerintah, atau ia melihat sisi strategis media massa untuk mencerahkan, mendidik bahkan membangun bangsa. Untuk itu, ia pun ikut andil dalam membangun cara berbahasa yang seragam, tanpa memperdulikan gaya. Inilah kesedihan itu, ketika gaya berbahasa diberangus sistem tata bahasa baku, 'baik dan benar', yang belum diketahui kedahsyatannya; sepengetahuanku belum ada penelitian yang mengulas mendalam soal dampak penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar', bahkan hanya sekadar imaji pun tak terdengar. Apakah dengan menggunakannya, bangsa kita menjadi besar, digdaya? Yang jelas, ide besar penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar' kerap mendapat ganjalan dari seorang munsyi bernama asli Yappi Tambayong.
Inilah kesedihan berikut. Afdol tidak mempelajari hubungan antara bisnis dengan media. Di kepala Afdol kadung ngelotok bahwa media itu wadah pencerahan. Tapi, jaman sudah berubah, Afdol. Kuingatkan, media massa tidak lagi berperan sebagai wadah pencerahan, tapi bisa saja menjadi wadah pembodohan; dan tidak muskil itu dilakukan media massa terhormat. Penyebabnya tentu tidak jauh dari kekuasaan, bisnis utamanya. Apa penjelasan tentang ini tentu dapat disaksikan pada masa terdahulu. Betapa di jaman Pemilu Capres-Cawapres 2004, kenetralan media massa mendapat sentilan hebat. Kenetralan disentil, alhasil keberpihakkan terhadap salah satu calon Capres dan Cawapres. Bahkan, melalui foto pun, seorang ahli komunikasi asal Universitas Indonesia, aku lupa namanya, berujar perbedaan sudut pengambilan gambar ketika deklarasi Koalisi Kebangsaan yang dipelopori Mega-Akbar, menyiratkan keberpihakkan media massa, meskipun ada peluang bersifat bawah sadar, bahkan sama sekali tidak sadar. Walahu allam. Afdol tentunya memahami segi bisnis manajerial dalam perihal penerbitan media massa, yang merupakan masalah tak sepele. Jawabannya pun sederhana. Mengapa Afdol tidak menerbitkan harian-surat kabar-koran untuk memopulerkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila ia tidak memiliki modal, mengapa tidak meminjam saja. Atau ia melakukan riset betapa dampak dari penggunaan bahasa yang baik dan benar itu, biar media massa yang tidak mengikuti pedoman menjadi tersadar dan segera mengubah langkah. Bila tidak, segeralah Afdol membuka blog pribadi yang berisi opininya atas berbagai macam hal, utamanya bahasa Indonesia. (Aih, bila saja ia membuka blog, khususnya warga negara Indonesia, tentunya ia harus berpikir ulang, betapa sulitnya--maaf, sekadar perhalusan bentuk kata 'gagal'-nya--membangun budaya berbahasa yang baik dan benar.)

***

Kepedihan ini merupakan yang terakhir. Dibagian permulaan hingga paragraph ketiga, Afdol berbicara masalah kesan dari judul berita berbahasa gaul. Antara santun atau tidak. Hal itu berimbas pada posisi harian-surat kabar-koran, 'berkelas' atau 'murahan'. Standardnya, subjektifitas pembaca. Dan, penilaian ini pun tidak jelas berasal dari mana. Lagi-lagi berbincang fakta. Jangan-jangan hanya ia seorang saja, dugaan kasarku. Soalnya, harian-surat kabar-koran yang bergaya bahasa seperti itu laku, meski aku tidak tahu apakah perusahaannya untung. Minimal, ada yang beli. Dan, hingga sekarang belum gulung tikar, padahal seingat saya, ini sudah memasuki bahkan melewati lima tahun pertama harian-surat kabar-koran sejenis begitu beredar.
Jadi, ada baiknya Afdol tidak usah membawa-bawa kesan pembaca, untuk memersuasi redaksi harian 'nyeleneh' kembali ke rel yang 'baik dan benar' atas dasar perhitungan emosional pembaca yang berwawasan brilian, cerdas bahkan cendekia; singkatnya kelas menengah hingga atas. Ia cukup mengutarakan fenomena yang terjadi, bagaimana menyiasati, tanpa membawa perhitungan bisnis atas dasar kesan pembaca. Sebab, redaksi yang berupaya menerbitkan bukan orang bodoh yang hanya mau membuang uang tanpa memberi keuntungan.
Di akhir tulisan ini, aku hendak menyimpulkan, artikel Afdol seharusnya dikeluarkan dua atau tiga tahun yang lalu. Fenomena yang dia tuliskan bukan terjadi baru-baru ini. Aku sedih. Padahal ia berasal dari Pusat Bahasa, bagaimana tidak responsif membaca keadaan. Memang bisa saja, tulisan ini sudah yang ke- berapa kali. Dan, hanya membuktikan kekurang uletan Afdol menulis, atau lagi-lagi ketidak populeran isu yang ia bawakan, atau dalam bahasa sakit-nyelekit, gagal.
Tapi, bagaimanapun aku kagum dengan keberanian Afdol menyuarakan ide lama. Ia perwujudan orang yang sadar akan pentingnya berbahasa yang baik dan benar. Ia juga jelas-jelas orang yang berperasaan, santun.
Sayangnya, artikel dia terbaca olehku. Dan, kebetulan usai membaca artikel di Sabtu siang, emosiku meradang. "Ini orang maksudnya piye toh?"

Sengat Mega-Lithium-Kuantum

Sebenarnya, ini tulisan penuh emosional. Pasalnya, sederhana. Aku baca dua artikel tak jauh beda. Pertama, tulisan Danarto di harian KOMPAS, Minggu, 3 Juli; kedua, tulisan Dwi Arjanto di KORAN TEMPO, Senin, 4 Juli. Yang pertama bertajuk, 'Mencari Musik Indonesia', kedua--dalam kerangka bulat emosional, kunilai: tak jauh beda, 'Bunga Rampai Musik Negeri'.
Karena kesal, aku pun berpikir. Danarto dan Dwi Arjanto, adalah dua nama tidak jauh berbeda nada. Mirip. Ah, pasti mereka saudara, minimal ada hubungan kekeluargaan dari frase kata '-to'. Cobalah kau lafalkan kawan, maka terasa ada samanya. "Da-nar-to. Dwi Ar-jan-to."
Dan, tulisan mereka pun tak jauh beda, berkutat masalah konser musik Megalitikum Kuantum di Plenarry Hall, Jakarta Convention Center. Intinya, hampir sama.
Danarto berujar dua hal. Dalam artikel yang memakan seperempat ruang halaman itu, Danarto menyebutkan hal inti dipenghujung tulisan, yakni: buat apa mencari musik Indonesia, bila musik yang sudah ada itu indah. Maksud dia, musik daerah-daerah di sekitar Kepulauan Nusantara. Sedang yang pertama, ia lebih banyak berbicara teknis pertunjukkan. Dan, untuk permasalahan pertama yang ia lemparkan, aku sepakat, dan memang pertanyaan itu perlu mendapat porsi lebih. Perihal, 'jahitan'. Terminologi khusus diciptakan lelaki yang telah mengaku kepadaku bahwa ia tidak bisa mempergunakan internet. Kalau aku, cuma bisa menamakannya menjadi 'kejanggalan-segmental'. (Lumayanlah, minimal agak gagah sedikit. Agak bombastislah.)
Biar lebih genit, aku bilang saja Dwi Arjanto ini kemenakan Danarto. Hanya menyorot satu hal, sudah begitu abstrak pula. Sang kemenakan cuma berujar, "Banyak segmen musik tanpa satu visi yang kuat." Bahkan--aku bertambah yakin bahwa Dwi Arjanto adalah kemenakan Danarto--ia pun mengutip perkataan sastrawan pengarang 'Godlob'. Baiklah bila kutampilkan potongan kalimat itu, 'Pergantian lagu terlalu lama. "Jedanya panjang. Harusnya musisi berikutnya bersiap setiap pergantian lagu," kata kritikus seni, Danarto'. (Dugaanku, pastilah ia menelpon Danarto, bila tidak alternatifnya hanya satu lagi: mengutip isi tulisan sastrawan rambut putih di KOMPAS)
Memang, sang kemenakan haram ini menampilkan data perbandingan Megalitikum Kuantum dengan acara Orkes Chandra Kirana (OCK) yang ditayangkan di TVRI tahun 80-an. Bila sang paman hanya berpendapat tambahan berupa sejarah pengenalan musik asal Indonesia ke wadah luar. Contoh, pada 1890, gamelan Jawa diperkenalkan dalam konser di Paris bahkan mampu 'merusak' otak komponis Claude Debussy; empat puluh tahun berselang, gamelan Bali pun unjuk gigi di California berubung bintang-bintang Hollywood. (Aih, benar-benarlah anak-kemenakan dua ini.)

***

Sudah saatnya masuk mendalam. Ini kali, aku pasti lebih emosional, sedikit aku berharap masih ada sisi akal berperan. (Ah, sangat menyentuh kalimat ini, sungguh insani.)
Dua anak-kemenakan tersebut telah mengebiri diri. Betapa mereka begitu picik, dengan kekenesan intelektual juga wawasan mampu berpikir bahwa Megalitikum Kuantum hanya jatuh dalam permasalahan: pertunjukkan 'gagal'. Bahasa kasar yang hendak mereka sampaikan: "Mosok, pertunjukkan gitu dibilang megah. Ngatur waktu saja endak bisa. Teknis pertunjukkan masih gelagapan."
Aku pikir, kesimpulan itu hasil dari kebebalan nalar belaka. Apa pasal? Coba diruntut lebih tenang. Mudahnya, perbandingkan Megalitikum Kuantum dengan satu konser universal (mungkin, aku agak melebihkan, tapi aku rasa ini wajar. Sebab: aku telah mengisi daftar panjang nama pengikut slogan: 'Make Poverty History', melalui situs www.one.org) Konser Live Eight.
Konser yang berlangsung rentak di sepuluh negara, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Paris, Rusia, Spanyol, Italia, Jepang, Afrika Selatan dan Skotlandia ini didukung lebih dari 100 arits, seperti Bob Geldof, U2, Madonna, Jay-Z, Linkin Park, Destiny Child, Coldplay, Green Day, African Children's Choir, Annie Lennox, Dido, Elton John, Joss Stone, Keane, The Killers, Mariah Carey, Ms. Dynamite, Paul McCartney, Pink Floyd, Razorlight, REM, Robbie Williams, Scissor Sisters, Snoop Dogg, Snow Patrol, Stereophonics, Sting, Travis, UB40, Velvet Revolver, Andrea Bocelli dengan the Philarmonie der Nationen, Amel Bent, Axelle Red, Calogero, Cerrone / Nile Rogers, Craig David, The Cure, David Hallyday, Diam's, Disiz La Peste, Faudel, Florent Pagny, Kool Shen, Kyo, Louis Bertignac, Matt copora, Muse, Placebo, Raphael, Shakira, Sheryl Crow, Tina Arena, Yannick Noah, Youssou N'Dour, A-ha, Audioslave, Bap, Brian Wilson, Chris de Burgh, Crosby Stills & Nash, Die Toten Hosen, Faithless, Herbert Groenemeyer, Joana Zimmer, Juan Diego Florez, Juli, Katherine Jenkins, Reamonn, Renee Olstead, Roxy Music, Sasha, Silbermond, Soehne Mannheims, Wir Sind Helden--untuk permisalan saja siapa artis pendukungnya.
Aku berpikir, keduanya pasti sependapat untuk mengatakan konser itu hanya proyek biasa. Aneh. Biadab, bisa saja. Singkat, mereka pasti hanya mengomentari pertunjukkan secara fisik. Misal, kalau Bob Dylan tampil dalam keadaan flu, mereka hanya berujar, "Ah, sayang sekali dia demam. Kualitas penampilan jadi berkurang." Atau bila piano yang dimainkan Elton John hanya terdengar sesekali saja, pasalnya kalah meriah dengan pekik histeria teriakan para penonton konser pergelaran. Dan, semakin banyak lagi permasalahan teknis lain yang bisa timbul saat penyelenggaraan konser tersebut.
Lalu, apa pula hubungan Konser Megalitikum Kuantum dengan Concert Live 8 (?); dengan dua anak-kemanakan ini? Sebenarnya, sederhana. Kedua konser itu membawa misi terpendam. Konser Live 8 menyuarakan verbal: hapuskan utang negara miskin. Apa alasannya? Tiap tiga detik, satu orang anak mati, karena: KELAPARAN!
(Ayo, setelah anda membaca sampai disini, segera tinggalkan blog ini. Langsung ada berselancar ke www.one.org, mendaftarkan diri, bersuara, 'Make Poverty History', sebelum pertemuan G8 dimulai di Gleneagles, Skotlandia, 6 Juli 2005; dan konser final yang berujung di Edinburgh, juga berlangsung di tanah legenda manusia abadi, Highlander, dengan tanggal pertunjukkan bersamaan dengan pertemuan G8)
Capek juga melanglang buana. Baiklah, kembali ke Nusantara, perkara awal: Konser Megalitikum Kuantum. Tentu, serupa dengan konser Live 8, Megalitik Kuantum pun bertujuan 'menggelitik kuantum' nalar. Pertunjukkan musik yang digarap etnomusikolog lulusan San Diego State University, California, Rizaldi Siagian sebagai sutradara musik. Asistennya, Dwiki Darmawan. Ada juga, Jay Subiakto sebagai penata artistik, atau beberapa nama bencar (istilah yang berasal dari besar-gencar; asyik dengarnya, seperti ada kesan menghajar) komponis musik Indra Lesmana, Rahayu Supanggah. Apalagi, jika ditambah penata tari yang berasal dari tanah seberang, Sumatera Barat, Boi. G. Sakti pemimpin Gumarang Sakti Dance Company; untuk hal satu ini saya pernah melihat pementasan karya pendiri kelompok Gumarang (Kuda Terbang) Sakti Gusmiati Suid, bertajuk 'Api dalam Sekam' dengan sutradara tari sang anak, Boi Gumarang Sakti. Selain dia, ada penari lain yang terkenal membahana, sebab bila ia menari mampu mengundang gelak tawa. Didik Nini Thowok. Juga tak tertinggal, para pelantun lirik syair yang rata dicipta Rizaldi Siagian, yakni barisan nama yang pasti saja kaset entah CD ada di Disc Tara terdekat dengan posisi anda membaca tulisan ini sekarang, seperti Krisdayanti, Agnes Monica, Iyeth Bustami, Ubiet, Candil Seurieus, Peni Candra Rini, Rani Noor, dan Amirouz.(Mungkin, untuk Amirouz, Ubiet, Peni Chandra Rini dan Rani Noor, agak sukar ditemukan. Kalau begitu, anda tinggal cari di tempat-tempat tersembunyi saja kaset mereka.) Disamping personal yang mewabah di belantika musik modern, ada juga nama yang tak kalah sangar dari belantara musik tradisional, semisal seniman asal desa Bawomataluo, Pulau Nias, yakni Hikayat Manao; atau kelompok musik sampeq (alat musik petik khas Kalimantan) pimpinan Ului Laloq yang berduet dengan harpakus Maya Hasan; juga peniup suling Korem Sihombing, atau pemusik sasando, juga pemain jegog Bali, serta entah apa lagi, mungkin saja ini yang masih kuingat Innisisri, yang mahir memainkan perkusi.
Meski tak sampai seratus artis penghibur seperti konser Live 8, Konser Megalitikum Kuantum, saya rasa tidak kalah spektakuler. Meski tidak menawarkan ide penghapusan utang agar tiada lagi orang kelaparan, Megalitikum Kuantum masih mampu menyengat nalar untuk sekedar refleksi. Dan, lagi-lagi keduanya terbentur bukan pada musik semata. Melihat konser Live 8 dari sisi musik, alhasil hanya menimbulkan kekacauan belaka. Bagaimana mungkin, kelompok band The Cure bersanding panggung dengan Craig David, atau Linkin Park bertemu muka dengan Andre Bocelli, atau Robbie Williams berganti tampil dengan Velvet Revolver. Bukankah tidak ada keselarasan musik? Bukankah hanya pertunjukkan segmental saja sifatnya. Tapi, dalam konteks keseluruhan muncullah apa yang saya sebut dengan istilah--maaf bila saya agak berjumawa dengan keberhasilan kecil mencampur adukkan bahasa ini--'kejanggalan-segmental'.
Dalam konser Live 8 ada semangat, 'Mereka Jangan Mati. Mereka Harus Hidup.' Dan, kobar-kobar api semangat itulah yang menyengat seluruh penghuni planet Bumi ini, dengan jumlah sudah mencapai angka dua miliar, bahkan lebih. Niscaya, pada 6 Juli mendatang, berita utama beberapa koran internasional akan memuat hal itu; begitupun dengan Indonesia.
Inilah yang harus direnungkan anak-kemenakan, Danarto dan Dwi Arjanto. Menurut perasaan saya, konser Megalitikum Kuantum tidak hanya sekadar bisa pertunjukkan musik. Ia memiliki pesan. Kejatuhan penilaian anak-kemenakan hanya sekadar kerna kuasa 'kejanggalan-segmental'. Masalah 'jahitan' yang kurang bagus, kurangnya visi yang kuat. Padahal, kalau mau berbicara itu, mereka cukup membeli kaset Viki Sianipar saja, Toba Dream. Tentulah mereka ingat kalau pernah nongkrong didepan stasiun televisi yang mengganti istilah penyiar menjadi Video Jockey, terucap fi-je. Satu lagu, yang saya lupa siapa penyanyinya, namun klipnya digarap Dimas Djayadiningrat, mengambil tempat lokasi hutan tropis yang diberi properti piano. Judul karya itu 'Piso Surit', yang sebenarnya juga merupakan gubahan lagu daerah Batak Karo, satu dari enam sub-etnis Batak di tanah Sumatera Utara.
Alangkah sia-sianya ujaran kata mereka di dua tulisan yang keluar dua hari belakangan. Tentunya, mereka pun seharusnya sudah pasti keluar sebelum konser berakhir. Sebab tulisan mereka sudah merujuk pada bayangan serangkaian kejadian; pantat mulai bosan duduk di ruang pertunjukkan, kepala pegal, atau tertidur ditempat. Dan, kalau mereka tidak keluar, pasti hanya karena alasan ekonomi semata, tiket sudah kubayar; atau aku lagi bertugas.
Padahal, jika mereka menikmati, mungkin lebih tepatnya menghayati apa itu 'kejanggalan-segmental' tentu hasilnya sudah digdaya. Danarto, sastrawan yang pernah kutemui sedang tertidur ketika berlangsung pertunjukkan musik Tony Prabowo di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, di waktu lampau, sudah melihat kejanggalan itu. Di paragraph sembilan artikel itu ia menuliskan apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan. Kejanggalan penampilan Agnes Monica, inti paragraph itu. Silahkan anda mencari isi tulisan lengkap di situs KOMPAS, tentu saja. Tapi, Dwi Arjanto sama sekali tak menyadari hal itu. Pernyataan dia 'ketiadaan visi dalam musik' merupakan bukti kekeliruan, untuk tidak menyebut kedunguan atau kebodohan, mungkin saja lebih besar, kesalahan redaksi KORAN TEMPO menempatkan karyawan.
Dari 'kejanggalan-segmental' itu sebenarnya pemaknaan Megalitikum Kuantum terdapat. Aku mencoba menghayati kenapa itu terjadi. Saat jawaban kudapat, aku memiliki dua pilihan yang berkaitan. Apakah ini alam bawah sadar Rizaldi Siagian saja atau memang inilah sebenarnya makna pertunjukkan selama kurang lebih 90 menit itu? Pertunjukkan itu menawarkan sebuah semangat, semangat Megalitikum Kuantum. Dan, memang pengejawantahan hal itu tidak sekadar melihat pertunjukkan sebatas persepsi musik belaka. Tapi, perwujudan budaya.
Semangat Megalitikum Kuantum itu terekam dalam tiga tahapan sederhana. Saling berbagi, menyatu dan membuat yang baru. Inilah pencarian, hakikat tiap manusia; berpengertian selalu menuju tingkatan yang lebih baru hingga kematian berjumpa. Rizaldi menampilkan Agnes Monica atas dasar itu. Ia ingin memperlihatkan bahwa di Indonesia juga ada yang bermusik ala 'Barat', spesifiknya berkiblat ke Britney. Memang, saya mengakui: tampilan Agnes merusak konsentrasi otak juga rasa untuk menikmati pertunjukkan. Gaya dia sama sekali bertolak belakang dengan tata artistik panggung yang bernuansa kolosal dan megah. Tapi, bagaimana pun juga Agnes Monica itu Indonesia, dan seharusnya dia diberi tempat untuk berekspresi. Bukan dijegal, atau mungkin dibodohi. Permisalan lain juga timbul melalui Candil Seriues yang harus rela berpakaian adat Nias, hingga Krisdayanti yang katanya bernyanyi beralaskan nada khas Batak Karo, mungkin juga Maya Hasan yang menyetem harpa hingga bertangga nada slendro, atau permainan jemari Indra yang mengharamkan jelas do-re-mi-fa-sol-la-si-do; bahkan cenderung hanya menyempil diantara bunyi gamelan jegog Bali pada karya berjudul 'Rumpun Bambu', kreasi masih-masih Rizaldi Siagian. Kesemuanya bermuara pada keinginan saling berbagi, mencoba untuk bersatu. Itu mengapa saya memaknai menyatu dalam pengertian 'dalam proses menjadi satu'.
Bukankah permasalahan masalah kekinian bangsa Indonesia adalah ketiadaan keinginan berbagi? Untuk menjelaskan ini, anda hanya perlu membaca media massa. Ada berita korupsi, penggelapan pajak, suap hakim, busung lapar, juga segudang kecelakaan yang tentunya bisa diatasi bila dana milik rakyat tetap di jalur tepat. Itulah yang terjadi. Ruang ekspresi si miskin tertindas uang, bahkan halaman koran pun masih bisa dijual untuk memenangkan si kaya. Bagaimanakah Danarto dan Dwi Arjanto, melihat hal itu? Hanya jatuh sebatas masalah sosial kemasyarakatan sajakah, atau apa?
Bukankah perpecahan yang terjadi di negeri ini karena tidak ada ruang unjuk diri? Dan, melalui musik Rizaldi meringankan penderitaan anda membaca keadaan sekitar, bahkan ia membantu untuk memecahkan, melalui solusi yang tentu tak mudah terlaksana. Ia cuma menyebar virus yang akan mekar, saya berharap cepat menyebar, menyengat. SEMANGAT MEGALITIKUM KUANTUM!!!! (Biar kelihatan lebih keren, dan aku pun tampak cerdas. Dan, yang tertera sebagai judul adalah varian unggul slogan yang berkonotasi tak mundur itu.) Berbagi, Menyatu dan Membuat Yang Baru. Ini memang proyek budaya, bukan hanya semata musik saja.