A-F-D-O-L

Didalam bus Patas AC berbiaya Rp3.500, jurusan Cikarang-Senen, saya membaca artikel 'Ulasan Bahasa'. Judulnya, sungguh sangat menyedihkan. 'Bahasa Gaul dalam Judul Berita'. Penulisnya, Abdul Gaffar Ruskhan. Entah siapa dia, saya tidak mengetahui, apalagi mengenal; meski dibawah tulisan namanya terdapat pengejawantahan tentang siapa dia, 'Pusat Bahasa'. Mungkin begitu juga pemikiran dia tentang siapa saya. Terakhir, ulasan itu ada di harian MEDIA INDONESIA edisi Sabtu, 9 Juli 2005.
Sampai sejauh ini, saya mohon maaf, karena hanya mengganggu pikiran anda dengan kalimat kedua paragraph pertama. Apa sebab, saya belum jelaskan. Tapi, bila anda berkenan, silahkanlah anda membaca dahulu artikel tersebut. Saya takut, jangan-jangan tulisan ini malah memengaruhi anda untuk berpikiran dan berperasaan seperti saya.
Lebih baik saya tidak melanjutkan apologia di paragraph dua. Eloknya, langsung saja saya jelaskan apa yang terkandung dalam barisan kata 'sungguh sangat menyedihkan', sebagai penutup prolog tulisan ini.

***

Ah, sekarang saya sudah menghisap sebatang rokok, pertanda ekstase bermula. 'Bahasa Gaul dalam Judul Berita', layak mendapat predikat tambahan dalam gaya tutur kosmopolitan--kosmopolit mengacu pada dampak globalisasi pada yang terjadi di Indonesia, menggunakan bahasa Remy Sylado, bahasa tinutuan, gado-gado, campur aduk-- So what gitu lho?
Mengikut alur pikiran manusia bernama Abdul yang tertuang dalam artikel sebanyak delapan paragraph itu, bermuara pada analisa empat judul berita yang tidak jelas berasal dari mana. (Bah, bagaimana ini harian MEDIA INDONESIA, artikel tanpa kejelasan fakta kok bisa-bisanya lolos seleksi. Ini menambah keyakinan saya, bahwa Abdul setara dengan ide yang ia tuliskan; simpulan akhir saya tentang siapa dia akan tersirat di akhir sajadah kata yang tak panjang ini.) Idealnya, penulis yang memiliki nama tak sedap didengar ini--coba anda lafalkan perlahan dan rasakan, apakah nama itu nikmat dicerna akal (?); untuk mudahnya, bandingkan nama Abdul Gaffar Ruskhan dengan nama kekasih anda, misalnya Sri Dewi Larasati atau Dewa Brata Kusuma--menyebutkan dari mana ia kutip judul tersebut. Fungsinya hanya satu. Membuktikan bahwa judul tersebut memang nyata dan ada. (Bayangkan saya sampai menambalkan dua kata yang dalam tataran pemikiran filsafat memiliki pengertian berbeda dan tentunya didahului dengan perdebatan panjang. Kalau saya tak salah, 'nyata' itu berdampingan dengan asal kata dalam bahasa Inggris, real; sedangkan 'ada', masih dalam tataran 'kalau saya tidak salah', be. Tapi, sebelum tertinggal, semua ini hanya gagahan belaka, biar anda mengira saya ini luar biasa, cerdas dan berwawasan luas. Padahal, imajinasi anda itu memiliki keterbatasan menilai bila tidak bertemu dengan objeknya secara langsung, yakni saya. Sebagai apologia berikutnya, izinkan saya mengganti sebutan orang pertama tunggal saya menjadi aku. Alasannya, agar 'saya' ini tampil lebih agresif, lebih menerabas, tentunya dengan bumbu yang tak kalah lezat: lebih emosional.)
Jadi, tanpa adanya pustaka yang menyebutkan dari mana asal judul tersebut, aku berpikir Abdul Gaffar Ruskhan--bagaimana kalau aku mengganti sebutan panjang penulis artikel dahsyat, dalam pengertian mampu menghajarkan aku untuk menuliskan tanggapan, dengan nama Afdol, akronim Abdul Gaffar Ruskhan plus akhiran yang baru saja aku temukan, yakni dol. Dan, rasanya nama itu akan jadi lebih lezat tampil di mata--hanya menulis fiksi. Empat judul berita yang ia tempelkan dalam artikelnya hanyalah karangan imaji semata, dan--mengutip pelabelan yang kerap terjadi di sebuah sinetron, umumnya diawal sajian--'kalau pun benar, itu hanya sebuah kebetulan semata'. Itulah salah satu kesedihan ku.
Tapi, aku tidak percaya Afdol melakukan hal itu. Ia mengorbankan emblem 'Pusat Bahasa' yang merekat di boks nama penulis artikel. Ya, terpaksa harus bersusah-susahlah aku untuk mencari fakta. Dan, tentunya sebagai wujud penghormatan ku atas jerih susah nalar Afdol mengembangkan ide hingga menjadi tulisan, lalu artikel koran yang pastinya dia sudah menerima imbalan setimpal, uang.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan, khususnya ingatan ketika aku berjalan-jalan di lapak loper koran, entah di Terminal Kampung Melayu, Teminal Blok M, Terminal Senen, juga melihat loper-loper koran di dalam bus Mayasari Bakti jurusan Kampung Melayu-Pulogadung, atau yang berada di perempatan serta pertigaan lampu merah sepanjang Jalan Matraman hingga Salemba, aku menemukan fakta itu. Fakta dalam pengertian keserupaan gaya berbahasa, antara kutipan Afdol dengan judul berita yang kubaca. Akupun mengetahui, media apa yang dia maksud. Tanpa berniat memojokkan media tersebut, aku akan memberitahu anda, sebab itu adalah fakta. (Mungkin ini kebijaksanaan Afdol, untuk tidak mengatakan kedunguan atau kecerobohan dirinya yang aku pikir merupakan seorang ilmuwan, memperhitungkan aspek tertentu yang berdampak menghilangkan fakta. Bayangkan, aku ulang sekali lagi, menghilangkan fakta! Padahal, faktalah yang menjadikan Afdol berbicara. Atau, bisa saja artikel itu diperiksa kembali susunan kata, dan sebagainya oleh redaksi harian berlogo kepala elang.)
Faktanya, judul-judul serupa tampil di harian semisal, Lampu Merah, Rakyat Merdeka dan Non-Stop. Sebagai contoh, harian Rakyat Merdeka terbitan Sabtu, 9 Juli 2005, memuat berita utama bertajuk Berani Bener Hamid Loloskan Koruptor, atau berita lainnya, Janjinya, Tanto Nyikat 3 Mafioso (Aku memutuskan untuk memilih yang pertama sebagai sampel perbandingan dengan ulasan Afdol). Atau harian Lampu Merah, edisi Sabtu 9 Juli 2005, memuat ... berita Duduk Ngongkong Ngobrol Ama Dua Cowok 'CD-nya' Keliatan Warnanya Putih Gambarnya Bunga-bunga Merah Jambu Diperkosa. (Jika anda merevisi 'Ngongkong' menjadi 'Nongkrong' itu hak anda. Tapi, yang utama jangan menyatakan aku salah ketik. Itu saja. Sebab, aku pun berpikir demikian; namun aku tetap memilih menggunakan kata itu atas dua dasar. Pertama, itu fakta. Kedua, keanehan kata yang mengajak pikiran untuk berpikir apa makna kata tersebut diluar penulisan yang benar, seakan menyimpan misteri.) Dan, untuk contoh berita dari harian Non-Stop, aku tak punya. Bisa saja sidang pembaca tidak memercayaiku kerna itu, tapi tak apalah, itu hak anda. Tapi, ingat jangan menyuruhku untuk menghentikan kegiatan yang berlandaskan emosi ini; meski batin ini bersuara: "Semoga Puan dan Tuan masih sedia membaca hingga tuntas semua?"
Sebelum tertinggal, aku ingin mengingatkan diri tentang satu hal. Yakni perihal judul yang terambil dari harian sampel Lampu Merah. Sebenarnya, dalam hati kecil aku bertanya, sedikit menambahkan, bila anda teliti tentu mengerti mengapa aku tidak membubuhkan kata 'judul' pada isian diantara potongan kalimat 'memuat ... berita'. Alasannya, sederhana. Aku tidak merasa apa yang tertulis ada judul. Kalaupun itu judul, kenapa sangat panjang? Memang tidak ada penjelasan mengenai batasan karakter judul, meski bentuk baku untuk media massa, kerana permasalahan ruang menghasilkan kesimpulan bahwa judul harus singkat, lugas dan tentunya tepat dengan isi yang hendak diutarakan. Sedikit menyimpang, Afdol mengartikan judul dalam teminologi yang sangat susah aku mengerti. Ia menyebut judul sebagai 'roh' berita. (Sedikit mengumbar kedunguan--entahlah kalau ada khalayak yang menyebutku cerdas, bahkan berwawasan luas--aku menyebut 'roh' berita berada didalam berita keseluruhan; bukan didalam judul. Ia adalah makna dari berita itu sendiri, bukan gambaran yang kita peroleh dari sebuah judul. Ingat saja adagium yang berbunyi, 'Don't judge a book from the cover'. Sayangnya, Afdol yang berasal dari 'Pusar Bahasa' ini mereduksi 'roh' hingga terbatas pada judul berita saja. Maka dengan membaca harian-surat kabar-koran-newspapper, muncullah 'roh'-'roh' bergentayangan yang menghajar mata anda, juga nalar anda.) Beralaskan alasan perasaan, maka aku pun menyoreng berita dari Lampu Merah sebagai sampel contoh judul berita, meski ia menggoda, soalnya artikel Afdol erat bertemali hal itu.
Jadi, aku cuma punya dua judul berita yang menjadi fakta, 'Berani Bener Hamid Loloskan Koruptor' dan 'Janjinya, Tanto Nyikat 3 Mafioso'. Kalau mengikuti alur berpikir Afdol, niscaya berita ini akan berubah penampilan. Untuk judul pertama, masalah, ada dua. Pertama, kata 'bener' bukan merupakan bahasa baku Indonesia, tapi bahasa 'gaul' Indonesia, aku lebih mendekatkan hal itu dengan bahasa 'aktual' Indonesia. (Mohon, pembaca yang mengerti bahasa baku membantu saya, aktual atau aktuil yang merupakan bentuk baku. Lalu kabari saya. Mengenai soal mengubah kata ganti orang pertama tunggal dari 'aku' menjadi 'saya', mudah-mudahan anda mengerti kenapa sebab itu memang mudah.) Hingga, kata 'bener' harus direvitalisasi menjadi 'benar'. Perubahan sementara menjadi 'Berani Benar Hamid Loloskan Koruptor'. Kedua, judul berita itu memojokkan subjek kalimat judul berita itu, Hamid--entah siapa ini tidak penting. Padahal, menurut Afdol judul adalah 'roh', maka sebenarnya siapa itu Hamid sudah seharusnya juga diketahui secara pasti, bukan menebak-nebak seperti yang anda lakukan saat ini, mengasosiasikan Hamid dengan sosok pejabat menteri di Indonesia. Padahal, itu tidak bisa. Sebab kita hanya mengambil judul berita, bukan berita. Dan, mengapa pula Afdol harus berpikiran itu memojokkan. Atas dasar apa ia mampu menyimpulkan? Bagaimana kalau ternyata fakta yang benar adalah pernyataan judul berita tersebut? Menyiasati hal ini, Afdol berlindung dibalik bahasan santun dan tidak, berbicara kesan pembaca. Dalam kalimat itu, si Hamid terkesan melakukan tindakan negatif. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan, bertujuan memositifkan kesan itu; tanpa bermaksud merubah fakta memojokkanlah sesungguhnya niatan revisi, hanya memperhalus. Jadinya, sebagai umpama 'Hamid Campur Tangan Meloloskan Koruptor'. Mungkin anda lebih tepat membandingkannya dengan isi tulisan Afdol. Ia mengutip judul berita, entah fiksi atau fakta, mungkin juga gosip yang telah beralih nama menjadi istilah berderajat maha: Infotainment, yakni bertajuk 'Menteri Hatta Nyalahin Masinis' menjadi 'Menteri Hatta: Itu Kelalaian Masinis'. Sekali lagi ini berdasarkan kesan, dan ingat batasannya adalah judul. Dan, lagi pula Afdol dengan tegas menyatakan judul adalah 'roh', berarti sudah termaktub didalamnya isi berita sebenarnya. Padahal, ia hanya menggariskan judul, bahasan dia bukan mengurai berita, mulai dari judul, isi berita yang biasa disebut bentuk tulisan piramida terbalik. (Inilah kesedihan berikut yang kualami. Sudah tidak menyebut fakta dimana berita itu, Afdol malah berani-beraninya mengganti judul berita Menteri Hatta menjadi--berdasarkan pengalamanku menjadi jurnalis selama sembilan bulan--kutipan perkataan Menteri Hatta.) Lebih ironis lagi, bila melihat dari empat contoh yang dibahas, Afdol hanya mendalami tiga contoh saja. Bisa jadi ini merupakan bagian dari kerja redaksi yang mengatur ulang tulisan Afdol. Entahlah, ini hanya dugaanku saja.
Memang, judul berita diatas memberikan masalah bagi perasaanku. Disatu sisi, aku menilai apakah memang itu yang terjadi. Kalau memang itu yang terjadi, fakta sebenarnya, bukan manipulasi pewarta, itu sah-sah saja, tergantung kebijakan redaksi. Perihal kebijakan inilah yang menimbulkan sisi lainnya, yakni aku mencoba memahaminya sebagai gaya penulisan. Adakah yang salah dengan gaya penulisan itu? Merunut pola pikir Afdol, judul tersebut hanya menyalahi tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi, apakah itu menyalahi gaya bahasa Indonesia tanpa menggunakan embel-embel 'baik dan benar', masih tanda tanya besar. Sebab gaya berbahasa itu dinamis sekali. Sekadar umpama, kalau dulu perkataan top di jaman Soekarno adalah Bung, dijaman Soeharto adalah Pak, dijaman Abdurrahman Wahid adalah Gus, dijaman Megawati Soekarnoputri adalah Mbak dan dijaman Susilo Bambang Yudhoyono adalah akronim SBY atau JK. Bukankah ini pertanda dinamika gaya bahasa, antara kultur feodal dan faham kesetaraan?
Lebih parah lagi, mengapa Afdol tidak menyoroti berbagai spanduk milik Pemerintah DKI Jakarta yang nyata-nyata menulis, 'Nyok Bareng-Bareng Kite Bangun Kote Jakarte', semisal spanduk yang berada di dekat halte Universitas Tarumanegara di Grogol, Jakarta Barat. Bukankah itu lebih tepat. Pasalnya, pemerintahlah yang lebih berkewajiban menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Menggunakan bayangan itu, aku mengerti mengapa Afdol memilih media massa sebagai sampel. Ia mungkin sudah tidak memperdulikan apa yang dilakukan pemerintah, atau ia melihat sisi strategis media massa untuk mencerahkan, mendidik bahkan membangun bangsa. Untuk itu, ia pun ikut andil dalam membangun cara berbahasa yang seragam, tanpa memperdulikan gaya. Inilah kesedihan itu, ketika gaya berbahasa diberangus sistem tata bahasa baku, 'baik dan benar', yang belum diketahui kedahsyatannya; sepengetahuanku belum ada penelitian yang mengulas mendalam soal dampak penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar', bahkan hanya sekadar imaji pun tak terdengar. Apakah dengan menggunakannya, bangsa kita menjadi besar, digdaya? Yang jelas, ide besar penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar' kerap mendapat ganjalan dari seorang munsyi bernama asli Yappi Tambayong.
Inilah kesedihan berikut. Afdol tidak mempelajari hubungan antara bisnis dengan media. Di kepala Afdol kadung ngelotok bahwa media itu wadah pencerahan. Tapi, jaman sudah berubah, Afdol. Kuingatkan, media massa tidak lagi berperan sebagai wadah pencerahan, tapi bisa saja menjadi wadah pembodohan; dan tidak muskil itu dilakukan media massa terhormat. Penyebabnya tentu tidak jauh dari kekuasaan, bisnis utamanya. Apa penjelasan tentang ini tentu dapat disaksikan pada masa terdahulu. Betapa di jaman Pemilu Capres-Cawapres 2004, kenetralan media massa mendapat sentilan hebat. Kenetralan disentil, alhasil keberpihakkan terhadap salah satu calon Capres dan Cawapres. Bahkan, melalui foto pun, seorang ahli komunikasi asal Universitas Indonesia, aku lupa namanya, berujar perbedaan sudut pengambilan gambar ketika deklarasi Koalisi Kebangsaan yang dipelopori Mega-Akbar, menyiratkan keberpihakkan media massa, meskipun ada peluang bersifat bawah sadar, bahkan sama sekali tidak sadar. Walahu allam. Afdol tentunya memahami segi bisnis manajerial dalam perihal penerbitan media massa, yang merupakan masalah tak sepele. Jawabannya pun sederhana. Mengapa Afdol tidak menerbitkan harian-surat kabar-koran untuk memopulerkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila ia tidak memiliki modal, mengapa tidak meminjam saja. Atau ia melakukan riset betapa dampak dari penggunaan bahasa yang baik dan benar itu, biar media massa yang tidak mengikuti pedoman menjadi tersadar dan segera mengubah langkah. Bila tidak, segeralah Afdol membuka blog pribadi yang berisi opininya atas berbagai macam hal, utamanya bahasa Indonesia. (Aih, bila saja ia membuka blog, khususnya warga negara Indonesia, tentunya ia harus berpikir ulang, betapa sulitnya--maaf, sekadar perhalusan bentuk kata 'gagal'-nya--membangun budaya berbahasa yang baik dan benar.)

***

Kepedihan ini merupakan yang terakhir. Dibagian permulaan hingga paragraph ketiga, Afdol berbicara masalah kesan dari judul berita berbahasa gaul. Antara santun atau tidak. Hal itu berimbas pada posisi harian-surat kabar-koran, 'berkelas' atau 'murahan'. Standardnya, subjektifitas pembaca. Dan, penilaian ini pun tidak jelas berasal dari mana. Lagi-lagi berbincang fakta. Jangan-jangan hanya ia seorang saja, dugaan kasarku. Soalnya, harian-surat kabar-koran yang bergaya bahasa seperti itu laku, meski aku tidak tahu apakah perusahaannya untung. Minimal, ada yang beli. Dan, hingga sekarang belum gulung tikar, padahal seingat saya, ini sudah memasuki bahkan melewati lima tahun pertama harian-surat kabar-koran sejenis begitu beredar.
Jadi, ada baiknya Afdol tidak usah membawa-bawa kesan pembaca, untuk memersuasi redaksi harian 'nyeleneh' kembali ke rel yang 'baik dan benar' atas dasar perhitungan emosional pembaca yang berwawasan brilian, cerdas bahkan cendekia; singkatnya kelas menengah hingga atas. Ia cukup mengutarakan fenomena yang terjadi, bagaimana menyiasati, tanpa membawa perhitungan bisnis atas dasar kesan pembaca. Sebab, redaksi yang berupaya menerbitkan bukan orang bodoh yang hanya mau membuang uang tanpa memberi keuntungan.
Di akhir tulisan ini, aku hendak menyimpulkan, artikel Afdol seharusnya dikeluarkan dua atau tiga tahun yang lalu. Fenomena yang dia tuliskan bukan terjadi baru-baru ini. Aku sedih. Padahal ia berasal dari Pusat Bahasa, bagaimana tidak responsif membaca keadaan. Memang bisa saja, tulisan ini sudah yang ke- berapa kali. Dan, hanya membuktikan kekurang uletan Afdol menulis, atau lagi-lagi ketidak populeran isu yang ia bawakan, atau dalam bahasa sakit-nyelekit, gagal.
Tapi, bagaimanapun aku kagum dengan keberanian Afdol menyuarakan ide lama. Ia perwujudan orang yang sadar akan pentingnya berbahasa yang baik dan benar. Ia juga jelas-jelas orang yang berperasaan, santun.
Sayangnya, artikel dia terbaca olehku. Dan, kebetulan usai membaca artikel di Sabtu siang, emosiku meradang. "Ini orang maksudnya piye toh?"

3 comments:

  1. Afdol seh afdol, tapi mbok toh ya rada pengertian ama pembaca. Udah tulisannya kecil-kecil, banyak pula, udah gitu pembahasannya 'lumayan'...

    PRIHATIN

    ReplyDelete
  2. si mahasiswa6:04 AM

    afdol adalah dosen saya. he's .... *hoeekkk*

    ReplyDelete
  3. Maaf, saya tidak dapat mempublikasikan komentar Anda (si mahasiswa). Komentar Anda masih dalam moderasi saya.

    Terimakasih.

    ReplyDelete