Sengat Mega-Lithium-Kuantum

Sebenarnya, ini tulisan penuh emosional. Pasalnya, sederhana. Aku baca dua artikel tak jauh beda. Pertama, tulisan Danarto di harian KOMPAS, Minggu, 3 Juli; kedua, tulisan Dwi Arjanto di KORAN TEMPO, Senin, 4 Juli. Yang pertama bertajuk, 'Mencari Musik Indonesia', kedua--dalam kerangka bulat emosional, kunilai: tak jauh beda, 'Bunga Rampai Musik Negeri'.
Karena kesal, aku pun berpikir. Danarto dan Dwi Arjanto, adalah dua nama tidak jauh berbeda nada. Mirip. Ah, pasti mereka saudara, minimal ada hubungan kekeluargaan dari frase kata '-to'. Cobalah kau lafalkan kawan, maka terasa ada samanya. "Da-nar-to. Dwi Ar-jan-to."
Dan, tulisan mereka pun tak jauh beda, berkutat masalah konser musik Megalitikum Kuantum di Plenarry Hall, Jakarta Convention Center. Intinya, hampir sama.
Danarto berujar dua hal. Dalam artikel yang memakan seperempat ruang halaman itu, Danarto menyebutkan hal inti dipenghujung tulisan, yakni: buat apa mencari musik Indonesia, bila musik yang sudah ada itu indah. Maksud dia, musik daerah-daerah di sekitar Kepulauan Nusantara. Sedang yang pertama, ia lebih banyak berbicara teknis pertunjukkan. Dan, untuk permasalahan pertama yang ia lemparkan, aku sepakat, dan memang pertanyaan itu perlu mendapat porsi lebih. Perihal, 'jahitan'. Terminologi khusus diciptakan lelaki yang telah mengaku kepadaku bahwa ia tidak bisa mempergunakan internet. Kalau aku, cuma bisa menamakannya menjadi 'kejanggalan-segmental'. (Lumayanlah, minimal agak gagah sedikit. Agak bombastislah.)
Biar lebih genit, aku bilang saja Dwi Arjanto ini kemenakan Danarto. Hanya menyorot satu hal, sudah begitu abstrak pula. Sang kemenakan cuma berujar, "Banyak segmen musik tanpa satu visi yang kuat." Bahkan--aku bertambah yakin bahwa Dwi Arjanto adalah kemenakan Danarto--ia pun mengutip perkataan sastrawan pengarang 'Godlob'. Baiklah bila kutampilkan potongan kalimat itu, 'Pergantian lagu terlalu lama. "Jedanya panjang. Harusnya musisi berikutnya bersiap setiap pergantian lagu," kata kritikus seni, Danarto'. (Dugaanku, pastilah ia menelpon Danarto, bila tidak alternatifnya hanya satu lagi: mengutip isi tulisan sastrawan rambut putih di KOMPAS)
Memang, sang kemenakan haram ini menampilkan data perbandingan Megalitikum Kuantum dengan acara Orkes Chandra Kirana (OCK) yang ditayangkan di TVRI tahun 80-an. Bila sang paman hanya berpendapat tambahan berupa sejarah pengenalan musik asal Indonesia ke wadah luar. Contoh, pada 1890, gamelan Jawa diperkenalkan dalam konser di Paris bahkan mampu 'merusak' otak komponis Claude Debussy; empat puluh tahun berselang, gamelan Bali pun unjuk gigi di California berubung bintang-bintang Hollywood. (Aih, benar-benarlah anak-kemenakan dua ini.)

***

Sudah saatnya masuk mendalam. Ini kali, aku pasti lebih emosional, sedikit aku berharap masih ada sisi akal berperan. (Ah, sangat menyentuh kalimat ini, sungguh insani.)
Dua anak-kemenakan tersebut telah mengebiri diri. Betapa mereka begitu picik, dengan kekenesan intelektual juga wawasan mampu berpikir bahwa Megalitikum Kuantum hanya jatuh dalam permasalahan: pertunjukkan 'gagal'. Bahasa kasar yang hendak mereka sampaikan: "Mosok, pertunjukkan gitu dibilang megah. Ngatur waktu saja endak bisa. Teknis pertunjukkan masih gelagapan."
Aku pikir, kesimpulan itu hasil dari kebebalan nalar belaka. Apa pasal? Coba diruntut lebih tenang. Mudahnya, perbandingkan Megalitikum Kuantum dengan satu konser universal (mungkin, aku agak melebihkan, tapi aku rasa ini wajar. Sebab: aku telah mengisi daftar panjang nama pengikut slogan: 'Make Poverty History', melalui situs www.one.org) Konser Live Eight.
Konser yang berlangsung rentak di sepuluh negara, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Paris, Rusia, Spanyol, Italia, Jepang, Afrika Selatan dan Skotlandia ini didukung lebih dari 100 arits, seperti Bob Geldof, U2, Madonna, Jay-Z, Linkin Park, Destiny Child, Coldplay, Green Day, African Children's Choir, Annie Lennox, Dido, Elton John, Joss Stone, Keane, The Killers, Mariah Carey, Ms. Dynamite, Paul McCartney, Pink Floyd, Razorlight, REM, Robbie Williams, Scissor Sisters, Snoop Dogg, Snow Patrol, Stereophonics, Sting, Travis, UB40, Velvet Revolver, Andrea Bocelli dengan the Philarmonie der Nationen, Amel Bent, Axelle Red, Calogero, Cerrone / Nile Rogers, Craig David, The Cure, David Hallyday, Diam's, Disiz La Peste, Faudel, Florent Pagny, Kool Shen, Kyo, Louis Bertignac, Matt copora, Muse, Placebo, Raphael, Shakira, Sheryl Crow, Tina Arena, Yannick Noah, Youssou N'Dour, A-ha, Audioslave, Bap, Brian Wilson, Chris de Burgh, Crosby Stills & Nash, Die Toten Hosen, Faithless, Herbert Groenemeyer, Joana Zimmer, Juan Diego Florez, Juli, Katherine Jenkins, Reamonn, Renee Olstead, Roxy Music, Sasha, Silbermond, Soehne Mannheims, Wir Sind Helden--untuk permisalan saja siapa artis pendukungnya.
Aku berpikir, keduanya pasti sependapat untuk mengatakan konser itu hanya proyek biasa. Aneh. Biadab, bisa saja. Singkat, mereka pasti hanya mengomentari pertunjukkan secara fisik. Misal, kalau Bob Dylan tampil dalam keadaan flu, mereka hanya berujar, "Ah, sayang sekali dia demam. Kualitas penampilan jadi berkurang." Atau bila piano yang dimainkan Elton John hanya terdengar sesekali saja, pasalnya kalah meriah dengan pekik histeria teriakan para penonton konser pergelaran. Dan, semakin banyak lagi permasalahan teknis lain yang bisa timbul saat penyelenggaraan konser tersebut.
Lalu, apa pula hubungan Konser Megalitikum Kuantum dengan Concert Live 8 (?); dengan dua anak-kemanakan ini? Sebenarnya, sederhana. Kedua konser itu membawa misi terpendam. Konser Live 8 menyuarakan verbal: hapuskan utang negara miskin. Apa alasannya? Tiap tiga detik, satu orang anak mati, karena: KELAPARAN!
(Ayo, setelah anda membaca sampai disini, segera tinggalkan blog ini. Langsung ada berselancar ke www.one.org, mendaftarkan diri, bersuara, 'Make Poverty History', sebelum pertemuan G8 dimulai di Gleneagles, Skotlandia, 6 Juli 2005; dan konser final yang berujung di Edinburgh, juga berlangsung di tanah legenda manusia abadi, Highlander, dengan tanggal pertunjukkan bersamaan dengan pertemuan G8)
Capek juga melanglang buana. Baiklah, kembali ke Nusantara, perkara awal: Konser Megalitikum Kuantum. Tentu, serupa dengan konser Live 8, Megalitik Kuantum pun bertujuan 'menggelitik kuantum' nalar. Pertunjukkan musik yang digarap etnomusikolog lulusan San Diego State University, California, Rizaldi Siagian sebagai sutradara musik. Asistennya, Dwiki Darmawan. Ada juga, Jay Subiakto sebagai penata artistik, atau beberapa nama bencar (istilah yang berasal dari besar-gencar; asyik dengarnya, seperti ada kesan menghajar) komponis musik Indra Lesmana, Rahayu Supanggah. Apalagi, jika ditambah penata tari yang berasal dari tanah seberang, Sumatera Barat, Boi. G. Sakti pemimpin Gumarang Sakti Dance Company; untuk hal satu ini saya pernah melihat pementasan karya pendiri kelompok Gumarang (Kuda Terbang) Sakti Gusmiati Suid, bertajuk 'Api dalam Sekam' dengan sutradara tari sang anak, Boi Gumarang Sakti. Selain dia, ada penari lain yang terkenal membahana, sebab bila ia menari mampu mengundang gelak tawa. Didik Nini Thowok. Juga tak tertinggal, para pelantun lirik syair yang rata dicipta Rizaldi Siagian, yakni barisan nama yang pasti saja kaset entah CD ada di Disc Tara terdekat dengan posisi anda membaca tulisan ini sekarang, seperti Krisdayanti, Agnes Monica, Iyeth Bustami, Ubiet, Candil Seurieus, Peni Candra Rini, Rani Noor, dan Amirouz.(Mungkin, untuk Amirouz, Ubiet, Peni Chandra Rini dan Rani Noor, agak sukar ditemukan. Kalau begitu, anda tinggal cari di tempat-tempat tersembunyi saja kaset mereka.) Disamping personal yang mewabah di belantika musik modern, ada juga nama yang tak kalah sangar dari belantara musik tradisional, semisal seniman asal desa Bawomataluo, Pulau Nias, yakni Hikayat Manao; atau kelompok musik sampeq (alat musik petik khas Kalimantan) pimpinan Ului Laloq yang berduet dengan harpakus Maya Hasan; juga peniup suling Korem Sihombing, atau pemusik sasando, juga pemain jegog Bali, serta entah apa lagi, mungkin saja ini yang masih kuingat Innisisri, yang mahir memainkan perkusi.
Meski tak sampai seratus artis penghibur seperti konser Live 8, Konser Megalitikum Kuantum, saya rasa tidak kalah spektakuler. Meski tidak menawarkan ide penghapusan utang agar tiada lagi orang kelaparan, Megalitikum Kuantum masih mampu menyengat nalar untuk sekedar refleksi. Dan, lagi-lagi keduanya terbentur bukan pada musik semata. Melihat konser Live 8 dari sisi musik, alhasil hanya menimbulkan kekacauan belaka. Bagaimana mungkin, kelompok band The Cure bersanding panggung dengan Craig David, atau Linkin Park bertemu muka dengan Andre Bocelli, atau Robbie Williams berganti tampil dengan Velvet Revolver. Bukankah tidak ada keselarasan musik? Bukankah hanya pertunjukkan segmental saja sifatnya. Tapi, dalam konteks keseluruhan muncullah apa yang saya sebut dengan istilah--maaf bila saya agak berjumawa dengan keberhasilan kecil mencampur adukkan bahasa ini--'kejanggalan-segmental'.
Dalam konser Live 8 ada semangat, 'Mereka Jangan Mati. Mereka Harus Hidup.' Dan, kobar-kobar api semangat itulah yang menyengat seluruh penghuni planet Bumi ini, dengan jumlah sudah mencapai angka dua miliar, bahkan lebih. Niscaya, pada 6 Juli mendatang, berita utama beberapa koran internasional akan memuat hal itu; begitupun dengan Indonesia.
Inilah yang harus direnungkan anak-kemenakan, Danarto dan Dwi Arjanto. Menurut perasaan saya, konser Megalitikum Kuantum tidak hanya sekadar bisa pertunjukkan musik. Ia memiliki pesan. Kejatuhan penilaian anak-kemenakan hanya sekadar kerna kuasa 'kejanggalan-segmental'. Masalah 'jahitan' yang kurang bagus, kurangnya visi yang kuat. Padahal, kalau mau berbicara itu, mereka cukup membeli kaset Viki Sianipar saja, Toba Dream. Tentulah mereka ingat kalau pernah nongkrong didepan stasiun televisi yang mengganti istilah penyiar menjadi Video Jockey, terucap fi-je. Satu lagu, yang saya lupa siapa penyanyinya, namun klipnya digarap Dimas Djayadiningrat, mengambil tempat lokasi hutan tropis yang diberi properti piano. Judul karya itu 'Piso Surit', yang sebenarnya juga merupakan gubahan lagu daerah Batak Karo, satu dari enam sub-etnis Batak di tanah Sumatera Utara.
Alangkah sia-sianya ujaran kata mereka di dua tulisan yang keluar dua hari belakangan. Tentunya, mereka pun seharusnya sudah pasti keluar sebelum konser berakhir. Sebab tulisan mereka sudah merujuk pada bayangan serangkaian kejadian; pantat mulai bosan duduk di ruang pertunjukkan, kepala pegal, atau tertidur ditempat. Dan, kalau mereka tidak keluar, pasti hanya karena alasan ekonomi semata, tiket sudah kubayar; atau aku lagi bertugas.
Padahal, jika mereka menikmati, mungkin lebih tepatnya menghayati apa itu 'kejanggalan-segmental' tentu hasilnya sudah digdaya. Danarto, sastrawan yang pernah kutemui sedang tertidur ketika berlangsung pertunjukkan musik Tony Prabowo di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, di waktu lampau, sudah melihat kejanggalan itu. Di paragraph sembilan artikel itu ia menuliskan apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan. Kejanggalan penampilan Agnes Monica, inti paragraph itu. Silahkan anda mencari isi tulisan lengkap di situs KOMPAS, tentu saja. Tapi, Dwi Arjanto sama sekali tak menyadari hal itu. Pernyataan dia 'ketiadaan visi dalam musik' merupakan bukti kekeliruan, untuk tidak menyebut kedunguan atau kebodohan, mungkin saja lebih besar, kesalahan redaksi KORAN TEMPO menempatkan karyawan.
Dari 'kejanggalan-segmental' itu sebenarnya pemaknaan Megalitikum Kuantum terdapat. Aku mencoba menghayati kenapa itu terjadi. Saat jawaban kudapat, aku memiliki dua pilihan yang berkaitan. Apakah ini alam bawah sadar Rizaldi Siagian saja atau memang inilah sebenarnya makna pertunjukkan selama kurang lebih 90 menit itu? Pertunjukkan itu menawarkan sebuah semangat, semangat Megalitikum Kuantum. Dan, memang pengejawantahan hal itu tidak sekadar melihat pertunjukkan sebatas persepsi musik belaka. Tapi, perwujudan budaya.
Semangat Megalitikum Kuantum itu terekam dalam tiga tahapan sederhana. Saling berbagi, menyatu dan membuat yang baru. Inilah pencarian, hakikat tiap manusia; berpengertian selalu menuju tingkatan yang lebih baru hingga kematian berjumpa. Rizaldi menampilkan Agnes Monica atas dasar itu. Ia ingin memperlihatkan bahwa di Indonesia juga ada yang bermusik ala 'Barat', spesifiknya berkiblat ke Britney. Memang, saya mengakui: tampilan Agnes merusak konsentrasi otak juga rasa untuk menikmati pertunjukkan. Gaya dia sama sekali bertolak belakang dengan tata artistik panggung yang bernuansa kolosal dan megah. Tapi, bagaimana pun juga Agnes Monica itu Indonesia, dan seharusnya dia diberi tempat untuk berekspresi. Bukan dijegal, atau mungkin dibodohi. Permisalan lain juga timbul melalui Candil Seriues yang harus rela berpakaian adat Nias, hingga Krisdayanti yang katanya bernyanyi beralaskan nada khas Batak Karo, mungkin juga Maya Hasan yang menyetem harpa hingga bertangga nada slendro, atau permainan jemari Indra yang mengharamkan jelas do-re-mi-fa-sol-la-si-do; bahkan cenderung hanya menyempil diantara bunyi gamelan jegog Bali pada karya berjudul 'Rumpun Bambu', kreasi masih-masih Rizaldi Siagian. Kesemuanya bermuara pada keinginan saling berbagi, mencoba untuk bersatu. Itu mengapa saya memaknai menyatu dalam pengertian 'dalam proses menjadi satu'.
Bukankah permasalahan masalah kekinian bangsa Indonesia adalah ketiadaan keinginan berbagi? Untuk menjelaskan ini, anda hanya perlu membaca media massa. Ada berita korupsi, penggelapan pajak, suap hakim, busung lapar, juga segudang kecelakaan yang tentunya bisa diatasi bila dana milik rakyat tetap di jalur tepat. Itulah yang terjadi. Ruang ekspresi si miskin tertindas uang, bahkan halaman koran pun masih bisa dijual untuk memenangkan si kaya. Bagaimanakah Danarto dan Dwi Arjanto, melihat hal itu? Hanya jatuh sebatas masalah sosial kemasyarakatan sajakah, atau apa?
Bukankah perpecahan yang terjadi di negeri ini karena tidak ada ruang unjuk diri? Dan, melalui musik Rizaldi meringankan penderitaan anda membaca keadaan sekitar, bahkan ia membantu untuk memecahkan, melalui solusi yang tentu tak mudah terlaksana. Ia cuma menyebar virus yang akan mekar, saya berharap cepat menyebar, menyengat. SEMANGAT MEGALITIKUM KUANTUM!!!! (Biar kelihatan lebih keren, dan aku pun tampak cerdas. Dan, yang tertera sebagai judul adalah varian unggul slogan yang berkonotasi tak mundur itu.) Berbagi, Menyatu dan Membuat Yang Baru. Ini memang proyek budaya, bukan hanya semata musik saja.

1 comment:

  1. wuaaah......
    slurrpps... :)

    sehabis membaca blog-mu:

    (satu)
    penggunaan kata ganti "saya", terdengar eh salah, terasa lebih menyenangkan.... lebih membumi dibandingkan "aku" yang terasa individualis dan arogan (kata reva:arogan- kata intan:individualis)

    (dua)
    ternyata dave itu tidak minimalis

    (tiga)
    jadi ngiri pengen nonton megalitikumkuantum ;(

    (empat)
    gue setuju, sepertinya apresiasi akan lebih jujur jika tak ada tuntutan liputan, atau alasan ekonomi..: "sayang udah bayar tiket, mahal"

    yang paling ideal itu memang seperti lu : nggak mesti bikin tulisan (except on your blog) dan : NGGAK BAYAR!! nikmaaaat...

    nge-blog itu emang nikmat kawan....
    menyalurkan katarsismu tanpa ada pembatas
    uaaaaaaaaah!!!!!!!!
    ***

    ReplyDelete