CATATAN PERJALANAN TAK SAMPAI 24 JAM:
EKSOTIKA BALI ERA GLOBALISASI


Selama perjalanan 112 menit, dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Ngurah Rai, angan saya membayangkan irama komposisi musik bertajuk 'GloBALIsm' karya I Wayan Balawan. Ketika itu, musikus jazz asal Pulau Dewata tampil bersama Batuan Ethnic Fusion di Gedung Kesenian Jakarta setahun lalu. Gitaris yang tenar dengan teknik sentuh (touch technique) delapan jemari itu memadukan dua alat musik dari dua jaman berbeda, tradisional dan modern. Gamelan Bali hadir sebagai representasi kekayaan perabadan tradisional. Dan, gitar elektrik, bass, juga drum merujuk pencapaian modernitas alat musik. Cipta kreasi Wayan pun menghasilkan komposisi jazz yang unik lagi menarik.

Berdasar suguhan musik unkonvensional tersebut, imajinasi saya berhasil menangkap pesan yang hendak disampaikan pria kelahiran Gianyar, Bali, 9 September 1972. Terasa, melalui musik Wayan mencoba bercerita tentang perubahan Pulau Bali. Melodi gitar elektrik mengangkat gejolak hentak pembangunan, entah berupa gedung perkantoran atau tempat hiburan seperti diskotek, juga outlet-outlet perlengkapan selancar hingga pakaian renang. Di sisi lain, tabuhan gamelan turut andil mencitrakan gaung budaya lokal yang masih terkawal rapi, memberi gambaran keramahan penduduk hingga pura ibadah yang masih berdiri megah di tiap pojok jalanan pulau seluas 5.623,82 kilometer per-segi. Setidaknya, visualisasi imajinasi itulah muncul selama penantian dalam pesawat Citilink dengan pilot Kapten Hermawan, pada Kamis, 21 Juni lalu.

Dari informasi Kapten Hermawan yang berada di ruang kendali pesawat, saya pun mengetahui bahwa pesawat melaju pada kecepatan 750 kilometer per-jam di ketinggian 10.000 meter di atas permukaan laut. Akhirnya, perjalanan udara dengan jarak tempuh 612 mil yang dimulai pukul 10.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB)--melintasi 'pucuk' gunung berapi aktif Bromo, Jawa Timur, terkurung awan-awan di lapisan troposfer--berakhir pukul 13.52 Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA).

Pendaratan di Ngurah Rai
Perjalanan lintas udara yang mencoba 'mencicipi' produk Clear on the Air gawean bareng Citilink dan Citibank pun lengkap dengan mendaratnya pesawat kapasitas sekitar 120 orang di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, yang berada dekat Pantai Kuta. Ketika pesawat hendak mendarat, ombak laut pun turut bergulung menyisir menghantam tepian pantai bertabur bebutiran pasir-pasir putih. Kepenatan menanti tuntas sudah!

Sesaat menjejak kaki untuk pertama kali di tanah Bali, suhu udara berada pada titik 26 derajat Celcius. Dan, saya segera mengubah jam digital perujuk waktu yang masih dalam format hitungan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB). Sambil mengganti angka penunjuk, dari pukul 13.05 menjadi 14.05, hembus angin laut yang 'merajang' wajah menambah semarak eksotika pulau tropis yang sudah melambung namanya hingga ke seantero dunia. Betapa tidak, majalah perjalanan wisata internasional Travel+Leisure terbitan negara Uncle Sam menobatkan Bali sebagai 'Pulau Wisata Terbaik 2005'.

Pukul 14.40
Usai mengambil nafas di tempat peristirahatan, perjalanan menyusuri pulau wisata terbaik pun dimulai. 'Ziarah' panjang pun mengambil langkah awal di WET Cafe & Bar. Dari sisi bentuk maupun menu yang ditawarkan, memang tidak ada yang istimewa dari Cafe & Bar ini. Desain interiornya, bernuansa modern, simpel bahkan cenderung minimalis. Dinding cafe pun hanya di dominasi dua warna belaka, merah dan hitam; selebihnya berupa kaca transparan. Dan, berkat kaca transaparan inilah, chicken nuggets 'berteman' semangkuk sambal hasil rajangan cabe yang ditawarkan sebagai menu rehat perdana pe-'ziarah'-an Kuta bertambah sedap. Pasalnya, mata lepas memindai sepenggal Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kabupaten Badung, berlatar bangunan mall bertiang pilar gagah gaya Yunani, Discovery Mall.

Di jalanan satu arah selebar tujuh meteran itu, ramai lalu lalang pejalan kaki, entah dari wisatawan asing atau domestik. Pria-pria bule berambut pirang, santai melenggang telanjang dada, hanya mengenakan celana puntung selutut, lazim menjadi fashion para selancar yang menantang gelombang laut pasang di sekitar pesisir Pantai Kuta. Sedang kaum Hawa dari luar Kepulauan Nusantara, tampil mengenakan busana tank-to, dengan bawahan rok mini tak sampai selutut. Tentu saja, tidak lupa asesoris kaca mata hitam, ada yang nangkring di kening, ada yang nyangkut di pangkal hidung bangir.

Perbincangan singkat dengan Public Relations WET Cafe & Bar Liasina J. Sinulingga pun semakin membuka wawasan mengenai nilai lebih WET Cafe & Bar. Perempuan turunan Batak yang sudah lima tahun menetap di Bali ini bercerita, WET Cafe & Bar merupakan upaya pengembangan bisnis dari wahana permainan air, Waterboom. Dulu, kata perempuan langsing semampai ini, lokasi yang menjadi Cafe & Bar merupakan tempat peristirahatan bagi pengunjung Waterboom. Hal itu semakin jelas saat Lia—sapaan Liasina—menyebutkan kepanjangan akronim WET. “Waterboom Experience Take Away, disingkat: WET,” tutur perempuan yang model rambutnya serupa tokoh Molly Jensen yang diperankan aktris Demi Moore dalam film 'Ghost' di 1990.

Paparan Lia lebih lanjut pun makin membongkar inti perubahan WET dari tempat melepas lelah menjadi restoran cepat saji. Perkaranya, efisiensi demi mendatangkan keuntungan lebih bagi Waterboom, plus pelayanan ekstra tidak hanya bagi pengunjung Waterboom, tetapi pejalan kaki yang kebetulan melintas. “Kalau dulu, cuma buat tempat istiraha kelihatannya kurang efektif. Ya, kami inisiatif mengubahnya jadi cafe dan bar. Tentu dengan konsep yang tetap, untuk peristirahatan,” lugas Lia berujar.

Tak sampai sepuluh menit, sehabis menyantap beberapa potong chicken nugget, saya bersama rombongan wartawan beranjak pergi mengunjungi Disovery Mall yang berjarak sekitar 20 meter dari WET Cafe & Bar. Baru saja melangkah, Lia langsung angkat suara menggoda, “Jangan lupa, makan malamnya nanti harus disini lho!” dengan lenggak alis mata yang mengkerut manis.

Sebenarnya, tujuan mengunjungi Discovery Mall tak lain hanya untuk memenuhi niatan melihat keindahan Pantai Kuta yang tersembunyi di balik bangunan megah. Dari WET Cafe & Bar, pandangan mata ke pantai tempat turis menikmati matahari tropis atau pemancing lokal jadi terhalang. Tapi, saat melangkah masuk, saya menjadi tercekat kaget. Kenangan peledakan bom di dua diskotek, Paddy's Club dan Sari Club yang berlokasi di Jalan Legian, Oktober 2002, muncul mendadak. Pemantiknya, ketiadaan 'pasukan' penjaga keamanan gedung lengkap dengan detektor logam di tangan kanan, seperti jamak terjadi di tiap pintu masuk pusat-pusat perbelanjaan di ibukota Jakarta untuk sejenak 'menggeledah' bawaan pengunjung. Tapi, seorang teman, karyawan swasta yang bekerja di Bali, Erwin Sihombing, langsung menjelaskan lepas gejala tersebut. “Disini yang begituan (red—pemeriksaan pengunjung menggunakan detektor logam juga gerbang pemindai) hanya ada di hotel-hotel,” kata dia.

Sembari berceloteh ala kadar, saya beserta sembilan wartawan lainnya tiba di 'buntut' Discovery Mall. Panorama Pantai Kuta pun merasuk retina. Bentangan pasir-pasir, deburan ombak bergulung lalu terbantun di pelataran pantai, serta hembusan angin laut, memikat saya agar lebih bergegas. Tampak beberapa bule-bule dewasa berjalan ditepian, berjemur; sedang yang kanak-kanak riang bermain dengan ombak. Selain itu, sekitar dua hingga tiga orang pemancing lokal terlihat beraksi melempar kail ke tengah pantai. Ada juga seorang ibu yang mengenakan kaos biru langit sedang bercanda ria dengan balita lelaki yang bertelanjang segala. Dan, tak satupun dari mereka yang terlihat oleh mata saya bermimik murung. Kalau tidak tersenyum, paling banter bermuka serius.

Petualangan pun berlanjut. Kali ini, mengambil lokasi di dalam Discovery Mall. Berjalan keliling, hingga ke lantai tiga. Saya pun menemukan keunikan baru. Outlet anggur berlabel Hatten Wine. Asli buatan lokal, tepatnya berasal dari belahan utara God's Island, Singaraja, Kabupaten Buleleng. Karyawan penjaga outlet ramah menawarkan produk anggur AGA White berbotol ramping hijau. “Boleh dicoba, Mas,” kata dia. Langsung saja ia menyajikan anggur ptuih tersebut ke dalam sloki kecil. Saya mencoba, nikmat meski terasa agak kecut (mungkin, karena tak biasa bagi saya yang notabene bukan penikmat minuman kelas 'bangsawan').

Dari informasi Ricky, karyawan biro perjalanan wisata Bali Discovery, saya pun mengetahui bahwa anggur tersebut sudah diekspor hingga ke Australia dan Singapura. “Pabriknya sudah sebelas tahun berdiri, Mas,” tutur pria yang mengenakan kalung batu giok ini. Seluk beluk Hatten Wine diketahui oleh pria asal Toraja ini karena biro perjalanan wisata tempat ia bekerja menyediakan layanan perjalanan wisata ke lokasi perkebunan anggur tersebut.

“Dulu, anggur di Singaraja hanya terbatas untuk konsumsi. Ya, seperti makanan pencuci mulut,” ungkap pria yang telah lima tahun menetap di Bali ini. Namun, perkebunan rakyat di Singaraja memiliki produksi yang banyak. Akhirnya, inovasi pun muncul. Anggur ranum berwarna hijau yang tampak dalam brosur di outlet tersebut diolah untuk menghasilkan nilai lebih. Sang inovator itu bernama Ida Bagus Rai Budarsa. Dan, ia pun mengajak pembuat anggur asal Perancis Vincent Desplat untuk meracik ramuan khas anggur PT. Hatten Bali.

Pria berdandan dandy ini meneruskan satu informasi tak kalah penting. Prestasi Hatten Wine di tingkat internasional. Satu produk Hatten Wine, yakni Alexandria berhasil meraih medali perunggu di International Wine and Spirit Competition, Mei 2003 di London. Ada tujuh varian produk Hatten Wine. Rose, Jepun, Aga Red, Aga White, Alexandria, Pino de Bali dan Tunjung. Kisaran harga jual, Rp75.000 hingga Rp100.000.

Menyisir trotoar Jalan Kartika Plaza, sampailah di Pasar Seni Badung. Lokasi ini merupakan pusat
souvenir lokal, seperti ukiran, lukisan, gelang, hingga baju santai. Sepanjang perjalanan menyusuri trotoar Jalan Kartika, tampak sesajen yang dibentuk kotak dari janur kelapa, berisi roti kering serta dupa menyala. Ada yang terletak di trotoar. Ada juga yang berada di depan pintu masuk pertokoan. Sesajen ini merupakan bagian dari ritual keagamaan di Bali, yakni agama Hindu.

Menyusuri Malam Sekitar Jalan Legian
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WITA. Pe-'ziarah'-an berlanjut ke pusat gemerlap hiburan malam Jalan Legian. Du-gem, akronim umumnya. Panjang ujaran, dunia gemerlap! Pilihan pun jatuh ke sebuah tempat bermotto 'eat drink groove'. Namanya, fuel.

Dari trotoar Jalan Legian, tampak dua lelaki kekar bersafari hitam berdiri di depan pintu masuk kaca. Seorang diantaranya memegang tongkat deteksi metal. Sementara didalam ruang diskotik ramai pengunjung, warga luar Indonesia serta yang tulen turunan Republik. Ada yang berjingkrak liar mengikut irama musik techno bertempo sedang di 'lantai ekspresi'. Ada juga yang duduk di sofa-sofa sembari menikmati segelas bir. Lainnya, cuma berdiri berkelompok dua hingga empat orang dan bercakap-cakap. Tentunya, didominasi busana pantai yang santai. Yang pria berkaos oblong dengan celana selancar selutut serta sandal jepit. Perempuan lebih apik dengan celana panjang casual serta blus minim lengan. Tentulah dengan rambut pirang tergerai.

Mengingat Legian, terbayang peristiwa peledakan bom di Oktober 2002. Dua tempat hiburan malam, Paddy's Club dan Sari Club. Dan, 20 meter dari 'fuel'-lah bekas lokasi peledakan, Sari Club. Tepat diseberangnya, berdiri monumen peringatan atas kejadian tersebut. Ketika mengunjungi monumen tersebut, ada sebuah rangkaian bunga duka cita, lengkap dengan selembar banner putih bertuliskan: IN MEMORY OF ALL WHOSE DIED ON 12TH OCTOBER 2002 FROM THE BRITISH GOVERMENT. Di monumen tersebutlah terukir nama korban yang berjumlah 200 jiwa, dari belasan negara. Terbanyak berasal dari Australia dan Indonesia.

Public Relations 'fuel' Angie hanya bisa tersenyum kecut ketika saya menanyakan mengenai hal tersebut. Ia singkat berujar, “Itu masa lalu. Yang penting, adalah masa depan.” Bagi Angie yang merupakan peranakan Indonesia-Singapura, kejadian Oktober 2002 memang menyakitkan. Kenangan yang masih tersimpan itu pun terungkap, “You know, seven of my friends was died in October 2002.” Selanjutnya, suara getir yang baru saja ia lontarkan berubah jadi bernada optimis. “Kembali, saya dan juga masyarakat Bali lainnya melihat ada sesuatu yang masih berharga di masa depan. Kita tidak boleh larut dengan tragedi itu,” jelas Angie yang mengecat rambut pendeknya dengan warna pirang.

Ia melanjutkan, pergerakan waktu sudah merubah segala sesuatu di Bali. Ia menyimpulkan segala perubahan di Bali pasca ledakan berdasarkan satu hal. “Apa yang kami lakukan pasca ledakan untuk satu point penting. Mengembalikan 'semangat' Bali,” jawabnya. 'Semangat' yang ia maksudkan bermakna: Bali is the center of happiness. Hiruk pikuk musik, kilatan larik lampu laser ragam warna berkedap-kedip, kepulan asap rokok, serta canda tawa pengunjung yang umumnya mengenakan sandal jepit 'fuel' turut andil menegaskan pernyataan Angie tersebut.

Tak terasa, waktu sudah sampai di pukul 02.00 dini hari. Saatnya 'fuel' tutup pintu. Sementara rombongan wartawan lain pulang ke penginapan, saya melanjutkan perjalanan di seputar Jalan Legian. Duduk santai menikmati secangkir kopi di supermarket Circle K yang buka 24 jam.

Tak jauh dari tempat saya duduk yang berada di tepi trotoar jalan, ada dua orang wisatawan perempuan asal Jakarta. Satu mengenakan blus hitam lengan panjang, lainnya berbaju coklat lengan pendek. Sering terdengar telinga saya mereka bercakap memakai kata ganti orang pertama tunggal 'gua' dan 'elu' untuk kata ganti orang ke-dua tunggal.

Selain itu, ada juga enam wisatawan mancanegara yang duduk terpisah meja, tepat dibelakang saya. Kelompok pertama, beranggotakan dua orang, wanita semua. Yang kedua, empat orang pria yang santai meneggak bir botol sembari makan snack. Iseng menguping pembicaraan, saya pun mengetahui bahwa empat pria itu asal Kanada. Umurnya masih muda. Seputaran 14 hingga 16 tahun.

Awalnya memang suasana masih biasa. Namun, ketika dua perempuan Indonesia saling memotret menggunakan kamera digital kisruh kecil mulai terjadi. Tak sengaja gambar yang hendak diambil mengarah ke sekumpulan turis asal Kanada tersebut. Hanya karena merasa dipotret, salah seorang wisatawan asing asal Kanada itu berseru kepada teman-temannya, “Hei, look at that. They wanna get a picture of us.” Empat wisatawan 'ge-er' (red—gede rasa) ini pun langsung beraksi ambil pose sendiri-sendiri. Risih mendengar serta melihat tingkah pola kurang wajar dari empat pemuda wisatawan luar, perempuan asal Jakarta yang berlengan panjang itu pun berkomentar sinis, “Look at this picture. There's no picture of you, only me,” sembari menunjukkan hasil jepretan. Keributan kecil sebatas 'perang mulut' pun terjadi. Hasilnya, empat wisatawan berlatar 'budaya luar' langsung angkat kaki. Tentunya, setelah 'rekonsiliasi' kecil, saling memaafkan, sewaktu pukul 03.00 WITA; meski muka cemberut masih terpancar dari dua kelompok berbeda latar budaya. Yang satu identik 'timur', lainnya tergolong 'barat'. Setengah jam berlalu, saya turut meninggalkan tempat kopi; puas menikmati 'perang budaya' serta lalu lalang bule-bule bertelanjang kaki.

Pulang Berbekal Kenangan
Pagi hari, Jumat (22/7) saya sudah bergegas mengemas perbekalan untuk kembali ke Jakarta. Menggunakan bus, saya bersama rombongan wartawan lainnya bergerak ke Bandara Ngurah Rai. Menjelang pukul 13.00, pesawat 'Citilink' pun buka pintu. Entah mengapa, saat berada di kabin pesawat, ingatan konser Balawan setahun lewat kembali berkilas. Sebelum memulakan komposisi musik 'GloBALIsm', Balawan membuat pengantar singkat. Kalau tak salah ingat, perkataan Balawan kala itu, “Nah, yang sekarang judulnya 'GloBALIsm'." Lalu dia diam sejenak, sebelum lanjut berucap, "Y.ya . .. it.u, Global dan Asem.” Usai berujar nyeleneh, Gedung Kesenian Jakarta mendadak penuh tawa penonton!

1 comment:

  1. Well Dave,kenangan bersamamu di Bali memang tidak terlupakan!!

    ReplyDelete