Harian De' Mello

Untuk tulisan selanjutnya, anda akan banyak berjumpa dengan saya. Tentulah, santun tata krama masih mengingatkan saya untuk memperkenal diri. Dari dalam sanubari, saya berharap memperoleh perkenaan batin dari anda, agar kita menjadi lebih dapat saling mengenal, kalau pun tidak baku-tahu atau saling mengetahui.

Namun, sebelum melangkah teramat jauh, layaklah kita mengambil jeda untuk berjaga. Saya harap, anda jangan menaruh keterpesonaan berlebih pada saya; mungkin karena tutur kalimat ranum tulisan saya terasa bersahaja. Saya hanya bisa berpesan, "Dugaan anda memiliki kemungkinan meleset, entah dekat atau tidak, itu perihal ujian waktu." Jadi, tidak perlu ada kecewa bersimaharajalela didalam nurani anda, bila kenyataan bertentangan dengan harapan. Maaf, mungkin saya orang yang terlalu berperasaan. Tapi, sekali lagi, saya hanya mengingat santun tata krama pergaulan yang diajarkan oleh ibu dan bapak sewaktu saya berumur belum kepala dua.

Rasanya, sedikit misteri yang anda imajikan tentang siapa saya lumayan menguak. Setidaknya, testimoni ini berasal dari nurani; tentulah tanpa bermaksud melebih-lebihkan, baik menambah ataupun mengurang. Jika anda masih berpikiran cerdas, atau dalam bahasa yang agak kasar menaruh syak-wasangka curiga, saya rela. Lagi pula, itu adalah hak anda, sebab saya hanya berposisi untuk memperkenalkan diri, tegasnya mencoba meyakinkan anda.

Baiklah, langsung saja saya berpindah dari bayangan abstrak menjadi nyata. Utamanya, nama. Orang tua saya memberi nama, Arif. Hanya empat huruf itu saja. Jadi, bila ada yang bertanya, "Lengkapnya?", saya hanya bisa membalas jawab dengan mengernyitkan alis mata, menyusul pelafalan jelas dan kental-perlahan, "A..rif.."

Berbicara umur, saya sudah menginjak usia 27 tahun. Bisa terbilang tua, bisa terbilang muda, bisa terbilang belum apa-apa. Yang pasti, saya sudah beristri, anak dua, masih kecil-kecil pula. Yang pertama baru berumur tiga tahun, adiknya sudah menginjak enam bulan lima hari. Ibunya, istri saya, Ismi. Hanya terpaut tiga tahun dengan saya. Ismi lebih muda.

Kami tinggal mengontrak. Sebulan harganya mencapai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Rumah kecil untuk ukuran orang seperti saya yang berpenghasilan tidak tetap. Biaya penghidupan empat lambung saya peroleh dari pekerjaan mengojek. Sesekali, bantuan kiriman datang dari mertua, ibu dan ayah Ismi. Sampai disini, saya malu. Saya tidak ingin melanjutkan apapun perihal keluarga saya, meski sekali waktu pasti akan tersua sedikit ulasan keluarga di harian mendatang.

Ya, begitulah pengantar singkat perkenalan saya. Jika sekali saat kita bertemu, anda bisa menegur saya dengan sapaan, "Rif..." saja. Atau "Arif," pun bolehlah. Kalau perlu, saya beritahu penamaan saya yang lain. Dikalangan teman yang serupa mengojek, saya mendapat tambahan pengenal. Mereka biasa menyebut nama saya, tepatnya mengubah nama saya dari Arif yang hanya empat aksara menjadi enam abjad plus satu tanda baca, De' Mello.

Jika anda bertanya mengapa, saya harus mengutarakan malu untuk perdana. Betapa tidak, cerita dibalik pelabelan itu memalukan. Tapi, setidaknya agar kita saling mengenal, baku-tahu, ada baiknya saya berkisah. Nama itu terberi karena dua hal. Pertama, ini biasa, tak perlulah saya malu cerita. Sebabnya, perawakan saya menyerupai orang yang berasal dari timur Indonesia. Berkulit lumayan gelap, serta rahang yang bergaris keras. Padahal, saya asli keturunan Jawa Tengah, kota Semarang. Alasan kedua, hal memualkan, akibatnya memalukan. Mereka, teman-teman sesama pengojeg, memirip-miripkan saya dengan salah seorang pemeran film porno yang pernah mereka tonton di VCD. Sayangnya, pemeran yang mereka saksikan itu bukan saya. Kalau benar itu saya, tidak masalah. Tapi, ada sudahlah, ini hanya masalah tampang dan perawakan, tanpa memperhitungkan tabiat. Bagi saya tak memiliki arti lebih. Saya paham, ini hanya kecelakaan sejarah sajalah. Profesilah yang menentukan prestasi, sisi positif yang saya ambil, lalu menyebutnya sebagai hikmah. Bagaimana tidak, pelanggan ojeg saya malah bertambah dan akrab dengan nama De' Mello daripada Arif. Menurut mereka, nama itu asyik, keren dan entah mengapa ada yang bilang bersahabat. Apakah memang, saya sendiri masih kebingungan. Tapi, apa pun itu, saya hanya menjalankan diri sebagai mahluk yang bertabiat, berusaha untuk tidak mengecewakan karena santun tata krama. Sedikit emosional, meskipun saya berlatar tak sempurna, tabiat masih bisa dipertontonkan. Minimal tidak menyerupai mereka, maksud saya bukan teman-teman sesama pengojeg di perempatan jalan di dekat jembatan Sungai Belang, tapi mereka yang tentunya anda pun paham. Selalu bersuara demikian baik, padahal, lagi-lagi anda sudah paham. Terakhir, saya harap anda paham siapa itu De' Mello dan harian De' Mello.

No comments:

Post a Comment