MUHAMMAD YUNUS:

“[Poverty-free world] would be a world that we could all be proud to live in.”

“… freedom is freedom from poverty.”
Gayatri Spivak


JUDUL artikel ini berasal dari halaman terakhir, halaman 262, buku “Banker For The Poor” karangan Muhammad Yunus terbitan PublicAffairs, Amerika Serikat, pada tahun 2003. Kutipan aslinya: “That would be a world that we could all be proud to live in.” “That” mengacu pada cita-cita Muhammad Yunus, Poverty-free World, Bumi tanpa Kemiskinan.
Saya tidak tahu pasti, apakah ada penelitian atau perhitungan ekonomi yang berupaya menjawab berapa besar sebenarnya uang yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan di dunia? Lantas, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari jumlah uang yang beredar di dunia? Atau, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari harta global di dunia ini? Apa yang saya maksudkan dengan ‘harta global’ adalah jumlah total uang, yang beredar dan tak beredar, dari seluruh negara yang ada di Bumi.
Bisa saja pertanyaan imajinatif yang saya lontarkan punya makna mengada-ngada. Justru pertanyaan imajinatif saya lahir dari fakta aktual yang dialami Muhammad Yunus pada tahun 1976. Ketika itu, Muhammad Yunus, pengajar di Departemen Ekonomi Univesitas Chittaggong, menerima laporan dari muridnya Maimuna Begum. Laporan tersebut memuat data jumlah uang pinjaman yang dibutuhkan oleh 42 jiwa warga perkampungan Jobra di Banglades sebagai modal untuk membuka usaha mandiri. Membaca data yang dikumpulkan Maimuna dalam tempo satu minggu, Yunus kaget: “Ya Tuhan, ya Tuhan. Segala derita mereka hanya karena uang yang tak lebih dari 27 dollar (My God, my God. All this misery in the all these families all for of the lack of twenty-seven dollar!)!”
“Mereka” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah perempuan dari keluarga miskin yang membutuhkan modal awal untuk memulai usaha mandiri membuat kursi bambu sederhana dengan jalan meminjam uang ke para lintah darat (tentunya dengan bunga yang tinggi). “Derita” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah segala dampak negatif yang dialami para perempuan pengrajin kursi bambu sederhana akibat pilihan meminjam uang dari lintah darat. Pinjaman yang berasal dari lintah darat tentunya bukanlah pinjaman yang menyehatkan, melainkan menyakitkan sekaligus menjerat. Sekali masuk, barangkali hanya kematian saja yang bisa membebaskan. “27 dollar” dalam konteks percakapan Yunus dengan Maemunah mengacu pada jumlah total uang pinjaman “mereka”.
Kembali berimajinasi, andaikanlah 27 dollar yang dimaksud dalam konteks peristiwa tadi berlangsung dalam kurs 1 dollar = Rp10.000. Maka, jumlah total dana pinjaman yang dibutuhkan 42 jiwa di perkampungan Jobra, Banglades, kurang dari Rp270 ribu. Dan apabila imajinasi kembali diliarkan, saya pikir tak ada kelirunya bila membayangkan jumlah uang tersebut nyaris mendekati dana kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintah Indonesia, dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dana BLT yang dibagikan setiap tiga bulan sekali berjumlah Rp300 ribu. Aih, imajinasi memang benar-benar mengejutkan.
Terlepas dari pengandaian imajinatif tadi, apa yang dialami Yunus dan diceritakan dalam “Banker For The Poor” merefleksikan bahwa kemiskinan bisa punah dari muka Bumi. Meski tidak terlampau akurat, saya mencoba menghadirkan perhitungan deduktif untuk menganalisa probabilitas memunahkan kemiskinan. Diperkirakan jumlah penduduk Bumi saat ini mencapai 6 miliar jiwa. Dan bila diandaikan seluruhnya adalah orang miskin, dengan asumsi setiap 42 jiwa membutuhkan dana 27 dollar, maka jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan mencapai 3,8 triliun dollar. Lantas, kira-kira, apakah harta dunia mencapai angka tersebut? Kalau harta dunia tidak mencapai angka tersebut, tampaknya umat manusia di Bumi memang, mau tak mau, harus menerima kemiskinan sebagai kodrat Bumi. Tapi, kalau memang harta dunia melampaui angka tersebut, maka kemiskinan bisa saja berasal dari limbah perilaku manusia. Maka wajarlah muncul pepatah, “Bumi yang kita huni mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak dapat memuaskan nafsu serakah dari hanya satu orang manusia.”

Oktober 2008