GENERASI SAMAN YANG KEHILANGAN TENANG
—Narasi Dalam Tentang Kehilangan dan Narasi Dangkal Karena Hilang Yang Senang—


Persoalannya, risalah ini adalah unjuk gigi, bukan taring; sebab saya masih manusia yang berada pada kutub anti-arah hobbesianism. Selanjutnya, saya pun tak sependapat sama Roland Barthes yang terlampau mengumbar: Pengarang sudah mati; apalagi bangsa di khatuliswa tropis Asia kerapkali mengagung-agungkan pameo begitu di abad yang sudah memasuki milenium ketiga sekarang kini. Selebihnya, menyangkut masalah kritik sastra yang dikata tidak ada, lagi-lagi di tanah khatulistiwa tropis Asia. Saya jadi ingat kabar dari seorang teman yang memberitakan: Ada seorang sastrawan (stereotip yang dilekatkan kaum elit kepada anggota kaum elit yang baru dan diakui telah memasuki teritori elit) yang berkata: Matinya kritik sastra karena masyarakat! Berita yang saya dengar lewat telinga berubah menjadi visualisasi tindak ‘lempar batu sembunyi tangan’, lakon lama yang masih (dan mungkin tetap) populer dalam peradaban Homo sapiens. Kata singkatnya: reproduksi ketololan memang tak pernah henti selama masih menginjak Bumi.

Berada pada kondisi yang memilukan dan konyol, saya harus bisa berlaku tawa—paling tidak bertindak senyum. Ekspresi haruslah diselamatkan! Represi, memang sudah menjadi kodrat. Tanpa represi, tentulah tak ada ekspresi. Itu menurut saya. Dan yang berpendapat lain, menurut saya, ada pada posisi keliru, paling fatal: Salah! Karena itu, berhadapan dengan segala produk, entah itu mobil, sepatu, foto presiden direktur, iklan, bahkan sastra (ada secuil kehendak dalam batin saya untuk mengatai sebutan ‘karya’ yang dilekatkan pada ‘sastra’ sebagai hiperbola kosong yang berujung pada kelahiran arogansi hampa), saya lihat sebagai bentuk represif—kata lain: menghalangi ekspresi saya. Saya tidak melarang represi, apalagi menyatakan represi itu salah! Sebab, yang benar menurut saya: Ekspresi harus diselamatkan, sebab hidup subjek bergantung pada ekspresi. Karena itu, tindakan represi untuk mengekang atau memenjara ekspresi selalu berujung pada kegagalan. Begitu pula, ekspresi yang hendak mengangkangi represi harus ikhlas berlari menuju lembah kegelagapan. Keduanya, ekspresi dan represi, adalah waktu. Saya tak bisa menyederhanakan pemikiran lebih sederhana lagi selain: ekspresi melahirkan represi, selanjutnya represi melahirkan ekspresi, demikian seterusnya sampai ekspresi dan represi memang sudah tak bisa melahirkan represi dan ekspresi lagi.

Saya menghormati Sutan Takdir Alisjahbana. Namun, ada beberapa gagasan Pak Takdir, yang menurut saya keliru. Dan keliru adalah soal presisi, akurasi, ketepatan! Pak Takdir, kalau saya tak salah, menyimpulkan sastra harus menjadi penerang bagi masyarakat. Saya tidak sependapat dengan kesimpulan tersebut, apa pun argumentasi yang hadir sebagai pengokoh kesimpulan. Bila masih sebatas hipotesa, saya pasti tak mampu untuk berucap: Saya sependapat atau Saya tidak sependapat. Problemnya, apakah memang sastra harus jadi penerang bagi masyarakat? Lebih tajam lagi: Apakah memang hanya sastra yang harus menjadi penerang bagi masyarakat? Apakah ilmu pengetahuan, filsafat, teknologi, uang, pengalaman individu-personal, bahkan yang lebih sublim lagi: Agama, tidak berhak menjadi penerang masyarakat? Lewat pengajuan pertanyaan demikian, falsifikasi, saya menemukan jawaban bahwa kesimpulan Pak Takdir keliru. Namun, saya menyadari kesimpulan Pak Takdir pasti tak dilandasi oleh niat untuk salah. Karena itu, saya sadar bahwa Pak Takdir sesungguhnya hendak menyampaikan inti masalah yang mengalir dalam kalimat: Sastra yang bertanggung-jawab. Sebab, menurut saya: budaya tanpa tanggung-jawab adalah nekad!

Produk sastra, produk tanggung-jawab. Produk sastra, produk ekspresi. Produk sastra, produk represi. Kalau begitu, apa beda sastra dengan iklan? Saya menjawab: sebagai produk antara sastra dan iklan tak ada beda. Berkaitan dengan fungsi, sastra dan iklan adalah metafor(m)a. Sedang perkara status ‘tinggi’ atau ‘rendah’ bersangkutan dengan niat tulus pembaca. Maka, tanggung-jawab adalah ruang ‘tinggi’ atau ‘rendah’.
Bila sudah begini, saya semakin suka mengungkai pasal ekspresi dan represi. Segala produk bermula dari ekspresi personal-individu. Saya tidak tahu apakah memang manusia membutuhkan api. Saya tidak tahu apakah manusia memang membutuhkan listrik. Jika memang manusia membutuhkan listrik, mengapa pula hanya Thomas A. Edison, pendiri General Electric, yang menemukan lampu bohlam? Yang jelas, manusia butuh makan, dan manusia mana pun pasti menemukan makanan. Saya tak hendak bersulawan. Yang jelas, Thomas A. Edison adalah penemu listrik yang mampu menyalakan komputer dan mempengaruhi anggaran pendapatan dan belanja negara, entah itu negara apa.
Bila menelusur jauh hingga ke relung masa ketika Homo sapiens menemukan api, saya tak mumpuni. Saya pikir secara spekulatif, yang terjadi ketika itu tak jauh beda dengan yang terjadi ketika Thomas A. Edison menemukan lampu bohlam. Mungkin, setara dengan ungkap dari Afrizal Malna: masyarakat tidak memesan sastra (tambahan ‘pembacaan’ dari saya: sastra = masyarakat) modern. Karena tidak memesan, maka masyarakat pun bisa menerima keberadaan tusuk gigi yang diperjual-belikan secara bebas dan legal. Saya tidak tahu apakah ada masyarakat di jaman kelewat-modern sekarang dan nanti yang menolak atau bakal menolak tusuk gigi beredar di pasaran karena mengandung formalin atau nikotin atau racikan kimiawi penyebab kebodohan intelejensia, pun difabel fisik bagi kanak-kanak, remaja hingga para manula? Tusuk gigi dan Ferari hadir di dalam masyarakat yang tidak memesan, dan masyarakat yang tidak memesan pun konsisten bersikap dengan tidak melakukan penolakan atau pun penerimaan gelap mata. Maka, pornografi dan pornoaksi menjadi isu serius. Sebab, di tanah khatulistiwa tropis Asia, moral bukan canda. Moral, sudah menjadi benda mati, mohon maaf bila saya setarakan dengan harga mati. Yang sudah mati, ada baiknya dikenang. Yang sudah mati, biasanya menjadi sesuatu yang klasik, dan seringnya dibuang atau dijajakan di pedagang loak; syukur bila masih ada melirik yang klasik, lebih syukur lagi kalau masih ada yang mau meramu si klasik yang berasal dari toko loakan menjadi hiper-asik. Sebab, jika memang ada, apa salahnya berharap(?); sekalipun masyarakat memang tidak memesan sastra modern.
Bila sudah begitu, perkara berharap masuk ke lobang ekspresi pembaca, yang punya sebutan flamboyant dalam benak saya sebagai pembaca yang ekspresif. Pembaca yang sudah jenuh pada tatanan mapan represi dari segala macam produk sastra. Adalah lebih unggul bila saya mendedahkan satu simpulan personal-individualistik saya di luar ragam gramatikal-leksikon-kata yang ada (mudah-mudahan masih berlokasi) di Bumi. pembaca: anak dari tulisan. Dan menurut saya, hanya ‘pembaca yang jenuh pada tatanan mapan represi’-lah yang menelurkan ekspresi dalam bentuk visual aksara serta tanda baca. Entah itu sebagai pujangga/pengarang/penulis, atau komponis, atau sutradara, atau pelukis, atau pematung, dan sekian milyar atau yang masih dimungkinkan. Sebab, fisika-kuantum menyediakan probabilitas. Tapi saya lebih memilih lema ‘potensialitas’ dari pada probabilitas. Fisika-kuantum menyediakan ‘potensialitas’. Dan ekpresi selalu bertemali dengan subjek!
Bila sampai pada poin subjek, ekspresi menjadi lebih lumrah dipahami. Maka, produk sastra adalah proyeksi jasmani dari keinginan ekspresi subjek. Tidak ada subjek yang hilang dalam ekspresi. Polifonik, menurut saya, bukan wadah legal bagi subjek untuk menghilang! Jika hilang, tanggung-jawab yang digaungkan Pak Takdir bukan lagi keliru, melainkan sudah salah. Dan salah itu berarti fatal! Ekspresi adalah pilihan; dan pilihan apa pun—sekalipun dalam bentuk paling irasional: memilih untuk tidak memilih—pasti(!) punya konsekuensi! Menggunakan ‘Pak Takdir’, saya menulis: Jawaban atas konsekuensi adalah Tanggung-Jawab.

Latar argumentatif yang begitu itulah yang menyebabkan saya membaca Saman, produksi sastra dari pabrik sastra Ayu Utami (maaf bila kenyelenehan saya menambahkan:) Inc. Saman, yang menurut saya telah melahirkan Generasi Saman. Generasi Saman, menurut saya, generasi khas bagi penduduk lokal dan semi-lokal dan nyaris-lokal dan tak-lokal di wilayah khatulistiwa tropis Asia. Bila terjadi pada alam di luar wilayah khatulistiwa tropis Asia, saya pikir kecil sekali potensialitasnya. Generasi Saman Yang Kehilangan Tenang berpeluang besar hadir di wilayah khatulistiwa tropis Asia.


Afirmasi: Narasi Dalam Tentang Kehilangan

Menyoal tulisan, apalagi sastra, selalu berpaut pada tak-sebentar. Ada baiknya sastra itu tak-sebentar. Harus saya akui, saya masuk golongan telat membaca Saman, pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998. Saya membaca Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001. Satu dekade lebih. Buku Saman memang telah saya beli di tahun 2001, sudah saya baca dan biasa saja. Itu apresiasi pembacaan saya pada tahun 2001. Tujuh tahun kemudian, saya membaca kembali, sebab sastra tak-sebentar! Usai membaca, saya merasa perlu menulis bahwa pada 1998 Saman sudah memproklamasikan kelahiran Generasi Saman di wilayah khatulistiwa tropis Asia. Kata lainnya: Ayu Utami adalah ‘ibu’ dari Generasi Saman (ini bukan sanjungan, melainkan metafor(m)a; sebab bisa saja Ayu Utami itu sendiri masuk dalam himpunan Generasi Saman. Dan validasi atas hipotesa ‘Ayu Utami itu sendiri masuk dalam himpunan Generasi Saman’ hanya bisa melalui afirmasi dari mahluk yang bernama Ayu Utami, kelahiran Bogor, 21 November 1968.). Karena itu, ‘ibu’ ada baiknya dipahami dalam konteks pelaku proklamasi Generasi Saman.

Membaca Saman, menawarkan keterpukauan subjektifitas pun objektifitas saya pada istilah kegamangan. Menarik untuk memperhatikan defenisi Saman dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga:

1sa.man ark n 1 dakwa; 2 dakwaan: di pengadilan, jaksa telah membuktikan – yg diajukan; 3 surat sita: juru sita telah mengirimkan – kepadanya seminggu yg lalu; 4 panggilan untuk menghadap pengadilan: berdasarkan – yg diterimanya, ia akan menghadap ke pengadilan pd hari Senin nanti;
me.nya.man v 1 menuntut, mendakwa: jaksa ~ orang itu atas kesalahan melakukan pencurian dan penipuan; 2 menyita: polisi telah ~ senjata dan pisau milik telah sbg barang bukti
2sa.man n tari ritmik, dilakukan oleh lebih dr sepuluh pemain laki-laki sambil duduk berlutut dan berjajar, diiringi dng nyanyian pantun (yg dimulai oleh syekh selaku pimpinan, mereka mereka membuat gerak pukulan telapak tangan ke dada dan paha secara berirama)

Berdasarkan fakta legal-formal KBBI, hadir kesimpulan saman adalah kata benda. Dalam Saman, saman adalah benda yang mewujud di dalam tokoh Athanasius Wisanggeni, yang di kemudian masa dalam roman Saman berganti nama menjadi Saman. Melafalkan Athanasius mengingatkan saya pada Arianisme, mengingatkan saya pada gejolak konflik iman Kristen yang berakhir pada deklarasi Pengakuan Iman Rasuli Nicea-Konstantinopel. Penamaan yang menarik.

Saman menghadirkan empat tokoh utama Saman, Yasmin Moningka, Shakuntala, dan Laila, dan banyak tokoh nyaris-utama semisal Cok, Sihar, Upi, Anson, Rosano, dan Lukas. [Di dalam keseluruhan dan keutuhan risalah ini, saya tak hendak mengikuti kaidah penulisan akademik yang cenderung kaku dan birokratik dengan mengatasnamakan objektifitas yang mengacu pada metodologi serta keabsahan; pun tak pula merujuk pada aspek keterbacaan risalah oleh orang awan; bahkan saya pribadi mengabaikan soal kebaharuan kajian. Saya lebih mengedepan ekspresi penulisan personal-individualistik saya sebagai bentuk negasi internal atas represi komunal-anonim segala macam objektifitas, keringanan, dan kebaruan yang kadung mengusung beban kaku dan birokratis hingga melupakan dimensi luwes dan atraktif. Dan tak ada salahnya pula bila saya menerakan nama ‘Emosi-Parodioksal-Jenaka-Mandiri’, sebagai identitas metode pengupasan Saman dalam risalah ini.] Saya melihat kompleksitas relasi antara para tokoh utama dengan nyaris-utama ibarat kerumitan relasi antar elektron dalam ruang sub-atomik ala fisika-kuantum. Relasi begitulah yang hidup di dalam imajinasi di dalam benak saya.

Saman hidup dalam relasi dengan ibu, ayah, Yasmin Moningka, Laila, Anson, Upi, Cok, dan Perabumulih dan New York sepanjang tahun 1960-an hingga 1990-an. Relasi unik pun ada dalam kehidupan Laila dengan Sihar, Yasmin, Shakuntala, dan tentunya Saman. Shakuntala, hadir membawa keunikan relasi dengan Yasmin, Laila, dan Cok; sedikit relasi-imajiner dengan Sihar. Cok, juga punya relasi menarik dengan orang tuanya, Yasmin, Laila, dan Shakuntala serta sedikit relasi pasif dengan Saman. Bila relasi fragmentaris begitu dibangun dalam imaji tiga dimensi, kompleksitas Saman menjadi memukau dalam penglihatan saya. Rasanya, sebangun dengan kaidah ilmu matematika matriks. Syarat kompleksitas yang mewujud dalam kesederhanaan pengejawantahan sebagai kanal kesuksesan sastra tak-sebentar harus saya akui hadir di dalam roman Saman. Meski begitu, saya patut pula menyatakan satu-dua-atau tiga bahkan lebih orang ada dalam posisi keliru bila hanya merumuskan sastra tak-sebentar hanya bisa muncul dari kompleksitas yang mewujud dalam kesederhanaan pengejawantahan. Kompleksitas yang hadir dalam kompleksitas adalah kekonyolan. Kompleksitas yang hadir dalam kesederhanaan adalah setara dengan kesederhanaan yang hadir dalam kesederhanaan.

Kompleksitas relasi yang demikian, menurut saya, hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang tergolong cerdas, terutama cerdas mengimajinasikan ruang hingga menghasilkan matriks tiga dimensi. Terlampau gagah bila Ayu Utami disetarakan dengan Albert Einstein, sebab Saman mengungkap mayoritas problem kegamangan. Adalah lebih wajar bila saya menyorot posisi narator, yang bisa dirujukkan pada Ayu Utami sebagai pengarang roman Saman. Posisi pengarang yang kadang jauh, kadang dekat, kadang menyatu dengan tokoh, menjadi akses yang mempermudah narator untuk membangun kompleksitas plot dan alur menjadi rangkaian molekul yang saling bertautan dalam suatu materi fisika-kimia-biologi. Ada masa ketika narator hanya menjadi pencerita belaka, ada masa ketika narator masuk ke dalam tokoh dan merubah wujud visual karakter tulisan dalam bentuk Italic. Otomatisasi penggunaan huruf kapital dalam ‘CENTRAL PARK, 28 MEI 1998’ misalnya, spontan menghadirkan suatu ruang konkret sekaligus abstrak dalam imajinasi pembaca yang ekspresif. Saya menduga, kepiawaian pengarang menghasilkan sosok narator dikarenakan bekal tekstual sains Tanda yang dideklarasikan Ferdinand De Saussure, juga modal filsafat Dekonstruksi Jacques Derida lewat metafisika-kehadiran yang mengambil bentuk fisik lewat tulisan. [Tentunya, penggarapan yang demikian, racikan penulisan roman yang dibekali sains Tanda Saussure dan filsafat Dekonstruksi Derida, sesungguhnya memercikkan pola pikir baru bagi mereka yang mengaku kritikus pengusung mahzab Strukturalis, juga penjunjung aliran Post-Strukturalis. Bila Saussure masuk dalam kotak Strukturalis, dan Derida masuk dalam kotak Post-Strukturalis, maka baik pendekatan kritik Sturkturalis pun Post-Strukturalis pastilah bakal mandul menghadapi racikan naskah roman ala Saman.]
Bila sudah begini, saya semakin leluasa masuk ke Perabumulih di tahun 1962. Kisah kehidupan Athanasius Wisanggeni ketika masih muda. Problem fakta dan fiksi mengerucut dalam dunia roman Saman. Pertanyaannya, manakah yang merupakan fakta, mana pula yang merupakan fiksi dalam dunia Saman, ketika hadir alur cerita yang mengisahkan tentang dua adik Athanasius hilang dari kandungan ibunya? juga, tentang adik ketiga Athanasius Wisanggeni, yang disangka Athanasius Wisanggeni masih hidup? Saya melihat jawabannya ada didalam benak narator, yang bisa dirujukkan pada benak pengarang. Bekal psikoanalisa, mungkin psikoanalisa yang bertendensi ke alur Sigmund Freud, atau Carl Gustav Jung, atau Alfred Adler, tanpa melirik pada Aliran Ketiga Psikoanalisa yang digagas Viktor E. Frankl. Saya punya kecenderungan untuk membaca benak narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, ada di dalam kutub Freudianism. Argumentasi saya, perkara libido dalam naskah roman Saman tampaknya bukan hadir sebagai ‘Kebetulan itu adalah pertemuan.’ Dan tentunya, menyatakan bawah-sadar ala Freudianism seutuhnya adalah libido, tentulah keliru. Hanya komponen id sajalah, sebagai komponen penyusun pikiran, yang ada di dalam alam bawah-sadar. Tapi ego dan super-ego: beda. Ada bagian dari komponen ego dan super-ego yang berada di alam bawah-sadar, selebihnya hadir di alam sadar. Artinya, apakah ego dan super ego yang berada di ruang bawas-sadar pikiran pun meraungkan libido yang diusung id? [Tampaknya, sanggahan yang bisa bermetamorfosis menjadi pertanyaan ini lebih tepat bila diarahkan kepada ahli-ahli psikoanalisa Freudianisme; yang tentunya bakal berdampak pada pembuktian kesalahan penalaran saya dan pencerahan baru bagi pemahaman saya untuk semakin mengerti psikoanalisa Freudianisme.] Dan saya pikir, benak narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, pun sudah memperhitungkan kompleksitas teori Psikoanalisa Freudianisme. Saya membaca, ada motif sintesa antara alam sadar ego + super-ego narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, dengan motif id + ego + super-ego alam bawah sadar tokoh tekstual-humanistik (baca: abstraksi konkret manusia fiktif dalam bentuk rekaan imajinatif-idealistik; imajinatif berlandaskan kreatifitas meracik ke-fiktif-an, idealistik berlandaskan replikasi teoritikal sains atas manusia). Formulasi yang demikian rumit dapatlah saya sederhanakan menjadi: narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, mencangkokkan alam sadar ego + super-ego diri sendiri ke dalam tokoh rekaan dengan suatu cara hingga menghasilkan wujud yang baru, wujud yang tampil sebagai representasi dari alam bawah sadar id + ego + super-ego tokoh tekstual-humanistik. Maka, di dalam diri tokoh tekstual-humanistik, alam bawah sadar id + ego + super-ego adalah khayalan dari tokoh tekstual-humanistik tersebut. Sedang di dalam diri narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, situasi demikian dapat dilihat sebagai representasi dari sains Tanda Ferdinand de Saussure. Namun, sains Tanda Saussure muncul dalam bentuk paling radikal, 1) bisa mengandung makna atau malah 2) bisa pula hanya sebatas ‘lela lela ledhung...’ Karena itu, saya memindai ada kesetaraan derajat antara ‘fiksi’ Athanasius Wisanggeni, ‘fiksi’ menari Shakuntala alias Shakun Tala, sebagai bentuk sublimasi dari id + ego + super-ego yang berada dalam ranah tak-sadar. Uniknya, dan teramat ganjil, ‘fiksi’ yang dialami kedua tokoh utama itu menyeruak masuk ke alam sadar murni ego. Athanasius memilih diperkaryakan di Perabumulih untuk mencari yang hilang. Sedang Shakuntala alias Shakun Tala memutuskan menjadi penari. Teknik pencangkokan alam sadar narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, ke dalam alam pikiran tokoh memungkinkan keputusan yang diambil Saman dan Shakuntala alias Shakun Tala menjadi rasional alias masuk akal bagi pembaca yang ekspresif, pun terutama bagi narator sendiri, yang bisa dirujukkan pada pengarang. Sebab: adakah narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, yang tidak sadar bahwa dirinya sedang membuat produk seni? Lebih radikal lagi, adakah narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, yang tidak sadar bahwa dirinya sedang membuat produk ekspresi personal-individualistik?
Bila menelusur lebih jauh, lorong dunia Saman menyediakan beragam pilihan pikatan. Saya mencatat tiga hal penting yang memikat, represi tirani penguasa pada yang dikuasai, realitas agama, dan relasi seksual; serta satu poin nyaris-penting yang memikat, persahabatan. Memasuki ranah ini, saya melihat peluang pendekatan mimesis ala Aristotelianisme yang mencandra sastra sebagai reproduksi realitas. Pola begitu membawa dugaan saya mengarah pada potensialitas naskah roman Saman yang berkecenderungan menjadi suatu upaya reproduksi realitas yang terjadi di wilayah khatulistiwa tropis Asia. Tentunya, bila bicara reproduksi, bukan bicara soal plagiat murni. Reproduksi menghasilkan hal yang-baru. Reproduksi menghasilkan sesuatu yang-baru. Yang-baru itu, tentulah punya kandungan yang berasal dari yang-sebelum. Yang-sebelum, bisa disetarakan dengan realitas yang terjadi di wilayah khatulistiwa tropis Asia. Selain yang-sebelum, yang-baru pun mengandung unsur yang-bakalan. Karena itu, saya menilai perdebatan orang-orang yang mencoba memilah fakta dan fiksi yang ada di dalam produk sastra sebagai upaya unjuk kekonyolan; kekonyolan yang berurat pada kekeliruan pemahaman sastra dari tiap-tiap orang pelaku perdebatan begitu. Persoalan utama agar problem pemisahan fakta dan fiksi dalam sastra bisa dilakukan adalah dengan menjawab pertanyaan: Apakah sastra, yang dilihat sebagai gabungan dari fakta dan fiksi, gabungan yang sudah melebur dan bercampur dan larut, bisa dipisahkan kembali menjadi fakta dan fiksi yang benar-benar terpisah? Bagi akademisi sastra yang menjawab “Bisa,” tentulah harus diikuti dengan konsekuensi penggagasan teori fisika sastra, atau kimia sastra, atau biologi sastra. Dalam khazanah fisika, molekul air merupakan gabungan dari dua atom hidrogen dengan satu atom oksigen; yang bermula dari upaya kimiawan Inggris Henry Cavendish di tahun 1781 untuk membuat air dengan cara meledakkan atom hidrogen dan udara, yang kemudian dilanjutkan kimiawan asal Perancis Antoine Laurent Lavoisier, dan yang berakhir pada upaya bareng kimiawan asal Perancis Joseph Louis Gay-Lussac dan naturalis Jerman Alexander von Humboldt di tahun 1804 yang memproklamirkan air sebagai H2O. Dan bila masih ada yang ingin memperdebatkan fakta dan fiksi dalam sastra, ada baiknya bagi mereka yang berdebat agar terlebih dahulu memandang fakta dan fiksi, masing-masing sebagai atom hidrogen dan atom oksigen atau sebaliknya, untuk selanjutnya menggambarkan proses interaksi antar elektron pada kedua atom tersebut hingga menghasilkan ikatan stabil molekul air, dan molekul air inilah yang nantinya disebut sastra. Pertanyaan ultima untuk kasus demikian adalah: apakah sastra harus menjadi ilmu pasti, semisal fisika, matematika, kimia, atau biologi? Dugaan saya, yang lebih dikarenakan arogansi para sastrawan sebagai pemegang klaim metafora bakalan menjawab: Tidak. Sastra bukanlah fisika, atau matematika, atau rekan sejawat ilmu pasti lainnya. Tetapi, ketika ditanyakan apakah sastra harus masuk akal(?), para sastrawan, menurut dugaan saya bakalan kompak menjawab: Ya. Ada paradoks yang muncul—atau malah kemenduaan yang tak sampai pada tahap kontradiksi di dalam dirinya sendiri dalam ilmu penalaran—sastra tidak perlu menjadi seperti ilmu pasti, namun bagaimana pun juga sastra harus masuk akal. ‘Menolak’ menjadi ilmu pasti, tetapi menerima terminologi ‘masuk akal’ bukankah menjadi keganjilan mendalam di dalam sastra itu sendiri(?), ketika sastra hendak memilah mana fakta dan fiksi di dalam dirinya sendiri. Karena itu, sejauh menyangkut proyek mimesis ala Aristotelianisme di dalam naskah roman Saman, saya memilih untuk tidak masuk dalam debat fakta atau fiksi, melainkan komparasi (yang bisa berujung pada konfrontasi) antara yang-baru dengan yang-sebelum, serta yang-bakalan di dalam yang-baru dengan yang-sebelum.
Bila sudah begitu, ‘komparasi (yang bisa berujung pada konfrontasi) antara yang-baru dengan yang-sebelum, serta yang-bakalan di dalam yang-baru dengan yang-sebelum’, lagi-lagi kembali pada problem bekal. Dengan jujur Ayu Utami mengakui di dalam Ucapan terima kasih kepada “: Nicky Satriyo, Budi Hadi T. Priyono, dan Badung Baroto tentang Perabumulih dan perminyakan; Prasetyohadi tentang kepastoran; Goenawan Mohamad dan Tony Prabowo tentang New York; juga Nasiruddin, pustakawan Institut Studi Arus Informasi … Sitok Srengenge—” sebagai pemberi bekal alias modal alias sangu kepada Ayu Utami untuk memproduksi naskah roman Saman. Replika represi tirani penguasa pada yang dikuasai tentu sudah terang dengan sendirinya, apalagi bagi mereka yang pernah bergelut dalam di tanah LSM, apalagi bagi mereka yang pernah merasakan interogasi seperti yang dituturkan dalam roman Saman. Yang-baru, mengandung yang-sebelum. Yang-bakalan dalam yang-baru hadir dalam prediksi tentang apa yang terjadi pada satu dekade mendatang setelah perkebunan karet berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dengan cara yang tak wajar dan merugikan Anson beserta penduduk di salah satu desa di Sei Kumbang, Sumatera Selatan, yang beridentitas Lubukrantau; suatu desa yang menolak program perubahan perkebunan karet menjadi kelapa sawit. Yang-bakalan yang terkandung di dalam yang-baru yang juga berhubungan dengan yang-sebelum yang juga patut diperhitungkan dalam naskah roman Saman adalah soal China. Masalah warga keturunan di yang-sebelum memang sudah menggejala hebat di wilayah khatulistiwa tropis Asia. Di dalam stigma sosial yang-sebelum, China menjadi simbol bagi keserakahan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan sekian triliun kelemahan lainnya. Karena itu, konstruksi sosial yang-sebelum pun menempatkan China sebagai kambing hitam kesialan dan kemelaratan bagi kaum elit-naif yang mengklaim sebutan: Pribumi. Lalu dimanakah rasionalitas konstruksi sosial yang-sebelum, yang sempat menelurkan pemikir brilian semisal Sutan Takdir Alisjahbana, Soekarno dengan humanisme, Tan Malaka dengan penentangan kapitalisme, Hatta dengan konsep koperasi, Soe Hok Gie dengan semangat idealisme-adventuristik? Sepengetahuan saya, di yang-sebelum tidak ada pengusung rasisme-barbarian yang serupa dengan Hitler, si penelur risalah Mein Kampf. Lalu, apa sebab di yang-sebelum begitu menggelora semangat rasisme-barbarian? Menurut saya, tentu ada pencetus gagasan rasisme-barbarian di wilayah khatulistiwa tropis Asia, dan si pencetus itu bergerak dalam lorong bawah tanah, bahasa pop sekarang kini adalah underground. Dalam naskah roman Saman, stereotipe begitu mendapat selimut baru dalam yang-baru yang hadir sebagai yang-bakalan. Kehendak Saman yang membantah pidato Anson tentang keburukan China menjadi citra yang-bakalan, yang bisa jadi punya potensi menjadi tujuan bagi yang-sebelum di kemudian masa. Saya berharap, yang-bakalan hadir di dalam yang-sebelum hingga melahirkan yang-sesudah dengan lebih terang dan lugas.
Pelik soal realitas agama, menurut saya pun mendapat porsi yang cukup intens dalam naskah roman Saman. Bicara soal agama, tentu tak lepas dari gagasan atau malah keberadaan Tuhan (Tuhan dalam Saman, menurut saya lebih punya tendensi pada konsep Monoteis); pada sisi yang paling eksis hadir dalam institusi pernikahan; ngomong pernikahan, masalah mengembang pada dominasi budaya patriarkhi atas perempuan, kata lain: cerita soal feminisme. Feminisme, tak hanya menyentuh budaya elit ruang publik, melainkan merasuk dalam wilayah terselubung ruang privat. Realitas agama, dengan perdebatan ada atau tidak ada Tuhan, menjadi semakin rumit bila dikaitkan dengan cerita yang mengangkat soal relasi seksual. Naskah roman Saman menyajikan sengkarut kompleksitas realitas agama yang berpadu dengan realitas seksual. Uniknya, realitas agama dan relasi seksual di naskah roman Saman hadir dalam bentuk pelisanan yang mengambil mode monolog atau pun surat-menyurat para tokoh. Lagi-lagi, narator, yang bisa dirujuk pada pengarang, menjadi mastermind dari ‘realitas agama dan relasi seksual di naskah roman Saman hadir dalam bentuk pelisanan yang mengambil mode monolog atau pun surat-menyurat para tokoh’. Cerita Laila yang terlambat datang bulan, secara tak langsung memberitakan apa yang dia lakukan dengan Sihar ketika berduaan di suatu tempat kepada Shakuntala alias Shakun Tala dan Yasmin. Namun, tentang apa yang terjadi sesungguhnya antara Laila dengan Sihar, hanya Laila dan Sihar sajalah yang tahu, selainnya: 1) narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, atau 2) pembaca yang ekspresif. Menurut saya, tidak ada lakon seksual yang benar-benar nyata dalam tekstual naskah roman Saman. Apa yang nyata di dalam naskah roman Saman selalu merupakan reproduksi kenyataan dari dunia Saman yang dituturkan, entah oleh narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, atau pada tokoh dunia Saman. Begitu pun dengan relasi seksual antara Yasmin dengan Lukas terungkap paling pas dan mantap lewat kata, “Tapi kami mau nikah,” yang diucapkan Yasmin kepada sahabatnya, yang sudah direproduksi oleh Shakuntala, lagi-lagi lewat kepiawaian campur tangan narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang. Begitu juga dengan yang ada di dalam percakapan via surat elektrik antara Saman dengan Yasmin. Semuanya adalah reproduksi kenyataan di dunia Saman (baca: Saman sebagai naskah roman) oleh para tokoh di dunia Saman. Lakon seksual antara Saman dengan Yasmin hadir lewat catatan harian Saman atawa Athanasius Wisanggeni, yang berarti reproduksi fakta di dunia Saman (baca: Saman sebagai naskah roman). Dan lakon seksual lain yang hadir di dalam surat elektrik antara Saman dengan Yasmin pun tak ubah dengan eksplorasi ego para tokoh yang dibawah kendali narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, yang mengacu pada pemahaman personal Saman dan Yasmin atas relasi seksual. Surat elektrik menjadi wadah manifestasi keinginan Saman dan Yasmin, namun masih bersifat pasif. Manifestasi dalam surat elektrik, menurut saya beda nyata dengan manifestasi dari reproduksi kenyataan di dunia Saman (baca: Saman sebagai naskah roman) oleh Saman atawa Athanasius Wisanggeni yang dituangkannya dalam bentuk catatan harian. Lakon seksual dalam Saman selalu bersifat reproduksi tekstual para tokoh atau narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang. Saya memindai tak satu pun lakon seksual dalam naskah roman Saman yang hadir dalam bentuk bukan-reproduksi. Bahkan, narator, yang bisa dirujukkan pada pengarang, tak ada pernah menempati fungsi sebagai penyaksi lakon seksual para tokohnya! Ganjil memang, tapi unik!
Bila sudah sampai pada poin seperti ini, Saman menjadi kegamangan. Sosok Laila selalu berkubang dalam soal ‘berdosakah aku?’ atas relasi dia dengan Sihar yang sudah beristri. Sosok Yasmin kerap menyimpan ‘ruang privat yang tak bisa dimasuki Lukas’. Sosok Saman alias Athanasius Wisanggeni bergulat dengan keberadaan Tuhan dan bersedia menerima pengajaran seksual Yasmin bila bisa terwujud. Hanya Shakuntala alias Shakun Tala sajalah yang menurut saya tokoh yang stabil, ketika mendefenisikan musuh ‘mereka’ (baca: Yasmin, Laila, Shakuntala, dan Cok) adalah ‘ayahKU’, sebagai kata ganti ayah yang guru dan yang laki-laki. Sedang Cok, sama sekali samar. Realitas agama yang bercampur dengan relasi seksual mendapat aksentuasi baru. Bila pada potongan sebelum saya fokus pada seksual, maka pada fragmen ini saya menalar Tuhan dalam dunia Saman. Lewat problem ‘berdosakah aku’-nya si Laila, masuk ke ‘ruang privat yang tak bisa dimasuki Lukas’-nya Yasmin, serta skeptisisme Saman atas keberadaan Tuhan, realitas Agama yang bisa dirujukkan pada Tuhan mekar di dunia Saman. Tuhan sebagai sosok hakim menggetarkan hati Laila yang selalu berkutat pada dosa atau tidak, Tuhan sebagai legitimator institusi pernikahan Yasmin dengan Lukas tak punya kuasa untuk mendampingi Lukas masuk ke ruang privat Yasmin; sedang bagi Saman, Tuhan memasuki ada dan tiada. Tapi, anehnya saya tidak menemukan afirmasi atas kondisi Tuhan yang bagaimanakah yang terjadi di dalam naskah roman Saman. Ketiadaan afirmasi itu menyebabkan saya menyimpulkan Saman, Yasmin, dan Laila, sebagai tokoh yang punya kehilangan absolut, namun malah mengisi kehilangan absolute dengan kehampaan. Memang, ada denyut berontak dalam diri Saman, Yasmin, dan Laila. Tapi, denyut berontak itu mendadak berubah menjadi detak kekalahan yang suci. Selalu berulang dan berulang. Semacam kondisi kuldesak yang pasif. Kondisi buntu yang tak aktif. Kondisi menunggu. Hanya Shakuntala alias Shakun Tala saja yang punya karakter permanen, dengan satu kecatatan: selalu ingin marah! Shakuntala alias Shakun Tala tak suka pada kemencla-menclean Laila menghadapi sekaligus mengingini Sihar, entah utuh atau sebatas seksual. Dan bagi Shakuntala alias Shakun Tala, sosok Tuhan nyata menjadi sesuatu yang tidak penting. Proyeksi pemahaman Shakuntala alias Shakun Tala yang begini semakin meruwetkan afirmasi tentang apa dan bagaimana Tuhan itu di dalam naskah roman Saman. Tuhan di dalam naskah roman Saman hadir sebagai ilusi.

Yasmin Moningka, Laila, Shakuntala alias Shakun Tala, Cok, Sihar, Lukas, Athanasius Wisanggeni yang berganti nama menjadi Saman, menurut saya adalah Generasi Saman Yang Kehilangan Tenang. Saman bukan dalam pengertian tarian, melainkan Saman dalam konteks Generasi Yang Penuh Dakwa, Generasi Yang Penuh Tuntutan, Generasi Penuntut Zaman! Dalam konteks begini, naskah roman Saman mengafirmasi kehadiran sebuah generasi di wilayah khatulistiwa tropis Asia: Generasi Saman! Dan, menurut saya, sejarah Generasi Saman ada di dalam sejarah Athanasius Wisanggeni, yang pada tahun 1990, di usia 30 tahun, mengubah nama menjadi Saman, ‘Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas di benaknya.’ dalam tutur penutup versi narator, yang bisa dirujukkkan pada pengarang, pada halaman 114. PADA TINGKAT yang paling unggul, Saman adalah Narasi Dalam Tentang Kehilangan. Dunia Saman, dunia ilusi yang muncul karena kehilangan yang tak terjawab. Afirmasi yang berbunyi didominasi suara-suara kegamangan. Semacam suatu kondisi kelelahan yang tak berujung pada kelelahan. Itu menurut saya.

Diskursus Kritik: Narasi Dangkal Karena Hilang Yang Senang
Sebelum melangkah lebih jauh, saya merasa lebih baik bagi saya untuk mempertanyakan kembali apa itu kritik bagi saya. Seturut pengetahuan saya yang tak seberapa dalam, kritik memang lebih cenderung mengangkat nada sumbang yang ada di dalam suatu produk. Sinis, kata beberapa orang. Dan memang begitulah kritik, menurut saya.
Tendensi menonjolkan keburuk-rupaan suatu produk sastra tampaknya menjadi spirit bagi kritik. Namun, terkadang keburuk-rupaan suatu produk sastra yang dilontarkan kritik menjadi dasar justifikasi keburuk-rupaan produk sastra. Padahal, kritik pun punya kronologis yang patut diperhitungkan sebelum menyimpulkan apa yang dihasilkan kritik sebagai predikat baru, atau stereotip baru atas suatu produk sastra.
Pada tahap yang paling primitif, kritik sastra lahir setelah ada pembacaan atas suatu produk sastra. Tapi, pertanyaan selanjutnya tentulah berujung pada apakah semua produk sastra harus mendapat perhatian kritik. Saya menjawab, tidak semua produk sastra harus mendapat kritik. Ada produk sastra yang layak mendapat kritik, dan ada pula yang tak layak mendapat kritik. Bila ditanyakan apa yang menjadi dasar dari kehadiran kritik atas suatu produk sastra, saya menjawab: kualitas tak-sebentar.
Kritik hadir ketika produk sastra punya ‘kualitas tak-sebentar’. Maka, argumentasi tidak semua produk sastra mendapat kritik pun tepat, sebab tidak semua produk sastra masuk ‘kualitas tak-sebentar’. Ini tegas saya nyatakan sebagai subjektifitas pribadi, sebab kata ‘kualitas’ dan kata ‘tak-sebentar’ memang selalu bersifat subjektif. Bagus bagi saya, belum tentu bagus bagi yang-lain. Apalagi menyangkut ‘tak-sebentar’. ‘tak-sebentar’ punya perbantuan dari ranah sains, yakni relatifitas waktu yang digagas Einstein.
Karena itu, kritik sastra selalu mengandaikan keberadaan produk sastra ber-‘kualitas tak-sebentar’. Sepintas, ada dilema, paradoks. ‘kualitas tak-sebentar’ itu ternyata masih menyimpan secuil kelemahan. Maka, bila ada tulisan yang hanya sekadar mengangkat ‘kualitas tak-sebentar’ dari suatu produk sastra tanpa meneriakkan ‘secuil kelemahan’ dari produk sastra itu, saya menilai tulisan itu sebagai bukan-kritik, melainkan apresiasi yang khas dari pembaca sastra yang simpatik, bukan pembaca yang ekspresif dan bertanggung-jawab. Dengan kata lain, kritik adalah sebentuk kewaspadaan pada suatu ‘kualitas tak-sebentar’!

Saman harus saya akui menyediakan alternatif baru dalam pengolahan dan pengucapan prosa. Peranan kesadaran meracik ramuan karangan bebas yang dikuasai olahan benak narator mengalami metamorfosa menjadi karangan bebas yang diucapkan para tokoh. Apa yang terjadi sebenarnya, menurut saya tak jauh beda dari naskah drama.
Bila sudah begini, tampaknya persoalan polifonik menjadi problem penting yang harus saya jelaskan. Ayu Utami Inc. pun menyatakan Saman sebagai ‘karya sastra polifonik’. Dalam bahasa saya, produk sastra polifonik. Polifonik itu sendiri mengadopsi metamorfosa konsep invention menjadi discovery. Fatalnya, gagasan polifonik Ayu Utami Inc. berujung pada ketiadaan pengarang. Mendengar deklarasi ‘ketiadaan pengarang’ semacam mendengar gugatan revolusioner terhadap diktum Roland Barthes: Pengarang sudah mati. Revolusioner, dikarenakan terjadi radikalisasi atas gagasan Barthes. Justifikasi pembaca yang terlontar melalui ‘Pengarang sudah mati’ menjadi afirmasi pengarang ‘ketiadaan pengarang’. Saya mencium aroma metafisika-kehadiran dalam soal ini. Justifikasi subjek atas objek menjadi afirmasi subjek atas subjek.
Saya justru mempertanyakan posisi postulat ‘ketiadaan pengarang’ atau dalam pembahasaan Ayu Utama Inc. keterlibatan, peluruhan aku-pengarang dengan aku-tokoh rekaan. Sampai pada titik ini, postulat yang dihasilkan menurut saya sangat-sangat bersifat arogansi-impulsif-naif. Karena itulah, saya harus menjernihkan kekeliruan yang mungkin muncul dari realitas ‘ketiadaan pengarang’. Saya mendapat jawaban, lela ledhung. Muara pertanyaannya: Apakah memang benar non-sense ada? Saya jawab tidak! Sebab sains Tanda Saussure masih menyimpan tiga kategori korelasi penanda dan petanda, yakni 1) semena-mena, 2) sistematik, dan 3) konsensus. Maka, non-sense menurut saya adalah konvensi personal yang dikomunalisasikan hingga menjadi konsensus. Sedang konvensi adalah hulu dari hilir yang bernama invensi alias, dalam bahasa nginggris invention. Dan, lokasi discovery berada pada rentang sejarah cover hingga recovery. Soal berganti menjadi penemuan dan perlindungan. Pada aspek terdalam (saya tak mau menyebut level metafisika, karena saya pun tak paham apa itu metafisika), penemuan alias invention selalu membuktikan penyingkapan perlindungan alias discovery. Ujungnya, pembentukan sampul atawa cover baru yang bisa disetarakan dengan recovery. Maka, segenap upaya penemuan selalu berada di bawah naungan perlindungan. Sir Isaac Newton menemukan hukum mekanika klasik di bawah selimut perlindungan. Hadirnya hukum Newton di ranah sains ilmu pasti menjadi dari eksistensi perlindungan yang baru, cover yang di-discover hingga menghasilkan recover yang bermetamorfosa menjadi cover-baru. Dalam bahasa praktis, invention menjadi sarana bagi discovery unjuk taring. Maka, lela ledhung bukan hanya berhenti pada consensus non-sense belaka, melainkan sebentuk ekspresi-lisan atas kerja melindungi. Lela ledhung, invention! Lalu, apakah dengan argumentasi saya yang sedemikian, postulat ‘ketiadaan pengarang’ menjadi rapuh? Saya pikir, tepat! Postulasi ‘ketiadaan pengarang’ tak lain menjadi sebentuk lokus persembunyian baru bagi pengarang yang, maaf saja bila saya sebut: malu-malu, dalam batas pengertian paling negatif. Dalam sensasi yang optimistik, saya melihat kehadiran lokus persembunyian baru ini sebagai sebentuk upaya memutar roda pemikiran sastra di tanah khatulistiwa tropis Asia, bisa jadi semacam usaha memecah kebuntuan dengan proklamasi intersubjektifitas. Lalu, dimanakah pengarang?

Mencari pengarang dalam suatu produk sastra, menurut saya adalah usaha yang sia-sia. Mengetahui sosok pengarang melalui kajian mendalam dari suatu produk sastra yang dihasilkan pengarang bersangkutan adalah kerja hampa. Sosok pengarang harus dicari dalam realitas sesungguhnya. Pengarang selalu merujuk pada aspek eksistensial, mewujud dan meruang; artinya: carilah pengarang di dunia nyata, lebih tegasnya: carilah Ayu Utami Inc. di Bumi selama Ayu Utami Inc. belum pailit.
Bila Ayu Utami Inc. dicari melalui produk sastra, yang muncul adalah ilusi Ayu Utami Inc. Produk sastra selalu hadir sebagai yang-baru, yang berasal dari yang-sebelum. Yang-baru punya potensi yang-bakalan. Nah, ilusi Ayu Utami Inc. punya potensi hadir melalui yang-bakalan. Tapi, Ayu Utami Inc. pasti bisa dicari! Sebabnya, postulat ‘ketiadaan pengarang’ rapuh, bahkan bisa saya sebut gagal dalam mengekspresikan gagasan permanen yang tak terbantahkan.
Kehadiran Ayu Utami Inc. sebagai ilusi dalam naskah roman Saman bisa dideteksi melalui sosok Shakuntala alias Shakun Tala. Namun, yang harus diingat itu adalah ilusi. Shakuntala alias Shakun Tala adalah Ayu Utami Inc. yang ilutif. Shakuntala alias Shakun Tala bukanlah Ayu Utami Inc.! Untuk melihat sosok (baca: kehadiran) Ayu Utami Inc. yang tak ilutif di dalam naskah roman, maka diperlukan kerja mengeliminasi variabel ilusi yang menghalangi retina. Sebab, ilusi tak pernah bisa eksis bila tak ada realitas. Itu menurut saya. Kehadiran realitas selalu memampu ilusi turut hadir!
Karena itu, yang menjadi realitas Ayu Utami Inc. adalah novel ‘Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001’ yang saya beli di tahun 2001. Saman sebagai buku yang diperjual-belikan secara legal sudah mengandaikan keberadaan konkrit dari Ayu Utami Inc. Berhadapan dengan teks, maka yang muncul dalam benak adalah pertanyaan: apa kira-kira isi teks tersebut. Maka, realitas kehadiran Ayu Utami Inc. dalam tingkat yang paling primitif adalah isi dari teks tersebut, bukan sosok konkrit Ayu Utami Inc. Isi dari teks Saman, sesungguhnya merujuk pada master-plan/blue-print Ayu Utami Inc. Dengan kata lain, Ayu Utami Inc. menghadirkan dirinya melalui sebentuk abstraksi, yakni pemikiran Ayu Utami Inc. Abstraksi dari pemikiran Ayu Utami Inc. ini bermetamorfosis menjadi sebentuk konkretisasi berupa novel ‘Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001’, sekaligus abstraksi dari novel ‘Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001’, yakni isi novel ‘Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001’. Dan apa yang menjadi isi novel ‘Saman cetakan 19: Desember 2001 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2001’ sudah saya ungkai dalam Afirmasi: Narasi Dalam Tentang Kehilangan.

Persoalannya, dimanakah secuil kelemahan itu? Saya menyebutnya dalam kalimat tak lengkap sebagai: Narasi Dangkal Karena Hilang Yang Senang. Afirmasi yang dalam tentang kehilangan tak dilengkapi dengan penemuan dari kehilangan. Afirmasi ketiadaan selimut pelindung menjadikan seluruh tatanan alam punya persamaan larut dalam kondisi chaos yang gamang. Memang, Shakuntala alias Shakun Tala menyediakan pengobatan alternatif diantara tokoh-tokoh yang sakit. Tapi, pengobatan alternatif ala Shakuntala alias Shakun Tala yang didedahkan dalam naskah roman Saman menyediakan peluang spekulatif yang lebih besar dari peluang analisis. Sosok Shakuntala alias Shakun Tala yang hadir sebagai sosok yang tegar, sebagai sosok yang berani bersikap dan menanggung resiko dari tindakan melawan laki-laki, guru, dan ayah. Shakuntala alias Shakun Tala mengkompilasi laki-laki, guru, dan ayah menjadi ‘ayahKU!’ Namun, untuk mengkaji lebih lanjut persoalan mengapa ‘ayahKU!’, menurut saya, bisa dilakukan dengan dengan memasuki ranah-ranah implisit kasat mata di dalam naskah roman Saman. Karena itulah, saya menyatakan naskah roman Saman lebih dominant menyediakan peluang spekulatif untuk mengurai soal ke-Shakuntala-an alias ke-Shakun Tala-an.
Dikarenakan sosok Shakuntala alias Shakun Tala yang begitu itulah, kehadiran Ayu Utami Inc. sebagai ilusi pun terang. Afirmasi tentang Generasi Saman Yang Kehilangan Tenang hanya dimungkinkan ketika si proklamator itu sendiri tidak berada di dalam kondisi kegamangan!

Secuil kelemahan yang tadi saya pertanyaan ada di dalam soal: Hilang Yang Senang. Mengapa? Kehadiran Generasi Saman Yang Kehilangan Tenang, secara spekulatif, mengantar benak saya pada sebentuk fatalisme di masa yang-bakal. Semacam nujum masa depan, barangkali. Semacam ramalan Raden Ngabehi Ronggowarsito, barangkali. Lalu, apakah politik, agama, dan tradisi patriarkhi harus dipersalahkan dalam kerangka persoalan begini? Apakah politik, agama, dan tradisi patriarkhi harus mengemban posisi sebab dalam kasus begini? Saya hanya berpikir, ekspresi harus diselamatkan! Sebab, represi bukanlah jalan keluar terbaik, meski kadang kala represi pun bisa berfungsi sebagai jalan keluar yang cukup memadai dalam batasan-batasan tertentu dan pasti pula sifatnya. Dan disinilah posisi saya: sebagai pembaca! pembaca: anak dari tulisan, sedang tulisan: objek bagi mata, sedang penulis (mudah-mudahan saya tak keliru) adalah para pemikir yang punya keliru, namun dengan cara yang sangat-sangat ganjil menarik kesimpulan pembaca selalu salah.

Jika pembaca: anak dari tulisan, diilustrasikan sebagai seorang anak yang berhadap-hadapan dengan orang tua, maka tak jarang pula muncul simpulan 1) anak penurut, atau 2) anak pembangkang! Dalam bahasa yang lebih nge-pop: 1) guardian of spirit, atau 2) guardian of rock ‘n roll! Di tahapan paling puncak, naskah roman Saman menyediakan dua alternatif jawaban: 1) guardian of spirit, atau 2) guardian of rock ‘n roll!

Maret 2008
PEREMPUAN MENUNTUT MAKAN, NARASI DATAR YANG MENJEMUKAN DALAM PANGGUNG YANG BERISI LEBIH DARI SEPULUH MIKROFON MENGGANTUNG*


Membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’ pada poster promo pentas monolog garapan Rieke Diah Pitaloka dan Faiza Mardzoeki, benak saya melayang pada kata ‘menyebalkan’. Tak perlu naskah tekstual yang saya perbuat ini dipahami dalam kerangka feminisme atau jendernitas yang berujung pada silang sengkarut opini perangkap. Sebab, kosa kata ‘tanggung jawab’ masih ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang lalu, kini, dan mudah-mudahan di masa datang.
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Malam’ yang tak bermakna. ‘Malam’ hambar tanpa garam pula. Saya tak bisa memahami ‘Malam’ bagaimanakah yang hendak diusung pentas teater monolog. Apakah ‘Malam’ burung hantu, atau ‘Malam’ rusa-rusa, atau ‘Malam’ ala herman—tak malam di bulan—Sutardji Calzoum Bahri, atau ‘Malam’ macam kondisi sosiologis masyarakat agraris, sub-urban, atau malah urban, mungkin pula post-urban?
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Menuntut’ pada malam. Apa yang bisa dituntut pada malam? Bila saya ucapkan ‘Menuntut’ malam adalah irasional, tentu saya mengambil posisi merendahkan naskah datar yang menjemukan. Riskan, tapi harus saya akui ‘Menuntut’ malam adalah irasional—bukan absurd; maka ‘Menuntut Malam’ adalah naskah datar yang menjemukan. Hambar.
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Perempuan’ bersanding dengan ‘Menuntut Malam’. ‘Perempuan’ apakah yang berlaku demikian? Apakah memang ‘Perempuan’ berlaku demikian? Sekali lagi, saya tidak mau masuk ke ranah teritorial kaidah feminisme atawa jendernitas yang berujung, lagi-lagi, pada silang sengkarut polemik anti atau pro yang mematikan kreatifitas.
Saya kembali membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’. Karena ada ‘menyebalkan’ dalam batin saya, benak saya mengalirkan jawaban penyegar ibarat sekantong oksigen bagi paru-paru pasien yang bakal meninggalkan dunia rumah sakit. “Pe-rem-pu-an.” Saya suka, bahagia, bila ‘Perempuan Menuntut Malam’ diganti menjadi ‘Perempuan’. Sebab, ‘Perempuan’ itu sendiri belumlah habis makna, sekalipun Simone de Beauvoir sudah merumuskan risalah Second Sex. ‘Perempuan’, menurut saya, sudah melampaui ‘Menuntut Malam’. Kiranya, pertimbangan emosional yang saya ajukan bisa menjadi dasar bagi argumentasi alam rasional yang hendak saya majukan dalam dunia maya, dunia ide dan gagasan yang saling berinteraksi dengan polah yang ajaib.
Tak pula saya pungkiri suatu testimoni yang melegalkan judul tersebut. Reclaim the Night. 1976. 10 ribu perempuan dan anak di Roma menuntut dimusnahkan kekerasan biadab lelaki Roma kepada perempuan dan anak. Bila hendak itu yang diusung, mengapa pula tak memajukan tajuk ‘Perempuan Menolak Malam’. Bukankah ‘reclaim’ yang dimaksud berujung pada pengambilalihan otoritas? Saya tidak tahu, apakah masih ada kedangkalan di suatu negara yang sudah lebih dari 50 tahun merdeka dan sudah lebih dari 350 abad dijajah. Sebab, menuntut saya berujung pada bersuara belaka tanpa menghasilkan kesimpulan yang nyata; sedang menolak adalah pilihan politik yang harus mengalir menjadi sederetan aksi personal. Menolak, lebih tinggi dari menuntut. Adakah perempuan masih berada dalam kedudukan yang rendah, inferior, atau hina? Saya kira tidak. Di Inggris, pada abad 15 Masehi misalnya, ada Elizabeth. Di Argentina, ada Evita Peron. Di Indonesia, ada Cut Nyak Dhien, Martha Tiahahu, Butet Manurung, dan masih banyak sederet barisan perempuan yang bernaung dalam ode ‘God Save The Queen’ atau dalam bahasa populer-metaforis-mistik masyarakat jawa Ratu Adil. Saya mungkin benar, mungkin pula salah. Yang pasti, saya punya potensi keliru.

Membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’ di dalam Grha Bakti Budaya pada 8 Februari 2008, saya bertemu dengan ‘menyebalkan’. Saya tak hendak bilang, memuakkan. Dalam ucapan yang lebih santun lagi sopan—sebab, dengan kekuatan tirani yang sangat-sangat tak terpermanai suatu bangsa dari rumpun bahasa Austronesia meneriakkan klaim sebagai bangsa yang ramah-tamah lagi sopan-santun, budaya timur—saya mengucap: kecewa.
Kecewa. Dari tiga naskah yang saya baca pada panggung minimalis dengan ‘beribu’ mikrofon yang bergelantung, satu naskah saja yang memincut hati saya. Sepiring Nasi Goreng. Lainnya, politikus perempuan dan lonte adalah naskah di bawah standar yang datar, hambar, dan memalukan mengingat sejarah panjang sastra Indonesia yang saya ketahui, setidaknya berpangkal pada Armijn Pane dengan Belenggu dan Oka Rusmini dengan Tarian Bumi.
Kecewa. Dua naskah yang berkisah tentang politikus perempuan dan lonte cuma terjerembab, dan anehnya berasyik-masyuk dalam keterjerembaban. Perempuan yang menghabiskan waktu untuk menuntut dan menuntut dan menuntut. Membaca naskah yang dipentaskan pada latar belakang lima layar dengan ‘beribu’ mikrofon yang menggantung dari atap panggung yang tak kelihatan, saya merasa sedang berada di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, atau di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, atau malah di depan Istana Negara, Jakarta. Penuh suara-suara, penuh orasi, penuh aroma penentangan, penuh nada kritik. Berganti-ganti TOA berpindah tangan, topik masih saja sama. Lantang bunyi suara yang gahar, punya kesan menuntut kemutlakan, bagi saya pribadi berujung pada keluhan emosional dari seorang yang tak bisa berbuat apa-apa. Kelantangan, hanyalah keluhan. Dan keluhan, menurut saya, bentuk paling muda dari depresi sebelum berpuncak pada kematangan ekspresi dari depresi, yakni bunuh diri.
Kecewa. Dua naskah, berkisah politikus perempuan dan lonte, cuma berkutat pada perspektif korban. Begitukah perempuan menuntut malam? Penggaungan jerit hati korban, hingga muncul sekerat belas kasihan untuk mengulurkan tangan, membantu memanggul beban. Saya pikir, ketika korban melakukan reclaim, korban mengambilalih otoritas. Korban berdiri dan bersuara sendiri. Korban tak bisa berhenti pada menuntut belaka. Menuntut bukanlah pilihan korban. Tapi sayang nian, dua naskah, berkisah politikus perempuan dan lonte, hanya mengalir menuju kubangan keluh. Tak ada sikap! Apa artinya simbolisasi Rieke Diah Pitaloka yang sedang memerankan tokoh politikus perempuan dengan tubuh terikat tambang? Meski berhasil melepaskan diri dari jeratan tambang, tetap saja tokoh politikus perempuan tak bisa ‘menghantam’ lelaki biadab yang ‘berbelas kasihan’ melepas penutup mata di awal adegan babak ke-dua. Atau lonte yang berkisah tentang legalisasi sejarah-struktural mengapa dirinya menjadi lonte. Latar biografi kehidupan lonte yang berada dibawah bayang-bayang masa lalu, masa ketika ibunya menolak pinangan orang lelaki; dan orang lelaki itu memperkosa anak ‘ibunya’. Anak ‘ibunya’ inilah yang menjadi lonte. Lonte adalah korban sejarah-struktural. Lonte bukan pilihan. Tentu naskah beda bakal maju, ketika lonte adalah pilihan. Tapi, saya pikir kisah lonte adalah pilihan hanya bisa dirasionalisasikan dengan beban ekonomi. Artinya, terjerumus pada penceritaan klasik, yang bermuara pada negara adalah pelaku kejahatan.
Sedikit kecewa. Sepiring Nasi Goreng. Naskah yang gagah meski hambar mengingat angkatan pendahulu, Armijn Pane, sudah berkisah lebih lugas dan luas dari sekadar nasi goreng. Tini, Tono, dan Rohayah. Atau, yang lebih modern sekarang (meski, sayangnya tidak menjadi tren yang perlu, menurut saya, perlu mendapat penelitian khusus:) Tarian Bumi gubahan Oka Rusmini. Satu cerita inilah yang menempati posisi kuat dalam benak saya. Ratna tidak hanya menuntut, tapi sudah menolak! Ini menjadi prestise tersendiri bagi perempuan, dan sebenarnya bukan hanya perempuan saja menurut saya. Penolakan adalah prestise tersendiri bagi individu-personal, bisa perempuan, bisa juga laki-laki. Jika menuntut adalah sikap, maka menolak adalah melampaui-sikap. Tapi, saya memilih jawaban: menuntut adalah bukan-sikap, menolak adalah sikap! Feminisme bisa jaya bila feminisme melakukan reclaim alias pengambilalihan otoritas, bukan sekadar menuntut. Patriarkhi tetap mapan selamanya bila tak ada reclaim. Reclaim bukan dengan belas kasihan, tapi dengan sikap. Sepiring Nasi Goreng menuntaskan jawaban melampaui konteks ‘Perempuan Menuntut Malam’. Sepiring Nasi Goreng sudah sampai pada judul baru ‘Perempuan Menolak Malam’.

Panggung yang minimalis. Panggung sederhana yang tak ada guna. Lima layar bersusun dalam pola simetris tak berperan mengunjukkan simbol yang dalam. Asimetris penataan layar, menurut saya, pilihan terbaik untuk membangun suasana penolakan. Adakah gejolak dalam simetrisitas? Yin-Yang sekalipun, menurut saya, berada pada tata kesetimbangan, keseimbangan, poise**.
Videografis yang monoton. Monotone. Mono adalah satu. Tone adalah nada. Videografis yang satu nada. Harmoni yang hilang.
Pertunjukkan yang, maaf bila saya harus mengucapkan: Gagal! Dan menurut saya, apa yang disebut minimalis bukanlah legalitas-formal bagi keberadaan estetika yang mandul. Minimalis harus mampu menawarkan kelegaan bagi mereka yang sudah mengeluarkan harga, entah berupa uang atau waktu! Minimalis yang sekadar mengusung minimalis bukanlah minimalis, melainkan penipuan. Minimalis harus menghadirkan minimalis yang punya tanda-tanya. Mungkin, karena kebodohan saya masih terlampau menumpuk dalam benak, saya tak menemukan tanda tanya dalam tata panggung minimalis ‘Perempuan Menuntut Malam’. Ataukah memang, mikrofon yang lebih dari sepuluh, yang bergelantungan di atas panggung, adalah ekspresi minimalis? Saya pikir, di dalam Grha Bakti Budaya pada 8 Maret 2008, tidak sedang menggarap sinetron dengan boomer yang tak kelihatan. Ini adalah pertaruhan saya, sebab seni tidak butuh pemakluman. Seni yang butuh pemakluman, jelas bukan seni! Seni adalah perhitungan, bagai hukum Newton yang mengoncang dunia selama berabad-abad hingga menelurkan Bernoulli dan Einstein dan Stephen Hawking.

Bicara akhir saya, saya tutup dengan defenisi yang berasal dari ‘LEKSIKON KRITIS DI MASA KRISIS’. Ini penting saya majukan, agar dikotomi feminisme atau patriarkhi tidak melekat pada diri saya.
Perempuan: mahluk yang setia pada kegemulaian sambil tetap menyimpan keperkasaan.
Laki-laki: mahluk yang paling tragis, cuma punya dua pilihan, 1) kalah lalu mati, atau 2) menang, dan sialnya mati pula.
Manusia: mahluk yang seharusnya berhadapan pada satu pilihan, yakni Cinta-dan-kejeniusan.


Maret 2008



*: Risalah ini untuk menjawab ekspresi kerendahan-hati sekaligus harapan dalam ‘Catatan Sutradara’. Karena itu, apa yang saya tuliskan dalam risalah ini adalah buah dari ketakutan saya setelah menyelami ‘Catatan Sutradara’. Dan, saya tidak meminta pemakluman dari pembaca.

**: poise: v.t. to balance to hold or carry in equilibrium. Also v.i., n. Word History: 14-15 C. Old French pois-, stem of peser, from Latin pensare, freq. of pandere to weigh. The original sense (to the 19C) was to wieh, both literally and in the mind. The current sense dates from the 17C -CASSEL’S DICTIONARY OF wordhistories, adrian room-
NATURE DAN CULTURE, YANG ALAMIAH DAN YANG ILMIAH


Ada yang menyebut: Transisi. Ada pula yang menyebut: Tradisi. Tapi, selalu ada kematian. Katakanlah, dua macam. Kematian Nature, yang dengan cara yang entah bagaimana--namun saya suka—saya mentransliterasikan 'nature' ke bahasa indonesia menjadi 'natur', dan Kematian Culture, masih dengan cara yang entah bagaimana, tetapi saya suka, saya mentransliterasikan 'culture' ke bahasa indonesia menjadi 'kultur'.

Katakanlah, Anda mengetahui bahwa saya punya teman. Dan, mari kita andaikan teman saya punya nama yang aneh, Tak Bernama. Teman saya, yang Anda ketahui bernama: Tak Bernama. Masih dalam terminologi 'katakanlah', suatu ketika Tak Bernama pergi ke suatu kota, kota yang ada unggulnya bila diberi nama Lahan Sementara. Sewaktu dalam perjalanan menuju Lahan Sementara, Tak Bernama singgah di sebuah rumah makan, saya menamainya: Rumah Makan K. Di Rumah Makan K, Tak Bernama singgah, bukan untuk mengunyah, melainkan sekedar melepas lelah, melemaskan paha.

Tiba-tiba, ada satu orang, lalu dua orang datang mendekati Tak Bernama. Mungkin, satu dan dua orang itu punya nama satu: Identitas. Identitas duduk di dekat Tak Bernama. Dan(!) mereka bercakap. Mereka itu, Tak Bernama dengan Identitas. Percakapan yang aneh. Percakapan yang saya tak ketahui, juga Anda ketahui. Tak Bernama berdialog dengan Identitas.

Lemas di paha Tak Bernama sudah hilang. Tak Bernama pun pergi melanjutkan perjalanan ke Lahan Sementara meninggalkan Identitas di Rumah Makan K. Uniknya, baru berapa jenak Tak Bernama melangkahkan kaki dari Rumah Makan K, Tak Bernama sudah berganti nama menjadi Tak Bernyawa. Tak Bernama tak sempat singgah di kota Lahan Sementara. Tak Bernama entah di kota mana. Saya tidak tahu. Mungkin, Anda tahu sudah dimanakah Tak Bernama, teman saya yang sudah berganti nama menjadi Tak Bernyawa ketika baru berapa jenak melangkahkan kaki dari Rumah Makan K.

Ketika Tak Bernama sudah menjadi Tak Bernyawa, Para Bukti datang bertanya pada Tak Bernama. Para Bukti, ahli sekali bertanya pada Tak Bernama yang sudah Tak Bernyawa. Para Bukti menemukan abjad-abjad di pakaian Tak Bernama. Abjad kepunyaan Identitas. Para Bukti memanggil Identitas, lalu bertanya tentang abjad-abjad kepunyaan Identitas yang ditemukan di pakaian Tak Bernama. Saya pernah mendengar ada Anda yang berkata, Identitas itu tak satu. Karena itu, Para Bukti bertemu jalan buntu. Abjad-abjad kepunyaan Identitas merupakan abjad-abjad kepunyaan Identitas yang tak satu. Para Bukti bertanya, masih kepada teman saya sekaligus teman Anda, yang bernama Ilmiah. Ilmiah hanya bisa menulis: Tidak Alamiah. Semua tersimpan dalam 'baru berapa jenak Tak Bernama melangkahkan kaki dari Rumah Makan K'. Karena itu Para Bukti mendekati kembali Identitas yang bukan satu, kemudian menyerahkan Identitas yang bukan satu kepada Pembaca Buku. Pembaca Buku menghapus 'yang bukan satu'. Identitas pun menjadi Itu. Tapi Itu juga berarti Bukan Hanya Itu. Demikian kesimpulan akhir Pembaca Buku. Bukan Hanya Itu membuat Para Bukti kembali menggali Tidak Alamiah. Ilmiah hanya bisa menulis sepucuk surat yang berisi abjad: Mungkin, ada ruang antara Alamiah dengan Ilmiah, yang aku sebut: Tak Ilmiah. Tak Ilmiah berarti Bukan Alamiah. Yang Alamiah daYang Ilmiah selalu menakjubkan. Bukan Alamiah selalu menghadirkan pertanyaan: Kenapa. Sedang Kenapa bisa berujung pada ketakutan. Maka: Keberanian harus ada untuk menaklukkan ketakutan. Transisi harus berhenti(!) dan sebagai ganti muncul Tradisi. Alamiah dan Saya.
Maret 2008
PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?
(Tulisan Kedua dari Dua Tulisan)



Menemukan titik adalah kerja yang sangat berat. Mencari koma, lebih mudah meski tidaklah gampang pula upaya menuju ke sana.

Bulan Januari 2008, saya menulis risalah pertama yang menyoal PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?. Pada Maret 2008, saya berhasil mengurai gejolak ambiguitas yang membelenggu saya: apakah saya perlu melanjutkan tulisan kedua? Saya yakin, ada orang yang mampu membaca konteks pertanyaan gejolak ambiguitas yang membelenggu saya. Dan saya menemukan jawaban, apa yang saya tulis adalah apresiasi. Dan apresiasi, menurut saya, punya dua dimensi: penyanjungan dan pengkritisan. Dan keduanya membutuhkan keberanian. Keberanian saya lahir dari ketakutan yang dibungkus selimut gejolak ambiguitas. Selanjutnya, Sidang Pembaca saya persilahkan menilai ketakutan saya melalui risalah kedua yang menyoal PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?.

Menikmati ‘kenapa LEONARDO?’ adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Perjumpaan pertama saya dengan Teater Koma terjadi pada panggung ‘Kunjungan Cinta’ Klara Zakanasian ke kota tempat tinggal, kalau saya tidak salah, Ilaq Alifredi. Dari dua perjumpaan, saya menyimpulkan Teater Koma tetap berpijak pada realisme sebagai tradisi bagi Teater Koma. Entahlah, saya tidak tahu apa sebab; dan tulisan ini pun tak bermaksud menyentuh masalah begitu. Dari dua perjumpaan, tata panggung yang disuguhkan Teater Koma selalu memukau sekaligus memaku saya. Sanjungan verbal yang, mungkin saya duga, kerap kali diterima Teater Koma usai menyajikan naskah audio-visual permanen.

Menyimak tata panggung ‘kenapa LEONARDO?’ saya terpaku pada replikasi lukisan Vincent Van Gogh. Saya lupa, apakah replikasi lukisan Bunga Matahari, atau Potret Diri, atau malah lukisan ‘yang menggambarkan hamparan kuning dan burung gagak yang terbang’, atau malah lukisan ‘malam berbintang’? Selanjutnya, mata saya terpikat pada replikasi lukisan Penjaga Malam. Judul lukisan itu saya ketahui setelah membaca tulisan Radhar Panca Dahana di suatu majalah yang tentu saja Sidang Pembaca ketahui, apabila Sidang Pembaca sudah membaca tulisan Radhar Panca Dahana yang saya maksud. Suasana magis yang cukup erotis, demikian kesimpulan saya atas tata panggung realisme Teater Koma pada naskah audio-visual permanen ‘kenapa LEONARDO?’.

Namun, tata panggung ‘magis yang cukup erotis’ menghadirkan gangguan tersendiri bagi saya ketika muncul kalimat-kalimat hasil proyeksi pada replika lukisan Penjaga Malam. Saya hanya bisa menerjemahkan proyeksi tulisan tersebut sebagai catatan kaki bagi dialog yang tengah terjadi ketika itu. Lalu, mengapa tulisan itu harus diproyeksikan pada lukisan Penjaga Malam? Saya tidak dapat menggali motif paling dalam dari ‘mengapa proyeksi tulisan hadir di lukisan Penjaga Malam’. Dari sisi ruang, menurut saya, memang hanya ruang itulah yang memungkinkan untuk diberi sinar proyeksi. Tapi, jawaban atas kememadaian ruang tersebut, menurut saya, bukanlah alasan yang kuat untuk ‘menghadirkan proyeksi tulisan di lukisan Penjaga Malam’. Karena itu, saya sampai pada kesimpulan: penghargaan atas catatan kaki. Penghargaan atas catatan kaki adalah penghargaan pada mereka-mereka yang menemukan bahasa, yang bahasa temuan mereka-mereka dipergunakan pada naskah visual ‘kenapa LEONARDO?’ terjemahan Rangga Riantiarno. Dan saya menduga ini adalah bentuk kesetiaan sutradara Nano Riantiarno pada naskah; sebab Nano Riantiarno kerap mengucap ‘setia kepada naskah’. ‘Setia kepada naskah’ sebagai isi, bisa pula disetarakan dengan motif, mengambil bentuk tampilan proyeksi tulisan pada lukisan Penjaga Malam. Namun, keliaran pikiran saya membawa saya pada pemaknaan ‘setia kepada naskah’: masih menyimpan makna lain. Sebuah—menurut saya tepatnya bukan sebuah, melainkan suatu—Suatu makna yang bersifat subjektivitas-personal dari Nano Riantiarno, bahkan Teater Koma! Maka, dalam pengertian positif: kesengajaan adalah unsur rekayasa yang berlandaskan motifasi subjektivitas-personal.

Perkara berikut, soal pemeranan. Martin, Profesor Karuso, Bu Risah, Pak Endus, Rebeka Dokter Hopman, Dokter Da Silva dan macam lainnya, terutama lima orang berpakaian hitam (kalau saya tak salah ingat) menghadirkan keunikan tersendiri. Ada peran yang pas, dan pantas. Peran yang pas, dalam pengertian saya, ditentukan oleh kapabilitas pemain peran untuk menjadi dalang atas tokoh yang sedang diperankan. Tingkat kedalangan pemeran menjadi ukuran bagi pemeran untuk menggapai peran yang pas. Saya melihat peran yang pas hadir di tokoh Profesor Karuso, Bu Risah, sedikit Martin, Dokter Hopman. Sebagai tambahan, justifikasi saya atas peran yang pas berlandaskan kapabilitas penilaian saya pribadi yang bersifat subjektif. Pernyataan saya ini berfungsi untuk mengeliminasi pandangan bahwa saya berpendapat pemeran lain tidak punya tingkat kedalangan yang mumpuni atau apa pun. Saya tegaskan, penilaian saya murni berlandaskan subjektifitas.

Soal peran yang pantas, saya lihat hadir di dalam tokoh Dokter Da Silva, Cornelia Agatha. Saya sadar, kemampuan berperan saya pasti jauh lebih rendah dari Cornelia Agatha. Pernyataan saya bukanlah majas perendahan diri demi menaikkan mutu. Pernyataan saya murni karena saya memang tidak bisa peran. Cornelia Agatha memerankan Dokter Da Silva sebagai peran yang pantas. Peran yang pantas, menurut saya, adalah kerja pemeran yang tidak terlalu menunjukkan tingkat kedalangan pemeran. Dan saya menyimpulkan Cornelia Agatha menempati posisi peran yang pantas karena karakteristik yang sangat mungkin bagi Cornelia Agatha adalah menempati posisi antagonis; meski Dokter Da Silva tidak seutuhnya bersifat antagonis dikarenakan pada bagian menjelang akhir, anti klimaks, Dokter Da Silva mengambil tindakan mengangkat libido ala Freudian untuk mengakhiri regresi Martin, meski upaya itu akhirnya berujung pada kematian Dokter Da Silva di samurai Martin. Sebagai Dokter Da Silva yang berkarakter ketus, tegas, ambisius, jantan, menurut saya Cornelia Agatha memang patut. Melihat dan mendengar Cornelia Agatha di panggung kenapa LEONARDO? rasanya saya masih melihat dan mendengar Cornelia Agatha di keseharian. Keseharian yang saya maksud bukanlah keseharian Cornelia Agatha, sebab saya sama sekali tak pernah berkenalan dan Cornelia Agatha pun pasti, saya yakin, tidak mengetahui dan mengenal saya. Keseharian yang saya maksud adalah keseharian duplikasi dari media televisi. Karena itu, saya mengajukan maaf kepada Cornelia Agatha karena saya menilai Cornelia Agatha sebagai Cornelia Agatha yang saya kenal dari media televisi, pada acara-acara yang beraroma ruang privat. Mendengar dan melihat Cornelia Agatha memerankan Dokter Da Silva, hadir perasaan di dalam batin saya yang menyamakan apa yang saya lihat dan dengan dari Dokter Da Silva adalah Cornelia Agatha yang pernah saya kenal melalui media televisi. Ada kesamaan karakter Cornelia Agatha dengan Dokter Da Silva. Ketika sampai pada kesimpulan ‘Ada kesamaan karakter Cornelia Agatha dengan Dokter Da Silva’, saya menilai Cornelia Agatha ada pada posisi peran yang pantas. Dan, perlu saya bakukan batasan: peran yang pantas bukan harga mati bagi seorang pemeran; begitu pula dengan peran yang pas juga bukan harga mati bagi seorang pemeran. Sebab: koma selalu ‘setia kepada naskah’.

Satu hal tersisa dari seluruh persoalan PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO? adalah komedi. Rentang waktu pementasan yang mencapai empat jam, kalau saya tidak keliru, tentu memerlukan kelihaian mengolah komedi sebagai stabilator denyut konsentrasi penonton. ‘kenapa LEONARDO?’ pada naskah audio-visual permanen Teater Koma menurut saya, bukan gagal menyajikan komedi. Pada panggung masih hadir komedi. Namun, komedi tersebut tidaklah optimal. ‘Komedi tersebut tidak optimal’ adalah subjektifitas saya belaka. Sebab, ‘setia pada naskah’ adalah yang utama. Naskah Evald Flisar, menurut saya, memang tidak menghadirkan ekspresi komedi yang bisa saya kategorikan ‘lebih’. Dan apa yang dilakukan Evald Flisar dalam hal ini tidak salah, sebab Evald Flisar pasti punya motifasi sendiri mengapa ekspresi komedi tidak berkategori ‘lebih’. Tentu, kajian motif Evald Flisar bukanlah bertempat pada risalah ini. Sekadar mengutip, dalam esai PERKENALAN, Evald Flisar menulis: Saya dengan hormat mengemukakan bahwa bumbu utamanya adalah aliran rasa sakit yang terpendam. Rasa sakit yang pahit, menggigit, yang membikin orang tertawa. Dan kemudian, pada akhirnya, membuat orang bergidik. Sebagai peringkas makna pada alinea ini, saya menyimpulkan komedi dalam ‘Kunjungan Cinta’ lebih dari komedi dari ‘kenapa LEONARDO?’.

Penyelesai bagi risalah ini ada pada cara membaca risalah ini. Risalah ini adalah apresiasi, yang mengandung kebertautan dua unsur, sanjungan dan kritikan. Sanjungan berujung pada kegembiraan orang-orang yang terlibat pada pementasan naskah ‘kenapa LEONARDO?’ pada panggung Grha Bhakti Budaya atas apa yang saya tuliskan. ‘Orang-orang yang terlibat’ bisa juga merujuk pada orang-orang yang sudah menjadi bagian dari Teater Koma. Sedang kritikan bisa berujung pada kebencian orang-orang yang terlibat pada pementasan naskah ‘kenapa LEONARDO?’ pada panggung Grha Bhakti Budaya atas apa yang saya tuliskan. ‘Orang-orang yang terlibat’ bisa juga merujuk pada orang-orang yang sudah menjadi bagian dari Teater Koma. Jujur, saya tidak mengharapkan kebencian. Tapi, saya sadar: saya tidak bisa menghindar dari kebencian yang timbul dikarenakan kehadiran kritik yang saya tuliskan dalam risalah ini memang punya potensi menghadirkan kebencian. Pada koma yang begini, saya sajikan seutuhnya apa yang sudah saya tuliskan dalam risalah ini ke hadapan Sidang Pembaca. Dan segalanya bakal mencapai akhir yang indah ketika Sidang Pembaca menggunakan ‘cara membaca’ yang tepat atas risalah ini. Sebab, selalu ada ‘setia kepada naskah’! Dan saya berani mengucap: Salut kepada Teater Koma!

Maret 2008
MEMBACA AMPUNAN DAN MAAF


Mungkin, apa yang saya tulis hanyalah kegelisahan saya belaka. Kegelisahan yang juga bisa dikata cuma subjektifitas saya belaka. Kegelisahan karena merasa ada yang tidak beres, dan subjektifitas karena merumuskan dugaan sebagai kesimpulan yang benar dan tepat, sekaligus indah.

Kegelisahan itu berangkat dari dua kata, maaf dan pengampunan. Dua kata itu, menurut saya sudah mengandaikan eksistensi subjek dan objek. Dalam tingkat praktis, subjek dan objek dapat pula dinyatakan sebagai dua individu.

Ada individu yang menempati posisi pemberi maaf, yang lain menempati posisi meminta, sekaligus punya potensi menerima maaf. Rasanya, hampir-hampir mirip dengan transaksi ekonomi. Tapi, apakah maaf itu sebuah produk atau benda, tentulah patut dipikirkan lebih teliti. Dan bila maaf adalah benda, apakah maaf itu benda yang konkrit atau abstrak? Entah maaf itu benda atau tidak, konkrit atau tidak, saya pikir maaf bisa hadir ketika ada kerja, yakni meminta, diikuti dengan potensi memberi atau menolak, yang berakhir pada potensi menerima tanpa atau.

Pengampunan, hampir-hampir sama dengan maaf. Tapi, saya merasa ada perbedaan halus antara maaf dengan pengampunan. Apa yang saya pikirkan akan perbedaan pengampunan dengan maaf berlandaskan pola pikir spekulatif, pola pikir, yang menurut saya taklah dalam. Entahlah, mungkin ini disebabkan saya yang berpikir, tapi bila orang lain yang berpikir, mungkin yang muncul bukan pola pikir spekulatif, melainkan pola pikir analitik.

Beda pengampunan dengan maaf, menurut saya terletak pada setara atau tidaknya posisi dua individu. Di dalam maaf, yang bisa disetarakan dengan transaksi ekonomi, dua individu ada dalam posisi yang sederajat, dalam bahasa-bahasa pengusung gagasan demokrasi disebut egaliter. Namun, pengampunan tidak seperti itu. Dua individu yang berada dalam konteks pengampunan ada dalam posisi hierarkis; ada yang menempati posisi super-ordinat, yang lain pada posisi sub-ordinat.

Bicara soal hierarkis, bicara soal kekuasaan, dan bisa pula berhubungan dengan deviasi kekuasaan itu sendiri, yakni kekuatan. Di dalam struktur yang begitu, tentu mempersamakan pengampunan dengan transaksi ekonomi adalah kekeliruan, untuk tidak mengatakan predikat yang rendah, yakni kesalahan yang berujung pada ketololan.

Ada fakta, yang saya sadari telah dengan semena-mena saya pergunakan untuk memperkuat argumentasi saya. Beberapa waktu lalu, di tahun 2008, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd meminta maaf kepada suku Aborigin. Kevin Rudd, mewakili negara, meminta maaf kepada suku Aborigin. Dari dalam negeri, presiden punya hak untuk memberi amnesti. Amnesti adalah pengampunan.

Dari fakta yang saya pergunakan sebagai argumentasi penguat, persoalan ampunan dengan maaf semakin tegas. Maaf mengandaikan dengan sendirinya si individu yang menempati posisi meminta ada dalam konteks telah berbuat salah. Sedang si pemberi maaf, menurut saya, tidak bisa dikatakan berada dalam konteks benar, melainkan si pemberi maaf ada di dalam konteks benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Yang jelas, si peminta maaf ada pada konteks salah, dan karena itu, saya lebih memilih si pemberi maaf ada dalam konteks korban dari kesalahan si peminta maaf. Mungkin, dikarenakan konteks korban inilah si pemberi maaf berada dalam situasi dilematis. Apakah meluluskan maaf, atau menolak. Dilematis itu, menurut saya, disebabkan pemberi maaf masih mencari konteks bagi posisinya sendiri, apakah benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Saya tidak bisa memastikan, apakah dengan memberi maaf, si pemberi bisa dikategorikan menempati posisi benar? Saat ini, sulit bagi saya mencari validasi pembenaran itu, sekalipun dalam tingkatan preposisi. Bersandarkan pada penalaran saya, si pemberi maaf adalah korban dari kesalahan si pemintaan maaf.

Pada persoalan ampunan, bagi saya terang dengan sendirinya. Konteks hierarkis ampunan yang melingkupi dua individu menjadikan posisi tiap individu tegas. Ada yang menempati posisi super-ordinat, yang lain pada posisi sub-ordinat. Yang menempati posisi super-ordinat dengan sendirinya punya kekuasaan yang bisa membias menjadi kekuatan. Sedang yang menempati posisi sub-ordinat, punya ketidak-kekuasaan dan ketidak-kekuatan. Otoritas, dengan sendirinya, menjadikan si pemilik otoritas selalu berada dalam posisi benar. Sedang yang tak punya otoritas, harus ikhlas menempati posisi salah. Keberadaan konteks hierarkis ampunan, menjadikan posisi individu jelas. Dan, menurut saya, tidak ada pengampunan yang bisa ditolak, pada tataran realitas-idealistik. Dengan kata lain, pada tingkatan realitas-deviatif, saya pikir ada pengampunan yang bisa ditolak. Catatan bagi kasus pengampunan pada tingkat realitas-deviatif, yang punya potensi ditolak, ada pada persoalan, apakah si penerima ampun sudah menjalani posisi sebagai si peminta ampun. Artinya, apakah individu yang menempati posisi sub-ordinat sudah melakukan kerja: meminta ampunan; sebab kerja bakal berujung pada eksis atau tidaknya benda yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Ah, saya tak ingin lagi mengulang pertanyaan yang sama, apakah ampunan itu benda atau tidak; dan bila ampunan itu benda, apakah ampunan itu konkrit atau abstrak. Bagi saya, yang jelas: ampunan dan maaf itu ada. Selebihnya, saya serahkan pada sidang pembaca. Apakah ampunan dan maaf itu masih perlu?

Februari 2008