NATURE DAN CULTURE, YANG ALAMIAH DAN YANG ILMIAH


Ada yang menyebut: Transisi. Ada pula yang menyebut: Tradisi. Tapi, selalu ada kematian. Katakanlah, dua macam. Kematian Nature, yang dengan cara yang entah bagaimana--namun saya suka—saya mentransliterasikan 'nature' ke bahasa indonesia menjadi 'natur', dan Kematian Culture, masih dengan cara yang entah bagaimana, tetapi saya suka, saya mentransliterasikan 'culture' ke bahasa indonesia menjadi 'kultur'.

Katakanlah, Anda mengetahui bahwa saya punya teman. Dan, mari kita andaikan teman saya punya nama yang aneh, Tak Bernama. Teman saya, yang Anda ketahui bernama: Tak Bernama. Masih dalam terminologi 'katakanlah', suatu ketika Tak Bernama pergi ke suatu kota, kota yang ada unggulnya bila diberi nama Lahan Sementara. Sewaktu dalam perjalanan menuju Lahan Sementara, Tak Bernama singgah di sebuah rumah makan, saya menamainya: Rumah Makan K. Di Rumah Makan K, Tak Bernama singgah, bukan untuk mengunyah, melainkan sekedar melepas lelah, melemaskan paha.

Tiba-tiba, ada satu orang, lalu dua orang datang mendekati Tak Bernama. Mungkin, satu dan dua orang itu punya nama satu: Identitas. Identitas duduk di dekat Tak Bernama. Dan(!) mereka bercakap. Mereka itu, Tak Bernama dengan Identitas. Percakapan yang aneh. Percakapan yang saya tak ketahui, juga Anda ketahui. Tak Bernama berdialog dengan Identitas.

Lemas di paha Tak Bernama sudah hilang. Tak Bernama pun pergi melanjutkan perjalanan ke Lahan Sementara meninggalkan Identitas di Rumah Makan K. Uniknya, baru berapa jenak Tak Bernama melangkahkan kaki dari Rumah Makan K, Tak Bernama sudah berganti nama menjadi Tak Bernyawa. Tak Bernama tak sempat singgah di kota Lahan Sementara. Tak Bernama entah di kota mana. Saya tidak tahu. Mungkin, Anda tahu sudah dimanakah Tak Bernama, teman saya yang sudah berganti nama menjadi Tak Bernyawa ketika baru berapa jenak melangkahkan kaki dari Rumah Makan K.

Ketika Tak Bernama sudah menjadi Tak Bernyawa, Para Bukti datang bertanya pada Tak Bernama. Para Bukti, ahli sekali bertanya pada Tak Bernama yang sudah Tak Bernyawa. Para Bukti menemukan abjad-abjad di pakaian Tak Bernama. Abjad kepunyaan Identitas. Para Bukti memanggil Identitas, lalu bertanya tentang abjad-abjad kepunyaan Identitas yang ditemukan di pakaian Tak Bernama. Saya pernah mendengar ada Anda yang berkata, Identitas itu tak satu. Karena itu, Para Bukti bertemu jalan buntu. Abjad-abjad kepunyaan Identitas merupakan abjad-abjad kepunyaan Identitas yang tak satu. Para Bukti bertanya, masih kepada teman saya sekaligus teman Anda, yang bernama Ilmiah. Ilmiah hanya bisa menulis: Tidak Alamiah. Semua tersimpan dalam 'baru berapa jenak Tak Bernama melangkahkan kaki dari Rumah Makan K'. Karena itu Para Bukti mendekati kembali Identitas yang bukan satu, kemudian menyerahkan Identitas yang bukan satu kepada Pembaca Buku. Pembaca Buku menghapus 'yang bukan satu'. Identitas pun menjadi Itu. Tapi Itu juga berarti Bukan Hanya Itu. Demikian kesimpulan akhir Pembaca Buku. Bukan Hanya Itu membuat Para Bukti kembali menggali Tidak Alamiah. Ilmiah hanya bisa menulis sepucuk surat yang berisi abjad: Mungkin, ada ruang antara Alamiah dengan Ilmiah, yang aku sebut: Tak Ilmiah. Tak Ilmiah berarti Bukan Alamiah. Yang Alamiah daYang Ilmiah selalu menakjubkan. Bukan Alamiah selalu menghadirkan pertanyaan: Kenapa. Sedang Kenapa bisa berujung pada ketakutan. Maka: Keberanian harus ada untuk menaklukkan ketakutan. Transisi harus berhenti(!) dan sebagai ganti muncul Tradisi. Alamiah dan Saya.
Maret 2008

No comments:

Post a Comment