PEREMPUAN MENUNTUT MAKAN, NARASI DATAR YANG MENJEMUKAN DALAM PANGGUNG YANG BERISI LEBIH DARI SEPULUH MIKROFON MENGGANTUNG*


Membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’ pada poster promo pentas monolog garapan Rieke Diah Pitaloka dan Faiza Mardzoeki, benak saya melayang pada kata ‘menyebalkan’. Tak perlu naskah tekstual yang saya perbuat ini dipahami dalam kerangka feminisme atau jendernitas yang berujung pada silang sengkarut opini perangkap. Sebab, kosa kata ‘tanggung jawab’ masih ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang lalu, kini, dan mudah-mudahan di masa datang.
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Malam’ yang tak bermakna. ‘Malam’ hambar tanpa garam pula. Saya tak bisa memahami ‘Malam’ bagaimanakah yang hendak diusung pentas teater monolog. Apakah ‘Malam’ burung hantu, atau ‘Malam’ rusa-rusa, atau ‘Malam’ ala herman—tak malam di bulan—Sutardji Calzoum Bahri, atau ‘Malam’ macam kondisi sosiologis masyarakat agraris, sub-urban, atau malah urban, mungkin pula post-urban?
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Menuntut’ pada malam. Apa yang bisa dituntut pada malam? Bila saya ucapkan ‘Menuntut’ malam adalah irasional, tentu saya mengambil posisi merendahkan naskah datar yang menjemukan. Riskan, tapi harus saya akui ‘Menuntut’ malam adalah irasional—bukan absurd; maka ‘Menuntut Malam’ adalah naskah datar yang menjemukan. Hambar.
‘menyebalkan’, menurut saya, karena ‘Perempuan’ bersanding dengan ‘Menuntut Malam’. ‘Perempuan’ apakah yang berlaku demikian? Apakah memang ‘Perempuan’ berlaku demikian? Sekali lagi, saya tidak mau masuk ke ranah teritorial kaidah feminisme atawa jendernitas yang berujung, lagi-lagi, pada silang sengkarut polemik anti atau pro yang mematikan kreatifitas.
Saya kembali membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’. Karena ada ‘menyebalkan’ dalam batin saya, benak saya mengalirkan jawaban penyegar ibarat sekantong oksigen bagi paru-paru pasien yang bakal meninggalkan dunia rumah sakit. “Pe-rem-pu-an.” Saya suka, bahagia, bila ‘Perempuan Menuntut Malam’ diganti menjadi ‘Perempuan’. Sebab, ‘Perempuan’ itu sendiri belumlah habis makna, sekalipun Simone de Beauvoir sudah merumuskan risalah Second Sex. ‘Perempuan’, menurut saya, sudah melampaui ‘Menuntut Malam’. Kiranya, pertimbangan emosional yang saya ajukan bisa menjadi dasar bagi argumentasi alam rasional yang hendak saya majukan dalam dunia maya, dunia ide dan gagasan yang saling berinteraksi dengan polah yang ajaib.
Tak pula saya pungkiri suatu testimoni yang melegalkan judul tersebut. Reclaim the Night. 1976. 10 ribu perempuan dan anak di Roma menuntut dimusnahkan kekerasan biadab lelaki Roma kepada perempuan dan anak. Bila hendak itu yang diusung, mengapa pula tak memajukan tajuk ‘Perempuan Menolak Malam’. Bukankah ‘reclaim’ yang dimaksud berujung pada pengambilalihan otoritas? Saya tidak tahu, apakah masih ada kedangkalan di suatu negara yang sudah lebih dari 50 tahun merdeka dan sudah lebih dari 350 abad dijajah. Sebab, menuntut saya berujung pada bersuara belaka tanpa menghasilkan kesimpulan yang nyata; sedang menolak adalah pilihan politik yang harus mengalir menjadi sederetan aksi personal. Menolak, lebih tinggi dari menuntut. Adakah perempuan masih berada dalam kedudukan yang rendah, inferior, atau hina? Saya kira tidak. Di Inggris, pada abad 15 Masehi misalnya, ada Elizabeth. Di Argentina, ada Evita Peron. Di Indonesia, ada Cut Nyak Dhien, Martha Tiahahu, Butet Manurung, dan masih banyak sederet barisan perempuan yang bernaung dalam ode ‘God Save The Queen’ atau dalam bahasa populer-metaforis-mistik masyarakat jawa Ratu Adil. Saya mungkin benar, mungkin pula salah. Yang pasti, saya punya potensi keliru.

Membaca ‘Perempuan Menuntut Malam’ di dalam Grha Bakti Budaya pada 8 Februari 2008, saya bertemu dengan ‘menyebalkan’. Saya tak hendak bilang, memuakkan. Dalam ucapan yang lebih santun lagi sopan—sebab, dengan kekuatan tirani yang sangat-sangat tak terpermanai suatu bangsa dari rumpun bahasa Austronesia meneriakkan klaim sebagai bangsa yang ramah-tamah lagi sopan-santun, budaya timur—saya mengucap: kecewa.
Kecewa. Dari tiga naskah yang saya baca pada panggung minimalis dengan ‘beribu’ mikrofon yang bergelantung, satu naskah saja yang memincut hati saya. Sepiring Nasi Goreng. Lainnya, politikus perempuan dan lonte adalah naskah di bawah standar yang datar, hambar, dan memalukan mengingat sejarah panjang sastra Indonesia yang saya ketahui, setidaknya berpangkal pada Armijn Pane dengan Belenggu dan Oka Rusmini dengan Tarian Bumi.
Kecewa. Dua naskah yang berkisah tentang politikus perempuan dan lonte cuma terjerembab, dan anehnya berasyik-masyuk dalam keterjerembaban. Perempuan yang menghabiskan waktu untuk menuntut dan menuntut dan menuntut. Membaca naskah yang dipentaskan pada latar belakang lima layar dengan ‘beribu’ mikrofon yang menggantung dari atap panggung yang tak kelihatan, saya merasa sedang berada di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, atau di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, atau malah di depan Istana Negara, Jakarta. Penuh suara-suara, penuh orasi, penuh aroma penentangan, penuh nada kritik. Berganti-ganti TOA berpindah tangan, topik masih saja sama. Lantang bunyi suara yang gahar, punya kesan menuntut kemutlakan, bagi saya pribadi berujung pada keluhan emosional dari seorang yang tak bisa berbuat apa-apa. Kelantangan, hanyalah keluhan. Dan keluhan, menurut saya, bentuk paling muda dari depresi sebelum berpuncak pada kematangan ekspresi dari depresi, yakni bunuh diri.
Kecewa. Dua naskah, berkisah politikus perempuan dan lonte, cuma berkutat pada perspektif korban. Begitukah perempuan menuntut malam? Penggaungan jerit hati korban, hingga muncul sekerat belas kasihan untuk mengulurkan tangan, membantu memanggul beban. Saya pikir, ketika korban melakukan reclaim, korban mengambilalih otoritas. Korban berdiri dan bersuara sendiri. Korban tak bisa berhenti pada menuntut belaka. Menuntut bukanlah pilihan korban. Tapi sayang nian, dua naskah, berkisah politikus perempuan dan lonte, hanya mengalir menuju kubangan keluh. Tak ada sikap! Apa artinya simbolisasi Rieke Diah Pitaloka yang sedang memerankan tokoh politikus perempuan dengan tubuh terikat tambang? Meski berhasil melepaskan diri dari jeratan tambang, tetap saja tokoh politikus perempuan tak bisa ‘menghantam’ lelaki biadab yang ‘berbelas kasihan’ melepas penutup mata di awal adegan babak ke-dua. Atau lonte yang berkisah tentang legalisasi sejarah-struktural mengapa dirinya menjadi lonte. Latar biografi kehidupan lonte yang berada dibawah bayang-bayang masa lalu, masa ketika ibunya menolak pinangan orang lelaki; dan orang lelaki itu memperkosa anak ‘ibunya’. Anak ‘ibunya’ inilah yang menjadi lonte. Lonte adalah korban sejarah-struktural. Lonte bukan pilihan. Tentu naskah beda bakal maju, ketika lonte adalah pilihan. Tapi, saya pikir kisah lonte adalah pilihan hanya bisa dirasionalisasikan dengan beban ekonomi. Artinya, terjerumus pada penceritaan klasik, yang bermuara pada negara adalah pelaku kejahatan.
Sedikit kecewa. Sepiring Nasi Goreng. Naskah yang gagah meski hambar mengingat angkatan pendahulu, Armijn Pane, sudah berkisah lebih lugas dan luas dari sekadar nasi goreng. Tini, Tono, dan Rohayah. Atau, yang lebih modern sekarang (meski, sayangnya tidak menjadi tren yang perlu, menurut saya, perlu mendapat penelitian khusus:) Tarian Bumi gubahan Oka Rusmini. Satu cerita inilah yang menempati posisi kuat dalam benak saya. Ratna tidak hanya menuntut, tapi sudah menolak! Ini menjadi prestise tersendiri bagi perempuan, dan sebenarnya bukan hanya perempuan saja menurut saya. Penolakan adalah prestise tersendiri bagi individu-personal, bisa perempuan, bisa juga laki-laki. Jika menuntut adalah sikap, maka menolak adalah melampaui-sikap. Tapi, saya memilih jawaban: menuntut adalah bukan-sikap, menolak adalah sikap! Feminisme bisa jaya bila feminisme melakukan reclaim alias pengambilalihan otoritas, bukan sekadar menuntut. Patriarkhi tetap mapan selamanya bila tak ada reclaim. Reclaim bukan dengan belas kasihan, tapi dengan sikap. Sepiring Nasi Goreng menuntaskan jawaban melampaui konteks ‘Perempuan Menuntut Malam’. Sepiring Nasi Goreng sudah sampai pada judul baru ‘Perempuan Menolak Malam’.

Panggung yang minimalis. Panggung sederhana yang tak ada guna. Lima layar bersusun dalam pola simetris tak berperan mengunjukkan simbol yang dalam. Asimetris penataan layar, menurut saya, pilihan terbaik untuk membangun suasana penolakan. Adakah gejolak dalam simetrisitas? Yin-Yang sekalipun, menurut saya, berada pada tata kesetimbangan, keseimbangan, poise**.
Videografis yang monoton. Monotone. Mono adalah satu. Tone adalah nada. Videografis yang satu nada. Harmoni yang hilang.
Pertunjukkan yang, maaf bila saya harus mengucapkan: Gagal! Dan menurut saya, apa yang disebut minimalis bukanlah legalitas-formal bagi keberadaan estetika yang mandul. Minimalis harus mampu menawarkan kelegaan bagi mereka yang sudah mengeluarkan harga, entah berupa uang atau waktu! Minimalis yang sekadar mengusung minimalis bukanlah minimalis, melainkan penipuan. Minimalis harus menghadirkan minimalis yang punya tanda-tanya. Mungkin, karena kebodohan saya masih terlampau menumpuk dalam benak, saya tak menemukan tanda tanya dalam tata panggung minimalis ‘Perempuan Menuntut Malam’. Ataukah memang, mikrofon yang lebih dari sepuluh, yang bergelantungan di atas panggung, adalah ekspresi minimalis? Saya pikir, di dalam Grha Bakti Budaya pada 8 Maret 2008, tidak sedang menggarap sinetron dengan boomer yang tak kelihatan. Ini adalah pertaruhan saya, sebab seni tidak butuh pemakluman. Seni yang butuh pemakluman, jelas bukan seni! Seni adalah perhitungan, bagai hukum Newton yang mengoncang dunia selama berabad-abad hingga menelurkan Bernoulli dan Einstein dan Stephen Hawking.

Bicara akhir saya, saya tutup dengan defenisi yang berasal dari ‘LEKSIKON KRITIS DI MASA KRISIS’. Ini penting saya majukan, agar dikotomi feminisme atau patriarkhi tidak melekat pada diri saya.
Perempuan: mahluk yang setia pada kegemulaian sambil tetap menyimpan keperkasaan.
Laki-laki: mahluk yang paling tragis, cuma punya dua pilihan, 1) kalah lalu mati, atau 2) menang, dan sialnya mati pula.
Manusia: mahluk yang seharusnya berhadapan pada satu pilihan, yakni Cinta-dan-kejeniusan.


Maret 2008



*: Risalah ini untuk menjawab ekspresi kerendahan-hati sekaligus harapan dalam ‘Catatan Sutradara’. Karena itu, apa yang saya tuliskan dalam risalah ini adalah buah dari ketakutan saya setelah menyelami ‘Catatan Sutradara’. Dan, saya tidak meminta pemakluman dari pembaca.

**: poise: v.t. to balance to hold or carry in equilibrium. Also v.i., n. Word History: 14-15 C. Old French pois-, stem of peser, from Latin pensare, freq. of pandere to weigh. The original sense (to the 19C) was to wieh, both literally and in the mind. The current sense dates from the 17C -CASSEL’S DICTIONARY OF wordhistories, adrian room-

No comments:

Post a Comment