PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?
(Tulisan Kedua dari Dua Tulisan)



Menemukan titik adalah kerja yang sangat berat. Mencari koma, lebih mudah meski tidaklah gampang pula upaya menuju ke sana.

Bulan Januari 2008, saya menulis risalah pertama yang menyoal PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?. Pada Maret 2008, saya berhasil mengurai gejolak ambiguitas yang membelenggu saya: apakah saya perlu melanjutkan tulisan kedua? Saya yakin, ada orang yang mampu membaca konteks pertanyaan gejolak ambiguitas yang membelenggu saya. Dan saya menemukan jawaban, apa yang saya tulis adalah apresiasi. Dan apresiasi, menurut saya, punya dua dimensi: penyanjungan dan pengkritisan. Dan keduanya membutuhkan keberanian. Keberanian saya lahir dari ketakutan yang dibungkus selimut gejolak ambiguitas. Selanjutnya, Sidang Pembaca saya persilahkan menilai ketakutan saya melalui risalah kedua yang menyoal PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?.

Menikmati ‘kenapa LEONARDO?’ adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Perjumpaan pertama saya dengan Teater Koma terjadi pada panggung ‘Kunjungan Cinta’ Klara Zakanasian ke kota tempat tinggal, kalau saya tidak salah, Ilaq Alifredi. Dari dua perjumpaan, saya menyimpulkan Teater Koma tetap berpijak pada realisme sebagai tradisi bagi Teater Koma. Entahlah, saya tidak tahu apa sebab; dan tulisan ini pun tak bermaksud menyentuh masalah begitu. Dari dua perjumpaan, tata panggung yang disuguhkan Teater Koma selalu memukau sekaligus memaku saya. Sanjungan verbal yang, mungkin saya duga, kerap kali diterima Teater Koma usai menyajikan naskah audio-visual permanen.

Menyimak tata panggung ‘kenapa LEONARDO?’ saya terpaku pada replikasi lukisan Vincent Van Gogh. Saya lupa, apakah replikasi lukisan Bunga Matahari, atau Potret Diri, atau malah lukisan ‘yang menggambarkan hamparan kuning dan burung gagak yang terbang’, atau malah lukisan ‘malam berbintang’? Selanjutnya, mata saya terpikat pada replikasi lukisan Penjaga Malam. Judul lukisan itu saya ketahui setelah membaca tulisan Radhar Panca Dahana di suatu majalah yang tentu saja Sidang Pembaca ketahui, apabila Sidang Pembaca sudah membaca tulisan Radhar Panca Dahana yang saya maksud. Suasana magis yang cukup erotis, demikian kesimpulan saya atas tata panggung realisme Teater Koma pada naskah audio-visual permanen ‘kenapa LEONARDO?’.

Namun, tata panggung ‘magis yang cukup erotis’ menghadirkan gangguan tersendiri bagi saya ketika muncul kalimat-kalimat hasil proyeksi pada replika lukisan Penjaga Malam. Saya hanya bisa menerjemahkan proyeksi tulisan tersebut sebagai catatan kaki bagi dialog yang tengah terjadi ketika itu. Lalu, mengapa tulisan itu harus diproyeksikan pada lukisan Penjaga Malam? Saya tidak dapat menggali motif paling dalam dari ‘mengapa proyeksi tulisan hadir di lukisan Penjaga Malam’. Dari sisi ruang, menurut saya, memang hanya ruang itulah yang memungkinkan untuk diberi sinar proyeksi. Tapi, jawaban atas kememadaian ruang tersebut, menurut saya, bukanlah alasan yang kuat untuk ‘menghadirkan proyeksi tulisan di lukisan Penjaga Malam’. Karena itu, saya sampai pada kesimpulan: penghargaan atas catatan kaki. Penghargaan atas catatan kaki adalah penghargaan pada mereka-mereka yang menemukan bahasa, yang bahasa temuan mereka-mereka dipergunakan pada naskah visual ‘kenapa LEONARDO?’ terjemahan Rangga Riantiarno. Dan saya menduga ini adalah bentuk kesetiaan sutradara Nano Riantiarno pada naskah; sebab Nano Riantiarno kerap mengucap ‘setia kepada naskah’. ‘Setia kepada naskah’ sebagai isi, bisa pula disetarakan dengan motif, mengambil bentuk tampilan proyeksi tulisan pada lukisan Penjaga Malam. Namun, keliaran pikiran saya membawa saya pada pemaknaan ‘setia kepada naskah’: masih menyimpan makna lain. Sebuah—menurut saya tepatnya bukan sebuah, melainkan suatu—Suatu makna yang bersifat subjektivitas-personal dari Nano Riantiarno, bahkan Teater Koma! Maka, dalam pengertian positif: kesengajaan adalah unsur rekayasa yang berlandaskan motifasi subjektivitas-personal.

Perkara berikut, soal pemeranan. Martin, Profesor Karuso, Bu Risah, Pak Endus, Rebeka Dokter Hopman, Dokter Da Silva dan macam lainnya, terutama lima orang berpakaian hitam (kalau saya tak salah ingat) menghadirkan keunikan tersendiri. Ada peran yang pas, dan pantas. Peran yang pas, dalam pengertian saya, ditentukan oleh kapabilitas pemain peran untuk menjadi dalang atas tokoh yang sedang diperankan. Tingkat kedalangan pemeran menjadi ukuran bagi pemeran untuk menggapai peran yang pas. Saya melihat peran yang pas hadir di tokoh Profesor Karuso, Bu Risah, sedikit Martin, Dokter Hopman. Sebagai tambahan, justifikasi saya atas peran yang pas berlandaskan kapabilitas penilaian saya pribadi yang bersifat subjektif. Pernyataan saya ini berfungsi untuk mengeliminasi pandangan bahwa saya berpendapat pemeran lain tidak punya tingkat kedalangan yang mumpuni atau apa pun. Saya tegaskan, penilaian saya murni berlandaskan subjektifitas.

Soal peran yang pantas, saya lihat hadir di dalam tokoh Dokter Da Silva, Cornelia Agatha. Saya sadar, kemampuan berperan saya pasti jauh lebih rendah dari Cornelia Agatha. Pernyataan saya bukanlah majas perendahan diri demi menaikkan mutu. Pernyataan saya murni karena saya memang tidak bisa peran. Cornelia Agatha memerankan Dokter Da Silva sebagai peran yang pantas. Peran yang pantas, menurut saya, adalah kerja pemeran yang tidak terlalu menunjukkan tingkat kedalangan pemeran. Dan saya menyimpulkan Cornelia Agatha menempati posisi peran yang pantas karena karakteristik yang sangat mungkin bagi Cornelia Agatha adalah menempati posisi antagonis; meski Dokter Da Silva tidak seutuhnya bersifat antagonis dikarenakan pada bagian menjelang akhir, anti klimaks, Dokter Da Silva mengambil tindakan mengangkat libido ala Freudian untuk mengakhiri regresi Martin, meski upaya itu akhirnya berujung pada kematian Dokter Da Silva di samurai Martin. Sebagai Dokter Da Silva yang berkarakter ketus, tegas, ambisius, jantan, menurut saya Cornelia Agatha memang patut. Melihat dan mendengar Cornelia Agatha di panggung kenapa LEONARDO? rasanya saya masih melihat dan mendengar Cornelia Agatha di keseharian. Keseharian yang saya maksud bukanlah keseharian Cornelia Agatha, sebab saya sama sekali tak pernah berkenalan dan Cornelia Agatha pun pasti, saya yakin, tidak mengetahui dan mengenal saya. Keseharian yang saya maksud adalah keseharian duplikasi dari media televisi. Karena itu, saya mengajukan maaf kepada Cornelia Agatha karena saya menilai Cornelia Agatha sebagai Cornelia Agatha yang saya kenal dari media televisi, pada acara-acara yang beraroma ruang privat. Mendengar dan melihat Cornelia Agatha memerankan Dokter Da Silva, hadir perasaan di dalam batin saya yang menyamakan apa yang saya lihat dan dengan dari Dokter Da Silva adalah Cornelia Agatha yang pernah saya kenal melalui media televisi. Ada kesamaan karakter Cornelia Agatha dengan Dokter Da Silva. Ketika sampai pada kesimpulan ‘Ada kesamaan karakter Cornelia Agatha dengan Dokter Da Silva’, saya menilai Cornelia Agatha ada pada posisi peran yang pantas. Dan, perlu saya bakukan batasan: peran yang pantas bukan harga mati bagi seorang pemeran; begitu pula dengan peran yang pas juga bukan harga mati bagi seorang pemeran. Sebab: koma selalu ‘setia kepada naskah’.

Satu hal tersisa dari seluruh persoalan PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO? adalah komedi. Rentang waktu pementasan yang mencapai empat jam, kalau saya tidak keliru, tentu memerlukan kelihaian mengolah komedi sebagai stabilator denyut konsentrasi penonton. ‘kenapa LEONARDO?’ pada naskah audio-visual permanen Teater Koma menurut saya, bukan gagal menyajikan komedi. Pada panggung masih hadir komedi. Namun, komedi tersebut tidaklah optimal. ‘Komedi tersebut tidak optimal’ adalah subjektifitas saya belaka. Sebab, ‘setia pada naskah’ adalah yang utama. Naskah Evald Flisar, menurut saya, memang tidak menghadirkan ekspresi komedi yang bisa saya kategorikan ‘lebih’. Dan apa yang dilakukan Evald Flisar dalam hal ini tidak salah, sebab Evald Flisar pasti punya motifasi sendiri mengapa ekspresi komedi tidak berkategori ‘lebih’. Tentu, kajian motif Evald Flisar bukanlah bertempat pada risalah ini. Sekadar mengutip, dalam esai PERKENALAN, Evald Flisar menulis: Saya dengan hormat mengemukakan bahwa bumbu utamanya adalah aliran rasa sakit yang terpendam. Rasa sakit yang pahit, menggigit, yang membikin orang tertawa. Dan kemudian, pada akhirnya, membuat orang bergidik. Sebagai peringkas makna pada alinea ini, saya menyimpulkan komedi dalam ‘Kunjungan Cinta’ lebih dari komedi dari ‘kenapa LEONARDO?’.

Penyelesai bagi risalah ini ada pada cara membaca risalah ini. Risalah ini adalah apresiasi, yang mengandung kebertautan dua unsur, sanjungan dan kritikan. Sanjungan berujung pada kegembiraan orang-orang yang terlibat pada pementasan naskah ‘kenapa LEONARDO?’ pada panggung Grha Bhakti Budaya atas apa yang saya tuliskan. ‘Orang-orang yang terlibat’ bisa juga merujuk pada orang-orang yang sudah menjadi bagian dari Teater Koma. Sedang kritikan bisa berujung pada kebencian orang-orang yang terlibat pada pementasan naskah ‘kenapa LEONARDO?’ pada panggung Grha Bhakti Budaya atas apa yang saya tuliskan. ‘Orang-orang yang terlibat’ bisa juga merujuk pada orang-orang yang sudah menjadi bagian dari Teater Koma. Jujur, saya tidak mengharapkan kebencian. Tapi, saya sadar: saya tidak bisa menghindar dari kebencian yang timbul dikarenakan kehadiran kritik yang saya tuliskan dalam risalah ini memang punya potensi menghadirkan kebencian. Pada koma yang begini, saya sajikan seutuhnya apa yang sudah saya tuliskan dalam risalah ini ke hadapan Sidang Pembaca. Dan segalanya bakal mencapai akhir yang indah ketika Sidang Pembaca menggunakan ‘cara membaca’ yang tepat atas risalah ini. Sebab, selalu ada ‘setia kepada naskah’! Dan saya berani mengucap: Salut kepada Teater Koma!

Maret 2008

No comments:

Post a Comment