Titik

Terminal begitu sesak. Orang, entah bakal penumpang, pedagang, kondektur angkutan, calo kendaraan, petugas kebersihan, penjaga toko, preman, kucing berbelang tiga, menumpuk. Mereka berlalu-ganti begitu cepat. Kadang aku hanya mengenal kibasan rambut, kilasan tubuh, warna baju, kening mengkerut, teriakan, bayangan payung, desah nafas, dorongan, sesekali tentunya tatapan. Namun, itu hilang dengan segera. Terekam hanya, panas kepalang matahari siang.

Aku berdiri, memandang sekeliling. Seorang pria di sebelah gerobak buah eceran, berkulit legam tampak mengarahkan wajah menangkap aku. Kuperhatikan, dua alisnya, panjang tebal dan hitam, mengkerut hampir menyatu. Ada lima kerutan jelas berbaur 10 atau 20 kerutan ringan di daerah kening yang penuh ceceran peluh. Tetesan itu ia seka dengan lengan kanan berbulu lebat, lekas kubergegas meninggal titik berdiri.

Dua puluh langkah, aku berhenti. Kuputar kepala, memandang gerobak buah yang berisi semangka, nenas, pepaya dan melon. Ah, dia sudah tidak ada, batinku bersuara. Masa'?! Serasa dipaksa aku meneliti ulang.

Pengamatan kumulai dari isi gerobak. Semangka, merah, ada bintik kecoklatan dengan sedikit titik hitam, berbentuk setengah lingkaran. Nenas, kuning, memiliki banyak sayatan teratur menjadi lubang seperti aliran pembuangan, setengah silinder. Pepaya, campuran semangka dan nenas, berbentuk panjang, mendekati kapal selam. Melon, putih kental dengan warna hijau muda dan semakin pekat di area bawah, menyerupai setengah lingkaran. Satu balok es!

Tiba-tiba, ada yang menepuk pundak kiriku. Aku menoleh ke arah pasal itu. Tidak ada siapa-siapa. Sejenak aku bimbang berpikir. Sedikit menggelengkan kepala ke kiri, lalu balik ke tengah, posisi tegak. Kuhirup udara laiknya menarik batu masuk ke dalam dada, tak lupa kulepas dengan hembusan bertenaga dahsyat rasanya. Aku pun kembali memperhatikan gerobak buah itu.

Seksama kutatap, seorang pria bermuka lonjong namun bersegi kaku pada dagu, hidung yang tak mancung dan terlihat besar bahkan tak proporsional, tulang pelipis yang menjorok maju dengan alis hitam jarang tapi panjang, bola mata hitam berbaur abu-abu tertutups setengah kelopak mata pada ceruk antara pelipis, tulang hidung dan pipi, bibir legam yang terkatup rapat tapi masih meneteskan cairan merah dari dua sisi sempit di kiri-kanan, rambut pendek kriting kencang tak lebat pula hingga tampak bagian kepala yang pitak dan botak, daun telinga tak tak biasa, ada sepuluh cungkilan di putaran daun telinga menyerupai gerigi roda mekanik.Serta satu balok es!

Tiba-tiba, ada yang menepuk pundak kananku. Aku menoleh. Tidak ada!

Bacalah 'Coelho' #7

Aku mengambil bantal panjang, lalu rebahan. Dia mengambil botol Guiness, lalu kencing!

"Sudah berapa lama kau begitu?"

Sebenarnya, kau tak perlu tau. Itu urusanku. Kalau pun kau mau tau, aku harap itu tidak menjadi urusanmu. Masalahnya, hanya kamar mandi saja. Terlalu jauh. Dari kamar ini, dari tempat aku berdiri ini, menuju kamar mandi itu berjarak dua belas langkah.

Dia pun mengencingi botol minuman klasik Irlandia yang berkaca coklat kental. Entah botol berukuran berapa mili, aku tak tau. Yang pasti, air kencing sudah mencapai leher botol.

"Sorry kalau gua begini," kata dia sambil mengembalikan botol tersebut ke dalam lemari pakaian. Sementara itu, aku masih tetap rebahan dengan bantal panjang menyangga kepala. Dia berjalan ke arah jendela, lalu duduk bersila.

"Sudah berapa lama kau begitu?"

"Mengapa kau terus mempertanyakan hal itu? Apa pentingnya bagimu? Kalau aku bilang semenjak lahir, memang kenapa? Kalau aku bilang baru kali ini, terus gimana?"

Dia terus melontarkan kata-kata, tak berhenti. Hingga aku putuskan, mengubah posisi badan. Aku tidak lagi rebahan. Aku duduk bersandar pada dinding yang berwarna lima. Duduk merangkul lutut, kepala bersembunyi di dua dengkul.


"Sudah berapa lama kau begitu?" Dia tersenyum.

Kuangkat kepala menyentuh barisan warna biru, lalu mengarahkan mata menatap tirai jendela kertas. Aku berkata, "Ya, sudahlah." Tubuhku hilang beban, limbung ke depan, perlahan. Prak! Ubun-ubunku membentur botol Guiness berkaca coklat kental yang tegak berdiri di atas ubin putih. Botol alirkan cairan bercahaya, kepalaku alirkan plasma. Saat itu, aku masih sempat mendengar dia tertawa.

dipersimpangan rasta

kuhisap segar dupa
senikmat nanah
sekejap lenyap. senyap.

kuhirup segar hawa
dari pelataran parkir
tanah kusir,
usai melahap kitab
menyantap kiamat.

pasrah terkepung pesta.

Juni 2003

Bacalah 'Coelho' #7

karena aku pernah melihat kaca di tempat dia berdiri membelakangi ku. Ku perhatikan, ia hanya memakai celana kolor bermotif kotak-kotak, warna merah, kuning, hijau, pink, biru, bergambar Mickey Mouse; plus tulisan 'Disney'.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ayo, silahkan masuk," ia menawarkan aku hanya dengan mengayunkan lengan kiri. Tapi, aku tak mengerti dari mana datang kalimat, 'Ayo, silahkan masuk.' Sepertinya, ia yang berkata. (Atau, jangan-jangan tangan ia yang berkata. Tapi, itu tidak mungkin. Ah, sudahlah...)

Aku pun menginjakkan kaki di teras kamar, lalu duduk bersinggah sambil melepas sepatu aku berwarna hitam strip putih, bertali putih. Mulanya, aku memisahkan lilitan antara ujung dan pangkal tali sepatu di kaki kiriku. 'P-lashsp'. Lepaslah. Aku pun menarik nafas dalam-dalam hingga terasa rongga dada menggembung seakan berisi balon udara. Perlahan, bahkan sangat perlahan aku melepaskan kaki kanan.

"Lagi ngapain?" Aku bertanya kepada dia. Sambil menatap ke timur, ia menjawab bahwa ia sedang membereskan rumah. "Maksud aku, kamar," ulang ia menegaskan apa yang ia maksud dengan rumah itu.

Dan, aku pun bertugas menegaskan apa yang ia maksud dengan kamar itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Usai melepas alas kaki, aku berdiri. Tepat di depan pintu bercat merah plus putih yang bertempel poster metamorphosis Bruce Banner jadi The Incredible Hulk, aku melihat:










Ya, bentuk menyerupai itu. Kuperhatikan lebih jernih, benda itu tiga dimensi. Benda itu memiliki ruang, yang berarti memiliki panjang, lebar dan tinggi. Tapi, aku tak jelas apa itu namanya. Benda itu tersampir ke dinding sebelah kanan tempat aku berdiri di depan pintu kamar ia. Tampak ia memperhatikan aku. Itu kuketahui, saat mataku silau melihat pantulan warna-warni cerah menimpa mata. (Ah, warna-warni cerah yang menimpa mataku rupa-rupanya pancaran sinar dari celana kolor bermotif kotak-kotak yang ia gunakan.)

"Itu pesawat ku," kata ia tepat di telinga kiri ku dengan suara mendesis. Suaranya kalau aku tak salah, 'zes..sto.spe,.s..as.a.zessts.ds...thszz'. Begitulah. Paling tidak menyerupai itu. Atau seperti..., ya desis ular melata. Selagi aku asyik berpikir, kok bisa disebut pesawat benda itu, tangan kiriku disentuh, lalu kaki kirinya menendang kepalaku. Untuk semua yang ia lakukan, hanya terlontar barisan kata, 'masuk'. Tapi, kata itu ia ucapkan seakan tanpa huruf kecil, melainkan huruf kapital semua. Hasilnya, "MASUK," kata ia.

Aku dan ia pun duduk di atas ubin keramik ukuran 30 kali 60 kali 10 kali 3 kali 8 dan entah kali berapa lagi. Aku tidak bisa mengingat. Yang pasti hanya 30 saja sepertinya yang mendekati tepat. (Hah.., itupun masih sepertinya?)

"Mau minum apa? Air putih atau kopi. Tapi, gelasnya ambil sendiri di atas lemari." Usai berbicara, ia langsung berdiri menyalakan radio mini yang ia sangkutkan di terali jendela. Jendela itu tepat berada di sebelah kanan kusen pintu kamar. Entah gelombang apa yang ia pilih, tapi begitu lagu dari gelombang terpilih tersebut melantun, aku pun dapat melihat warna cat dinding kamar. Ada dua warna. Putih dibawah merah. Ada tiga warna, putih dibawah merah dan merah dibawah biru tua. Ada empat! Putih dibawah merah, merah dibawah biru tua dan biru tua dibawah kuning. Ada lima warna! Putih dibawah merah merah dibawah biru tua biru tua dibawah kuning diatas kuning tak berwarna.

"Ada rokok?" tanya ia saat berbalik badan dari barat menuju timur, lalu ringan terduduk. Mendadak aku merasa kamarnya menjadi berukuran 150 meter kali 45 meter. Padahal, setahuku di kamar ia hanya muat satu pesawat, satu lemari pakaian, satu rak buku tiga tingkat, satu kipas angin, tiga teko air minum, lima buah gelas, dua mangkok, empat piring, satu keranjang plastik, 80 buku, satu keranjang rotan berisi pakaian kotor, satu ember, satu gayung, satu pasta gigi, satu sabun, satu sikat gigi, sepasang sepatu, sebuah cermin kayu, dua asbak, mentega 'Blue Band' 1 ons, coklat butir, satu korek api, beberapa poster: tiga poster bergaya pop-art ala Andy Warholl disusun bertingkat seperti tangga dengan urutan terbawah menyentuh warna biru tua terbawah yang berada di atas merah, bertuliskan 'SERGENT GARCIA KONSER SALSAMULFFIN LATINO REGGAE Thursday, May, 12, 2005 - 7.30 pm Balai Sarbini @ The Plaza Semanggi Jl. Jend. Sudirman Kav.50 Jakarta 12930 Ticket box tel. (021) 25 53 05 94, 25 53 05 96', foto-foto keluarga ia, pribadi, pementasan, poster ukuran A4 Pramoedya Ananta Toer, tiga sendok, lima garpu, kotak 'CHIVAS REGAL' berwarna perak tergantung di sisi barat laut tepat dipertemuan dua dinding kamar yang berada di sebelah kiri dan belakang aku duduk, dua bantal, satu selimut, satu gitar, dan satu foto anak elang berumur tiga belas bulan, plus potongan cover majalah Newsweek bergambar pria bersinglet putih dengan perut buncit bergambar siluet bola bumi tertempel di lemari pakaian pada pintu (kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan).

Aku memberi ia satu gudang rokok. Ia mengambil, lalu membakar, lalu menghisap, menghembuskan asap. Saat aku melihat kepul asap belum lenyap dari wajah ia, aku mendengar suara berkata, entah dari mana, "Ngapain ke sini?"

Bacalah 'Coelho" #7

Tidak seperti biasa, siang itu aku mengunjunginya. Hanya saja, entah kenapa tiba-tiba aku merasa perlu berkucil sementara dari dunia. Korbannya, kediaman dia.

Rumah itu, milik bersama. Maksud aku, susunan dari 10 kamar membentuk letter U di atas sepetak tanah, tak jauh dari sungai yang airnya sudah berwarna coklat, ialah milik bersama. Sesungguhnya, bila kutanya dia, aku menerima jawab seperti ini: "Sang pemilik tinggal di sono. Jauh," kata dia sambil memonyongkan bibir melewati pintu, tak jelas entah menuju kemana.

Aku coba gambarkan bagaimana kondisi rumah milik bersama itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

"Pinggir Bang," seru ku saat laju kendaraan pengangkut umum hendak melintasi plakat besi warna putih bertuliskan 'Drg. Paula' baris pertama; baris ke-dua 'Praktek Setiap Hari'; 'Minggu/Hari Libur TUTUP' di baris terakhir; semua tulisan hitam, kecuali baris terakhir. (Maaf, aku lupa ada berapa baris sesungguhnya. Aku cuma mengingat itu, atau kata-kata seperti itu muncul karena kebiasaan ku mengingat isi plakat dokter-dokter praktek di pinggir jalan ketika kulihat sewaktu aku masih kecil.)

Kendaraan yang aku tumpangi pun menurunkan laju putaran. Perlahan, berhenti. Lalu, aku turun bersama seekor kambing, tumpukan jeruk di keranjang rotan, anak babi betina, sepeda roda tiga, onderdil mobil tua merk Targ 1962, selusin sepatu bola dan tumpahan aquarium yang berisi ikan cupang warna putih bergaris hitam seperti zebra.

Kaki pertama ku yang menyentuh tanah, kanan. Langsung menimpa ceruk yang berisi air. 'C-plck', terpercik air campur pasir, tanah ke muka. (Ya, kira-kira 2,684 detik aku tersengat, nafas tersekat. Sadar, langsung kubayar saja ongkos perjalanan menggunakan kertas. Dan, itu diterima!)

Aku berdiri tepat didepan tiang plakat praktek dokter. Tiang plakat itu didirikan, tepat di tepi sungai yang berair coklat. Sungai yang berair coklat itu, selalu mengalir cepat; seperti mengejar sesuatu. (Kupikir ia mengejar angin laut, entah darat, atau anak-anak nelayan yang sedang berenang di laut bersama debur ombak, atau butir-butir air itu hendak menyelamatkan diri ke samudra luas. Sebab, dari pada terhisap panas matahari naik ke angkasa, membentuk awan gelap, turun jadi hujan, membanjiri kawasan tempat tinggal dia; lebih baik menyelinap di antara puluhan-ratusan-ribuan-jutaan-milyaran-triliunan butir-butir air. Tidak dimaki.)

Aku berjalan, mengarah menuju ke Selatan. Di situ, jembatan perlintasan. Panjang jembatan itu, tentu saja mengikuti lebar sungai. (Ah, perduli apa aku sama panjang atau lebar, yang jelas:

Aku berjalan kira-kira dua puluh lima langkah, ditambah tiga loncatan maksimal serta sepuluh langkah jingkat perlahan. Aku pun melewati jembatan perlintasan yang muat dilalui sebuah mobil ukuran satu setengah ekor induk gajah.

Sampai diseberang, aku masih harus menuruni tebing landai. Hujan yang turun tidak membuatku berpikir dua kali. langsung aku berjalan, melangkah menjejakkan kaki kiri. Begitu aku menaikkan kaki kanan, hilang keseimbangan. Aku berlari cepat, menuruni tebing landai seakan mengejar keseimbangan yang sudah duluan ambil start. Oleng ke kanan. Oleng ke kiri. Putaran kaki berganti begitu 'hurry', aku pun melintasi jalur maya berbentuk kelok jalan menuju gunung dalam gambaran anak seumuran SD kelas II di tahun 1985, tentunya dengan tangan merentang menyerupai lengan pesawat terbang, plus seruan: 'Wauw... wauw...wuaw....ow,...wa,.wa,..,oeojmd/ajaldjgubvmasvxp@&$^(!0dfmshalxnm*'. Aku lupa, berapa langkah diperlukan untuk melalui tebing landai itu. Yang kuingat, begitu aku sampai di dasar lembah, hari sudah senja.

Kini, aku sudah berada di depan pintu gerbang. Tepatnya, pintu rumah yang dijadikan gerbang. Atau gerbang itu terbuat dari pintu yang seharusnya ditempatkan sebagai pintu rumah. Tinggi, kira-kira dua meteran, lebar-satu meteran. Warna hijau, bahan kayu. Modelnya seperti pintu bar; bagian bawah pintu itu telah rusak sepanjang satu detik mata menatap vertikal pangkal ke ujung bagian rompal itu.

Kusentuh keempat jari--ibu jari, jari manis, kelingking, dan tengah--dari tangan kanan, lalu kudorong dengan telunjuk pintu itu. Pertama, sebegitu pintu terbuka, aku menoleh ke kiri. Satu pintu kamar berwarna coklat terbuka. Di dalamnya, kulihat dua orang manusia berpelukan di atas kasur bersprei putih. Yang satu rambutnya panjang, satunya pendek. (Apakah mereka pasangan perempuan-lelaki? Kupastikan, ya; meski hanya melihat sekilas. Kesimpulan itu dengan diputuskan nalar, sebab begitu biasa yang terjadi dalam kehidupan dan menjadi bagian nalar untuk mengambil keputusan.)

Aku pun menoleh ke kanan, sebuah ruangan dengan pintu bercat merah dan putih. Cat itu digoreskan sedemikian rupa oleh orang yang tak ahli, hingga menjadikan komposisi kurva merah dan putih yang terpisah. Dan, di sisi kiri atas seperempat pintu, tertempel poster metamorpohisis Bruce Banner menjadi The Incredible Hulk; lima fase metamorphosis.

Lalu, kulihat dia. Meski hanya sebatas punggung hingga kaki--tak kelihatan leher dan kepala karena terhalang dinding--aku yakin itu dia. Dia lagi berkaca. Itu kusimpulkan karena aku pernah melihat kaca di tempat dia berdiri membelakangi ku. Ku perhatikan, ia hanya memakai celana kolor bermotif kotak-kotak, warna merah, kuning, hijau, pink, biru, bergambar Mickey Mouse; plus tulisan 'Disney'.

BERSAMBUNG

Bacalah 'Coelho' #5

Mereka berkumpul di ruang televisi. Sesungguhnya, perkataan berkumpul itu tidak tepat dipergunakan untuk menjelaskan situasi yang terjadi di Kamis siang. Sebab, saat itu mereka bertemu tanpa perjanjian lebih dulu. Jadi, tepatnya: Mereka bertemu di ruang televisi.

Namun, sebenarnya, mereka itu bukan bertemu. Yang pasti, sepengetahuanku, hari itu libur. Artinya, mereka tidak bekerja. Dan, mereka pun dapat tinggal di rumah dalam keadaan sadar. Sebelum tertinggal, mereka itu ada dua orang. Satu berperan sebagai abang dan satunya lagi sebagai adik. Itu atas ketetapan Tuhan.

Ya, mereka libur dan bertemu-kumpul di ruang televisi. Ah.., aku pikir revisi ini tidak memuaskan. Tapi, aku mencoba mengakomodir saja semua yang telah tersedia. Aku memang tidak berusaha untuk memikat, cuma menjelaskan. Kalaupun tidak jelas, sekarang aku berusaha untuk memikat.

"Jadi gimana menurutmu?" si abang bertanya. "Apanya?" balas si adik sambil menatap televisi. "Hei, coba lihat...," barisan kata yang terlontar dari pengeras suara, berbentuk kotak (bagiku terasa besar dan berat) berwarna coklat merk Polytron.

Sambil rebahan, si abang membaca koran harian terbitan waktu lampau. "Tanda tangan itu?" tanya si adik kepada si abang sambil menonton televisi yang menayangkan iklan penyeling film basi. "Apalagi, kalau bukan itu...," tandas si abang sambil membalik lembaran koran.

"Tentang kebodohan mereka?"

"Ya.., seharusnya itu yang kita bicarakan."

"Apa begitu penting?"

"Ya.., penting. Sebab asal kehancuran sekarang karena..."

"Tapi, setelah kau kembali dari Medan 'kan semua sudah terang," tanggap si adik, sambil mengenyahkan chanel siaran film basi yang sudah berulang kali ditayangkan. Sialnya, masih di stasiun itu saja. Stasiun nomor 5.

Melihat kejadian itu, aku tertawa.

Si abang kembali membalik koran. Berdiri memandang. Tangannya sudah teracung mencoba menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya. Mulutnya terbuka, menutup, membuka, tertutup. Berulang cepat. Ludah muncrat. Lalu, ia kembali rebahan.

Si adik pun mengalihkan tolehan pandang ke si abang yang kembali rebahan. Hanya kepala, posisi tubuh lainnya sedang terduduk di atas kursi rotan merah darah. Lalu, bibirnya terkatup, melihat si abang yang sedang rebahan membaca koran harian. "Masa sih...," serunya pelan.

Si abang kembali berdiri, mengacungkan jari, berjalan mondar-mandir, lima langkah kedepan, balik kebelakang, laju empat langkah, balik ke belakang melaju tiga langkah, balik lagi ke belakang untuk menjejakkan kaki sebanyak empat kali, lalu melompat ditempat seratus 3 puluh kali. Lalu, si abang kembali rebahan bersimbah keringat, membaca koran harian dengan desakan memburu nafas yang terengah. Si adik menoleh, mengalihkan pandang dari layar televisi.

"O..., aku mengerti maksudmu. Kita harus menjelaskan kepada mereka, kebodohan itu berbahaya. Tapi, menjelaskan sesuatu kepada orang bodoh bukankah menjadikan mereka berbahaya. Atau menjadikan diri kita masuk ke dalam bahaya."

"Ya, itulah masalahnya. Kita harus gegas berpikir. Sebab kalau tetap dipertahankan, kondisinya akan menjadi parah."

"Berarti tidak ada masalah lagi 'kan," kata si adik sembari tersenyum dan berbalik pandang ke televisi.

Dan, aku tertawa!

Bacalah 'Coelho' #4

Seorang teman berkata, "Hidup membosankan," sambil menyingsing lengan kaos kanan dengan tangan kiri. Lengkap perkataan itu, yang masih kuingat, 'Kau tau', hidup itu membosankan'. Dan, nada suara temanku pemilik tatoo motif tribalism keras, tegas, penuh penekanan di tiap suku kata. Agak parau pula. Parah, pikirku. Padahal, umurnya belum 2 2.

Lima tahun kemudian, aku berjumpa lagi dengannya. Bulan April, kalau tidak salah di tahun 2015. "Hidup itu tepatnya, hampir membosankan," kali ini ia berbicara tanpa menyingsingkan lengan kaos kanan. Aku pun bertanya ulang, seakan tidak mendengar jelas.

"Sejak kapan?"

Keningnya berkerut, melihat dahiku yang mengerut. Seakan tidak mendengar jelas, ia bertanya, apa. "Sejak kapan," aku berkata datar di dekat liang telinga kanan, sambil menyingsing lengan kaos tempat tatoo bermotif tribalism itu bersemayam. Kusingkap sedikit, ah lega hatiku. Ternyata masih ada.

Ia pun mulai bertutur sembari meneguk segelas anggur yang kusajikan di batok kelapa. (Kalau aku tak salah, setelah aku membuat tatoo baru bermotif bunga. Setelah itu, sekitar enam bulan kemudian, aku mendapat vonis: positif HIV. Jangan kau tanyakan kenapa.)

Saat ia mengatakan positif HIV, langsung aku menghentikan tegukan anggur dari batok kelapa, gelas kami yang sama. Kuambil segera botol panjang lentur hijau itu. Plopp! Langsung kutuang, bahkan melampaui kapasitas tampung mulutku.

Melihat tingkah seperti itu, ia berkata, "Kamu bukan yang pertama. Dan, itulah kenapa kusebut: Hidup, hampir membosankan."

Dengan genangan anggur di dada dan uap yang memijat kepala, aku masih mampu bertanya dengan mata yang menyala merah, dalam hati. Eh, mengapa pula kata 'tepatnya' menghilang. Apa pula maksud senyuman itu. Mana tatoo bunganya. Setidaknya, aku hanya mengajukan tiga pertanyaan itu. Setelahnya, kutambahkan cucuran anggur sebanyak tiga detik ke batok kelapa yang hampir pecah kalau saja tidak refleks menangkap saat aku terkejut mendengar,

"...: positif HIV."

2015. Musim Kemarau. Siang pukul 11.00 aku bangun. Meregangkan badan. Mencoba berpikir, aku mau berbuat apa hari ini. Melihat jam sekali lagi. Sekali lagi pula berpikir, 'Sudah siang rupanya'. Berdiri. Lalu duduk kembali. Menatap ponsel abu-abu. Pindah ke tumpukan buku-buku, mulai dari psikologi, sejarah, sastra, desain, entah apa lagi. Lalu, terjatuh rebah ke kasur. Aku pun kembali: tertidur.

....Kalau kau bangun nanti. Kau tau apa yang kumaksud dengan sejak. Bunga. Bukan pertama. Tanpa kata 'tepat'. Atau senyuman. Aku cuma titip. Tolong kau tulis. Hidup tidak membosankan....

Tiba-tiba, aku terbangun. Ponsel abu-abuku berdering. Tapi, tak segera kujawab dengan mengambil lalu menekan tombol bergambar gagang telepon. Aku hanya merasa, siapa sih yang berbisik di daun telingaku. Kata-kata itu jelas kudengar. Tapi, aku masih tak mampu mengingat.

Drhginhdggg....Drhginhdggg..... Aku pun menoleh. O, ada SMS. Kuambil, kubaca layanan pesan singkat. 'Ditunggu. Di Karet. Jam 1 lewat. Dia mati.'

Aku ke pemakamam, tempat segala hitam terkurung dalam satu makna.

"Sudah tiga tahun." Satu kalimat pernyataan terlontar dari mulut seorang teman, sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan.

Kukeluarkan secarik kertas ukuran A4. Kutulis: HIDUP TIDAK MEMBOSANKAN! Kutaruh ke tengah pusara yang penuh taburan bunga ragam warna, entah bunga apa, aku tak perduli. Tiga detik aku pun bersimpuh merunduk.

Siap menengadahkan wajah, aku langsung menegakkan kaki. Menarik nafas panjang di tempat yang penuh kesesakan. Tubuh ini kuarahkan balik kanan, menuju arah matahari terbenam, beriring riuh tepukan telapak tangan para pelayat.

Bacalah 'Coelho' #3

(Sekaranglah saatnya. Segalanya sudah tersedia. Tumpukan kertas serta satu korek gas 'TOKAI', kubawa keluar kamar, menuju pekarangan depan tempat tumbuh sebatang pohon rambutan.)
Rasanya, sudah terlalu lama aku berpikir, inilah saatnya. Malam. Purnama. Desis neon penerang jalan. Rumah-rumah sunyi. Atap-atap tampak tenang. Sesekali tercampak seru dari knalpot sepeda motor roda dua.
Aku terduduk di beranda depan. Hanya ada satu kursi. Lantai, marmer putih.
Cras...! Api menyala. Kudekatkan siku selembar kertas, api membakar. Sebelum nyala terhenti, selembar lagi kuberikan tepat di lidah api yang menyala-nyala hampir mati. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Tumpukan pun tinggal selembar lagi.
Habis sudah.
Kupandangi nyala api yang menyala di bawah pohon rambutan yang tak pernah berbuah. Terus kutatap dengan mata yang sudah setengah nyawa. Hingga, tertinggal tumpukan arang hitam, seperti endapan kopi pekat di dasar gelas.
Aku berdiri. Melangkah, sembari nikmat menghisap kretek bercampur perca daun-daun ganja.

...................................................................................

Mata itu mulai mengejang, mengerjap cepat. Sekali tarikan nafas, ia lakukan dengan urat leher yang mengeras ketat. Tanpa tergesa, dilepas beriring gerak tulang leher mendorong wajah ke muka asap. Ia melarut, hingga sekujur tubuh terkubur dalam satu karpet bulu sewarna dengan buah pohon pekarangan rumah.
Kepalanya terkulai, lemas. Matanya, terpejam. Sosok jasad berumur 28 tahun itu pun tampak menyusut. Dan,

ia berubah menjadi bayi! Panjangnya tak lebih selengan manusia normal kelahiran 1930. Dalam kulai tidur pulas, ia masih terlihat: tampak sangat lemas. Rangka pipi yang seharusnya tertimpa timbunan lemak, jelas terpampang. Tapi, kedua tangannya masih mampu mencakar asap mengambang yang melayang menghambat pandangan aku.

(Tak seharusnya kau begini. Mungkin ini pilihan. Tapi, apakah ini benar? Tidak akan kusimpulkan.)

Tubuhnya terangkat. Pindah dari lantai beranda depan rumah, menuju ranjang dorong bersprei putih, lalu didorong dan masuklah ranjang itu kedalam ruang belakang mobil bercat putih, tanpa pelat nomor kendaraan. Tujuannya, menghadap perawat yang sudah siap di Unit Gawat Darurat.

Jalanan sepi. Sesekali seekor tikus seukuran anak kucing, seekor kucing seukuran anak anjing, seekor anjing seukuran anak bayi, lalu lalang menyeberang jalan. Laju roda karet bermerk 'Bridgestone' menggilas seekor semut yang asyik melayang, baru saja jatuh dari sarang laba-laba yang ada di tiang lampu jalan kota. Pasti, bakal mati!

Sesampai di rumah sakit yang tampak bukan seperti rumah sakit karena di bagian resepsionis tergeletak satu piano, bukan bermerk 'YAMAHA'. Sembilan pilar yang menjulang di teras depan tentu bukan tanda bangunan pengobatan, apalagi balai perobatan. Tapi, lekas saja aku mendorong ranjang turun dari bagasi belakang sepanjang 1,8 meter, lekas menyorong menuju ruang perawatan 'semoga terselamatkan'.

''Mas, Pak, Bu, Mbak, Om, Tante, daftar dulu.'' Seorang lelaki berbaju putih mengatakan hal entah kepada siapa. Kulihat, hanya aku seorang. Dengan telunjuk, kuketuk keras tulang dada, lima kali! Dia, mengangguk pada ketukan ke-tiga. ''Tulis terserahmu, nanti aku bayar. Uang, bukan masalah...,'' kusambung, ''Maz,'' setelah aku mencari tahu siapa nama orang itu melalui papan nama kecil yang ada di meja resepsionis.

''Berapa pun harga...''

''Ya. Berapa pun!''

''1 juta...''

''Ya. Berapa pun!''

''2 puluh juta...''

''Ya. Berapa pun!''

''3 juta...''

''Maz, berapa pun! Dia sudah mau mati,'' sambil kutunjuk anak bayi yang tergolek, hanya tertutup perca kain-kain ragam warna. Pemuda berambut pendek itu pun langsung terdiam. ''OK. 10 juta.''

...................................................................................