Bacalah 'Coelho' #3

(Sekaranglah saatnya. Segalanya sudah tersedia. Tumpukan kertas serta satu korek gas 'TOKAI', kubawa keluar kamar, menuju pekarangan depan tempat tumbuh sebatang pohon rambutan.)
Rasanya, sudah terlalu lama aku berpikir, inilah saatnya. Malam. Purnama. Desis neon penerang jalan. Rumah-rumah sunyi. Atap-atap tampak tenang. Sesekali tercampak seru dari knalpot sepeda motor roda dua.
Aku terduduk di beranda depan. Hanya ada satu kursi. Lantai, marmer putih.
Cras...! Api menyala. Kudekatkan siku selembar kertas, api membakar. Sebelum nyala terhenti, selembar lagi kuberikan tepat di lidah api yang menyala-nyala hampir mati. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Selembar lagi. Tumpukan pun tinggal selembar lagi.
Habis sudah.
Kupandangi nyala api yang menyala di bawah pohon rambutan yang tak pernah berbuah. Terus kutatap dengan mata yang sudah setengah nyawa. Hingga, tertinggal tumpukan arang hitam, seperti endapan kopi pekat di dasar gelas.
Aku berdiri. Melangkah, sembari nikmat menghisap kretek bercampur perca daun-daun ganja.

...................................................................................

Mata itu mulai mengejang, mengerjap cepat. Sekali tarikan nafas, ia lakukan dengan urat leher yang mengeras ketat. Tanpa tergesa, dilepas beriring gerak tulang leher mendorong wajah ke muka asap. Ia melarut, hingga sekujur tubuh terkubur dalam satu karpet bulu sewarna dengan buah pohon pekarangan rumah.
Kepalanya terkulai, lemas. Matanya, terpejam. Sosok jasad berumur 28 tahun itu pun tampak menyusut. Dan,

ia berubah menjadi bayi! Panjangnya tak lebih selengan manusia normal kelahiran 1930. Dalam kulai tidur pulas, ia masih terlihat: tampak sangat lemas. Rangka pipi yang seharusnya tertimpa timbunan lemak, jelas terpampang. Tapi, kedua tangannya masih mampu mencakar asap mengambang yang melayang menghambat pandangan aku.

(Tak seharusnya kau begini. Mungkin ini pilihan. Tapi, apakah ini benar? Tidak akan kusimpulkan.)

Tubuhnya terangkat. Pindah dari lantai beranda depan rumah, menuju ranjang dorong bersprei putih, lalu didorong dan masuklah ranjang itu kedalam ruang belakang mobil bercat putih, tanpa pelat nomor kendaraan. Tujuannya, menghadap perawat yang sudah siap di Unit Gawat Darurat.

Jalanan sepi. Sesekali seekor tikus seukuran anak kucing, seekor kucing seukuran anak anjing, seekor anjing seukuran anak bayi, lalu lalang menyeberang jalan. Laju roda karet bermerk 'Bridgestone' menggilas seekor semut yang asyik melayang, baru saja jatuh dari sarang laba-laba yang ada di tiang lampu jalan kota. Pasti, bakal mati!

Sesampai di rumah sakit yang tampak bukan seperti rumah sakit karena di bagian resepsionis tergeletak satu piano, bukan bermerk 'YAMAHA'. Sembilan pilar yang menjulang di teras depan tentu bukan tanda bangunan pengobatan, apalagi balai perobatan. Tapi, lekas saja aku mendorong ranjang turun dari bagasi belakang sepanjang 1,8 meter, lekas menyorong menuju ruang perawatan 'semoga terselamatkan'.

''Mas, Pak, Bu, Mbak, Om, Tante, daftar dulu.'' Seorang lelaki berbaju putih mengatakan hal entah kepada siapa. Kulihat, hanya aku seorang. Dengan telunjuk, kuketuk keras tulang dada, lima kali! Dia, mengangguk pada ketukan ke-tiga. ''Tulis terserahmu, nanti aku bayar. Uang, bukan masalah...,'' kusambung, ''Maz,'' setelah aku mencari tahu siapa nama orang itu melalui papan nama kecil yang ada di meja resepsionis.

''Berapa pun harga...''

''Ya. Berapa pun!''

''1 juta...''

''Ya. Berapa pun!''

''2 puluh juta...''

''Ya. Berapa pun!''

''3 juta...''

''Maz, berapa pun! Dia sudah mau mati,'' sambil kutunjuk anak bayi yang tergolek, hanya tertutup perca kain-kain ragam warna. Pemuda berambut pendek itu pun langsung terdiam. ''OK. 10 juta.''

...................................................................................

2 comments:

  1. DavE!!!
    @@@%%$#@#$
    sampai kapan judul postingan itu tetap coelho????
    sampai kapan DAVE?!!
    apakah sampai Bacalah Coelho#~
    alias tak hingga???
    Daveeee!!!!

    ReplyDelete