Bacalah 'Coelho' #4

Seorang teman berkata, "Hidup membosankan," sambil menyingsing lengan kaos kanan dengan tangan kiri. Lengkap perkataan itu, yang masih kuingat, 'Kau tau', hidup itu membosankan'. Dan, nada suara temanku pemilik tatoo motif tribalism keras, tegas, penuh penekanan di tiap suku kata. Agak parau pula. Parah, pikirku. Padahal, umurnya belum 2 2.

Lima tahun kemudian, aku berjumpa lagi dengannya. Bulan April, kalau tidak salah di tahun 2015. "Hidup itu tepatnya, hampir membosankan," kali ini ia berbicara tanpa menyingsingkan lengan kaos kanan. Aku pun bertanya ulang, seakan tidak mendengar jelas.

"Sejak kapan?"

Keningnya berkerut, melihat dahiku yang mengerut. Seakan tidak mendengar jelas, ia bertanya, apa. "Sejak kapan," aku berkata datar di dekat liang telinga kanan, sambil menyingsing lengan kaos tempat tatoo bermotif tribalism itu bersemayam. Kusingkap sedikit, ah lega hatiku. Ternyata masih ada.

Ia pun mulai bertutur sembari meneguk segelas anggur yang kusajikan di batok kelapa. (Kalau aku tak salah, setelah aku membuat tatoo baru bermotif bunga. Setelah itu, sekitar enam bulan kemudian, aku mendapat vonis: positif HIV. Jangan kau tanyakan kenapa.)

Saat ia mengatakan positif HIV, langsung aku menghentikan tegukan anggur dari batok kelapa, gelas kami yang sama. Kuambil segera botol panjang lentur hijau itu. Plopp! Langsung kutuang, bahkan melampaui kapasitas tampung mulutku.

Melihat tingkah seperti itu, ia berkata, "Kamu bukan yang pertama. Dan, itulah kenapa kusebut: Hidup, hampir membosankan."

Dengan genangan anggur di dada dan uap yang memijat kepala, aku masih mampu bertanya dengan mata yang menyala merah, dalam hati. Eh, mengapa pula kata 'tepatnya' menghilang. Apa pula maksud senyuman itu. Mana tatoo bunganya. Setidaknya, aku hanya mengajukan tiga pertanyaan itu. Setelahnya, kutambahkan cucuran anggur sebanyak tiga detik ke batok kelapa yang hampir pecah kalau saja tidak refleks menangkap saat aku terkejut mendengar,

"...: positif HIV."

2015. Musim Kemarau. Siang pukul 11.00 aku bangun. Meregangkan badan. Mencoba berpikir, aku mau berbuat apa hari ini. Melihat jam sekali lagi. Sekali lagi pula berpikir, 'Sudah siang rupanya'. Berdiri. Lalu duduk kembali. Menatap ponsel abu-abu. Pindah ke tumpukan buku-buku, mulai dari psikologi, sejarah, sastra, desain, entah apa lagi. Lalu, terjatuh rebah ke kasur. Aku pun kembali: tertidur.

....Kalau kau bangun nanti. Kau tau apa yang kumaksud dengan sejak. Bunga. Bukan pertama. Tanpa kata 'tepat'. Atau senyuman. Aku cuma titip. Tolong kau tulis. Hidup tidak membosankan....

Tiba-tiba, aku terbangun. Ponsel abu-abuku berdering. Tapi, tak segera kujawab dengan mengambil lalu menekan tombol bergambar gagang telepon. Aku hanya merasa, siapa sih yang berbisik di daun telingaku. Kata-kata itu jelas kudengar. Tapi, aku masih tak mampu mengingat.

Drhginhdggg....Drhginhdggg..... Aku pun menoleh. O, ada SMS. Kuambil, kubaca layanan pesan singkat. 'Ditunggu. Di Karet. Jam 1 lewat. Dia mati.'

Aku ke pemakamam, tempat segala hitam terkurung dalam satu makna.

"Sudah tiga tahun." Satu kalimat pernyataan terlontar dari mulut seorang teman, sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan.

Kukeluarkan secarik kertas ukuran A4. Kutulis: HIDUP TIDAK MEMBOSANKAN! Kutaruh ke tengah pusara yang penuh taburan bunga ragam warna, entah bunga apa, aku tak perduli. Tiga detik aku pun bersimpuh merunduk.

Siap menengadahkan wajah, aku langsung menegakkan kaki. Menarik nafas panjang di tempat yang penuh kesesakan. Tubuh ini kuarahkan balik kanan, menuju arah matahari terbenam, beriring riuh tepukan telapak tangan para pelayat.

No comments:

Post a Comment