Bacalah 'Coelho' #7

karena aku pernah melihat kaca di tempat dia berdiri membelakangi ku. Ku perhatikan, ia hanya memakai celana kolor bermotif kotak-kotak, warna merah, kuning, hijau, pink, biru, bergambar Mickey Mouse; plus tulisan 'Disney'.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ayo, silahkan masuk," ia menawarkan aku hanya dengan mengayunkan lengan kiri. Tapi, aku tak mengerti dari mana datang kalimat, 'Ayo, silahkan masuk.' Sepertinya, ia yang berkata. (Atau, jangan-jangan tangan ia yang berkata. Tapi, itu tidak mungkin. Ah, sudahlah...)

Aku pun menginjakkan kaki di teras kamar, lalu duduk bersinggah sambil melepas sepatu aku berwarna hitam strip putih, bertali putih. Mulanya, aku memisahkan lilitan antara ujung dan pangkal tali sepatu di kaki kiriku. 'P-lashsp'. Lepaslah. Aku pun menarik nafas dalam-dalam hingga terasa rongga dada menggembung seakan berisi balon udara. Perlahan, bahkan sangat perlahan aku melepaskan kaki kanan.

"Lagi ngapain?" Aku bertanya kepada dia. Sambil menatap ke timur, ia menjawab bahwa ia sedang membereskan rumah. "Maksud aku, kamar," ulang ia menegaskan apa yang ia maksud dengan rumah itu.

Dan, aku pun bertugas menegaskan apa yang ia maksud dengan kamar itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Usai melepas alas kaki, aku berdiri. Tepat di depan pintu bercat merah plus putih yang bertempel poster metamorphosis Bruce Banner jadi The Incredible Hulk, aku melihat:










Ya, bentuk menyerupai itu. Kuperhatikan lebih jernih, benda itu tiga dimensi. Benda itu memiliki ruang, yang berarti memiliki panjang, lebar dan tinggi. Tapi, aku tak jelas apa itu namanya. Benda itu tersampir ke dinding sebelah kanan tempat aku berdiri di depan pintu kamar ia. Tampak ia memperhatikan aku. Itu kuketahui, saat mataku silau melihat pantulan warna-warni cerah menimpa mata. (Ah, warna-warni cerah yang menimpa mataku rupa-rupanya pancaran sinar dari celana kolor bermotif kotak-kotak yang ia gunakan.)

"Itu pesawat ku," kata ia tepat di telinga kiri ku dengan suara mendesis. Suaranya kalau aku tak salah, 'zes..sto.spe,.s..as.a.zessts.ds...thszz'. Begitulah. Paling tidak menyerupai itu. Atau seperti..., ya desis ular melata. Selagi aku asyik berpikir, kok bisa disebut pesawat benda itu, tangan kiriku disentuh, lalu kaki kirinya menendang kepalaku. Untuk semua yang ia lakukan, hanya terlontar barisan kata, 'masuk'. Tapi, kata itu ia ucapkan seakan tanpa huruf kecil, melainkan huruf kapital semua. Hasilnya, "MASUK," kata ia.

Aku dan ia pun duduk di atas ubin keramik ukuran 30 kali 60 kali 10 kali 3 kali 8 dan entah kali berapa lagi. Aku tidak bisa mengingat. Yang pasti hanya 30 saja sepertinya yang mendekati tepat. (Hah.., itupun masih sepertinya?)

"Mau minum apa? Air putih atau kopi. Tapi, gelasnya ambil sendiri di atas lemari." Usai berbicara, ia langsung berdiri menyalakan radio mini yang ia sangkutkan di terali jendela. Jendela itu tepat berada di sebelah kanan kusen pintu kamar. Entah gelombang apa yang ia pilih, tapi begitu lagu dari gelombang terpilih tersebut melantun, aku pun dapat melihat warna cat dinding kamar. Ada dua warna. Putih dibawah merah. Ada tiga warna, putih dibawah merah dan merah dibawah biru tua. Ada empat! Putih dibawah merah, merah dibawah biru tua dan biru tua dibawah kuning. Ada lima warna! Putih dibawah merah merah dibawah biru tua biru tua dibawah kuning diatas kuning tak berwarna.

"Ada rokok?" tanya ia saat berbalik badan dari barat menuju timur, lalu ringan terduduk. Mendadak aku merasa kamarnya menjadi berukuran 150 meter kali 45 meter. Padahal, setahuku di kamar ia hanya muat satu pesawat, satu lemari pakaian, satu rak buku tiga tingkat, satu kipas angin, tiga teko air minum, lima buah gelas, dua mangkok, empat piring, satu keranjang plastik, 80 buku, satu keranjang rotan berisi pakaian kotor, satu ember, satu gayung, satu pasta gigi, satu sabun, satu sikat gigi, sepasang sepatu, sebuah cermin kayu, dua asbak, mentega 'Blue Band' 1 ons, coklat butir, satu korek api, beberapa poster: tiga poster bergaya pop-art ala Andy Warholl disusun bertingkat seperti tangga dengan urutan terbawah menyentuh warna biru tua terbawah yang berada di atas merah, bertuliskan 'SERGENT GARCIA KONSER SALSAMULFFIN LATINO REGGAE Thursday, May, 12, 2005 - 7.30 pm Balai Sarbini @ The Plaza Semanggi Jl. Jend. Sudirman Kav.50 Jakarta 12930 Ticket box tel. (021) 25 53 05 94, 25 53 05 96', foto-foto keluarga ia, pribadi, pementasan, poster ukuran A4 Pramoedya Ananta Toer, tiga sendok, lima garpu, kotak 'CHIVAS REGAL' berwarna perak tergantung di sisi barat laut tepat dipertemuan dua dinding kamar yang berada di sebelah kiri dan belakang aku duduk, dua bantal, satu selimut, satu gitar, dan satu foto anak elang berumur tiga belas bulan, plus potongan cover majalah Newsweek bergambar pria bersinglet putih dengan perut buncit bergambar siluet bola bumi tertempel di lemari pakaian pada pintu (kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan).

Aku memberi ia satu gudang rokok. Ia mengambil, lalu membakar, lalu menghisap, menghembuskan asap. Saat aku melihat kepul asap belum lenyap dari wajah ia, aku mendengar suara berkata, entah dari mana, "Ngapain ke sini?"

1 comment:

  1. seperti 1 2 3 4
    lalu 1
    lalu 1a 1b 1c
    lalu 2 3 4 4 4
    lalu kembali ke 4 4 4....
    baru 5

    alinea berikutnya
    6 7....
    lalu 6 6 6 6
    lalu 6 7 8
    lalu 7 7 7 8
    lalu 8, 8a 8b
    LALU 8 9 10..

    LALU...BERLALU...

    ReplyDelete