Bacalah 'Coelho' #5

Mereka berkumpul di ruang televisi. Sesungguhnya, perkataan berkumpul itu tidak tepat dipergunakan untuk menjelaskan situasi yang terjadi di Kamis siang. Sebab, saat itu mereka bertemu tanpa perjanjian lebih dulu. Jadi, tepatnya: Mereka bertemu di ruang televisi.

Namun, sebenarnya, mereka itu bukan bertemu. Yang pasti, sepengetahuanku, hari itu libur. Artinya, mereka tidak bekerja. Dan, mereka pun dapat tinggal di rumah dalam keadaan sadar. Sebelum tertinggal, mereka itu ada dua orang. Satu berperan sebagai abang dan satunya lagi sebagai adik. Itu atas ketetapan Tuhan.

Ya, mereka libur dan bertemu-kumpul di ruang televisi. Ah.., aku pikir revisi ini tidak memuaskan. Tapi, aku mencoba mengakomodir saja semua yang telah tersedia. Aku memang tidak berusaha untuk memikat, cuma menjelaskan. Kalaupun tidak jelas, sekarang aku berusaha untuk memikat.

"Jadi gimana menurutmu?" si abang bertanya. "Apanya?" balas si adik sambil menatap televisi. "Hei, coba lihat...," barisan kata yang terlontar dari pengeras suara, berbentuk kotak (bagiku terasa besar dan berat) berwarna coklat merk Polytron.

Sambil rebahan, si abang membaca koran harian terbitan waktu lampau. "Tanda tangan itu?" tanya si adik kepada si abang sambil menonton televisi yang menayangkan iklan penyeling film basi. "Apalagi, kalau bukan itu...," tandas si abang sambil membalik lembaran koran.

"Tentang kebodohan mereka?"

"Ya.., seharusnya itu yang kita bicarakan."

"Apa begitu penting?"

"Ya.., penting. Sebab asal kehancuran sekarang karena..."

"Tapi, setelah kau kembali dari Medan 'kan semua sudah terang," tanggap si adik, sambil mengenyahkan chanel siaran film basi yang sudah berulang kali ditayangkan. Sialnya, masih di stasiun itu saja. Stasiun nomor 5.

Melihat kejadian itu, aku tertawa.

Si abang kembali membalik koran. Berdiri memandang. Tangannya sudah teracung mencoba menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya. Mulutnya terbuka, menutup, membuka, tertutup. Berulang cepat. Ludah muncrat. Lalu, ia kembali rebahan.

Si adik pun mengalihkan tolehan pandang ke si abang yang kembali rebahan. Hanya kepala, posisi tubuh lainnya sedang terduduk di atas kursi rotan merah darah. Lalu, bibirnya terkatup, melihat si abang yang sedang rebahan membaca koran harian. "Masa sih...," serunya pelan.

Si abang kembali berdiri, mengacungkan jari, berjalan mondar-mandir, lima langkah kedepan, balik kebelakang, laju empat langkah, balik ke belakang melaju tiga langkah, balik lagi ke belakang untuk menjejakkan kaki sebanyak empat kali, lalu melompat ditempat seratus 3 puluh kali. Lalu, si abang kembali rebahan bersimbah keringat, membaca koran harian dengan desakan memburu nafas yang terengah. Si adik menoleh, mengalihkan pandang dari layar televisi.

"O..., aku mengerti maksudmu. Kita harus menjelaskan kepada mereka, kebodohan itu berbahaya. Tapi, menjelaskan sesuatu kepada orang bodoh bukankah menjadikan mereka berbahaya. Atau menjadikan diri kita masuk ke dalam bahaya."

"Ya, itulah masalahnya. Kita harus gegas berpikir. Sebab kalau tetap dipertahankan, kondisinya akan menjadi parah."

"Berarti tidak ada masalah lagi 'kan," kata si adik sembari tersenyum dan berbalik pandang ke televisi.

Dan, aku tertawa!

1 comment:

  1. dan, pria tua itu tertawa
    rambut peraknya membuat ia semakin keren,
    dan pria itu..
    COELHO!!!!!

    ReplyDelete