Genealogy of Coalition: Passion Vs. Reason

Sejak percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar yang sudah berlangsung lima tahun remuk redam, dunia batin saya mendadak berguncang. What the hell is this!!! (Mudah-mudahan bahasa Inggris saya tak salah.) Di televisi saya melihat pernyataan politis yang diplomatis dari Sekjen Partai Golkar (nama dia saya lupa), serta tambahan argumentasi dari pengurus DPP Partai Golkar (lagi-lagi namanya saya lupa), dan tentu saja tanggapan dari tim 9 Partai Demokrat (seekor bajing loncat, menurut saya, dan mudah-mudahan ungkapan tadi tidak dianggap sebagai pencemaran nama baik, melainkan sekadar sebagai ekspresi-kesebalan-mikrokosmos-personal-apolitis, yang tak jauh beda dengan ekspresi ketika Anda tanpa sengaja menginjak tai kuda saat mengenakan sepatu Buccheri yang baru saja Anda beli di Plaza Indonesia).

Berbekal data yang saya miliki—serangkaian data yang tentu saja lebih you can see dari pada data yang dimiliki para pengamat politik semisal Eep Saefulloh Fatah, Iberamsjah, Lili Romly (dan mengapa pula para pengamat politik didominasi mereka-mereka yang berasal dari Universitas Indonesia)—remuknya mahligai percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar disebabkan libido komunikasi yang terganjal peraturan. Sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat melalui komando Pembina Yudhoyono, secara diplomatis menjegal pencalon Saudagar Jusuf sebagai calon pendamping nahkoda Indonesia periode 2009-2014. Ah, tentulah meradang Partai Golkar, sebab pengajuan nama Saudagar Jusuf sudah melalui mekanisme penjaringan yang selektif dan evalutif kontekstual. Rasionalisasi ‘mengapa hanya mengajukan satu nama’ Tim Tiga Partai Golkar tumpul berhadapan dengan passionisasi Tim Sembilan Partai Demokrat yang dibalut dalam bahasa diplomatis ‘jangan hanya mengajukan satu nama.’

Dari serangkaian fakta (ah, barangkali juga fiksi?), masalah yang muncul tentulah: Why… Dalam buku saku para filosof, ‘why’ merupakan konkretisasi-mundial atas abstraksi-universal (sedikit menduga, universal dari universe dari uni+verse) perasaan atau hasrat ingin tahu. Kembali mengacu masalah utama, sebab-sebab putusnya baja percintaan (bila saya memahami dengan benar, tentunya baja percintaan yang semu selama lima tahun) Partai Demokrat dengan Partai Golkar dapat diketahui dengan cara meng-anal, maksud saya: menganalisa dimensi sejarah percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar (apakah pendekatan genital Freudian dapat dipergunakan untuk mendefenisikan seksualitas macam apa yang tengah berlangsung dalam perpolitikan Indonesia selama lima tahun, apakah biseksualitas, heteroseksualitas atau homoseksualitas?). Semenjak filsafat Hegel mengemuka di benua Eropa, sejarah dan gerak sejarah menjadi pokok kajian filosofis di kemudian hari karena, setidaknya, berkenaan dengan gagasan kebebasan, juga pembebasan, pada wilayah praksis kehidupan sehari-hari.

Kliping memori Pemilu 2004 masih menyimpan data perolehan suara kedua partai, yang sekarang ini mulai menunjukkan genitalnya masing-masing (kalau ada, kira-kira apakah genital dari masing-masing partai itu?). Golkar sekitar 20 persen dan Demokrat 7 persen. Meski cuma mengantongi suara 7 persen, Demokrat mampu mendudukkan calonnya sebagai Presiden, dan Saudagar dari Golkar, mungkin dengan penuh kerendahan hati yang luar biasa, bersedia dicalonkan sebagai Wakil Presiden (ah, saya mencoba mengimajinasikan bagaimana kira-kira pandangan filosof asal Jerman Jürgen Habermas mencerna duet maut Komandan Yudhoyono dengan Saudagar Jusuf?). Latar belakang pemahaman rasional tentunya lebih wajar dan lazim bila menempatkan Presiden dari Partai Golkar dan Wakil Presiden dari Partai Demokrat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya; dan satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah kesepakatan antara Yudhoyono dan Jusuf sewaktu duduk sebagai menteri pada masa Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz (hei, di mana nomor lima satu ini yang beristri lima dan pernah menolak pemimpin perempuan namun dengan rendah hati bersedia menjadi wakil seorang perempuan?).

Pemilu Presiden yang berlangsung dua putaran menempatkan pasangan Yudho dan Jus sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebuah negara yang memiliki lebih dari 13.000 pulau. Kemesraan semakin terjalin hingga di suatu ketika, ‘matahari kembar’ sebagai istilah baru dalam peta perpolitikan Indonesia kontemporer meruyak. Saudagar dipandang para pengamat politik memiliki kekuatan dan kekuasaan yang setara dengan Komandan. Pertempuran kecil-kecilan pun terjadi, mulai dari mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Presiden, hingga yang paling mencolok adalah mereka bergantian masuk bioskop 21 demi menonton film Ayat-Ayat Cinta yang dikritik kaum feminis-fundamentalis (viva la vagina!).

Sejak idiom ‘matahari kembar’ (sebuah idiom positif yang menyebalkan sekaligus idiom negatif yang menyenangkan, menurut saya) gerak dan tingkah laku Komandan Yudho menjadi lamban (kalau saya memahami dengan benar, pastilah kelambanannya disebabkan pistol—maksud saya, postur tubuh yang juga besar, hingga seturut dengan hukum fisika Newtonian, benda dengan massa yang besar cenderung diam, katakanlah, sedikit bergerak atau kalau pun bergerak, ya sedikit-sedikit). Kerapkali media massa dan massal mengeker kelambanan Komandan sebagai titik lemah ‘matahari-1’. Dan selama satu periode, Komandan tetap setia pada kelambanan yang dibahasakan menjadi ‘berhati-hati’.

Merujuk pada sejarah, remuknya percintaan antara Partai Demokrat dan Partai Golkar, menurut saya, berakar secara radikal pada fenomena ‘matahari kembar’ serta ‘kelambanan Komandan’. Pada tahap transendental (menemukan pendasaran objektif atas keadaan yang memungkinkan kemunculan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’) tak lain adalah sejarah eksekutif paska reformasi. Setahun setelah reformasi, babak baru pemerintah demokratis pun dimulai. Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (sebuah partai yang penuh dengan anomali kepemimpinan sekaligus memiliki kaderisasi kepemimpinan yang luar biasa dahsyat, tetapi sayangnya hanya sampai tingkatan pemimpin partai belaka dan tak bisa lebih dari itu) terpilih sebagai Presiden. Wakil Presiden adalah Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (sebuah partai dengan suksesi kepemimpinan yang luar biasa bertolak belakang dengan Partai Kebangkitan Bangsa). Jaman Gus Dur-Mega, idiom ‘matahari kembar’ tidak ada. Namun, yang terjadi cukup mencengangkan, sebab penggulingan kekuasaan secara legal jilid II melalui legislatif (tentang penggulingan kekuasaan jilid I, dugaan evaluatif-subjektif-transendental-personal-individuasi-alienatif saya, terjadi pada tahun ’65) terjadi. Gus Dur dihengkangkan banteng-banteng moncong putih dari kedudukan Presiden. Dan, cukup waras kiranya proses penghengkangan itu, sebab banteng-banteng moncong putih meraup 30 persen lebih suara di parlemen. Tatanan tak rasional pun berganti dengan orde rasional ketika Megawati Soekarnoputri duduk sebagai Presiden dan Hamzah Haz bekerja sebagai Wakil Presiden (ah, saya ingat dia harus bertekuk lutut juga ketika publik melalui Gubernur DKI Jakarta yang menyebalkan Sutiyoso meminta dia minta maaf kepada warga Jakarta karena mempergunakan jalur busway. Res-Publica!!!).

Bila saya memahami serta menafsirkan dengan tepat dan benar dimensi historisitas politik kontemporer Indonesia, maka penjelasan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’ disebabkan perhitungan politik, yakni mencegah agar pendongkelan kekuasaan jilid III melalui parlemen tidak berulang kembali (dan, saya pikir, hal ini merupakan pukulan telak bagi Nietzche yang menggagas sejarah sebagai perulangan abadi). Hingga penghujung akhir jabatan, Komandan berhasil mengelola konflik hingga Saudagar, yang selalu tampil penuh percaya diri, tak pernah menyangka bahwa dirinya sudah masuk dalam perangkap yang punya dampak luar biasa memalukan dan mematikan. Saudagar selalu berada di atas angin, hingga lupa bahwa dia punya potensi untuk menjadi orang pertama di republik Ibu Kartini (mendiang feminisme Marianne Kattoppo menyimpulkan Kartini hanyalah proyek politis rejim kolonialisme Belanda untuk membuktikan kepada dunia internasional, atau setidaknya partai beraliran kiri di negeri Hollanda, bahwa program politik balas budi mereka berhasil di wilayah jajahan). Sebagai seorang yang mengambil inspirasi dari basic insting seksualitas kekuasaan a la Freudian yang dipadankan dengan irasionalitas atas rasionalitas kehendak Schopenhauer, saya menilai Golkar selama periode 2004-2009 hadir sebagai partai paling dungu se-dunia. Sebuah partai yang mampu meraih suara terbanyak, tetapi tidak memiliki satu orang pun yang layak dijagokan sebagai orang nomor satu di Indonesia, saya pikir sangatlah tak pantas dan patut dan bermartabat bila menyandang sebutan: Partai. Golkar sebagai organisasi politik dalam penglihatan saya tak beda a.k.a sama dengan arisan para ibu-ibu. Dan, yang paling parahnya: tak seorang pun di Partai Golkar yang pantas menyandang predikat politikus (ah, bisa saja Partai Golkar berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi bangsa dan negara. Kalau hanya mau berbuat demi bangsa dengan negara, mengapa membuat Partai. Partai bukan satu-satunya jalan untuk berbuat demi bangsa dan negara. Partai hanya dapat disebut partai bila ia selalu mengincar kekuasaan dan meraup massa. Kekuasaan sebagai representasi kualitas, Massa sebagai representasi kuantitas.). Golkar hanya dipenuhi orang-orang pragmatis yang hanya berpikir cetek, dangkal, banal, dan satu hal yang paling penting: Tak memiliki ambisi (di mana ambisi adalah kata lain dari passion, hasrat, libido. Politik tanpa libido: Tolol. Politik tanpa rasio: Ah, ini pun Tolol. Paska Pemilu banyak caleg gila karena sadar bahwa mereka tidak sadar diri sehingga kesadaran bahwa mereka tidak sadar diri itu begitu mengguncang batin mereka yang dengan demikian solusi yang dapat menyelamatkan mereka dari situasi keterkejutan itu hanyalah menjadikan kesadaran sama sekali tidak sadar yang akhirnya berujung pada situasional: mereka tidak sadar bahwa mereka tidak sadar, inilah yang disebut kegilaan dalam versi gua; sebab bila hendak mengacu pada analisa Michel Foucault, kegilaan, setidaknya, berhubungan dengan gagasan kekuasaan.).
Kehancuran Golkar tentu membuktikan kejagoan para politikus dari Partai Demokrat. Kejenialan mereka merancang tindakan yang ditujukan agar nafsu seksualitas kekuasaan tetap tersalurkan patut dibilang “Anjing!” Tindakan mereka yang selalu terukur tak menyebabkan dicopotnya pigura Yudhoyono di sekolah-sekolah, kantor-kantor polisi, tentara, birokat pemerintahan, dan lainnya. Hanya 7 persen suara saja mereka mampu mengendalikan denyut-denyut penggulingan yang kerapkali (menurut perkiraan saya, tentunya dengan pengandaian asumtif bahwa Golkar masih merupakan Partai, bukan klub arisan para ibu-ibu dan bapak-bapak) muncul di lapis eksekutif. Komunikasi politik intensif sebagai sarana penyaluran libido kekuasaan terus menerus dilakukan Partai Demokrat demi menurunkan tensi rasionalitas Partai Golkar dari hasrat mengkudeta Komandan Yudhoyono yang tak berdaya hanya dengan 7 persen suara.

Di penghujung kekuasaan, rasionalitas Partai Demokrat sudah berganti dengan passionitas. Perolehan suara 20 persen adalah dasar yang sangat tepat untuk mencalonkan Presiden. Rasionalitas yang dipraktekkan selama lima tahun mau tak mau dibuang dahulu digantikan dengan passionitas yang menggebu-gebu. Hasrat seksualitas adalah ukuran pertama yang harus diajukan dalam setiap tawaran penggalangan konsensus koalisi. Partai Golkar menjadi korban pertama hasrat seksualitas Partai Demokrat yang tentunya tak membutuhkan pertanggungjawaban rasional dari Partai Golkar. Golkar harus menelan pil pahit kedunguan yang bersumber pada passionitas selama periode 2004-2009 hingga melupakan rasionalitas politik yang dapat mereka kantongi bila mampu menggulingkan kekuasaan politik Komandan sembari menjaga agar tak mengulangi kekeliruan Megawati selama menjabat sebagai Presiden. Menurut saya, Partai Demokrat sudah menunjukkan kapabilitas mereka sebagai politisi-politisi yang cerdas, meski tidak cadas juga (‘meski tidak cadas juga’ karena saya memang tak suka pada Partai Demokrat, dan tak suka adalah irasional, hasrat, passion).

Sedikit tambahan, passionitas, hasrat seksualitas yang bertalu-talu di jantung genital Partai Demokrat tampaknya meruntuhkan bangunan akal yang sempat mereka ujarkan kepada publik (atau apa yang mereka sampaikan hanya akal-akalan belaka?). Pada saat Pemilihan Presiden, kubu pasangan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf “berjanji” hanya satu periode saja. Satu periode. Lima tahun. Tetapi, malah: Lanjutkan! Barangkali, gagasan seorang pemimpin harus visioner direvisi dengan menambahkan batas waktu visioner adalah lima tahun belaka atau malah dua hingga tiga bulan saja atau malah satu detik setelah diucapkan atau dituliskan atau dimateraikan, sebuah ‘janji’ langsung dinyatakan tidak berlaku. Dan bukankah partai yang mendukung pencalonan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf pun mengetahui fakta tersebut? Dan bila mereka tetap menjalin koalisi dengan calon Nahkoda Susilo, where is the reason? It’s not about reason, it’s about: Passion, Seduction, Desire. And, coalition is all about passion! So, where is the reason? Bila saya kebetulan memahami Habermas dengan benar meski tak akurat, Habermas bakal menjawab: Pada Publik!

“Aih, sayangnya zaman kosmopolitan sekarang yang begitu mengandalkan kecepatan arus informasi sekaligus kecepatan dalam mengambil kesimpulan atau keputusan berdasarkan informasi yang diterima hanya memungkinkan pencapaian kesimpulan dengan jalan passionitas, semisal tampilan fisik, yang berarti: menyenangkan, kelihatan baik, tidak mirip teroris, santun, ganteng, tak mencurigakan, dan sebagainya tanpa memperhitungkan latar belakang rasionalitas di kepalanya.” Dan saya hanya bisa berkata: Vox Populi, Vox Dei. Hidup Demokrasi, Mampuslah Kau Golput Biadab!!! Hahahaha…





catatan akhir:
23 April 2009, menjelang pukul 04.20, di sebuah kamar kontrakan di tengah kota Jakarta, metropolitan yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Seluruh tulisan ini mengambil inspirasi dari buku Giovanna Borradori yang berjudul Filsafat Dalam Masa Teror terjemahan Alfons Taryadi (sebuah terjemahan di mana saya berpikir: editor buku tidak bekerja optimal, atau malah tidak bekerja sama sekali karena penerjemah memang meminta agar tulisannya tidak diedit sama sekali).

Gemah Ripah Loh Jinawi With Demokrasi (Eve-lotion)

Tanpa sengaja Armando, seorang jagoan dari Planet TimelessToon, menemukan esai-esai Bertrand Russell berjatuhan di halaman rumahnya yang tersembunyi di antara kardus-kardus buluk. Armando memang memiliki minat baca yang setara dengan Bruce Banner, The Incredible Hulk. Armando pun membaca satu per-satu esai salah seorang peraih Nobel di Planet Bumi--yang beberapa waktu lalu, kalau Armando tak keliru sedang senang-senangnya memperhatikan keselamatan Bumi dengan jalan merawat dan meruwat (plus memberantakkan serta meluluhlantakkan)--dan menemukan kutipan yang sulit ia mengerti namun begitu berarti. [Backsound: Tepuk tangan dan suit-suit.] "Demokrasi menemukan dasar teoritis lewat empirisme."

Armando kaget. Empirisme adalah kata klasik yang pertama sekali dia kenal setelah ayah dan ibunya beramai-ramai menempeleng kepalanya karena mengucapkan kata: Fuck You (tentu saja kepada bapak dan ibunya). "Ini adalah guru terbaik yang pernah ada, menurut Jhon Locke," tukas sang ayah sambil memukulkan punggung tangan kanan ke pipi kanan Armando. Kacamata Armando pun terhempas (sebagaimana jagoan selalu menunjukkan kelemahan) dan dari mulutnya satu gigi menari di lantai putih marmer yang mengkilap karena baru saja dibersihkan dengan pembersih nomor satu seantero galaksi semesta yang cuma satu-satunya. Dan sang ibu, tanpa tedeng aling-aling menyatakan, “Dan aku tambahkan, David Hume tidak benar. Sebab-akibat itu bukan ilusi,” sambil mengayunkan balok kayu berukuran 10 x 10 x 20 sentimeter ke punggung Armando. [Penulis: Bukankah tidak ada jagoan yang tak luput dari sisi kelam? Superman kehilangan ayah ibu, Peter Parker korban bullying, Bruce Banner kelinci percobaan ayahnya, Batman kehilangan ayah ibu karena perampok (365 cing kalau di KUHP).]

[Alur maju.] Mata Armando memicing. Seakan-akan pukulan balok kayu baru saja menghantam punggungnya. Empirisme. Pengalaman adalah dasar bagi segala-galanya. Pengalaman, yang terukur, kuantitas. Tanpa ukuran, tak ada jagoan. Armando meneteskan air mata. [Penulis: Saya juga bingung kenapa Armando meneteskan airmata. Entah kenapa begitu saja huruf-huruf itu tercetak tanpa pernah dapat saya pahami. Pembaca, maafkan saya.] Armando mengernyitkan dahi. Persamaan ruang lengkung yang membawa Einstein menemukan bahwa kelengkungan ruanglah yang menyebabkan adanya gravitasi muncul di imajinasinya. Penulis bertanya: “Armando, apa hubungan persamaan Einstein dengan demokrasi dan empirisme.” Armando tersadar dan berkata kepada Penulis: “Ceritamu makin mirip cerpen Danarto nanti. Kembali kau ke alammu sana.”

Empirisme. Pengalaman. Terukur. Kuantitas. Demokrasi. “Dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Tapi, siapakah rakyat itu? Apakah memang rakyat itu dapat dikuantitatifkan? Atau apakah rakyat itu adalah hanya konseptual belaka yang bersifat kualitatif?” Armando merenung kayak filsuf Yunani Plato yang sudah mendiang dan Akademianya dihancurkan orang-orang Romawi yang dibenci orang Galia hingga menyebabkan Uderzo mengarang komik Asterix sebagai ekspresi ‘kebencian’ terhadap kolonialisme kompeni Romawi di jazirah Eropa.

Dari pelajaran sejarah peradaban Abraham Sapien (Armando: Kalau Anda, Para Pembaca Yang Terhormat, pernah menonton film Hell Boy 2, Anda pasti tahu siapa yang saya maksudkan.) pergantian kekuasaan di Planet TimelessToon terjadi berdasarkan keturunan langit. [Hah… Maksudmu?] Keturunan langit adalah keturunan dari langit. Sampai sekarang apa yang disebut langit pun tak jelas. Langit adalah apa yang kita lihat ada di atas (tentunya bila pandangan mata tak terganggu atap atau pantat). Ya, semua orang yang menjadi raja mengaku keturunan langit. Ada darah dewata dalam dirinya. Kekuasaan pun menjadi milik mereka karena mereka memiliki darah dewata yang memungkinkan mereka berbicara dalam bahasa dewata untuk meminta pertimbangan, memerintah sebagaimana dewata memerintah di swargaloka (red-pusat karantina bagi mahluk langit yang imajinatif di mata mahluk bumi semisal Abraham Sapien). Setiap kata para penguasa berdarah langit adalah titah atau sabda, kadang kala malah ngerock menjadi firman. [Backsound: Tepuk tangan + Makian + Sumpah Serapah. “Kafir-kafir…”]

Membaca rangkaian sejarah demikian, Armando merenung—lagi-lagi kayak Plato dan rekan-rekan sebelum dan sesudahnya, yang kadang kala mengesalkan Stephen Hawking juga Al-Ghazali—kekuasaan tanpa dasar kuantitatif adalah nihil. Kekuasaan kualitatif tanpa pembuktian darah si A adalah darah langit dan darah si B adalah darah sangit secara objektif dan, menggunakan istilah Philosophical Doctor Effendi Ghazali, “ilmiah” adalah kedunguan, kebebalan, atau ketololan. Kekuasaan darah dewata pun berakhir setelah Revolusi Perancis berhasil memenggal kepala raja mereka. Peristiwa yang menggegerkan sejarah Eropa hingga, barangkali Inggris pun terkencing-kencing, namun berhasil meredam gejolak heroisme-pembebasan-indivualisme-romantik-revolusioner-massif, karena hingga millennium ketiga: GOD (STILL) SAVE THE QUEEN. Ah, Fredi yang ketiban sial sebab aroma gerakan pembebasan hanya menyelamatkan Elton John hingga berhasil menikah secara resmi sebagai pasangan homoseksual paling anyar pada masanya.

“Kalau kuasa hanya didasarkan pada kualitas, tanpa basis kuantitas, semua omong kosong. Kurang lebih itulah yang ingin aku katakan kepadamu,” Bertrand Russell mendadak ngomong di depang {Penulis: Saya hanya mencoba menulis dengan dialek Sulawesi. Inspirasinya dari tulisan seorang teman yang menganalisa tulisan seorang saudagar dari Sulawesi yang menjadi orang nomor dua (tetapi masih perlu dibuktikan apakah tulisan di dunia saiber itu merupakan tulisan orang nomor dua yang bersangkutan, hingga saya sendiri pun sulit menuliskan apa sebenarnya yang hendak saya sampaikan sedemikian rupa) , anehnya tak tahu pula soal tata bahasa yang baik dan benar.} Armando.

Empirisme, landasan teoritis demokrasi. Kekuasaan demokrasi berujung pada pelajaran matematika. Berhitung. Apa yang dihitung adalah suara dari person-person yang masuk dalam Daftar Pencarian Torang, yang bila disingkat menjadi DPT, yang bila dipanjangkan secara etis dan elegan dan sopan menjadi: Daftar Pemilih Tetap (Armando: Apakah arti Pemilih Tetap? Apakah sekali milih Partai Jing, maka akan tetap memilih Partai Jing?) Kuantitas. Sampai pada kesimpulan ini, Armando pun menangis. Mata Armando menjadi semacam mata air yang mengeluarkan air di mana air yang keluar dari mata air tersebut dikenal sebagai air mata. Demokrasi adalah tak lebih dari hitungan. “Kalau begitu, buat apa bicara hak, buat apa bicara hak, buat apa bicara hak [“Armando, mengapa sampai tiga kali?”]

Oh, itu hanya buat menambah intensitas saja hingga semakin meningkat. Biasanya di sajak dikenal sebagai teknik pengulangan, repitisi, agar intensitas makna yang hendak disampaikan semakin dalam. Aku lanjutkan lagi,

Hak dalam demokrasi tak lebih dari perhitungan angka. Jangan pernah bicara akan kualitas. Apa yang disebut kualitas adalah kenaifan. Mau golongan putih sampai 90 persen juga tidak ngaruh. Soal ketidakpercayaan publik adalah omong kualitas. Pemerintah bisa saja tidak dipercaya, tetapi kekuasaan sekarang bukan lagi kualitas, melainkan kuantitas. Sekali lagi, demokrasi bukan bicara kualitas. Kuantitas. Kuantitas. Kuantitas. Kuantitas.”

Armando pun keluar dari kardus-kardus buluk dan berjalan-jalan di jalanan utama sambil mendengar kasak-kusuk-kesek-kisik-kosok warga mengenai kisruh DPT. “Kalau memang kuantitas yang diperlukan, maka kita hanya perlu bagaimana cara berhitung yang tepat. Mengapa menghitung saja bisa loncat hingga 3 jutaan di Jakarta, bahkan puluhan juta kalau ditotal? Kalau tak lulus berhitung bagaimana bisa Gemah Ripah Loh Jinawi? Demokrasi itu penting karena mengajarkan kita persoalan berhitung, dan berhitung, dan berhitung [Aha, ini teknik pengulangan, repetisi. Benarkan Armando?] dan tak perlu baca-tulis.”



Note: Semua yang terucap dalam tulisan ini adalah ucapan Armando, jagoan di Planet TimelessToon. Saya, sebagai penulis, tentu saja akan mengadukan Armando ke Polsek Saiber karena dia telah memanfaatkan saya, menipu saya, 378 itu namanya.

Gemah Ripah Loh Jinawi With Demokrasi (?)

“Demokrasi menemukan dasar teoritis melalui empirisme.” Begitulah Bertrand Russell bicara. Saya tidak tahu persis bagaimana kutipan pastinya. Setidaknya kutipan itulah yang dipergunakan Giovanna Borradori yang telah dialihbahasakan Alfons Taryadi dalam buku Filsafat Dalam Masa Teror terbitan Kompas pada 2005.

Buku Filsafat Dalam Masa Teror punya latar belakang kerangka penghancuran Twin Tower pada 11 September 2001. Dan buku susunan Giovanna ditujukan untuk merangkum pandangan dua filsuf kontemporer Eropa, Habermas dari Jerman dan Derrida dari Perancis, untuk menanggapi sekaligus mengambil peran menjawab tantangan zaman secara filosofis.

Melalui karangan bebas ini saya tak hendak menyajikan ulasan yang mendalam tentang terorisme atau pun tentang buku Giovanna yang belum selesai saya baca. Apa yang saya tuliskan adalah petualangan menjelajah kutipan Bertrand Russell yang dipergunakan untuk menganalisa kontekstualisasi demokrasi di indonesia.

*

Problematisasi persoalan bermula dari kutipan Bertrand Russell yang menyatakan demokrasi menemukan pendasaran teoritis pada empirisme. Apa yang disampaikan Russell begitu mempesona, bagi saya. Legitimasi kekuasaan bukan lagi bersandarkan titah para dewa yang entah berada di mana dan entah bagaimana pula publik mendapatkannya serta mempertanggungjawabkannya, melainkan bersandarkan pada ukuran objektif yang bisa diklarifikasi, verifikasi, bahkan, pada titik paling ekstrem digugat. Legitimasi ‘fiktif’ kekuasaan yang bersumber dari sabda dewata yang pemalu berpindah ke level ‘fakta’ yang bersumber pada rekaman objektif atas segala data yang diperoleh. Perhitungan suara, kertas suara, kotak suara, contrengan atau malah coretan pada kertas suara adalah bukti bahwasanya pandangan empirisme yang dideklarasikan Jhon Stuart Mill dari Inggris ambil andil dalam mendasarkan sebuah kebenaran teoritis bagi ‘budaya ilmiah politik’ demokrasi.

Kebenaran koherensi a la kaum rasionalis semisal Descartes tak berlaku di ranah demokrasi. Kebenaran koherensi tak menjamin keabsahan kekuasaan yang dihasilkan oleh industri demokrasi. Kebenaran koherensi yang berpijak pada logika silogisme Aristotelian harus gugur dengan pola pikir induktif, yang juga digagas Aritoteles untuk kemudian diradikalkan sebagai paradigma baru oleh Fancis Bacon pada pengakhiran Abad Pertengahan untuk kemudian diaksentuasikan secara baru oleh Jhon Stuart Mill. Paham kebenaran yang ditawarkan Empirisme, kebenaran korespondensi, adalah basis utama yang memampukan industri demokrasi menghasilkan produk kekuasaan yang absah. Kebenaran kekuasaan teosentrisme yang berlandaskan kebenaran koherensi digugat oleh empirisme. Kebenaran kekuasaan hanya ada apabila kebenaran dimaksud adalah empirik, berlandaskan pengalaman inderawi.

Menyikapi Pemilu yang tengah terjadi di indonesia, kebenaran empirik mendapat tantangan dari suatu hal yang irasional, yakni kepercayaan. Saya sempat menyaksikan di kawasan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, dari 300 pemilih yang terdaftar, tak sampai 100 pemilih yang menyontreng. Bahkan di jalan-jalan ibukota saya sempat melihat jari-jari dari perempuan dan lelaki yang saya perkirakan cukup umur menyontreng tak saya temukan tinta di jari mereka. Perkiraan saya, 10 dari 10 orang yang saya lihat di jalan tidak menyontreng. Bahkan di salah satu jaringan komunitas dunia maya, ada teman yang menyatakan bahwa kepercayaan dia terhadap para caleg sudah tak ada lagi.

Adanya kasus ketidakpercayaan, yang saya temui terjadi dalam bentuk simbolisasi banyaknya kertas suara tersia (barangkali ada yang tidak hadir karena sudah meninggal dunia, tetapi berapa persenkah itu?), memindahkan persoalan kredibilitas kuantitatif pada kredibilitas kualitatif. Kredibilitas kualitatif sempat diajukan Arif Budiman dengan mempopulerkan slogan ‘Golongan Putih’. Persoalan kualitatif yang bersumber pada lema ‘kepercayaan’ menjadi tandingan atas ‘kebenaran’. Kekuasaan tidak lagi semata-mata persoalan ‘kebenaran’ objektif korespondensial, melainkan menyangkut persoalan ‘kepercayaan’ subjektif-rasional. Sayangnya, ‘kepercayaan’ subjektif-rasional tak cukup kuat menggagalkan ‘kebenaran’ objektif korespondensial sebagaimana ‘kebenaran’ objektif korespondensial mengalahkan kebenaran yang digagas berdasarkan logika silogisme Aristotelian dalam sistem teokrasi.

Meninjau kembali demokrasi di indonesia dengan kompleksitas hubungan antara ketidapercayaan terhadap pelaku (yang secara tidak langsung dengan sendirinya menusuk pada ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi) semisal partai dan para caleg sekaligus keengganan (elit) kekuasaan untuk menghapus kebenaran korespondensial empirik yang diperoleh melalui sistem demokrasi melahirkan eksistensialitas absurd a la Camudian. Proyeksi harapan sebagaimana yang dicita-citakan dalam idealisasi ‘satu menit di bilik suara menentukan 5 tahun masa depan indonesia’ sudah tak ada beda dengan bualan besar tong kosong yang nyaring berbunyi.

Krisis dan kegilaan demokrasi tadi hendak dipecahkan para intelektual terkemuka indonesia dengan mengajukan penggunaan hati nurani sebagai pengendali keliaran hajat politik menjadi banal. Syafei Maarif setidaknya berupaya menggaungkan hal tersebut. Apa yang hendak dilakukan Buya Maarif saya tafsir sebagai upaya membumikan spiritualitas transendental keberagamaan dalam kehidupan politik bernegara yang semakin dangkal dan tak berbudi. Apakah cara ini terbukti efektif? atau malah mencoba menghidupkan romantisme yang telah ada dan berlalu dalam sistem teokrasi yang ternyata diam-diam dipergunakan penguasa, para raja atau sultan, untuk menyelipkan pisau ke jantung para kawulanya? atau malah masih sebuah langkah persiapan untuk membangun sintesa yang lebih komprehensif setelah periode sekularisasi negara yang secara praktis menghancurkan aspek transendental dan imanen dalam sebuah otoritas? atau memang kita tak perlu berkomentar lebih banyak, sebab pada akhirnya: perkara masa depan sudah selesai didefenisikan oleh Albert Camus: tidak ada hari esok alias tidak ada yang namanya harapan; dengan kata lain: terimalah kondisi bahwa sampai kapan pun tidak ada kondisi yang disebut sebagai ‘sejahtera,’ ‘gemah ripah loh jinawi’.


April 2009