Genealogy of Coalition: Passion Vs. Reason

Sejak percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar yang sudah berlangsung lima tahun remuk redam, dunia batin saya mendadak berguncang. What the hell is this!!! (Mudah-mudahan bahasa Inggris saya tak salah.) Di televisi saya melihat pernyataan politis yang diplomatis dari Sekjen Partai Golkar (nama dia saya lupa), serta tambahan argumentasi dari pengurus DPP Partai Golkar (lagi-lagi namanya saya lupa), dan tentu saja tanggapan dari tim 9 Partai Demokrat (seekor bajing loncat, menurut saya, dan mudah-mudahan ungkapan tadi tidak dianggap sebagai pencemaran nama baik, melainkan sekadar sebagai ekspresi-kesebalan-mikrokosmos-personal-apolitis, yang tak jauh beda dengan ekspresi ketika Anda tanpa sengaja menginjak tai kuda saat mengenakan sepatu Buccheri yang baru saja Anda beli di Plaza Indonesia).

Berbekal data yang saya miliki—serangkaian data yang tentu saja lebih you can see dari pada data yang dimiliki para pengamat politik semisal Eep Saefulloh Fatah, Iberamsjah, Lili Romly (dan mengapa pula para pengamat politik didominasi mereka-mereka yang berasal dari Universitas Indonesia)—remuknya mahligai percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar disebabkan libido komunikasi yang terganjal peraturan. Sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat melalui komando Pembina Yudhoyono, secara diplomatis menjegal pencalon Saudagar Jusuf sebagai calon pendamping nahkoda Indonesia periode 2009-2014. Ah, tentulah meradang Partai Golkar, sebab pengajuan nama Saudagar Jusuf sudah melalui mekanisme penjaringan yang selektif dan evalutif kontekstual. Rasionalisasi ‘mengapa hanya mengajukan satu nama’ Tim Tiga Partai Golkar tumpul berhadapan dengan passionisasi Tim Sembilan Partai Demokrat yang dibalut dalam bahasa diplomatis ‘jangan hanya mengajukan satu nama.’

Dari serangkaian fakta (ah, barangkali juga fiksi?), masalah yang muncul tentulah: Why… Dalam buku saku para filosof, ‘why’ merupakan konkretisasi-mundial atas abstraksi-universal (sedikit menduga, universal dari universe dari uni+verse) perasaan atau hasrat ingin tahu. Kembali mengacu masalah utama, sebab-sebab putusnya baja percintaan (bila saya memahami dengan benar, tentunya baja percintaan yang semu selama lima tahun) Partai Demokrat dengan Partai Golkar dapat diketahui dengan cara meng-anal, maksud saya: menganalisa dimensi sejarah percintaan Partai Demokrat dengan Partai Golkar (apakah pendekatan genital Freudian dapat dipergunakan untuk mendefenisikan seksualitas macam apa yang tengah berlangsung dalam perpolitikan Indonesia selama lima tahun, apakah biseksualitas, heteroseksualitas atau homoseksualitas?). Semenjak filsafat Hegel mengemuka di benua Eropa, sejarah dan gerak sejarah menjadi pokok kajian filosofis di kemudian hari karena, setidaknya, berkenaan dengan gagasan kebebasan, juga pembebasan, pada wilayah praksis kehidupan sehari-hari.

Kliping memori Pemilu 2004 masih menyimpan data perolehan suara kedua partai, yang sekarang ini mulai menunjukkan genitalnya masing-masing (kalau ada, kira-kira apakah genital dari masing-masing partai itu?). Golkar sekitar 20 persen dan Demokrat 7 persen. Meski cuma mengantongi suara 7 persen, Demokrat mampu mendudukkan calonnya sebagai Presiden, dan Saudagar dari Golkar, mungkin dengan penuh kerendahan hati yang luar biasa, bersedia dicalonkan sebagai Wakil Presiden (ah, saya mencoba mengimajinasikan bagaimana kira-kira pandangan filosof asal Jerman Jürgen Habermas mencerna duet maut Komandan Yudhoyono dengan Saudagar Jusuf?). Latar belakang pemahaman rasional tentunya lebih wajar dan lazim bila menempatkan Presiden dari Partai Golkar dan Wakil Presiden dari Partai Demokrat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya; dan satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah kesepakatan antara Yudhoyono dan Jusuf sewaktu duduk sebagai menteri pada masa Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz (hei, di mana nomor lima satu ini yang beristri lima dan pernah menolak pemimpin perempuan namun dengan rendah hati bersedia menjadi wakil seorang perempuan?).

Pemilu Presiden yang berlangsung dua putaran menempatkan pasangan Yudho dan Jus sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebuah negara yang memiliki lebih dari 13.000 pulau. Kemesraan semakin terjalin hingga di suatu ketika, ‘matahari kembar’ sebagai istilah baru dalam peta perpolitikan Indonesia kontemporer meruyak. Saudagar dipandang para pengamat politik memiliki kekuatan dan kekuasaan yang setara dengan Komandan. Pertempuran kecil-kecilan pun terjadi, mulai dari mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Presiden, hingga yang paling mencolok adalah mereka bergantian masuk bioskop 21 demi menonton film Ayat-Ayat Cinta yang dikritik kaum feminis-fundamentalis (viva la vagina!).

Sejak idiom ‘matahari kembar’ (sebuah idiom positif yang menyebalkan sekaligus idiom negatif yang menyenangkan, menurut saya) gerak dan tingkah laku Komandan Yudho menjadi lamban (kalau saya memahami dengan benar, pastilah kelambanannya disebabkan pistol—maksud saya, postur tubuh yang juga besar, hingga seturut dengan hukum fisika Newtonian, benda dengan massa yang besar cenderung diam, katakanlah, sedikit bergerak atau kalau pun bergerak, ya sedikit-sedikit). Kerapkali media massa dan massal mengeker kelambanan Komandan sebagai titik lemah ‘matahari-1’. Dan selama satu periode, Komandan tetap setia pada kelambanan yang dibahasakan menjadi ‘berhati-hati’.

Merujuk pada sejarah, remuknya percintaan antara Partai Demokrat dan Partai Golkar, menurut saya, berakar secara radikal pada fenomena ‘matahari kembar’ serta ‘kelambanan Komandan’. Pada tahap transendental (menemukan pendasaran objektif atas keadaan yang memungkinkan kemunculan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’) tak lain adalah sejarah eksekutif paska reformasi. Setahun setelah reformasi, babak baru pemerintah demokratis pun dimulai. Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (sebuah partai yang penuh dengan anomali kepemimpinan sekaligus memiliki kaderisasi kepemimpinan yang luar biasa dahsyat, tetapi sayangnya hanya sampai tingkatan pemimpin partai belaka dan tak bisa lebih dari itu) terpilih sebagai Presiden. Wakil Presiden adalah Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (sebuah partai dengan suksesi kepemimpinan yang luar biasa bertolak belakang dengan Partai Kebangkitan Bangsa). Jaman Gus Dur-Mega, idiom ‘matahari kembar’ tidak ada. Namun, yang terjadi cukup mencengangkan, sebab penggulingan kekuasaan secara legal jilid II melalui legislatif (tentang penggulingan kekuasaan jilid I, dugaan evaluatif-subjektif-transendental-personal-individuasi-alienatif saya, terjadi pada tahun ’65) terjadi. Gus Dur dihengkangkan banteng-banteng moncong putih dari kedudukan Presiden. Dan, cukup waras kiranya proses penghengkangan itu, sebab banteng-banteng moncong putih meraup 30 persen lebih suara di parlemen. Tatanan tak rasional pun berganti dengan orde rasional ketika Megawati Soekarnoputri duduk sebagai Presiden dan Hamzah Haz bekerja sebagai Wakil Presiden (ah, saya ingat dia harus bertekuk lutut juga ketika publik melalui Gubernur DKI Jakarta yang menyebalkan Sutiyoso meminta dia minta maaf kepada warga Jakarta karena mempergunakan jalur busway. Res-Publica!!!).

Bila saya memahami serta menafsirkan dengan tepat dan benar dimensi historisitas politik kontemporer Indonesia, maka penjelasan ‘matahari kembar’ dan ‘kelambanan Komandan’ disebabkan perhitungan politik, yakni mencegah agar pendongkelan kekuasaan jilid III melalui parlemen tidak berulang kembali (dan, saya pikir, hal ini merupakan pukulan telak bagi Nietzche yang menggagas sejarah sebagai perulangan abadi). Hingga penghujung akhir jabatan, Komandan berhasil mengelola konflik hingga Saudagar, yang selalu tampil penuh percaya diri, tak pernah menyangka bahwa dirinya sudah masuk dalam perangkap yang punya dampak luar biasa memalukan dan mematikan. Saudagar selalu berada di atas angin, hingga lupa bahwa dia punya potensi untuk menjadi orang pertama di republik Ibu Kartini (mendiang feminisme Marianne Kattoppo menyimpulkan Kartini hanyalah proyek politis rejim kolonialisme Belanda untuk membuktikan kepada dunia internasional, atau setidaknya partai beraliran kiri di negeri Hollanda, bahwa program politik balas budi mereka berhasil di wilayah jajahan). Sebagai seorang yang mengambil inspirasi dari basic insting seksualitas kekuasaan a la Freudian yang dipadankan dengan irasionalitas atas rasionalitas kehendak Schopenhauer, saya menilai Golkar selama periode 2004-2009 hadir sebagai partai paling dungu se-dunia. Sebuah partai yang mampu meraih suara terbanyak, tetapi tidak memiliki satu orang pun yang layak dijagokan sebagai orang nomor satu di Indonesia, saya pikir sangatlah tak pantas dan patut dan bermartabat bila menyandang sebutan: Partai. Golkar sebagai organisasi politik dalam penglihatan saya tak beda a.k.a sama dengan arisan para ibu-ibu. Dan, yang paling parahnya: tak seorang pun di Partai Golkar yang pantas menyandang predikat politikus (ah, bisa saja Partai Golkar berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi bangsa dan negara. Kalau hanya mau berbuat demi bangsa dengan negara, mengapa membuat Partai. Partai bukan satu-satunya jalan untuk berbuat demi bangsa dan negara. Partai hanya dapat disebut partai bila ia selalu mengincar kekuasaan dan meraup massa. Kekuasaan sebagai representasi kualitas, Massa sebagai representasi kuantitas.). Golkar hanya dipenuhi orang-orang pragmatis yang hanya berpikir cetek, dangkal, banal, dan satu hal yang paling penting: Tak memiliki ambisi (di mana ambisi adalah kata lain dari passion, hasrat, libido. Politik tanpa libido: Tolol. Politik tanpa rasio: Ah, ini pun Tolol. Paska Pemilu banyak caleg gila karena sadar bahwa mereka tidak sadar diri sehingga kesadaran bahwa mereka tidak sadar diri itu begitu mengguncang batin mereka yang dengan demikian solusi yang dapat menyelamatkan mereka dari situasi keterkejutan itu hanyalah menjadikan kesadaran sama sekali tidak sadar yang akhirnya berujung pada situasional: mereka tidak sadar bahwa mereka tidak sadar, inilah yang disebut kegilaan dalam versi gua; sebab bila hendak mengacu pada analisa Michel Foucault, kegilaan, setidaknya, berhubungan dengan gagasan kekuasaan.).
Kehancuran Golkar tentu membuktikan kejagoan para politikus dari Partai Demokrat. Kejenialan mereka merancang tindakan yang ditujukan agar nafsu seksualitas kekuasaan tetap tersalurkan patut dibilang “Anjing!” Tindakan mereka yang selalu terukur tak menyebabkan dicopotnya pigura Yudhoyono di sekolah-sekolah, kantor-kantor polisi, tentara, birokat pemerintahan, dan lainnya. Hanya 7 persen suara saja mereka mampu mengendalikan denyut-denyut penggulingan yang kerapkali (menurut perkiraan saya, tentunya dengan pengandaian asumtif bahwa Golkar masih merupakan Partai, bukan klub arisan para ibu-ibu dan bapak-bapak) muncul di lapis eksekutif. Komunikasi politik intensif sebagai sarana penyaluran libido kekuasaan terus menerus dilakukan Partai Demokrat demi menurunkan tensi rasionalitas Partai Golkar dari hasrat mengkudeta Komandan Yudhoyono yang tak berdaya hanya dengan 7 persen suara.

Di penghujung kekuasaan, rasionalitas Partai Demokrat sudah berganti dengan passionitas. Perolehan suara 20 persen adalah dasar yang sangat tepat untuk mencalonkan Presiden. Rasionalitas yang dipraktekkan selama lima tahun mau tak mau dibuang dahulu digantikan dengan passionitas yang menggebu-gebu. Hasrat seksualitas adalah ukuran pertama yang harus diajukan dalam setiap tawaran penggalangan konsensus koalisi. Partai Golkar menjadi korban pertama hasrat seksualitas Partai Demokrat yang tentunya tak membutuhkan pertanggungjawaban rasional dari Partai Golkar. Golkar harus menelan pil pahit kedunguan yang bersumber pada passionitas selama periode 2004-2009 hingga melupakan rasionalitas politik yang dapat mereka kantongi bila mampu menggulingkan kekuasaan politik Komandan sembari menjaga agar tak mengulangi kekeliruan Megawati selama menjabat sebagai Presiden. Menurut saya, Partai Demokrat sudah menunjukkan kapabilitas mereka sebagai politisi-politisi yang cerdas, meski tidak cadas juga (‘meski tidak cadas juga’ karena saya memang tak suka pada Partai Demokrat, dan tak suka adalah irasional, hasrat, passion).

Sedikit tambahan, passionitas, hasrat seksualitas yang bertalu-talu di jantung genital Partai Demokrat tampaknya meruntuhkan bangunan akal yang sempat mereka ujarkan kepada publik (atau apa yang mereka sampaikan hanya akal-akalan belaka?). Pada saat Pemilihan Presiden, kubu pasangan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf “berjanji” hanya satu periode saja. Satu periode. Lima tahun. Tetapi, malah: Lanjutkan! Barangkali, gagasan seorang pemimpin harus visioner direvisi dengan menambahkan batas waktu visioner adalah lima tahun belaka atau malah dua hingga tiga bulan saja atau malah satu detik setelah diucapkan atau dituliskan atau dimateraikan, sebuah ‘janji’ langsung dinyatakan tidak berlaku. Dan bukankah partai yang mendukung pencalonan Komandan Yudhoyono dan Saudagar Jusuf pun mengetahui fakta tersebut? Dan bila mereka tetap menjalin koalisi dengan calon Nahkoda Susilo, where is the reason? It’s not about reason, it’s about: Passion, Seduction, Desire. And, coalition is all about passion! So, where is the reason? Bila saya kebetulan memahami Habermas dengan benar meski tak akurat, Habermas bakal menjawab: Pada Publik!

“Aih, sayangnya zaman kosmopolitan sekarang yang begitu mengandalkan kecepatan arus informasi sekaligus kecepatan dalam mengambil kesimpulan atau keputusan berdasarkan informasi yang diterima hanya memungkinkan pencapaian kesimpulan dengan jalan passionitas, semisal tampilan fisik, yang berarti: menyenangkan, kelihatan baik, tidak mirip teroris, santun, ganteng, tak mencurigakan, dan sebagainya tanpa memperhitungkan latar belakang rasionalitas di kepalanya.” Dan saya hanya bisa berkata: Vox Populi, Vox Dei. Hidup Demokrasi, Mampuslah Kau Golput Biadab!!! Hahahaha…





catatan akhir:
23 April 2009, menjelang pukul 04.20, di sebuah kamar kontrakan di tengah kota Jakarta, metropolitan yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Seluruh tulisan ini mengambil inspirasi dari buku Giovanna Borradori yang berjudul Filsafat Dalam Masa Teror terjemahan Alfons Taryadi (sebuah terjemahan di mana saya berpikir: editor buku tidak bekerja optimal, atau malah tidak bekerja sama sekali karena penerjemah memang meminta agar tulisannya tidak diedit sama sekali).

2 comments: