Gemah Ripah Loh Jinawi With Demokrasi (Eve-lotion)

Tanpa sengaja Armando, seorang jagoan dari Planet TimelessToon, menemukan esai-esai Bertrand Russell berjatuhan di halaman rumahnya yang tersembunyi di antara kardus-kardus buluk. Armando memang memiliki minat baca yang setara dengan Bruce Banner, The Incredible Hulk. Armando pun membaca satu per-satu esai salah seorang peraih Nobel di Planet Bumi--yang beberapa waktu lalu, kalau Armando tak keliru sedang senang-senangnya memperhatikan keselamatan Bumi dengan jalan merawat dan meruwat (plus memberantakkan serta meluluhlantakkan)--dan menemukan kutipan yang sulit ia mengerti namun begitu berarti. [Backsound: Tepuk tangan dan suit-suit.] "Demokrasi menemukan dasar teoritis lewat empirisme."

Armando kaget. Empirisme adalah kata klasik yang pertama sekali dia kenal setelah ayah dan ibunya beramai-ramai menempeleng kepalanya karena mengucapkan kata: Fuck You (tentu saja kepada bapak dan ibunya). "Ini adalah guru terbaik yang pernah ada, menurut Jhon Locke," tukas sang ayah sambil memukulkan punggung tangan kanan ke pipi kanan Armando. Kacamata Armando pun terhempas (sebagaimana jagoan selalu menunjukkan kelemahan) dan dari mulutnya satu gigi menari di lantai putih marmer yang mengkilap karena baru saja dibersihkan dengan pembersih nomor satu seantero galaksi semesta yang cuma satu-satunya. Dan sang ibu, tanpa tedeng aling-aling menyatakan, “Dan aku tambahkan, David Hume tidak benar. Sebab-akibat itu bukan ilusi,” sambil mengayunkan balok kayu berukuran 10 x 10 x 20 sentimeter ke punggung Armando. [Penulis: Bukankah tidak ada jagoan yang tak luput dari sisi kelam? Superman kehilangan ayah ibu, Peter Parker korban bullying, Bruce Banner kelinci percobaan ayahnya, Batman kehilangan ayah ibu karena perampok (365 cing kalau di KUHP).]

[Alur maju.] Mata Armando memicing. Seakan-akan pukulan balok kayu baru saja menghantam punggungnya. Empirisme. Pengalaman adalah dasar bagi segala-galanya. Pengalaman, yang terukur, kuantitas. Tanpa ukuran, tak ada jagoan. Armando meneteskan air mata. [Penulis: Saya juga bingung kenapa Armando meneteskan airmata. Entah kenapa begitu saja huruf-huruf itu tercetak tanpa pernah dapat saya pahami. Pembaca, maafkan saya.] Armando mengernyitkan dahi. Persamaan ruang lengkung yang membawa Einstein menemukan bahwa kelengkungan ruanglah yang menyebabkan adanya gravitasi muncul di imajinasinya. Penulis bertanya: “Armando, apa hubungan persamaan Einstein dengan demokrasi dan empirisme.” Armando tersadar dan berkata kepada Penulis: “Ceritamu makin mirip cerpen Danarto nanti. Kembali kau ke alammu sana.”

Empirisme. Pengalaman. Terukur. Kuantitas. Demokrasi. “Dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Tapi, siapakah rakyat itu? Apakah memang rakyat itu dapat dikuantitatifkan? Atau apakah rakyat itu adalah hanya konseptual belaka yang bersifat kualitatif?” Armando merenung kayak filsuf Yunani Plato yang sudah mendiang dan Akademianya dihancurkan orang-orang Romawi yang dibenci orang Galia hingga menyebabkan Uderzo mengarang komik Asterix sebagai ekspresi ‘kebencian’ terhadap kolonialisme kompeni Romawi di jazirah Eropa.

Dari pelajaran sejarah peradaban Abraham Sapien (Armando: Kalau Anda, Para Pembaca Yang Terhormat, pernah menonton film Hell Boy 2, Anda pasti tahu siapa yang saya maksudkan.) pergantian kekuasaan di Planet TimelessToon terjadi berdasarkan keturunan langit. [Hah… Maksudmu?] Keturunan langit adalah keturunan dari langit. Sampai sekarang apa yang disebut langit pun tak jelas. Langit adalah apa yang kita lihat ada di atas (tentunya bila pandangan mata tak terganggu atap atau pantat). Ya, semua orang yang menjadi raja mengaku keturunan langit. Ada darah dewata dalam dirinya. Kekuasaan pun menjadi milik mereka karena mereka memiliki darah dewata yang memungkinkan mereka berbicara dalam bahasa dewata untuk meminta pertimbangan, memerintah sebagaimana dewata memerintah di swargaloka (red-pusat karantina bagi mahluk langit yang imajinatif di mata mahluk bumi semisal Abraham Sapien). Setiap kata para penguasa berdarah langit adalah titah atau sabda, kadang kala malah ngerock menjadi firman. [Backsound: Tepuk tangan + Makian + Sumpah Serapah. “Kafir-kafir…”]

Membaca rangkaian sejarah demikian, Armando merenung—lagi-lagi kayak Plato dan rekan-rekan sebelum dan sesudahnya, yang kadang kala mengesalkan Stephen Hawking juga Al-Ghazali—kekuasaan tanpa dasar kuantitatif adalah nihil. Kekuasaan kualitatif tanpa pembuktian darah si A adalah darah langit dan darah si B adalah darah sangit secara objektif dan, menggunakan istilah Philosophical Doctor Effendi Ghazali, “ilmiah” adalah kedunguan, kebebalan, atau ketololan. Kekuasaan darah dewata pun berakhir setelah Revolusi Perancis berhasil memenggal kepala raja mereka. Peristiwa yang menggegerkan sejarah Eropa hingga, barangkali Inggris pun terkencing-kencing, namun berhasil meredam gejolak heroisme-pembebasan-indivualisme-romantik-revolusioner-massif, karena hingga millennium ketiga: GOD (STILL) SAVE THE QUEEN. Ah, Fredi yang ketiban sial sebab aroma gerakan pembebasan hanya menyelamatkan Elton John hingga berhasil menikah secara resmi sebagai pasangan homoseksual paling anyar pada masanya.

“Kalau kuasa hanya didasarkan pada kualitas, tanpa basis kuantitas, semua omong kosong. Kurang lebih itulah yang ingin aku katakan kepadamu,” Bertrand Russell mendadak ngomong di depang {Penulis: Saya hanya mencoba menulis dengan dialek Sulawesi. Inspirasinya dari tulisan seorang teman yang menganalisa tulisan seorang saudagar dari Sulawesi yang menjadi orang nomor dua (tetapi masih perlu dibuktikan apakah tulisan di dunia saiber itu merupakan tulisan orang nomor dua yang bersangkutan, hingga saya sendiri pun sulit menuliskan apa sebenarnya yang hendak saya sampaikan sedemikian rupa) , anehnya tak tahu pula soal tata bahasa yang baik dan benar.} Armando.

Empirisme, landasan teoritis demokrasi. Kekuasaan demokrasi berujung pada pelajaran matematika. Berhitung. Apa yang dihitung adalah suara dari person-person yang masuk dalam Daftar Pencarian Torang, yang bila disingkat menjadi DPT, yang bila dipanjangkan secara etis dan elegan dan sopan menjadi: Daftar Pemilih Tetap (Armando: Apakah arti Pemilih Tetap? Apakah sekali milih Partai Jing, maka akan tetap memilih Partai Jing?) Kuantitas. Sampai pada kesimpulan ini, Armando pun menangis. Mata Armando menjadi semacam mata air yang mengeluarkan air di mana air yang keluar dari mata air tersebut dikenal sebagai air mata. Demokrasi adalah tak lebih dari hitungan. “Kalau begitu, buat apa bicara hak, buat apa bicara hak, buat apa bicara hak [“Armando, mengapa sampai tiga kali?”]

Oh, itu hanya buat menambah intensitas saja hingga semakin meningkat. Biasanya di sajak dikenal sebagai teknik pengulangan, repitisi, agar intensitas makna yang hendak disampaikan semakin dalam. Aku lanjutkan lagi,

Hak dalam demokrasi tak lebih dari perhitungan angka. Jangan pernah bicara akan kualitas. Apa yang disebut kualitas adalah kenaifan. Mau golongan putih sampai 90 persen juga tidak ngaruh. Soal ketidakpercayaan publik adalah omong kualitas. Pemerintah bisa saja tidak dipercaya, tetapi kekuasaan sekarang bukan lagi kualitas, melainkan kuantitas. Sekali lagi, demokrasi bukan bicara kualitas. Kuantitas. Kuantitas. Kuantitas. Kuantitas.”

Armando pun keluar dari kardus-kardus buluk dan berjalan-jalan di jalanan utama sambil mendengar kasak-kusuk-kesek-kisik-kosok warga mengenai kisruh DPT. “Kalau memang kuantitas yang diperlukan, maka kita hanya perlu bagaimana cara berhitung yang tepat. Mengapa menghitung saja bisa loncat hingga 3 jutaan di Jakarta, bahkan puluhan juta kalau ditotal? Kalau tak lulus berhitung bagaimana bisa Gemah Ripah Loh Jinawi? Demokrasi itu penting karena mengajarkan kita persoalan berhitung, dan berhitung, dan berhitung [Aha, ini teknik pengulangan, repetisi. Benarkan Armando?] dan tak perlu baca-tulis.”



Note: Semua yang terucap dalam tulisan ini adalah ucapan Armando, jagoan di Planet TimelessToon. Saya, sebagai penulis, tentu saja akan mengadukan Armando ke Polsek Saiber karena dia telah memanfaatkan saya, menipu saya, 378 itu namanya.

No comments:

Post a Comment